Oleh
; Victor F. Yeimo
Doc. Victor F. Yeimo |
a.
Melihatnya Sebagai Kemajuan
Para
penggagas dan pengikutnya harus paham dan sadar bahwa membicarakan ideologi
adalah hal yang maju dalam perjuangan. Karena itu tidak perlu saling menyerang
dengan cara-cara yang tidak etis, yang justru menyulut pada konflik perpecahan
internal yang tidak semestinya terjadi. Sebab, apa pun gagasan ide tentang masa
depan bangsa Papua harus dilihat sebagai kekayaan dalam menyusun dan merumuskan
format bangsa-negara (nation-state) Papua.
Ideologi
dilahirkan melalui proses uji. Pertentangan-pertentangan ide mesti terjadi
sebagai proses pembentukan ideologi. Ia tidak boleh dipandang negatif. Karena
itu, tidak perlu membangun permusuhan antar orang Papua yang berlawanan
ideologi. Sebab tujuannya selalu untuk yang terbaik bagi bangsa Papua ke depan.
b.
Belajar, Paham, Yakin dan Laksanakan
Ideologi
adalah suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang
bersifat sistematis yang memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam
kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. Karena itu, pejuang harus
mempelajari, mengerti, menghayati, meyakini dan mengabdi pada ideologi. Agar
ini terjadi, dalam menggagas ideologi, ia mesti menghilangkan penyakit-penyakit
subjektif dan mengedepankan kepentingan negara-bangsa Papua. Ingat bahwa
keterlibatan saja tidak cukup. Jangan anda menjadi pejuang ikut-ikutan. Pejuang
yang hanya patron pada ikatan sejarah, kelompok suku dan agama tertentu. Di
lain sisi, ada pejuang yang sekedar mendasari ideologi tertentu hanya sebagai
simbol merebut kekuasaan politik. Pejuang seperti ini akan selalu bertindak
brutal, egois, dan penuh ambisi.
Agar
tidak seperti itu, maka seorang pejuang harus: 1) Belajar teori dan praktek
dari ideologi. Belajar adalah cara mengetahui sesuatu yang tidak diketahui.
Pejuang harus mempelajari teori-teori yang berkaitkan dengan ideologi dan
perjungan dari sumber mana pun (entah dari literatur di dunia luar maupun dari
dalam Papua). Ingat bahwa teori adalah hasil dari praktek yang diteliti, diuji,
direfleksi dan dikonsepkan terus menerus. Atau Gagasan atau konsep lahir dari
interaksi subjek terhadap objek melalui panca indera yang terverifikasi dengan
akal rasional, itulah yang menjadi pengetahuan. Pengetahuan ini yang dibutuhkan
dalam menyusun struktur berpikir seorang pejuang.
Mempelajari
teori ideologi sangat penting karena rakyat yang hendak dimerdekakan sudah
termakan oleh teori-teori kolonial. Ingat bahwa penguasa mempertahankan
kekuasaanya tidak hanya dengan senjata dan kekerasan, tetapi dengan ideologi
yakni; nilai-nilai, moralitas, gagasan, dan filsafat. Mereka berkuasa tidak
hanya dengan polisi dan tentara saja, tetapi juga dengan pendeta-pendeta,
haji-haji, guru dan akademisi-akademisi, wartawan-wartawan, birokrat-birokrat,
politisi-politisi, dan pengusaha-pengusaha yang ditempatkan dalam kehidupan
rakyat Papua, yang mempengaruhi dengan pengetahuan-pengetahuan kolonial dan
kapitalis.
Ideologi
adalah pengetahuan tentang ide-ide. Sehinga dalam konteks mempelajari ideologi,
pejuang tidak mesti anti-teori pada ideologi-ideologi dunia. Ia harus
mempelajari secara mendalam setiap ideologi, baik sejarah, konsep dan
prakteknya. Tidak setengah-setengah. Ia harus benar-benar membaca, melihat atau
mendengar dari segala sumber.
Foto : Doc. Victor Yeimo |
2)
Memahami dengan benar. Setelah anda belajar dari berbagai sumber, dengan muda
seseorang harus memahami atau mengerti dengan benar konsep dan praktek dari
para penggagas. Ia tidak akan pragmatis dan terkurung dalam satu kebenaran
tertentu. Pemahaman (comprehension) terhadap ideologi-ideologi secara tuntas akan
membuat pejuang memperhatikan hubungan-hubungan antara satu konsep ideologi
dengan kosep-konsep lainnya. Sebab, konsepsi pemikiran selalu berasal dari dan
berhubungan dengan konsep-konsep lain. Ia akan membandingkan, dan mengkontruksi
pemikiran yang baru dengan menilai kelemahan dan kelebihan dari gagasan-gagasan
tersebut, lalu menyimpulkan dan menggeneralisirnya.
Artinya,
tidak cukup pejuang hanya tahu sesuatu tanpa memahaminya. Itu ibarat hafal
rumus tanpa mengetahui bagaimana rumus itu dibuat dan digunakan. Ini yang biasa
disebut pemahaman istrumental, pengetahuan ikut-ikutan, yang hanya patron pada
hasil pemikiran orang lain. Pejuang harus memiliki pemahaman relasional dan
rasional, yang mampu mengartikulasikan pengetahuan ke dalam pikirannya. Ia tahu
dan hafal konsep tetapi juga mengerti bagaimana dan mengapa konsep itu ada. Ia
tidak ikut-ikutan. Ia melibatkan diri dalam konsep itu karena masuk di akal
(rasional).
Sementara
untuk mencapai pemahaman tentang benar dan salah dari suatu konsep, otak
pejuang harus memiliki pengetahuan untuk memahami apa definisi kebenaran. Sebab
kebenaran selalu relatif (tergantung seberapa besar pengetahuan kita untuk
menilainya). Pengetahuan akan menjadi alat untuk mengukur dan menilai sebuah
kebenaran; Apakah benar sesuai ajaran agama, adat-istiadat, sesuai filsafat,
sesuai ilmiah (teori), sesuai pengalaman empiris (yang dipandang), dsb.
Pejuang
bisa memiliki dasar kebenaran untuk mengukur kebenaran lain berdasarkan hal-hal
diatas, tetapi paling tidak ia harus mampu mempertimbangkan a) bahwa ideologi
harus menjadi senjata perlawanan bagi bangsa Papua melawan segala bentuk
penindasan, b) ideologi harus mampu menjadi landasan persatuan bangsa Papua, c)
Ideologi harus tepat guna dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
d) ideologi Papua juga harus memiliki nilai-nilai yang membebaskan tatanan
dunia bersifat global/universal). Intinya, ideologi harus bisa mengandung
nilai-nilai operasional dalam situasi hari ini dan mendatang, bila tidak
biasanya gagasan itu akan menjadi gagasan utopis.
Proses
tersebut harus dibawa dalam diskusi-diskusi terbuka. Seorang pejuang harus
mampu mengutarakan ide-ide yang dipelajarinya terhadap orang lain yang memiliki
ide yang berbeda. Seorang pejuang harus bersedia menerima kritik dan saran dari
ideologi yang dipelajarinya sebagai proses memahami kelemahan dan kelebihan
dari pengetahuan ideologi yang dipahami.
Orang
dapat tetap mempertahankan ideologinya sekalipun tidak diterima oleh kalayak
umum, tetapi dalam membangun ideologi bangsa-negara, ia harus mampu
berinteraksi dengan kelompok beda ideologi dalam satu bangsa, agar membangun
kontruksi ideologi bangsa dan negara West Papua secara bersama-sama. Agar
interaksi terjadi, setiap pejuang harus memiliki watak yang demokratis, agar
dapat mendorong proses tersebut dalam mekanisme-mekanisme yang demokratis dan
bermartabat.
3)
Meyakini. Seorang pejuang akan meyakini saat ia merasa cukup mengetahui,
memahami dan menyimpulkan bahwa dirinya telah memiliki ideologi yang benar. Ini
adalah level kesadaran (conciousness) terhadap apa yang diketahui dan dipahami.
Tidak cukup seorang berjuang karena merasa ditindas. Tidak cukup pejuang hanya
mengetahui ideologi tetapi tidak meyakininya. Apa yang diyakini harus menjadi
sikapnya. Ia patuh terhadap apa yang diyakini. Ideologi itu akan menjadi
semacam roh yang menuntun dalam perilaku perjuangan. Dengan itu, pejuang bisa
menginspirasi rakyat Papua. Apa yang diyakini menjadi landasan pijak bagi
pribadi, organisasi, rakyat Papua dan dunia.
Dalam
tahap ini, harus juga disadari bahwa setiap orang Papua memiliki keyakinan
berbeda-beda. Keyakinan seseorang tidak selalu merupakan jaminan kebenaran yang
mutlak. Sehingga tugas seorang pejuang adalah meyakinkan ideologi melalui
tahapan belajar dan memahami nilai-nilai yang menjadi keyakinan palsu, yakni
hegemoni para penindas. Ia harus bisa meyakinkan rakyat dengan ideologi yang
diyakini sebagai alternatif paling baik bagi kehidupan bangsa Papua ke depan.
Keyakinan yang kokoh akan menjadi harapan dan semangat dalam sikap dan perilaku
perjuangan.
4)
Melaksanakan (Action). Ideologi yang dipahami dan diyakini harus
diartikulasikan dalam praktek perjuangan. Ideologi harus menjadi ciri dan
karakter dalam gerakan perlawanan. Tanpa itu, ia disebut ideologi mati. Tidak
cukup menulis buku tentang ideologi bila tidak dihidupkan dalam gerakan
organisasi bersama masa rakyat Papua. Sebaliknya, tidak cukup mengajak rakyat
berjuang tanpa landasan ideologi yang dipahami dan diyakini. Itu ibarat sopir
yang membawa penumpang tanpa arah dan tujuan. Itu ibarat orang buta tuntun
orang buta.
Secara
personal, dalam aktivitasnya, pejuang yang memiliki keyakinan ideologi akan
bersikap dan berperilaku berlandaskan nilai-nilai ideologi yang diyakini.
Tetapi bila lain keyakinan lain perbuatannya, maka itu merupakan keyakinan
palsu. Bila pengetahuan dan keyakinan tidak sejalan dengan tindakan maka ia
perlu merefleksi diri dengan belajar dan memahami kebenaran dari tindakannya
kembali. Apakah tindakan itu sesuai dengan kesadaran objektif atau subjektif? Sebab
setiap tindakan yang berkaitan dengan perjuangan memerdekakan bangsa, ia
(subjek) mesti menempatkan diri dalam objek (realitas).
Tulisan ini sebelumnya dimuat di akun Facebook resmi Tn. Victor Yeimo. Tulisan ini kembali dimuat atas Izin Penulis.
0 Komentar