Tiga buku Sastra yang di launching oleh Komunitas Sastra Papua (Ko'Sapa). Buku Kansina Fananin yang berada di samping kiri, Doc. Ko'Sapa |
Perenungan dan sindiran tajam menyasar aneka
tema. Penyemangat sastra lisan menjadi tulisan.
BUKU kumpulan
puisi Kansina Fananin, menghimpun 140 puisi karya Jingga
Kamboja (almarhum), aktivis lembaga waralaba. Launching buku berlangsung di Aula Asrama
Mahasiswa Tunas Harapan, Padangbulan, Jayapura, pada April 2017, Kansina Fananin (Bahasa Biak: kaca untuk bercermin/cermin
muka).
Jingga Kamboja adalah nama pena Johan Jance Inggamer, kelahiran Biak
1962. Puisi-puisinya yang merentang dari 1979-2008, memuat perenungan dan
sindiran tajam, menyasar aneka tema: sosial, politik, ekonomi, budaya,
pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup di Papua. Sebagian puisi mengungkap dampak
yang telah berlangsung di masa lalu, kini dan kemungkinan ekses selanjutnya.
Peluncuran Kansina Fananin (bersama
dua buku lain)—menurut penggagas Komunitas Sastra Papua (Ko’Sapa), Iriandi
(Andi) Tagihuma--juga dimaksudkan untuk mengenang sastrawan dan kartunis Papua,
Jance. Selain menjadi penyemangat kaum muda saat ini untuk menggandrungi dunia
kepenulisan dan kepengarangan.
Kansina
Fananin, Kumpulan Puisi
Penulis : Jingga
Kamboja
Penerbit: Komuitas
Sastra Papua dan Gerakan Papua Mengajar
Cetakan
: 2017
Tebal :
xii +
141
|
Minimnya pegembangan sastra Papua, menjadi tantangan Ko’sapa di masa depan untuk
lebih menggiatkan upaya dokumentasi dan pengerjaannya. Tanpa perhatian yang
terarah, sastra- sastra daerah yang terawat dalam tradisi tutur, bisa tergerus
arus zaman. Salah salah wujudnya, menulis, menghimpun dan mencetaknya.
Andi mengemukakan, sudah lumayan banyak karya sastra bertema Papua atau
mengambil setting Papua, tapi ditulis
orang non-Papua. Hal itu, tentu sah-sah saja. Hanya saja, tanpa pemahaman konteks
yang mendalam, tak tertutup kemungkinan kemelencengan terjadi. “Ini tantangan
besar bagi anak-anak muda Papua,” katanya.
Ia mencontohkan novel terjemahan (dari bahasa Belanda) Pipe Si Pemenggal Kepala, karya Peter R. Baas (Pustaka Utama
Grafiti, 1994). Di situ, disebutkan: “kebun sagu” (misalnya, hlm. 1 dan 4). Penggunaan
yang tak pas.
“Tidak ada kebun sagu di Papua, yang ada dusun sagu,” tanggap Andi. Kendatipun sagu ditanam. Budi daya tanaman
sagu dalam perkebunan baru muncul belakangan ini.
Pertanyaan kita, apakah ini masalah penulis (Peter R. Baas) atau
persoalan penerjemah (L. Santee). Sebab, jangan-jangan, tidak ada istilah
“dusun”─sebagaimana yang dikenal di Papua─dalam bahasa Belanda. Jangan-jangan “dusun”
dan “kebun” dimaknai sama: “kebun.” Jadilah, pengalihan secara harfiah.
Contoh enteng, dalam bahasa Inggris, nasi dan beras sama-sama disebut rice. Sebab, jenis makanan ini hanya
terdapat di Asia dan tidak ada di negeri-negeri (barat) yang berbahasa Inggris.
Baas sendiri “belasan tahun
bermukim di tengah suku bangsa Asmat,” mustahil dia tidak mengenal kata “dusun”
(kampung lama dan/atau tempat mencari nafkah).
Maka idealnya, harap Andi, kaum muda Papua sendiri menulis cerita-cerita
yang hidup di setiap suku di negerinya. Siapa tahu di antaranya ada yang
berkadar sastra yang “baik.” Tentu dengan menghindari kemelencengan yang sama:
tidak melebih-lebihkan. Karena sesungguhnya sastra, seperti cerita pendek atau
roman (novel), adalah pantulan fakta (laiknya wajah di cermin). Dan himpunan puisi
Jance ikut menjadi cemeti.
●●●
SALAH seorang pembahas, Neles Tebai, Pr, menggarisbawahi pentingnya
tulisan, termasuk sastra, sebagai sarana pengawasan sosial. “Bukan melulu berdemonstrasi
di jalan. Ada saluran lain, yakni tulisan. Hanya, memang, menulis itu butuh proses.
Tapi, jika sudah berminat, mulailah menulis, jangan menunda-nunda. Catatlah apa
yang terlintas di benakmu,” ia ingatkan.
Puisi-puisi yang terangkum dalam
buku ini menjadi saksi kondisi Papua dalam berbagai matra. Neles merujuk salah satu
dari kumpulan puisi ini, “Titik” (hlm.73), yang pernah meraih penghargaan dari sebuah lembaga waralaba
di negeri Belanda pada 1995.
Selamat sore
mentari sahabatku
Di tempat ini
kunanti fajar kasihmu
Daftar rezeki
hari esok
Kau beri aku
nomor urut satu
Aku tak minta
mobil
Aku tak minta
kulkas baru
Aku tak minta
kursi ligna baru
Aku tak minta
cerek listrik baru
Aku tak minta
roti dan keju
Aku tak minta
parfum produk Italy
Aku tak minta
tv, video atau parabola
Hanya satu
pintaku
Merdeka
Titik
Ia mengimbau anak-anak muda Papua untuk meminati tulis-menulis. Merujuk Kansina Fananin sebagai spirit, ia berpesan: Kalo ko su li’at orang menulis, ko
juga angkat pena dan tulis. Bikinlah karya
sastra lebih banyak lagi,” ujarnya.
Warga lokal yang tersingkirkan di negeri
sendiri, seperti orang Amungme di Timika, di-“gugat” Jance dalam puisi bertajuk
“Milik Siapa” (hlm.111).
Bumi ini milik siapa
Desa ini milik siapa
Gunung ini milik siapa
Sungai ini milik siapa
Setapak ini milik siapa
Pusara ini milik siapa
Tiada sapa
Tiada kata
Sunyi..!
Jance Inggamer, aktivis Yayasan
Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Irian Jaya, sejak di bawah “asuhan” George
J. Aditjondro (kini almarhum) dan August Rumansara. Ia juga terdaftar sebagai
Ahli Air Minum Pedesaan Asia-Pasifik.
Selain membuat puisi, ia juga menulis cerita pendek (cerpen) dan menggarap
karikatur. Puisi dan cerpennya dimuat, antara lain, di mingguan Tifa Irian dan harian Cenderawasih
Pos.
●●●
SAMPAI
di sini, beberapa catatan penilaian ingin dikemukakan. Alangkah bagus, jika puisi-puisi
ini dikelompokkan dalam bab-bab berdasarkan tema. Ini akan menggampangkan
pembaca yang ingin merujuk puisi tertentu. Ketimbang harus bolak-balik mencari
dalam sebaran tulisan.
Rancangan sampul terkesan kaku dan kurang
merepresentasikan konten buku sebagai karya sastra. Lebih cocok kalau digunakan
desain abstrak. Bila perlu, menggunakan salah satu karikatur penulis yang
relevan.
Tulisan “Kumpulan Puisi” dan “Jingga Kamboja” di kover depan dan petikan pengantar ringkas di kover belakang,
nyaris “tenggelam” oleh warna latar foto yang hampir sama. Akan jelas, kalau
digunakan warna yang kontras.
* Penulis adalah jurnalis di Papua
0 Komentar