Indonesia Negara "Persekongkolan"


Oleh Mulyadi


SEJARAH Indonesia tidak bermula dari Sriwijaya, Majapahit, Pajang, Demak, dan Mataram, sebagaimana yang dikisahkan sejarawan dan budayawan Orde Lama dan Orde Baru. Indonesia (baca: India kepulauan) sebagai negara bangsa (nation state) sesungguhnya ahistoris karena sejarahnya baru berawal dan bertolak dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebelum Proklamasi, yang ada hanyalah sejarah kejayaan negara-negara pulau di antara Benua Asia dan Australia (baca: nusantara), sejarah negara kolonial dan negara-negara terjajah berikut tokoh-tokoh perlawanannya, serta sejarah milik orang perorang dari kaum terpelajar yang bekerja sama melawan penindasan. Sejarah Indonesia tidak setua usia negara-negara yang diklaim pernah menjadi bagian masa lalunya.

Secara teoritis Indonesia memang sebuah negara karena syarat berdirinya negara telah dimiliki, namun sebagai bangsa masih perlu diperdebatkan. Syarat de jure dan de facto (baca, penduduk, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan) yang menjadi landasan Proklamasi Kemerdekaan amat rentan terhadap disintegrasi karena kedua syarat itu bukan bagian dari masa lalu Indonesia. Dalam konteks negara, sebenarnya Indonesia tidak pernah dijajah apalagi selama kurang lebih 350 tahun.

Kaum terpelajar dan para founding fathers dalam mendirikan negara telah mencurahkan seluruh perhatian dan pemikirannya agar para pemimpin, pewaris tahta, dan rakyat eks-negara-negara jajahan Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang, tidak keberatan dibubarkan negaranya dan mau menyerahkan penduduk atau bangsa dan tanah air atau wilayahnya untuk dijadikan "bahan baku" pembuatan negara baru. Mereka pasti tahu kalau para pemimpin eks-negara-negara jajahan, seperti Sultan Baabullah dan Pattimura di Ambon, Pangeran Antasari di Kalimantan, Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka di Sulawesi, Sumatera dengan terlebih dahulu mencurigai isi. Pembukaan UUD 1945 sebagai tipu muslihat belaka. Untuk tuntutan itu dapat ditelusuri kasus Timor Timur yang sudah merdeka, Aceh yang sedang bergolak, dan Papua yang sementara kampanye.

Pangeran Diponegoro dan Sultan Agung di Jawa, serta Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro di Sumatera sedikit pun tidak pernah bercita-cita apalagi berpesan kepada rakyat dan keturunannya, jika kelak penjajah pergi agar negaranya dibubarkan atau digabung dalam suatu negara baru bernama Indonesia. Mereka juga sadar betapa besar biaya sosial politik yang harus dibayar bila dalam mengambil alih "bangunan" eks-negara-negara jajahan tanpa konsesi politik perjuangan dan strategi politik.

Agar tidak disesali dan dimintai pertanggungjawaban oleh para pemimpin dan pewaris eks-negara-negara jajahan, mereka tidak hanya memberi konsesi politik tetapi juga telah menerapkan strategi politik ganda dengan mengaku sebagai putra-putri dan mengatasnamakan aspirasi kemerdekaan eks-negara-negara jajahan dalam mengikrarkan: satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa. Mereka akhirnya bersekongkol mendirikan negara baru dengan menyebut Tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia, dan negara dan pemerintahan Indonesia dengan pusat Jakarta.

***
KINI usia Indonesia lebih setengah abad. Tak satu pun dari butir konsesi politik itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kini Pusat beserta pemerintahannya tengah diadili oleh Daerah dengan tingkat tuntutan; otonomi (baca: istimewa dan khusus), federasi, dan merdeka. Mestinya Indonesia "kaget dan terbangun" dengan tingkat tuntutan itu karena hakekat sesungguhnya bukan sekadar "demam otonomi", tetapi penolakan atas keseluruhan konsesi politik yang pernah dijanjikan. Tuntutan itu juga dapat diartikan sebagai penolakan diam para pewaris tahta atau rakyat eks negara-negara jajahan atau Daerah terhadap negara buatan kaum terpelajar dan founding fathers mayoritas asal Jawa.

Konflik Pusat-Daerah dengan dukungan persaingan global menjadikan negara-negara neo imperialisme menemukan momentumnya untuk intervensi ke dalam urusan internal Indonesia. Tak pelak lagi Indonesia menjadi ladang operasi spionase dan bulan-bulanan HAM, demokrasi, dan social justice. Sehingga sangat sulit tidak mempercayai tingkat keterlibatan organisasi telik sandi (intelijen) negara-negara yang pro dan kontra atas chaos dan disintegrasi Indonesia. Amerika Serikat (CIA), Rusia (KGB), Israel (Mossad), Uni Eropa melalui Inggris (MI-6), Australia (Organization National Assesment, ONA), Cina (Red China Service, RCS), dan Jepang (Yakuza dan Red Army, RA) dengan grand strategy masing-masing tidak mungkin menutup mata dan memalingkan muka dari persoalan dan masalah Indonesia.

* Mulyadi, dosen ilmu pemerintahan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sumber; Kompas, 22 Mei 2001



Posting Komentar

0 Komentar