Bola, Ker dan Kitong Pu Bahasa

Oleh; Ibiroma Wamla*

Tabloid BOLA No. 123, halaman 13. Terbit tanggal 4 juli 1986
Dahulu di tahun 1980-an hingga awal 1990-an, olahraga di Papua olahraga bukan hanya bola sepak, tetapi ada juga tinju, hoky, karete, silat, volley dan atletik. PON (Pekan Olahraga Nasional) XIII (9-19/09/93) di Jakarta, menjadi titk awal kebangkitan bola sepak di Papua. Dalam pertandingan final bola sepak, Papua mengkandaskan Aceh (6-2),  tim PON kemudian meleburnya menjadi tim Persipura Jayapura yang saat itu bermain di devisi I. Sejak saat itu bola sepak menjadi ruh bagi masyarakat Papua dan cabang olahraga lainnya menjadi kenangan.

Sebelum Tim PON bola sepak Papua berlaga di Jakarta, tim di bawah asuhan Festus Yom melakukan tur 100 pertandingan hingga ke Australia dan hanya sekali kalah saat melawan Persema Malang (0-1) di stadion Gajayana di Malang bulan Juli 1993. Tim pra PON 1993 sebagian besar berasal dari Diklat Pusat Pembinaan Latihan Pelajar (PPLP) dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan) Provinsi Irian Jaya. 

Pemain seperti Chrisleo Yarangga, Izaak Fatari, Ritham Madubun, Rony Wabia di jaring lewat kompetis pelajar untuk masuk dalam PPLP di Jayapura. Hengky Rumere dan HM Samsi merupakan pelatih PPLP. Untuk menambah pemain pra PON, pelatih Festus Yom berangkat ke daerah-daerah dan memperoleh pemain seperti David Saiduy, Abdul Haji Mayor dan Yakob Rumayom, Aples Tecuary. Sedangkan Fernando Fairyo, Anis Bonay, di rekrut dari kompetisi devisi I Persipura.Kolaborasi pemain dari Sorong hingga Merauke inilah yang kemudian menjadi tim utama pra PON Papua.

Tim PON Papua 1993 foto; dok Tabloid Bola
Tim PON Papua tampil gemilang, taktik, dan strategi yang di poles Festus mengatar Papua menuju final melawan tim PON Aceh. Permainan bola gaya Inggris kick end rush di tahun 1980-an telah berubah menjadi gaya yospan (tarian yosim pancar) dan goyang Cenderawasih. Hasilnya Papua memperoleh medali emas. Eddy Sofyan komentator bola saat itu mengatakan “Inilah dream team Indonesia, kalau perlu tim Papua langsung dibentuk menjadi tim nasional”. Konon seusai menjadi komentator pertandingan final PON di tv nasonal, Eddy langsung masuk kotak dan tidak pernah menjadi komentar lagi di tv.
 
Eddy Sofyan, dok. Tabloid Bola
Kerangka dan pola main persipura semakin enak di tonton, kolaborasi pemain dari berbagai wilayah di Papua, pemain asing dan juga migran menjadi satu kekuatan yang sulit di kalahkan. Walaupun bermain di kandang lawan, Persipura selalu dengan gaya menyerang seolah bermain di kandang sendiri. Persipura paham meskipun bermain di kandang lawan harus melawan pemain, wasit dan penonton. Masalah wasit dalam bola sepak di Indonesia sudah bukan rahasia lagi, seringkali wasit menguntungkan tuan rumah.

Menyerang merupakan strategi yang bagus, tidak membiarkan permainan lawan berkembang. Dalam pertandingan melawan Persib Bandung (7/5/2017), persipura kalah, strategi yang di gunakan pelatih Bandung menunggu, memanfaatkan kelengahan serangan bertubi-tubi dari Persipura. “Bukan permainan yang kami utamakan, tetapi hasil akhirlah yang menentukan”.

Di Papua bola sepak menjadi urat nadi, selalu ada pemain muda yang muncul, selepas era Chis Yarangga, Nando dan Izaak, muncul generasi Boas, Manu, Ian dan Salampessy, lalu Titus dan Patrick, dan Pahabol dan Nelson Alom, Ricky Kayame, Tahir  dan tahun 2017 muncul Prisca Womsiwor, Yan Pieter Nasadit, Marinus Manewar (Yan, Marinus dan Sokoy di tahun 2015-1016 berlatih di Klub Relyv Christa Belanda. Pemain Papua lainnya menyak menyebar ke hampir semua klub bola sepak di Indonesia. 

Diklat Pusat Pembinaan Latihan Pelajar (PPLP) Papua awal 1990-an dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Irian Jaya menjadi dapur pemain muda Papua, tapi sayang PPLP kini tinggalah kenangan. Beberapa sekolah bola sepak didirikan dan pembinaan pemain usia 15-16 Persipura berjalan baik sehingga PPLP tidak difungsikan lagi.

Lahirnya banyak pemain muda di Papua tidak sepenuhnya karena bakat alam, kemampuan dan teknik pemain Papua di peroleh dari latihan, 20% bakat, 80% latihan. Jangan banyangkan latihan anak Papua di sekolah bola sepak atau PPLP. Sebelum masuk sekolah bola sepak atau PPLP, anak-anak Papua dari kecil sudah terbiasa berlatih bola sepak, latihannya di sekitar kompleks dengan bermain pata kaleng, gawang satu langkah, atau gawang satu-dua telapak kaki.

Bola yang dipakai untuk latihan pun gado-gado, kalau tidak ada bola asli, kadang bola yang terbuat dari plastik yang ringan dan saat di tendang akan melayang di terpa angin. Kadang bolanya terbuat dari kantong plastik yang di kumpul dan diikat lebih besar dari bola tenis, atau bahkan bola tenis pun jadi di pakai untuk bermain bola sepak. Dengan latihan menguasi bola gado-gado itulah kemampuan bermain bola sepak terasah. Tentunya tidak ada pelatih dan aturan yang baku, karena tiap permainan aturannya bisa berubah. Latihan ini tentu beda dengan ilmu di sekolah bola sepak atau PPLP yang di dampingi oleh pelatih dengan program yang sudah baku.

Saat ini pengemar dan pengagum Persipura tidak hanya di Papua, tetapi sudah meluas ke daerah lain, Aceh misalnya, mereka membentuk Persipuramania Aceh, begitu juga di Palu, ada Persipuramania Palu. Persipura tidak lagi hanya menjadi milik orang Papua, tetapi sudah merluas ke daerah lainnya di Indonesia.

Rasisme dan Bola
Rasisme dalam bola sepak masih terjadi di negara di muka bumi. FIFA (Fédération Internationale de Football Association) sebagai organisasi sepak bola tertinggi di dunia terus mengkampanyekan anti rasisme dalam dunia bola sepak “Say no to Racism” slogan yang menjadi tema kampanye FIFA. Titik awal FIFA melawan rasisme di mulai sejak jatuhnya resim Aparteid di Afrika Selatan 1991, 10 tahun kemudian, tahun 2001 lahirlah resolusi pertama tentang aturan melawan raisme dalam bola sepak, di Buenos Aires, Argentina. FIFA selalu memperbaharui aturan tentang rasisme dalam bola sepak, dalam kongres di Mauritius 30-31 Mei 2013, FIFA kembali menegaskan perang melawan rasisme dengan menetapkan delapan poin yang merujuk pada resolusi di Buenos Aires dengan 99% suara setuju.
 
foto, FIFA
Semua aturan yang telah di tetapkan FIFA harus di adopsi oleh organisasi bola sepak di tiap negara. Di Indonesia, secara “baku” belum ada aturan hukum yang jelas meskipun dalam Peraturan Organisasi PSSI No.6/PO-PSSI/III/2008 tentang Kode Disiplin telah tercantum sangsi bagi sporter yang melakukan tindakan rasis, namun dalam PO No. 06/PO-PSSI/X/2009 tentang Kode Etik dan Fair Play tidak terdapat aturan tentang sporter. Rasisme lebih di tujukan ke pemain dan panitia pertandingan. Begitupula dengan buku pegangan Gojek Traveloka Liga I.

Tidak adanya aturan mengenai sporter dalam aturan PSSI menyebabkan masalah bagi mendapat perlakuan rasis di kandang lawan. PSSI baru akan menyiapkan aturan bagi sporter setalah terjadi kerusuhan saat sporter PSS Sleman, Yogyakarta akan menuju Persijap, Jepara. “Suporter PSS turun dari bus dan mobil yang ditumpangi lalu mengejar warga sampai masuk ke dalam gang di tepi jalan. Beberapa suporter membawa tongkat saat mengejar warga,” (Kompas18 May 2017).

Sporter tim Persipura pun pernah mengalami hal yang sama di beberapa kota di luar Papua dan penyelesainnya tentu dengan otot. Perkaranya buka semua sporter tim tuan rumah yang rasis, ada satu dua orang yang merasa hebat mulai memprovokasi dengan teriakan monyet, kera, anjing, lalu di ikuti oleh sporter lainnya. Tetapi teriakan itu ada yang di ikuti dengan melempar air kencing yang di masukkan dalam plastik. Bayangkan tiba-tiba anda seperti baru keluar dari dalam kloset atau jamban. Marah? Itu pasti! Sudah di bilang monyet, mandi air kencing lagi. Dopis meledak, doka pica, heheheeee.
 
Hinca Panjaitan, foto; Liputan6.com
Saat Persipura bertanding ke Malang Minggu (12/10/2014), pemain Persipura mendapat perlakuan dari sporter Arema. Tim Persipura melakukan protes. Ketua Komdis PSSI, Hinca Panjaitan mengatakan “Bahwa yang dimaksud rasis itu jika mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap pemain maupun wasit selaku pemimpin pertandingan. Misalnya saat Arema Cronus meladeni tamunya Persipura Jayapura, para suporter Arema menyanyikan lagu anti bonek (bondo nekat, Indonesia: modal nekat, red) yang notabene ditujukan untuk tim Persebaya, maka itu belum bisa disebut rasis. Namun saat berlangsungnya pertandingan antara Arema versus Persipura, semua pemain terlihat tidak terganggu, begitu juga wasit. Seandainya nyanyian suporter mengganggu kenyamanan pemain, misalnya memancing emosi, maka itu bisa dianggap rasis. Jadi, semua pihak harus memahami dengan baik, mana yang masuk kategori rasis atau tidak,” (http://mediacenter.malangkota.go.id/2014/10/hinca-rasisme-harus-dipahami/#axzz4nIIvHTov). Logika Ketua Komdis PSSI ini tabulak balik, pertandingan antara Persipura melawan Arema, lagu yang dinyanyikan untuk Persebaya Surabaya. Itu artinya dia sedang kabualan.
 
Sudarmaji, foto; goal.com
Kawan saya Sudarmaji Media Officer Arema, (1/9/104), mengaku masalah nyanyian rasis yang disuarakan suporter ketika tim sedang bertanding tersebut menjadi perhatian manajemen. Hal ini lantaran Arema sering kali mendapatkan sanksi dari Komisi Disiplin (Komdis) akibat nyanyian rasis dari suporter. "Kami berharap pada pertandingan babak delapan besar nanti sudah tidak ada lagi nyanyian rasis suporter. Dukunglah tim dengan positif dan sportif agar tim tidak dikenai sanksi berupa denda," tegas Sudarmaji. (http://www.beritasatu.com/sepakbola/206614-aremania-diminta-tak-lagi-bernyanyi-rasis.html)

Perlakuan terhadap tim Persipura ini bukan hanya sekali, dan bukan hanya oleh sporter Arema, sporter lainnya juga pernah melakukan hal yang sama ke tim dan sporter Persipura yang berada di luar Papua. Memori perlakuan rasis ini membuat dunia maya (facebook, twitter, isntagram) ramai dengan postingan yang membahas halaman depan koran Radar Malang.

Entah siapa yang memposting, headline koran Radar Malang (media di bawah menejemen Grup Jawa Pos) dengan judul “Ini Kadang Singa Ker!” (16/07), dengan gambar seorang satria (Esteban) melawan gladiator (Boas). Kata "Ker" dalam judul tersebut langsung diasumsikan sebagai kata kera, monyet. Tanda seru dihilangkan dan di ganti dengan huruf A. Beruntunglah mental bertarung seorang gladiator membuktikan, bahwa satria itu tidak ada apa-apanya.

Memori yang sudah terbangun membuat masyarakat sangat sensitif, ditambah lagi dengan situasi politik yang tidak kondusif akhirnya menyebabkan masyarakat penuh kecurigaan, ketidakpercayaan terhadap politik pemerintah pusat dan lokal. Misalnya dua kali Persipura tidak bisa mengikuti piala champions Asia, yang terekam adalah ada unsur kesengajaan dari PSSI.

“Ker”, kata ini merupakan bahasa Jawa “Rek” yang kemudian di balik menjadi “Ker”, atau kata “Arek” dibalik menjadi “Kera”. Mereka anak Papua yang pernah di Malang sangat paham dengan bahasa “walikan” (terbalik) ini, kadang mereka juga memakainya, misalnya ayas kadit itreng = saya tidak mengerti, ayas nakam=saya makan.

Bahasa terbaik ini muncul di tahun 1940-an saat aktifis pergerakan berjuang melawan Belanda. Untuk mengelabuhi tentara Belanda, diciptakalah bahasa terbalik yang juga dapat dipakai untuk menyampaikan informasi rahasia.

Beberapa koran di Jawa Timur seperti Harian Surya yang sekarang menjadi Tribun, memiliki kolom khusus untuk bahasa khas Malang tersebut. Koran Jawa Pos memiliki ruang di hari minggu untuk “komik” berbahasa Jawa. Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Solo Pos di Solo, memiliki ruang khusus untuk bahasa Jawa. Bahkan ada Penyebar Semangat majalah khusus berbahasa Jawa. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) koran Pos Kupang yang sekarang menjadi Tribun Kupang, memiliki ruang khusus yang sama dengan Harian Surya, nama rubriknya “Tapaleuk”. Rubrik ini berisi tulisan Melayu Timor dan menjadi tulisan khas Pos Kupang.

Di Papua setelah meninggalnya Tifa Irian, tidak ada lagi media yang punya rubrik khusus Bahasa Melayu Papua. Tifa dan generasi media sebelumnya memiliki rubrik khas dengan Bahasa Melayu Papua. Media yang ada saat ini di Papua banyak menggunakan bahasa gado-gado, dengan serapan-serapan bahasa dari luar, bahkan ketika mendengar siaran radio atau menonton tv, kita seakan bukan berada di Papua. Disisi inilah kekalahan Bahasa Melayu Papua yang memiliki ciri dan kosa kata yang unik.
 
Arnold C Ap
Arnold C Ap, menggiatkan penggunaan Bahasa Melayu Papua dalam siaran Pelang Budaya di Radio Republik Indonesia. Apa yang dilakukan Arnold merupakan satu upaya melestarikan budaya (bahasa) yang mulai terpinggirkan dengan kampanye penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Disisi lain, di pusat negara, media-media yang menggunakan frekwensi publik berbicara dengan bahasa gado-gado, kadang lidah Betawi, kadang masuk ke pantura, kadang macam orang Inggris taslep.

Hingga saat ini belum ada badan bahasa atau Komisi Penyiaran Indonesia yang menegur media-media (elektronik) tersebut. Apakah penyiaran, atau penggunaan bahasa lokal dilarang? Belum ada undang-undang yang melarangnya. JTV di Surabaya, Bali TV bisa menggunakan bahasa daerahnya dalam acara tvnya.

Kembali ke masalah rasisme, bentuk apapun rasisme harus tetap di lawan (untunglah Koran Jubi buat cover yang menarik). Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tercipta dan di ciptakan untuk menjadi manusia yang rendah dari manusia lainnya. Semua manusia sama di muka bumi, kecuali manusia yang tidak mau belajar, dan mengikuti slogan “Mengejar Ketertinggalan”—masa barang yang su tertingal baru mo pigi kejar? Sampai ayam koto juga tra pernah maju-maju.

 * Penulis adalah pelajar budaya dan adat Papua


Artikel terkait; == Piala Dunia dan Tiga Warna ==

Posting Komentar

0 Komentar