Judul
Buku: Ladu
Penulis
: Tosca
Santoso
Penerbit : Kaliandra
Tebal
: 327 halaman
Cetakan : SMK Desa Grafika Desa Putra 2015
Jenis
: Fiksi
Senin 24 Oktober 2016 lalu
di Hall STPMD “APMD” Yogyakarta, diadakan bedah buku “LADU” sekaligus Ngopi
Bareng Penulis. Karena telah tahu, saya pun ikut. Saat itu, penulis tak hanya
bicara mengenai proses kreatif, tetapi juga bicara tentang edukasi mengenai
kopi. Bagaimana meningkatkan konsumsi kopi di Indonesia yang pada akhirnya
petani kopi sejahtera pun duirainya. Pada kesempatan itu, hadir juga beberapa
mahasiswa APMD, alumni, dosen hingga beberapa partisipan eks kampus.
Buku yang telah saya baca, kemudian resensikan ini saya beli dan dibubuni paraf
oleh penulis sendiri ketika itu.
* * *
Novel
dengan judul LADU ini menyirat cerita perjalanan ke gunung-gunung; Kaliadem,
Liangan, Pelataran Dieng, Kelud, Rinjani, Tambora dan Lore Lindu. Penulis
berlatarbelakang jurnalis, juga pendiri Kantor Berita Radio (KBR) yang kemudian
berkembang menjadi jaringan radio terbesar di Indonesia ini sangat jeli
mengedepankan data melalui riset yang serius. Novel ini adalah novel yang kedua
setelah Sarongge yang terbit pada 2012 lalu. Novel ini
diterbitkan dan didistribusikan secara independen dari diskusi ke diskusi di
beberapa kota serta melalui penjualan online.
Ladu. Apa
itu? Ladu dalam Bahasa Jawa adalah endapan tanah merah. Semacam partikel tuhan,
ia pembentuk zat yang hidup dan tak hidup. Ladu juga adalah awal dan akhir
sekaligus. Di bagian pertama dari buku ini, diceritakan tentang awal perjalanan
hingga kedua tokoh sentral dalam novel ini berkemah di Kaliadem. Mereka adalah
Sunarti alias Arti dan Yanis Kendahe. Keduanya dari daerah yang berbeda. Dimana
Yanis berasal dari Sangir Talaud, Kendahe, Sulawesi Utara, dan Arti dari
Klaten, Jawa Tengah.
Dalam beberapa hari mereka berkemah di Kaliadem,
kopi adalah sahabat mereka. Setelah merapikan rangsel, matras dan kantong
tidurnya, Yanis mengeluarkan kompor spiritusnya. Menjerang air, dan menyiapkan
saringan kopi. Besi alumunium, dengan penyaring ganda di dalamnya itu, selalu
ia bawa. Pergi kemah kemanapun, ia bawa. Apalagi kalau Arti turut serta. Arti
suka sekali kopi yang disaring. Bukan dengan mesin kopi. Tapi saringan
sederhana. Yanis tak mau kegembiraan kecil itu terlewat, hanya karena ia lupa
membawa saringan kopi (halaman 8).
Sepasang
kekasih ini juga membahas masalah agnostik, kematian, kebangkitan dan
keabadian. “Mengenai kebangkitan, tidak ada yang bisa memastikan hal itu.
Mereka yang mati tak pernah kembali. Kita yang masih hidup juga tak pernah bisa
bertanya: apa yang ada setelah kematian. Mengaku adanya hidup setelah mati itu,
kukira tak pernah dapat diuji kebenarannya,” ujar Arti pelan. Tapi dengan nada
yakin (halaman 14).
Di bagian
kedua dari novel ini mengisahkan tentang perkemahan Arti dan Yanis di Lereng
Timur Gunung Sindoro. Diulas juga mengenai situs liangan. Situs liangan
diperkirakan berasal dari abad 6-10 Masehi. Sedikit lebih tua dari Borobudur.
Karena itu candinya tampak lebih sederhana. Polos. Undakan candi itu juga tak
terlalu banyak. Dan kalau benar jejak itu berasal dari tahun 500-an M, maka
manusia liangan telah tinggal disana sebelum Mataram Kuno menjadi pusat
kerajaan Jawa. Sekitar dua abad lebih awal. Itu artinya, mereka telah membangun
kampung dan tempat peribadatan masa sebelum Hindu Budha. Masa ketika semua
orang percaya semua benda mengandung roh. Apalagi puncak gunung tinggi, seperti
Sindoro (halaman 38).
Pada
bagian ini (maksud saya bagian kedua), diulas juga bahwa Arti lebih terpincut
dengan teori sebab-akibat. Kalau Tuhan itu awal segala sesuatu, dan setiap
sesuatu ada penciptanya; ia akan bingung mencari tahu: siapa yang mencipta
Tuhan. Ia ada dengan sendirinya. Penjelasan itu, buat Arti, tak lagi
meyakinkan. Ia selalu tertarik dengan penjelasan sebab-akibat. Tak heran, kalau
Arti terpesona dengan teori tentang dentuman besar. Bahwa semesta ini dimulai
dengan ledakan besar, dari materi super padat yang meletus menjadi bintang dan
planet-planet. Menjadi tempat tinggal, asal muasal kehidupan. Sebelum ledakan
itu, tak ada waktu. Tak ada peristiwa. Itulah awal mula. Tetapi, bagaimana
ledakan besar terjadi? Ya, terjadi begitu saja (halaman 44).
Di bagian
ketiga, diulas tentang keberpulangan Arti dan Yanis ke rumah (orangtua dari)
Arti di Klaten, dan beberapa perubahan terutama pada diri Arti menurut ibunya.
Bu Sastro masih kaget dengan kedatangan Arti yang mendadak. Tapi bukan itu
saja. Ia lebih-lebih terkejut karena tampilan Arti yang berbeda. Ia tak lagi
memakai kerudung, seperti terakhir kali pulang ke rumah. Arti mulai berkerudung
sejak mulai kuliah, dan tiap kembali liburan ke rumah memakai tutup kepala itu
(halaman 81).
Dikisahkan
juga tentang Arti yang diberhentikan dari pekerjaanya, karena dinilai
sering absen dan melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan dari kantornya.
Arti dan Yanis bikin usaha baru. Dia mulai mencari-cari model yang cocok. Arti
ingin situs yang sederhana. Menonjolkan materi baru, dan kemudahan respon untuk
pembaca. Selain itu, ada sisi untuk arsip, buat yang ingin mencari tulisan,
foto atau video lama. Yanis segera memesan domain untuk situs mereka.www.ladu.com. Arti yang memilih kata Ladu untuk nama situs mereka
(halaman 97).
Di bagian
keempat, dibahas tentang Candi Lor. Dulu, di pelataran Candi Lor itu ada sebuah
prasasti. Namanya prasasti Anjuk Ladang. Prasasti yang dibuat dari batu andesit
berukuran sekira 1 meter, dan bertanda tahun Saka 859. Karena penanggalan Saka
tertinggal 78 tahun dari masehi, artinya, Candi Lor dibangun tahun 937.
Prasasti itu menjelaskan bahwa Desa Anjuk Ladang, Tempat Candi Lor berlokasi,
diberi status khusus oleh Mpu Sindok: bina swatantra. Status yang
membebaskan penghuninya dari kewajiban bayar pajak pada kerajaan. Mpu Sindok
memberi penghargaan itu karena kegigihan warga Anjuk Ladang yang habis-habisan
melawan serangan tentara Melayu dikampungnya. Perlawanan Heroik itu memungkinkan
Kraton Medang yang baru dibangun Mpu Sindok, bertahan di Watugaluh. Sekarang
kira-kira masuk wilayah Kabupaten Jombong (halaman 119).
Pada
akhir bagian ini, diurai ihwal fanatik dan obsesi manusia. Obsesi tentang itu,
kadang membuat orang lupa menghargai hidup yang pasti di dunia ini. Ada
orang-orang yang merasa paling benar jalannya, dan bersedia membunuh orang
lain; hanya demi memperoleh pahala sorga. Dunia menjadi tak lebih baik, dengan
tumbuhnya kaum fanatik yang demi jalannya mencapai sorga, sanggup mengorbankan
apapun. Bahkan ada yang tega membunuh ibunya, karena sang ibu menolak ikut
jalan si munafik (halaman 153).
Pada
bagian kelima, adalah berpergian Arti dan Yanis ke Lombok Timur. Disana mereka
melihat dan mempelajari banyak hal. Akibat letusnya Gunung Tambora pada 1815,
disana hampir semua daerah-daerah pertanian tertutup debu setinggi 30 cm. Dan
menelan korban jiwa.
“Tertimbun
debu panas setebal itu, tak ada tanaman pangan yang sanggup bertahan hidup,”
ujar Arti. Jagung, padi, kacang-kacangan, segera kering terbakar debu vulkanik.
Tak ada lagi yang dapat dipanen. Kurang makan, kelaparan segera menjangkit di
wilayah Lombok Timur. Mereka yang mati akibat lapar, jauh lebih banyak
ketimbang yang meninggal langsung karena lahar panas Tambora. Sepertiga
penduduk Lombok mati karena kelaparan, menyusul gagal panen disana (halaman
161).
Pada
bagian ini juga menceritakan tentang keduanya (Arti dan Yanis) bereksplorasi di
Lombok Timur. Banyak yang mereka saksikan. Mulai dari hal-hal yang menyedihkan
hingga mengagumkan terdapat disana. Mereka juga dapat hal-hal “tak biasa”
disana. Penjelajahan mereka tidak sebatas sampai di sana. Bintang-bintang itu
mengirim sinarnya untuk mengusir kutukan lapar. Kutukan yang dulu pernah
menghantui leluhur Lombok Timur, usai letusan Tambora. Bintang-bintang itu juga
yang memandu langkah Arti dan Yanis. Esoknya, mereka berlayar ke Tambora
(halaman 191).
Pada
bagian keenam, diulas tentang penyeberangan Arti dan Yanis melalui Selat Alas
yang memisahkan Lombok dan Sumbawa. Dalam perjalanan dua jam itu, keduanya
membayangi Letusan Tambora beberapa tahun silam. Hujan kali ini datang menebar
duka. Ia hadirkan bayangan tentang letusan Tambora yang mengubur kerajaan
disekitarnya: Pekat, Sanggar dan Tambora. Kata Tambora, dalam bahasa Bima,
kadang dimaknai sebagai “menghilang”. Letusannya telah menghilangkan tiga
kerajaan dan warganya. Letusan itu pertama kali terjadi 5 April 1815.
Menggelegar. Suaranya terdengar sampai di Jakarta, melintas jarak 1.250
kilometer. Letusan berulang semakin kerap. Dan mencapai puncaknya pada 10-11
April. Hampir sepekan dibombardir letusan vulkanik, Tambora dan sekitarnya
berubah neraka (halaman 197).
Dasyatnya
letusan Tambora membuat seorang Arti semakin mempertanyakan eksistensi Tuhan
sebagai maha karya. Mereka membeda tentang ada tidaknya campur tangan dalam
bencana Tambora. “Kalau ada yang mahakuasa, tapi membiarkan orang mati ditelang
gunung berapi, bagiku Tuhan itu amat kejam. Tuhan yang tega membikin umatnya
menderita. Lebih baik manusia tak punya Tuhan semacam itu,” Arti mulai kesal
(halaman 201).
Diulas
juga setelah tiba di Pelabuhan Potonado, Sumbawa, Arti dan Yanis menuju ke
beberapa tempat disana. Melewati kampung Oi Bara, hulu sungai Pasumba, dan
beberapa kampung lainnya, mereka menemukan tanaman kopi milik warga yang ruah
subur. Tapi mereka juga menyadari, bahwa disekitar mereka berpijak dan
perkebunan kopi yang subur itu, pernah ada kerajaan dan masyarakatnya yang mati
bergelimpangan dikubur ladu.
Bagian
ketujuh mengulas tentang saat dimana Arti dan Yanis tiba di Palu, Sulawesi
Tengah. Disana mereka berkemah di Telaga Tambing, kemudian berpindah dan
menyusuri Lembah Behoa, dan seterusnya. Diulas juga tentang jejak yang
ditinggal seseorang setelah meninggal. Dan alasan kenapa mereka begitu sering
diingat. Pada saat itu Arti sedang dalam kondisi hamil muda.
Murung
karena kematian Maman, mereka dihantui tanya: Apa yang akan mereka tinggalkan
sesudah mati? Apa yang akan jadi warisan mereka bila ingin diingat orang?
Kenapa manusia merasa perlu diingat, setelah kematiannya. Padahal, setelah mati
manusia tak tahu apa-apa lagi. Termasuk alasan bagaimana orang akan mengingat
mereka? Apa betul masih ada yang mengingat mereka? Kalau begitu, kenapa orang
sibuk meninggalkan jejak? Dan berharap diingat (halaman 244).
Pada
bagian ini diangkat bicara juga tentang kebiasaan mereka yang membuat patung
batu, candi-candi, dan kalamba, yang jelas-jelas ingin memerpanjang kehadiran
mereka di bumi. Di masa sekarang, pemimpin Korea Utara dibalsem, supaya rakyat
dapat menengok jenasahnya sampai waktu yang lama. Dulu, jenasah Lenin di Rusia
juga dibuatkan museleom. Entah rakyat yang mau lihat, atau komplotan para
penggede sosialis itu yang ingin idolanya dikenang lebih lama (halaman 250).
Bagian
kedelapan (terakhir), mengulas tentang setiba mereka di Toraja, Sulawesi
Selatan. Yanis yang adalah dari daerah Sulawesi Utara menghindarkan diri dari
budaya Toraja. Seperti biasa di Toraja, ada begitu banyak ritual kematian yang
sedang berlangsung. Tapi Yanis menghindarkan diri dari duka kolektif itu.
Diam-diam mereka sepakat, untuk tak merekam dalam wajah-wajah kerbau yang
bergelimpangan ditebas perang. Yanis justru mengantar Arti ke klinik kesehatan
di Toraja, memeriksakan janin mereka. Untunglah, bayinya sehat (halaman 282).
Sebelum
akhirnya mereka kembali ke Jogja, terlintas gagasan untuk bertani. Tapi itu
oleh mereka dipertimbangkan. Mereka juga bersepakat ketat untuk menikah.
Akhirnya setelah tiba di Yogyakarta, mereka memutuskan untuk menikah di gereja
Pakem. Lantaran beda agama (Yanis: Kristen dan Arti: Muslim berberat Agnostik),
mereka sempat mengalami kesusahan dalam mengurus akte nikah. Tapi akhirnya
berujung bisa. Dan Bu Sastro juga lega dan gembira, karena cucunya akan lahir
dengan pengakuan yang sama seperti anak-anak lain.
Akhirnya
Arti dan Yanis bikin rumah di kaki Gunung Geulis. Disana mereka hidup, berkebun
kopi, dan disana pula Arti melahirkan anaknya dengan sehat. Untunglah,
persalinan arti berjalan lancar. Sebelum sore, anak lelakinya telah lahir.
Diantara kerumunan tetangga yang mencoba kopi hasil sangraian sendiri. Diantara
bahagia para petani yang pertama kali menikmati hasil panen kebun kopi mereka.
Arti memandang bayinya dengan bahagia tak berkata. Yanis memandang mereka
dengan mata bekaca-kaca. Anak laki-laki itu mereka beri nama: Ladu. Ladu Gunung
(halaman 319).
* * *
Buku ini
bagus untuk dibaca oleh semua kalangan. Yang ditulis diatas adalah hanya
beberapa kutipan yang saya pikir perlu untuk diterakan di resensi buku novel
ini. Saya rasa, jika buku ini dibaca, ditelaah dan dipahami lebih jauh, banyak
pelajaran yang dapat dimaknai. Terutama bagaimana hidup damai dengan alam,
menghargai dan menjaganya. Sisi kemanusiaan yang ditampilkan dalam novel ini
juga dapat menjadi bahan renungan. (Herman E. Degei)
*Herman E. Degei, adalah mahasiswa Papua yang kuliah di Yogya
0 Komentar