Editor : M. Iqbal Ahnaf, dkk.
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : CRCS
Persepsi tentang Papua kerap diliputi dengan isu-isu konflik. Selain
konflik ekonomi-politik, juga ada konflik saudara (suku) serta kekerasan
yang mengatasnamakan agama. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang
untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cendrawasih yang ‘murung’ dan
‘menyeramkan’. Persepsi yang demikian semestinya tak boleh menutup
harapan dan mata kita untuk menilik bahwa ada kisah kedamaian di Tanah
Papua. Dalam hal ini, buku Papua Mengelola Keragaman berupaya menunjukkannya.
Buku tersebut merupakan tulisan reflektif hasil kunjungan peserta
program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ke-V ke Kampung Wonorejo,
yang diselenggarakan oleh CRCS bekerjasama dengan STAIN Al-Fatah, STFT
Fajar Timur, dan LSM Ilalang Jayapura. Buku ini memuat kisah pengalaman
masyarakat Kampung Wonorejo, Kabupaten Keerom, Papua, dalam upaya
merajut kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Buku ini dibagi ke dalam
tiga bagian; setiap bagian terdiri dari beberapa tulisan dan diakhiri
dengan sebuah cerpen. Tulisan-tulisan di dalamnya berupaya memberi
gambaran interaksi masyarakat Wonorejo dan bagaimana pemerintah setempat
mengelola perbedaan antar warga Wonorejo.
Tulisan-tulisan pada bagian pertama menggambarkan konteks kehidupan
dan interaksi masyarakat di Kampung Wonorejo, sebuah desa yang terletak
di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Banyak warga
Desa Wonorejo yang merupakan para transmigran yang berasal dari Pulau
Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di desa ini, mereka
dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda hidup
bersama. Memiliki sejarah perjuangan hidup yang sama membuat mereka
hidup senasib sepenanggungan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar
bagi masyarakat Wonorejo untuk membangun kehidupan yang toleran, seperti
yang diceritakan oleh Yali dan Kleopas. Interaksi antaretnik yang
terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Oktovina
dalam tulisannya menjelaskan proses itu, yang terjadi di antara para
perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah
bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari
perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang
yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.
Bagian kedua buku ini, Praktik Pengelolaan Keragaman, memuat
tulisan mengenai praktik konkret pengelolaan keragaman kultur dan agama
yang ditransformasi oleh masyarakat dalam wujud toleransi dan
kedamaian. Tulisan Roni Hamu, misalnya, menunjukkan praktek pengelolaan
keragamaan melalui adaptasi dan transformasi dalam tradisi bakar batu,
yang tidak menjadi tradisi ekslusif salah satu kelompok etnis, tapi
melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Wonorejo.
Praktik pengelolaan keragaman lainnya dapat dilihat adalah semangat
gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh
warga, terlepas dari identitas keagamaan yang dianut. Selain itu, sikap
toleran juga ditunjukkan melalui upacara atau perayaan keagamaan seperti
Idul Fitri dan Natal, dengan saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan
selamat. Dalam hal ini, keterlibatan para tokoh agama, pemangku adat
dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan
keragamaan. Mereka menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian konflik
yang terjadi.
Meskipun secara umum Kampung Wonorejo dapat dinyatakan toleran, desa
ini sempat mengalami ketegangan dan konflik. Pada bagian ketiga buku
ini, Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya, para penulis
memaparkan bagaimana ketegangan dan konflik diatasi oleh masyarakat
Wonorejo. Melalui kisah-kisah dalam buku ini, diketahui bahwa konflik
tidak hanya terjadi dari internal masyarakat setempat, namun karena
adanya campurtangan pihak luar yang lebih bersifat politis. Selain itu,
konflik yang terjadi tidak semata-mata berkaitan dengan masalah
perbedaan etnik dan agama, tetapi juga masalah kesenjangan ekonomi.
Namun demikian, dalam penyelesaiannya, masyarakat multietnik di Wonorejo
menemukan pola-pola sederhana dalam penyelesaian konflik yang mereka
hadapi. Misalnya dengan menetapkan balai kampung sebagai tempat
pertemuan untuk melakukan dialog dalam upaya menyelesaikan setiap
konflik yang terjadi. Dengan demikian, setiap warga dapat terlibat dan
melihat langsung proses tersebut, sehingga menjadi pembelajaran bagi
mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat
perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu
kegiatan yang menimbulkan konflik. Arfan menjelaskan bahwa upaya
tersebut merupakan antisispasi yang baik dalam mengurangi risiko konflik
di tengah masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa proses
penyelesaian konflik yang dilakukan di Wonorejo bersifat internal dan
lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Ada banyak pengulangan narasi dalam setiap tulisan, terutama
berkaitan dengan data informatif tentang Kampung Wonorejo. Selain itu,
harus diakui bahwa para penulis tidak melakukan sebuah analisis yang
mendalam terhadap kisah yang telah dituliskan. Namun demikian,
kisah-kisah tersebut dapat menyadarkan kita bahwa sikap toleran dan
damai masih ada di Bumi Cendrawasih. Dengan menjadikan masyarakat
Wonorejo sebagai studi kasus, buku ini bisa menjadi cermin untuk
membantu kita bagaimana cara menemukan nilai-nilai kultural di
masyarakat dalam upaya mengelola keragaman.
Diambil dari website : http://crcs.ugm.ac.id/main/news/5674/kisah-damai-dari-bumi-cendrawasih.html
0 Komentar