LANGIT HITAM TANAH MERAH

Oleh: HE. Benyamine
*
Sekilas masih terlihat ada warna biru di langit, selebihnya warna hitam. Penderitaan dan kesengsaraan sudah menjadi bagian dari kehidupan sebagian orang. Semua orang tidak ada yang menghendaki keadaan menderita dan sengsara. Mungkin, hanya karena alasan cinta ada orang yang rela berada dalam keadaan tersebut, dengan harapan yang melampaui batas kesadaran sebagai seorang manusia; pengorbanan dan kegilaan.


Akhir-akhir ini, seperti suasana hati yang kelam, langit terlihat lebih banyak hitam. Seakan terlalu banyak memikul beban, wajah langit begitu kelam, meskipun matahari bersinar terik dan menyengat dengan kilauan emasnya yang memancar, tidak peduli beban yang sedang mengantung dipundak langit.

Menjelang senja, suasana kelam semakin terasa, seakan memberikan semangat dengan senandung kegelapan yang membelai perasaan luka dan kepedihan orang-orang yang berjuang dan bertahan dalam penderitaan dan kesengsaraan kehidupan. Mereka adalah bagian yang terinjak dari hirarki keserakahan dan ketakutan orang-orang yang bertahta.

Malam hanya bagian dari suasana yang datang tepat waktu, tidak ada kata menunggu, tidak ada perasaan, tiba-tiba saja sudah datang mendekap. Malam itu terasa sangat gelap, bulan sudah tidak bersisa, langit berselimutkan awan tebal yang sudah tidak bisa lagi dibedakan warnanya.

Koran hari ini masih berserakan di atas meja, belum sempat terbaca, hanya sekilas terlintas judul berita yang isinya mengarah pada penderitaan dan kesengsaraan. Ada perasaan malas untuk menyentuh koran, suasana malam yang semakin gelap juga rasa kantuk yang mulai tak tertahankan.

“Sudahlah!”, desah Jummas menyentak kepada dirinya sendiri. Banyak peristiwa yang terjadi begitu saja hari ini. “Aku tidak perlu terlibat dalam penderitaan dan kesengsaraan”. Kantuk sudah tidak bisa dibendung lagi, ia datang menjemput tanpa jejak, membawa semua hari bersamanya.

**
“Kantor sudah menunggu”, Jummas bergumam sambil terburu-buru berangkat. Segelas air putih yang sempat diminum. Terlambat bangun bukan kebiasaan Jummas, apalagi hari kerja. Sejak diterima sebagai PNS, Jummas berusaha menunjukkan kedisiplinan dan kesungguhan dalam berkerja, apalagi ia sudah lama nganggur setelah lulus kuliah.

“Seandainya aku dulu beli saja ijazah S1 sebenarnya tidak ada masalah dengan pekerjaan sebagai PNS saat ini”, kata Jummas dalam hati sambil berlari mengejar waktu yang sebenarnya tidak perlu dikejar. “Setiap hari mencari-cari kerjaan, seperti orang kurang pekerjaan saja”.

“Padahal aku sudah menjadi aparatur negara”, dengan kening berkerut, “Melayani, khan gampang, jadi tidak perlu mencari-cari kerjaan, karena banyak keluhan buruknya pelayanan”. Jummas sudah tahu sebelum ia menjadi bagian dari corp pegawai negeri bahwa ada saja oknum PNS yang malah minta dilayani.

Dengan terburu-buru masuk ruangan kerja, keringat mulai menetes, menghela nafas sambil duduk di kursi. Keringat cepat mengering, karena AC ruangan kantor begitu sigap menjemput panas yang bahkan memaksa panas dalam tubuh mencoba bertahan dalam tubuh. Beberapa menit berlalu, ternyata pekerjaan tidak sedang menunggu, masih ada waktu untuk ngobrol, baca koran, dan mondar-mandir kemana saja. Tidak masukpun, rasanya tidak ada pekerjaan yang terbengkalai. Tapi, masuk kerja wajib, kerjanya seperti tidak wajib.

Jummas masih begitu bersemangat. Masih merasakan perbedaan antara bekerja dan tidak bekerja. Merasakan kakunya baju seragam. Lipatan yang masih runcing, setajam pisau dapur. Semuanya terasa baru. Hanya bayangan pegawai yang masih sempat keluyuran saat jam kantor yang terasa seperti tidak baru.
Ada rasa bangga dalam diri setelah menyandang status sebagai pegawai negeri. “Saya adalah bagian terkecil dari pendaftar CPNS, dari calon yang ribuan, dan saya termasuk orang bagian terkecil itu”. Jummas seakan masih dalam suasana kebanggaan diri, terasa sudah mendapatkan jaminan hidup, berbagai peluang telah menantinya, dan apapun terasa begitu terbuka. Bagi Jummas, gaji yang masih kecil tidak menjadi persoalan saat ini, status pegawai negeri yang terpenting dan membagakan. Status ini juga yang membuka berbagai peluang lainnya.

Banyak orang yang tidak beruntung menjadi pegawai negeri. Banyak juga yang buntung karena gagal diterima, dan banyak juga orang cerdas dan pintar harus menerima kenyataan ditolak karena berbagai sebab lainnya; mungkin sebab itu tidak berhubungan dengan kecerdasan dan kepintaran. Ada saja teman yang siap untuk memenuhi syarat lewat jalur belakang, karena anak orang kaya jadi urusan duit tidak masalah. Tapi ada juga teman yang harus menjual tanah atau kebun orang tua, bahkan ada yang sudah siap pinjaman dengan lintah darat sekalipun.

***

Berkeliaran di pasar dan pusat perbelanjaan pada jam kerja, dengan seragam, menjadi suatu hal yang wajar. Apalagi yang mengatasnamakan untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu, yang harus mempersiapkan berbagai tugas harian seorang ibu dalam pekerjaan domistik, apa salah memanfaatkan waktu luang. Ya! Waktu luang sebagai pegawai negeri. Dulu, saat mau menjadi pegawai negeri, ada keinginan mengabdi kepada masyarakat. Memberikan pelayanan yang baik dan sopan. Seiring berjalannya waktu, keinginan mengabdi tetap ada, hanya kebingungan dalam mengerjakannya.

“Ya! Pengabdian kepada masyarakat”, gumam Jummas. Pengabdian yang bagaimana. Jummas menjadi bingung setelah menjadi pegawai negeri. Duduk di meja kerja, berharap dipanggil atasan, selainnya gelisah. Karena belum terbiasa tidak mengerjakan sesuatu. Sebelum berstatus pegawai negeri, sebagai pengangguran, masih ada yang bisa dikerjakan. Setidaknya, rumput di halaman rumah bersih.

Jummas merasa bingung. Ia merasa terkurung dalam seragam yang dulu diimpikannya. Pengabdian yang dulu dipikirnya hanya tinggal dilaksanakan setelah menjadi pegawai negeri, ternyata menjadi terasa sulit dan kabur. “Pengabdian! Nggak kebayang sebelumnya. Terlalu mudah diinginkan dan terlalu dalam untuk diterjuni”, batin Jummas menggelitik saat duduk menghadapi tumpukan kertas, “Ah … aku hanya kebingungan dengan perubahan status saja. Mungkin waktunya terlalu cepat. Toh aku menjadi pegawai negeri tidak untuk sementara. Terlalu terburu-buru berbicara pengabdian. Mungkin! Ya Jalani dulu. Aku juga perlu mengenal medan. Kan mengenal medan akan memudahkan dalam berlaga”, sambil bangkit karena waktu istirahat siang sudah tiba. Rekan sekantor sudah bersiap untuk menyebar memanfaatkan waktu istirahat siang ini, bahkan ada yang sudah lebih dulu tidak ada ditempat sebelum waktunya tiba.

Jummas berusaha tidak membuang waktu istirahat siang. Pikirnya waktu istirahat ini sangat berharga untuk keluar dari tekanan. Ya tekanan kebingungan. Apalagi berhadapan dengan perubahan situasi dari yang dibayangkan dengan kenyataan sebagai abdi negara. Waktu istirahat siang yang masih dinikmati dengan hisapan rokok yang dibeli dari uang orang tua, sebelum digantikan dengan rokok dari uang gaji sendiri. Jummas tidak mau jauh-jauh dari kantor. Rekan satu kantor sebagian sudah tancap gas entah kemana.

“Rasa rokok ini terasa nikmat”, lamun Jummas sambil memandang ke arah sesuai gerak bandul, tanpa tertuju pada satu objek tertentu, bahkan sebenarnya tidak memperhatikan apa-apa. Jummas hanya membayangkan bahwa dirinya tidak akan lagi meminta duit pada orang tuanya. Malah dirinya yang akan memberi, meskipun dari sisa gaji yang alam digunakan untuk keperluan dan kebutuhan sendiri. Jummas sangat bersyukur telah bekerja, termasuk orang pilihan lagi dari melimpasnya pelamar. Waktu ternyata begitu cepat berlalu. Terasa berbeda saat menjadi pengangguran. Entah berapa batang habis tersedot, yang jelas rasanya tidak berbeda antara menjadi pegawai dan saat pengangguran.

“Oi … pegawai! Kantornya nggak bakalan pindah”, ledek rekan kerja yang sudah lama, “Tinggal saja, nggak usah ditunggui saja”. Jummas hanya senyum-senyum saat diledek. Lagian siapa yang menunggui kantor pikir Jummas. Hanya menikmati lingkungan kerja baru. Penyesuaian hawa dan memikirkan apa yang nanti akan dikerjakan. Apa duduk-duduk dan bolak-balik kertas lagi, lalu mondar-mandir seakan sangat sibuk. Ah! Jummas menarik nafas dalam-dalam, yang baru biasanya membuat bingung dan santai saja pikirnya sambil melangkah menyongsong waktu kerja kembali.


****
“Rasanya seperti baru jadi pegawai saja. Semuanya tetap membingungkan. Aku masih tidak tahu bagaimana mengabdi kepada masyarakat!”, pikir Jummas saat dipanggil atasan untuk memimpin suatu dinas, “pengabdian yang membingungkan”. Jummas merasa baru sadar tentang kebingungan tentang statusnya sebagai abdi negara yang melayani. Selama ini pikir Jummas, dirinya mendapatkan gaji yang cukup, apalagi tiap tahun naik menyesuaikan dengan tingkat inflasi. Belum lagi tambahan kanan-kiri karena status menjadi pegawai negeri. Pekerjaan yang terasa bukan pekerjaan, kecuali kehadiran yang begitu membosankan. Apalagi ada pimpinan yang sok menegakkan disiplin, menuntut apel pagi sebagai sarana.

“Ruangan kerja ber-AC dan waktu luang yang banyak”, selidik Jummas terhadap kebingungannya atas keberadaannya untuk mengabdi kepada masyarakat, “telah membuat pikiran dan jiwa terbiasa dilayani dan tidak terpakai. Selama ini aku begitu mengalir saja sebagai pegawai. Mengikuti arus. Perlahan mencuri rasa pengabdian”. Jummas terus merasakan pikirannya menyusuri kariernya sebagai pegawai negeri. Abdi negara. Abdi yang seharusnya melayani masyarakat yang selama ini telah menopang kehidupannya. Tidak ada rasa takut. Malah statusnya sering menakutkan dan mengancam penghidupan masyarakat dengan segala kebijakan yang tidak begitu serius dipikirkan.

Jummas merasakan bagaimana dirinya selama ini tidak pernah dihinggapi rasa takut sewaktu-waktu terkena PHK, karena seakan tidak ada kamusnya pegawai negeri terkena PHK bila terus mengikuti sistem yang berlaku.

“Sebagai abdi negara, aku juga tidak pernah takut tentang masa depan. Ada pensiun. Apalagi aku tidak termasuk orang suka pesta dan mencari kesenangan. Kehidupanku bergaransi kesejahteraan”, Jummas menilai dirinya sambil menghisap rokok dari uang sendiri, “dibandingkan sebagian besar masyarakat yang seharusnya kulayani. Mereka malah ada yang ketakutan tentang masa depannya, bahkan ada yang tidak tahu besok makan apa. Pengabdian yang membingungkan. Pelayan yang terjamin dibandingkan masyarakat yang membayar gajiku”.

Masyarakat yang dibayangi langit hitam dalam kehidupannya yang menyediakan dana untuk menggaji para abdi negara. Sebenarnya banyak dari pegawai negeri yang sadar tentang keberadaannya untuk melayani masyarakat, tapi malah sebaliknya. Jummas tahu hal itu. Bagaimana masyarakat tidak dibayangi langit hitam, kata hati Jummas mendesak pikirannya, jika yang dibayar untuk mengabdi kepada masyarakat mengalami kebingungan tentang pengabdian itu sendiri, setidaknya seperti yang dirasakan oleh Jummas saat ini. Pengabdian seperti apa bila ternyata yang terjadi menggusur.

Masyarakat tidak hanya dibayangi langit hitam, tapi tempat berpijak tidak lain dari tanah merah. Hanya kegersangan dan lahan kritis yang terhampar bagi kebanyakan masyarakat. Peminggiran yang dilakukan atas nama kerja para abdi negara. Jummas begitu bertambah bingung saat hal ini terus menyusup ke dalam hatinya. Hingga saat ini, sudah menjadi calon pejabat pada suatu dinas, Jummas masih kebingungan tentang pengabdian. Pengebdian kepada masyarakat yang menopang kehidupannya. Menopang kehidupan abdi negara lainnya.

“Bagiku langit hitam saat mau hujan atau badai dan tanah merah saat aku berkunjung lokasi proyek”, kata Jummas pada dirinya, “dan hingga detik ini aku masih menjadi abdi negara yang bingung tentang pengabdian kepada masyarakat, dan ternyata hingga sebelum pensiun aku tetap sebagai pegawai negeri”.

Banjarbaru, 6 Februari 2009

Sumber; http://borneojarjua2008.wordpress.com

Posting Komentar

0 Komentar