Oleh: Sonny
Dogopia
![]() |
Ilustrais |
“Imperialisme
merupakan tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Imperialisme adalah sistem politik yg bertujuan
menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yg lebih besar”
***
Di Eropa
atau di Amerika Latin sikap kekerasan tidak manusiawi oleh penguasa negara
(Gramsi: Negara dan Hegemoni) demi pemodal kepada rakyat yang
terus-menerus mengalami kekerasan justru menambah semangat untuk melawan balik.
Bagi mereka, mati dalam perlawanan melawan ketidakadilan adalah berharga.
Tetapi, di Papua hampir sama dengan Vietnam, rakyat yang mengalami kekerasan
dan intimidasi justru menambah traumatis dan takut, akhirnya lebih memilih diam
dan melarang anaknya untuk melawan, mendidik untuk teruslah “sekolah” dan
mengikuti segala perlakuan Negara Indonesia atas praktek penjajahan. Meskipun,
hegemoni negara Indonesia yang terus memberikan keuntungan pada pemodal
(Kapital-isme) dengan cara tidak adil dan tidak manusiawi menghisap bumi Papua.
Setelah saya
selesai “sekolah” saya harus kerja, entah apa pekerjaan saya. Masuk dalam
kategori sistem Imperialisme, Kolonialisme, Kemiliteran Indonesia, ataukah
meneruskan Gen traumatis, diam dan membiarkan ketidakadilan di dalam penjajahan
yang jelas-jelas melindungi Pemodal.
Semuanya satu di dalam sistem pemusnahan
Papua (Manusia dan Karakter Olah Tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian
dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah
Adat, Makanan dan Bahan Pokok). Walau pun, saya memahami bahwa untuk bertahan
hidup di dalam penjajahan,“harus punya uang”. Entah bagaimana caranya, saya
harus mendapatkan uang untuk hidup.
Kita memang tidak bisa pungkiri bahwa segala-galanya butuh uang. Namun,
jauh sebelum kehidupan dikenal dengan uang. Kehidupan dahulu lebih harmonis,
semua terjiwai families dan untuk kebutuhuan Ekonomi, Sosial-Budaya
(Ekosob) tidak bergantung pada finansial. Jika ingin makan, tinggal ke Sagu dan
Ikan juga, Sayur, Ubi dan ternak, serta air dari sumur, sungai, dan mata air.
Intinya, alam sudah menyediakan dan manusia Papua hanya melindungi dan memakai.
Mulai dari dampak kehadiran Belanda, dan Indonesia di Papua, semuanya yang
disediakan oleh alam di Tanah Papua harus dibeli maka nilai tukarnya adalah
uang.
Terkadang kita takut pada kebenaran itu sendiri, misalnya; menyembunyikan
diri, tunduk pada orang tua yang tentu traumatis hingga terdoktrin Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak kreatif untuk menyampaikan maksud,
tidak mendidik rakyat melalui berita atau artikel di media online dan cetak, di
media sosial lainnya, dan di muka umum, tidak memahami bahwa kekuatan rakyat
tertindas merupakan kekalahan penjajahan dan pemodal. Kita tidak bisa
memenjarah diri hanya karena, rasa takut. Sebab, itulah yang diinginkan oleh
penjajah, juga Pemodal melalui Imperialisme.
Ketakutan saya dalam tulisan ini hanya satu, “tidak ada pembaca yang setia
dan memahami”. Sebab, tulisan ini tidak ada di dalam buku pelajaran di sekolah
dan mata kuliah di kampus yang memberikan dukungan pada nilai anda. Walau pun,
saya tahu bahwa kurikulum anda hanya untuk kejayaan bagi penjajah ikut
menguntungkan pemodal atau kasarnya menjadi budak sistematis setelah
berpendidikan karena, secara spontan anda terlibat “membunuh”. Dan juga,
tulisan ini bukan Alkitab dan Al-Qura’n yang selalu sebagai topeng penjajah
atas nama agama untuk mengambil hati orang Papua demi merampok tanah dan
menghisap isi bumi Papua.
Bagaimana
anda mengetahui bahwa sebenarnya Negara Indonesia itu klaim wilayah teritori
Papua Barat yang sepihak dan disebut Penjajah. Penjajah Indonesia terus
melakukan berbagai cara untuk menjaga atau memberikan keuntungan kepada
Kapitalis. Dan jikalau, anda melakukan perlawanan atas sikap penjajahan maka,
anda akan diintimidasi. Anda akan dicap sebagai separatis, makar, teroris, dan
pengacau keamanan. Sehingga, anda diperhadapkan dengan Tentara dan Polisi
Indonesia. Saya tidak bisa menunjukkan tulisan ini di seluruh media karena,
tulisan ini bukan milik penguasa negara Indonesia dan Pemodal. Hingga sampai
kapan pun, seluruh media di Indonesia akan menutup kebenaran sejarah, ketidak
adilan karena klaim wilayah Papua, perlakuan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
di papua, dan bentuk-bentuk penjajahan lainnya. Walau pun, perlakuan ini
merupakan kesalahan dalam hal mendidik rakyat Indonesia sendiri sehingga, mudah
dipolitisasi NKRI oleh penguasa dan kapitalisme.
Kapitalisme
adalah suatu paham dari kapital. Kapital sendiri adalah modal. Dan kapitalis
adalah Pemodal. Jadi, dasarnya kapitalisme adalah soal suatu paham tentang
peningkatan keuntungan bagi Pemodal. Dan Imperialisme merupakan tahapan
tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Imperialisme adalah sistem politik yg bertujuan menjajah negara lain
untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yg lebih besar.
Kapital di
negera-negera maju telah berkembang melebihi batasan-batasan negara. Kapital
telah membangun monopoli yang menggantikan persaingan (pasar), dengan begitu
menciptakan semua syarat objektif untuk mencapai sosialisme. Oleh sebab itu, di
Eropa Barat dan di Amerika Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk
penggulingan pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan
aset-aset borjuasi adalah sesuatu yang mendesak hari ini.
Imperialisme
memaksa massa ke dalam perjuangan ini dengan mempertajam pertentangan antara
dua paham yg berlawanan klas hingga ke tingkatan yang sangat besar, dengan
memperburuk kondisi-kondisi massa baik secara ekonomi; hutang dan biaya hidup
yang tinggi, dan secara politik; tumbuhnya militerisme, peperangan-peperangan
yang terus terjadi, meningkatnya reaksi, pembungkaman; aspirasi, demokrasi, dan
media, semakin kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan
penjarahan negara (tahanan politik).
Berbicara
menyangkut modal, Pada dasarnya pemodal tidak tahu yang namanya kerugian, harus
keuntungan yang diraihnya. Jadi, apa pun caranya; baik atau tidak baik akan
dilakukan oleh pemodal, yang penting keuntungan.
Dan untuk
melindungi pemodal, Negara Indonesia melegalkan kehadiran pemodal di dalam
Keputusan Presiden (Keppres) dan peraturan perundang-undangan, seperti; Keppres
No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada
Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto melakukan operasi militer ke
wilayah Irian Barat (sekarang Papua) untuk merebut wilayah itu dari tangan
Belanda. Undang-undang (UU) Nomor. 15 Tahun 1956, Tentang: Pembentukan Provinsi
Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Irian Barat dengan
Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus
1956 bersamaan dengan Peresmian Provinsi Irian Barat. UU Negara Republik
Indonesia Nomor. 01 Tahun 1967, Tentang: Penanaman Modal Asing.
Salah satu
cara cantik pemodal atau model baru Negara Indonesia adalah menghisap hasil
bumi, rakyat ditipu melalui “Program Nasional” atau Pembangunan infrastruktur
di Papua. Jadi, siapa pun dia yang melakukan perlawanan maka dicap sebagai
anti-pembangunan dan “dipenjarah” bahkan “dibunuh”.
Mengapa Negara Indonesia mengklaim dan Imperialisme menghisap. Juga,
mengapa rakyat Papua Barat menuntut Self-Determination.
Soekarno
(Indonesia) mengancam dan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Soviet
untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia
menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika
Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke
dalam Blok Timur (Kiri). Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang
Presiden yang sangat anti-imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah
Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara
Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika
Serikat memaksa pemerintah Belanda (cara cegah Indonesia ke kiri) untuk
menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan
pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno.
Soekarno
diundang untuk berkunjung ke Washington (AS) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan
pribadi Presiden John Kennedy. Yaitu: Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan
kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan AS tentang dukungan
kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk
mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat
dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya
masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New
York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Tindakan
Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh
pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
dilaksanakan pada tahun 1969.
Penandatanganan
New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh
Sekretaris Jenderal (Sekjend) PBB, U Thant dan Duta Besar AS untuk PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini
diusulkan oleh AS yang dalam teknisnya disiapkan oleh Duta Besar AS untuk PBB,
Ellsworht Bunker. Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status
politik di Papua Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas
memilih (Act of Free Chice) yang akan dilaksanakan tahun 1969.
Beberapa hal
pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai
berikut: (Baca referensi: Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.)
Pertama, Perjanjian
New York adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun
moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa
Papua Barat.Namun, di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi
bangsa Papua.
Kedua, Sejak 1 Mei
1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins
(UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerahkan kekuasaanya
kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan
militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. Akibatnya, hak-hak
politik dan HAM dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Ketiga, Pasal XVIII
ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all
adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of
self determination to be carried out in accordance whit international
practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh
setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada
saat penandatanganan New York Agreement. Namun, hal ini tidak
dilaksanakan. PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia. Yaitu:
Musyawarah oleh 1025 orang dari total 800.000 orang dewasa laki-laki dan
perempuan. Sedangkan, dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175
orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh
pemerintah Indonesia. Selain itu, masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri,
yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan
untuk terlibat dalam PEPERA 1969.
Teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan saat PEPERA 1969
untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer
Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego
Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota
Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:“Apabila pada masa poling
tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah),
penggantiannya dilakukan jauh sebelum musyawarah PEPERA. Apabila alasan-alasan
secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedangkan dilain pihak
dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan
kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang tidak wajar untuk
menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum
dimulainya sidang Demus PEPERA. Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah
bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
tidak wajar.” (Baca referensi: Ibid.: 72-73.)
Mengingat
bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain
di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya
kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun
1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan milik AS) menandatangani kontrak Kerja
dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di
wilayah Pegunungan Papua, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun
1971. Kontrak kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan AS di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan
kontrak kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi
realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua
Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis karena, Papua Barat dari tahun 1962
hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Skenario
PEPERA 1969, melanggar hukum, HAM dan esensi demokrasi, akhirnya diterima oleh
PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan
praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi
Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekertaris Jendral Sekjend PBB dan
mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB
kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara
Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian
Barat). (Baca Referensi:Melinda Janki; West Papua dan Hak Penentuan Nasib
Sendiri Dalam Hukum Internasional)
Resolusi Nomor
2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun
1971, kemudian dalampembentukan UU Oleh Presiden Republik Indonesia, Nomor: 12
Tahun 1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta), Sumber: LN
1969/47; TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan
Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Presiden
Republik Indonesia menimbang bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil PEPERA yang
menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari NKRI dan untuk kepentingan
pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat di
Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian Barat beserta
Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden
No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963, Keputusan Presiden No.
57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera diatur kembali sebagai
Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/ 1966.
Sementara
itu di Indonesia, Penulis lebih suka menyebut Presiden Soeharto dengan sebutan
“raja” menggantikan kata Presiden, hal ini dikarenakan oleh praktek
politik-pemerintahan era Orde Baru yang dijalankan oleh Soeharto dengan
mengadopsi gaya politik-pemerintahan raja-raja Jawa kuno.
Bersamaan
dengan tumbangnya raja Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi
di Indonesiapada tahun 1998 hingga saat ini. Lahirnya Reformasi memberikan
angin segar bagi rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan kemerdekaan secara
terbuka.
Pada tanggal
22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia)
Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998
(seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia
menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian
dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang
isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan
beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut
perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status
politik kedua daerah”.
Beberapa
peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat dalam
upaya merdeka dan berdaulat sebagai negara Papua Barat era Reformasi Indonesia,
(Baca Referensi: Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari
Manipulasi Aspirasi Sampai Konspirasi Politik) yaitu: Demonstrasi
pelanggaran HAM di Papua Barat, Surat kongres AS dan RFK memorian, Aksi
pengibaran bendera Papua Barat, Pendirian Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian
Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja-Jayapura, Tim
pencari fakta ala penjajah DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia),
Deklarasi 1 Agustus 1999 oleh Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai,
Pertemuan Tim Seratusdengan Presiden Indonesia B.J. Habibie yang dilaksanakan
di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, Pada tanggal 23 – 26 Februari 2000
dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani-Jayapura, dan Kongres Papua II
dilaksanakan pada tanggal 29 Mei – 4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih
(GOR) Jayapura.
Kongres
Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di GOR Jayapura,
dengan tema: “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat”, dan subtema: Rakyat
Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan
Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini
dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang. Yaitu: 31 orang Presidium Dewan
Papua (PDP), 400 orang Panel Dewan Papua, 1800 orang utusan lansung masyarakat
Papua, 150 orang utusan pemerintah (DPRP-DPRD), 50 orang pengamat, 30 orang
peninjau khusus, 100 orang Pers-Jurnalis, 100 orang undangan khusus. Selain
itu, dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang.
Kongres ini
telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto. Inti dari manifesto hak-hak dasar
Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah Papua Barat harus keluar dari
NKRI dan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat sendiri.
Selanjutnya,
dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada
PDP untuk melaksanakan beberapa hal, seperti; Memperjuangkan Pengakuan
Kemerdekaan Papua Barat, Memperjuangkan Pelaksanaan Referendum, Mengadakan
Usaha Dana Perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan
kepada Presidium Dewan Papua, dan Mempertanggungjawabkan Hasil Perjuangan pada
1 Desember 2000. (Terkait Resolusi Kongres Rakyat Papua II, Baca Referensi: Agus
A. Alua, Op. Cit., hal. 97.)
Setelah
Kongres Papua 2000, perjuangan Papua Barat untuk merdeka mulai menampakkan
hasil.Namun, sejak terbunuhnya Theys Hiyo Eluay, perjuangan (mandat kepada PDP)
mengalami kemunduran.
Rentang
waktu Kongres Rakyat Papua II (pada tahun 2000) sampai Abe berdarah (pada tahun
2006) perjuangan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dengan
bergerilya di hutan dan diplomasi di luar negri tetap aktif hingga saat ini.
Koalisi
perjuangan atau Front PEPERA menunjukkan tingkatan kelas dalam proses
perlawanan melawan Penjajahan dan Penindasan yang “keras kepala dan nurani
kemanusiaan” sehingga, terus menjajah, menghisap, dan tidak peduli terhadap
Hak-hak dasar Orang Papua di wilayah teritori Papua Barat. Tutup Freeport, itu
tuntutan Front PEPERA dan terus melakukan kampanye-kampanye. Tepat pada bulan
Februari pada tahun 2006 di Abepura-Jayapura, ribuan massa (Mahasiswa, Pemuda,
dan rakyat Papua) melakukan aksi demonstrasi (Demo) damai. Demo akhirnya
berujung pada “abe berdarah” yang awalnya dipicu oleh aparat keamanan
Indonesia, dalam hal ini Polisi Indonesia.
Hal
terpenting yang menjadi fokus perhatian bahwa mengapa ribuan massa masih
melakukan Demo damai dengan tuntutan “Tutup Freeport.” Kemudian, Mengapa aparat
keamanan Indonesia menutup ruang demokrasi di era Reformasi, dan siapakah
Freeport.
UU Republik
Indonesia Nomor 1, Tahun 1967: Tentang, “Penanaman Modal Asing” adalah faktor
utama bahwa hingga kini Papua Barat masih dijajah dan diklaim bagian dari NKRI.
Karena, Freeport dan hingga kini meluas pada beberapa perusahaan asing.
Perusahaan Asing (Imperialisme) adalah tahapan tertinggi dari Kapitalisme.
Kehadiran Indonesia yang cacat hukum dan tidak bermoral di Tanah Papua
seakan memaksakan Orang Papua agar diharuskan dalam kepentingan Indonesia dan
hegemoni imperialisme global. Tanpa, melihat dan memahami karakteristik rakyat
setempat, apa itu Papua, Tatanan sosial-budaya dan yang utama adalah
sejarahnya.
Hingga hari ini sekitar 20-an negara di Eropa, Afrika, Australia, Asia dan
Amerika beradu keuntungan di dalam Freeport yang terus menghisap tanah Papua,
kandungan Bumi Papua hingga pemilik didaruratkan oleh negara Indonesia
berseragam militer dan berwatak kapitalis. Indonesia sendiri menciptakan kaum
borjuasi dan berperan sebagai elit-politik, tentunya demi kejayaan keuntungan
bagi pemodal.
Saham pemodal yang mencekik tanah Papua hingga pemilik negri sesak nafas
dan berujung pada kepunahan. Yaitu: BP dari UK, penghasil LNG di Teluk
Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari
USA, penghasil LNG di Warim, Papua dan telah eksploitasi. CNOOC dari
Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi.
ECR Minerals dari UK, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan
masih beroperasi.
Freeport McMoran dari USA, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan
masih beroperasi. Hillgrove Resources dari Australia, penghasil Emas di
Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara
Resources dari Australia, penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula,
Papua dan Perusahaan ini baru diberitahukan. KG dari Jepang, penghasil
LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Painai Gold dari
Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi. PT.
Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula,
Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari
Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan
masih beroperasi. PT. Anugerah Surya Pratuma, penghasil Nikel dan Kobalt
di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi.
PT. Kawe Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat:
Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil
LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Nippon Oil
dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih
beroperasi. Queensland Nickel dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt
di Raja Ampat, Papua dan masih mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto dari
Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih
beroperasi. Santos dari Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina,
Papua dan sudah mengeksploitasi. Talisman Energy dari Canada, penghasil
LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih beroperasi. West Wits
Mining Ltd dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai
Degeuwo,Paniai-Papua dan masih beroperasi. (Daftar perusahaan asing:Nonton
BloombergTV!).
Dan melalui MP3EI, proyek MIFEE di dalamnya ada 36 investor pun masih
beroperasi di Tanah Papua bagian Selatan. Di Merauke, dalam sambutan Presiden
Indonesia, Jokowidodo saat di Kurik, Merauke pada 10 Mei 2015 bahwa 1,2 juta
hektar harus selesai dalam waktu tiga atau empat tahun bagi pangan berbasis
internasional. Dan sekitar 300 ribu lebih hektar sedang beroperasi untuk Kelapa
Sawit, di luar dari 1,2juta hektar itu (Sumber: Nonton Video Ekspedisi Indonesia
Biru! "The Mahuzes").
Dengan memperkerjakan warga migran yang hingga saat ini mendominasi Tanah
Papua bahwa tidak ada keuntungan bagi rakyat bangsa Papua dan dampaknya pemusnahan bagi Papua, seperti; Manusia dan Karakter, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan
Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat,
Makanan dan Bahan Pokok.
Keputusan Mahkama Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 tentang Hutan Adat
Bukan Hutan Negara, sudah sangat jelas. Negara yang namanya Indonesia sudah
memutuskan demikian. Namun nyatanya tidak, ada pertimbangan-pertimbangan oleh
karena, UU No.33 Tahun 1945 tentang segala isi bumi, tanah, air dan hutan,
milik negara, diatur oleh negara dan untuk negara.
Itulah maksud dari kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Walaupun, fakta
sejarah Papua Barat dan Ilegalnya Indonesia di Tanah Papua, bahkan PBB, Amerika
dan Belanda belum mempertanggungjawabkan kesalahan fatal mereka yang pada waktu
itu sepihak, cacat hukum dan tidak bermoral.
Hal Ini jelas bahwa wajah penguasa negara Indonesia sebenarnya adalah
melegalkan kepentingan pemodal untuk terus merauk keuntungan dengan cara gencar
melakukan penghisapan.
Meskipun,
rakyat Papua Barat memahami tetapi, hanya punya pilihan; diam dan ikuti atau
diusir-diculik-dibunuh bagi yang anti kebijakan negara oleh penjajah Indonesia.
Bagi Pemodal (Indonesia dan Barat. Pemodal diartikan; Pemodal Indonesia dan
Pemodal Barat) adalah memakai pakaian politik Indonesia yang jelas-jelas mencari
keuntungan dalam kebijakan yang dilegalkan.
Sumber data
oleh Jim Elsmslie, sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011. Dari
tahun 1971, penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa,
dengan jumlah keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk
orang Papua; 1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah
keseluruhan penduduk; 1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua;
1.558.795 jiwa dan pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan
penduduk; 2.646.489 jiwa. Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000
jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.
Jika, hal
ini dibiarkan maka penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Indonesia
akan mempolitisasi rakyat indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh penguasa dan
presidennya sendiri hingga dibenturkan dengan rakyat Papua Barat.
Pemodal
Barat lah sebagai pemicu dan berhubungan-seks bersama negara Indonesia yang
menggandakan kepentingan penguasa Negara Indonesia. Indonesia memakai pekerja
kerasnya (buruh) dan demi merauk keuntungan. Imperialisme adalah satu-satunya
jalan bagi negara-negara pemodal. Negara-negara pemodal melakukan kerja sama
bidang keamanan dan pertahanan dengan Indonesia untuk melindungi saham
imperialismenya. (Sumber diskusi, referensi: Polisi Indonesia dimodali
Australia dan Jerman. Kopasus dimodali negara kapitalisme, kerja sama
kemiliteran.)
Aktivitas
rantai kepentingan Ekonomi pemodal sudah menjadi pakaian di dalam Politik
Indonesia bahkan Internasional yang terus mengejar keuntungan. Hal inilah yang
disebut sistem. Sistem yang merugikan; kaum, kelompok, klas, dan atau bangsa
lain. Sistem ini terlihat jelas menjajah sehingga menindas buruh, rakyat, petani,
perempuan, mahasiswa dan pemuda. Serta, OAP yang kehilangan hak sebagai
masyarakat Adat. Sikap mempertahankan hak sebagai pemilik pasti dicap
anti-pembangunan, makar, separatis, teroris, pengacau keamanan, dan lainnya.
Hal ini membuat rakyat Papua selalu diintimidasi, ditutup rapat ruang
demokrasi. Kemudian, media propaganda penjajah yang dikendalikan oleh penguasa
Indonesia terus menyerang pola fikir (psykolog), pandangan, dan merubah gaya
hidup publik ke arah-arah politisasi NKRI harga mati juga Imperialisme penentu
hidup.
Oleh sebab
itu, elit-politik pusat dan daerah tidak dapat dijadikan sebagai figur, tim,
kelompok atau tokoh penentu nasib-hak pekerja keras dan juga OAP. Karena,
elit-politik merupakan keturunan asli dari sistem yang jelas-jelas menjajah dan
menindas. Misalnya, yang menjadi motorik Ekonomi Kas negara adalah person
(individu manusia) di dalam pemerintahan (elit-politik) maka sudah pasti
pemodal adalah pakaiannya Politik Indonesia dan Internasional. Selanjutnya,
pemodal menjalankan roda Imperialisme.
Walaupun, sebelum Indonesia menjajah
dan Pemodal menghisap di Papua, kebangkitan nasionalisme rakyat Papua Barat
sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan perjuangan untuk Merdeka terlepas
dari Belanda dan Indonesia semakin meningkat. Hal ini didasari karena,
kesadaran rakyat. Hingga sampai kapan pun, kemana pun upaya-upaya untuk niat
menjajah jika, dilihat dari sejarah dan kehadiran Indonesia yang ilegal maka
dipastikan suatu saat Papua Barat akan lepas dari tirani penindasan dan Berdaulat
sebagai sebuah bangsa.
Penulis
adalah Aktivis Papua Tinggal Di West Papua dapat menghubunginya melalu, Email ;
: sonnydogopia90@gmail.com
0 Komentar