Foto ilustrasi (sumber: ist). |
Cerpen Topilus B. Tebai
DI
LUAR, langit masih mencurahkan tetes-tetes air. Kolong
langit bagai terbuka lebar-lebar, dan hujan makin menjadi-jadi.
Bagi para petani di
gunung, hujan adalah berkat. Kol, wortel, tomat, ubi, talas dan singkong yang
mereka tanam di kebun-kebun mereka bagai
menerima nutrisi dari surga. Hujan akan membuat bijih jagung menjadi lebih
sehat, membuat daun hijau menjadi lebih gelap, berisi. Hujan membuat debu
yang menempel di daun, yang mengundang ulat pemakan daun itu jatuh berguguguran ketika
terbawa hujan.
Hal ini tidak bagi
petani di pinggir sungai Mapiha. Malam hari, gemuruh air Mapiha pasti menyiksa hati. Ada kekuatiran, barangkali hujan membuat debit
air sungai bertambah besar dan meluap, menyapu bersih kebun-kebun milik mereka di
pinggir sungai.
Aku masih duduk di
pinggir kios yang berjejer memanjang di sepanjang bibir sungai Mapiha ini. Hujan masih mengguyur bukit Bomopa, Mapiha.
Depanku ada sebuah
pasar. Pasar tempat mama-mama Mapiha datang jam 5 pagi untuk jualan. Disini, di
tempat aku berdiri, para penjaja dagangan duduk dengan manisnya menanti pembeli.
Kios tempat aku
berteduh ini milik Mas Jun. Pria asli Jawa ini kukenal karena menjadi langganan
ayahku dahulu. Sejak kecil, aku sering mengikuti ayah mengemudikan Strada
sebagai satu-satunya transportasi darat yang menghubungkan daerah Mapiha,
Moanemani, Obano, Paniai, Waghete, dengan Nabire, dan aku kemudian mengenal Mas
Jun. Ayah selalu singgal di kios ini.
Mas Jun datang 10 tahun
yang lalu, mengikuti pamannya yang telah lebih dahulu datang ke Nabire. Mas Jun
tinggal di Nabire 1 tahun, dan kemudian datang ke Bomomani, membuka kios dan
menjadi penjual di sini.
***
Yang menarik
perhatianku kini adalah seorang lelaki yang datang di bukit Bomopa, sebelah
kiri tempat aku berada. Tepat di selatan sungai Mapiha.
Saya lihat jelas. Lelaki
itu membawa seikat kayu bakar. Tubuhnya basah kuyup. Tanpa alas kaki, telapak
kakinya begitu tebal dan kuat untuk ditembusi kerikil tajam yang dihamburkan di
jalan untuk mengeraskan jalan. Kulihat, lelaki itu tidak lagi peduli dengan
semua keadaan di sekitarnya.
Barangkali di benaknya
ada bayangnan akan masa depan: isteri dan anak-anaknya yang bahagia kala malam,
karena kayu hasil jerih payahnya mampu memberikan kehangatan di malam hari.
Bomomani memang dikenal dingin. Maklum, untuk sebuah ibukota kecamatan yang
terletak di ketinggian seperti ini, dingin itu pasti.
Atau barangkali ia
sudah membayangkan makanan masakan isterinya yang hangat, yang akan mampu
membuatnya bertenaga kembali usai tiba di rumah dengan kayu bakarnya itu.
Entalah, aku kini tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan lelaki itu.
Dia semakin mendekat,
menuruni bukit Bomopa. Bercelana jeans lusuh, dengan kaos tentara, jelas
terlihat tubuhnya yang kekar. Di depan kios, saya lihat lelaki itu berhenti
untuk beristirahat. Hujan masih saja turun. Dia tampak tak peduli dengan hujan,
juga tatapan kami semua, manusia-manusia yang berjubel di teras kios karena
hujan.
Lelaki itu kini
benar-benar menarik perhatianku. Dia membawa seikat kayu bakar itu menuju kios
Mas Jun. Dia datang kepada kios yang di terasnya diriku berada. Aku pikir,
lelaki itu ingin berhenti dahulu untuk membeli rokok, atau ingin belanja
sesuatu.
Dari sampingku, lelaki
itu memanggil nama Mas Jun.
“Mas Jun ... Mas Jun
..”
“Frans. Bagaimana.
Kayunya sudah ya?”
“Iya. Ini.”
Kemudian lelaki yang
dipanggil Frans itu menunjuk kayu bakar bawaannya.
“Delapan ribu ya,” kata
Mas Jun sambil merogoh dompet hendak mengeluarkan uang simpanannya.
“Ah, ini kayu banyak.
Hujan lagi. Saya su basah-basah ini.”
Terus, apa yang kau
mau?”
“Sepuluh ribu sajalah
Mas ...”
“Akh, kayu ini kan
bukan kayu berkualitas. Delapan ribu itu udah cukup, malah lebih.”
“Ah, Mas, mengertilah
...”
“Ya udah. Sembilan ribu
ya? Oke?”
“Iyo sudah. Trapapa.
Tapi sa ambil rokok satu batang ee,
Mas, gratis...”
Begitulah dialog mereka
yang aku dengar. Hatiku bergelombang tak tentu. Darah di jantungku bagai ombak, sesekali
memukul dinding-dinding hati, yang membuatku harus mengelus-elus dada. Aku tak
kuasa memandang pemandangan yang seperti ini.
Dengan uang 9.000 rupiah itu, Frans membeli rokok anggur
sebungkus, seharga 4 ribu rupiah. Kemudian ia membeli satu korek api dengan
harga 2 ribu. Sisa 3 ribu kemudian dihabiskan dengan membeli kue donat yang
dijual di kios Mas Jun. Ia lapar usai
mencari kayu.
Satu yang miris: uang
hasil jerih payahnya mencari kayu hampir setengah hari habis untuk sebungkus
rokok, sebuah korek kayu dan donat lima buah.
Mas Jun dengan senang
hati meyalani. Kulihat senyum yang agak aneh di bibirnya. Sementara Frans
menggigil kedinginan sambil menikmati tarikan rokok. Barangkali Frans berharap,
5 buah kue donat tadi mampu membuatnya kenyang, dan asap putih yang hanya
sedikit dikeluarkannya itu mampu menghangatkan tubuhnya dari dingin.
Tatapan matanya kosong.
***
“Ko kasih kayu bakar seikat yang besar ini
cuma-cuma ini. Ini kayu bakar terlalu besar, tidak sebanding dengan uang 9.000
itu.”
Frans menghela nafas
saja. Saya menunggu tanggapannya. Dia tak bicara. Saya menunggu jawabannya
barangkali 5 menit lebih di sampingnya.
Melihat Frans tidak memberiku jawab, melihat kondisi tubuhnya yang kedinginan,
aku tak tega berdiri di sampingnya berlama-lama.
Aku masuk ke kios milik
sahabat ayahku, tepat di samping kios milik Mas Jun. Malam itu aku tak kuasa
tidur hingga esok pagi, aku kaget mendengar
deru mobil yang mengingatkanku pada wasiat mendiang ayahku untuk terus
berjuang mencari hidup yang lebih baik.
Segera aku menuju
Strada yang kini kukemudikan untuk mencari penumpang. Saya bersyukur pada Tuhan,
dia berkenan membawaku ke tanah Papua, tanah surga ini. Dalam hati, saya berdoa buat bangsa hitam ini, pemilik negeri ini, sambil terus mengingat
‘kejadian istimewa’ depan kios Mas Jun. []
0 Komentar