Vonis Ahok Dan Solidaritas Kemanusiaan Di Papua

oleh: Daniel Randongkir

Foto; BBC
Sejak vonis hukum terhadap Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam kasus penistaan agama, muncul berbagai aksi solidaritas di kalangan masyarakat sipil Indonesia. Aksi-aksi solidaritas ini terlihat menyebar secara massif dan merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Khusus di Papua aksi solidaritas terhadap Ahok, dilakukan masyarakat di Kota Jayapura, Sentani, Manokwari, Sorong, Biak dan Wamena, melalui “Aksi 1000 lilin”. Aksi-aksi ini kemudian diunggah ke media sosial dan mendapat beragam tanggapan. Opini yang berkembang di media sosial terhadap aksi solidaritas untuk Ahok di Papua, terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama lebih menunjukan solidaritas dan dukungan terhadap Ahok sebagai korban ‘ketidakadilan’ hukum di Indonesia, sementara kelompok kedua lebih melihat pada ketidakpedulian publik terhadap kasus-kasus kemanusiaan serupa yang terjadi selama ini di Papua. Merespon pro-kontra pendapat terhadap aksi solidaritas bagi Ahok di Papua, perlu kiranya ditelaah dari aspek Politik, Sosial dan Budaya.

Selama lebih dari lima dekade, berbagai macam kasus kekerasan yang menyebabkan tragedi kemanusiaan di Papua, seolah-olah terisolasi dari pandangan publik Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak serius dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di Papua, menciptakan opini massa di Papua sebagai sebuah bentuk “penjajahan” terhadap penduduk asli Papua. Aksi-aksi protes yang dilakukan untuk mencari keadilan hukum terhadap para korban kekerasan di Papua, justru dijawab secara represif oleh aparat keamanan dan kepolisian Indonesia. Situasi ini berbanding terbalik dengan kasus Ahok yang mendapat tanggapan publik secara meluas di Indonesia, termasuk di Papua.

Publikasi kasus Ahok oleh media massa telah menempatkannya sebagai figur politik paling populer dalam beberapa bulan belakangan ini di Indonesia, sementara isu-isu kerkerasan di Papua mendapat publikasi yang lebih luas oleh media internasional. Fenomena publikasi kasus Ahok oleh media Indonesia telah menciptakan opini bahwa kasus ketidakadilan hukum di Indonesia hanya diderita oleh seorang Ahok, sementara kasus-kasus lain menjadi luput dari pemberitaan media massa. Pemberitaan media massa Indonesia yang tidak berimbang, berimbas pada tekanan internasional terhadap perbaikan penerapan hukum di Indonesia. Hukum dipandang lebih berpihak kepada kelompok mayoritas, dan sebaliknya menindas kaum minoritas di Indonesia.

Foto; CNN
Orang Papua memiliki pandangan yang lebih spesifik, sehingga muncul pertanyaan apa bedanya ketidakadilan hukum yang menimpa figur politik seperti Filep Karma dengan Ahok? Keduanya terpenjara karena memperjuangkan kepentingan rakyat jelata. Pandangan politik kaum mayoritas telah menuding Ahok sebagai “penista agama”, demikian pula Filep Karma dituding sebagai “penista ideologi negara”. Lalu mengapa sampai reaksi solidaritas terhadap Ahok bisa lebih populer dibandingkan Filep Karma? Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan kesimpulan bahwa kehadiran negara hanya sekedar memenuhi kebutuhan kaum mayoritas di Indonesia.

Stigma “penistaan agama” dan “penistaan ideologi negara” telah menjadi alat untuk membungkam gerakan kaum minoritas dalam mencari keadilan di Indonesia. Beruntung orang Papua memiliki cara lain dengan membangun kampanye internasional guna menggalang dukungan solidaritas. Reaksi internasional terhadap kasus Ahok juga datang dari organisasi internasional seperti Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa dan juga Amnesti Internasional, dukungan serupa juga diberikan kepada Filep Karma. Terdapat perbedaan signifikan antara dukungan yang diterima oleh Ahok dengan Filep Karma. Dalam skala nasional, dukungan solidaritas di Indonesia secara kuantitatif lebih berpihak kepada Ahok dibandingkan Filep Karma. Kaum moderat, nasionalis dan sekuler lebih menunjukan solidaritasnya terhadap Ahok, sementara dukungan terhadap Filep Karma hanya datang dari kaum moderat. Sementara dalam skala lokal, dukungan bagi Ahok dan Filep Karma terlihat lebih berimbang.

Beragam dukungan terhadap Ahok dan Filep Karma dapat disebabkan oleh berbagai alasan, seperti agama, pandangan politik, ideologi, maupun budaya. Sekalipun sama-sama memperjuangkan perubahan politik dan pelayanan publik yang lebih baik, Ahok tentunya lebih populer di Indonesia karena memperjuangkan perbaikan demokrasi di Indonesia. Sebaliknya Filep Karma dianggap sebagai “musuh negara” karena memperjuangkan perbaikan demokrasi di luar Indonesia dengan tujuan mendirikan “Negara Papua Barat”. Walaupun Ahok dan Filep Karma sama-sama memiliki komitmen untuk membangun demokrasi, namun mereka memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkannya, disinilah faktor yang mempengaruhi tingkat dan jumlah dukungan solidaritas terhadap keduanya.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam melihat dinamika sosial-politik di Indonesia adalah orientasi ideologi yang berakar jauh dalam kebudayaan lokal. Gerakan-gerakan perubahan sosial-politik masyarakat sipil sebenarnya telah dilakukan sejak ribuan tahun sebelumnya. Dalam konteks budaya gerakan seperti ini sering disebut Gerakan Cargo Cult atau Gerakan Mesianis. Pada Masyarakat Jawa, gerakan seperti ini dikenal dengan nama Gerakan Ratu Adil, sedangkan di Papua memiliki beragam nama lokal seperti Koreri, Hai, Nabelan-Kabelan dan sebagainya. Pada hakekatnya gerakan-gerakan seperti ini berorientasi pada tatanan sosial-politik masyarakat yang lebih damai, harmonis dan setara, dengan menempatkan tokoh pemimpin gerakan sebagai Tokoh Mitologi yang dipercaya sebagai titisan Dewa atau Tuhan. Dalam konteks demikian, baik Ahok maupun Filep Karma dipercaya oleh para pendukungnya sebagai tokoh yang akan membawa masyarakat kepada tujuan politik mereka. Dengan demikian maka pemenjaraan terhadap Ahok ataupun Filep Karma tidak akan menghentikan gerakan perubahan di tengah masyarakat, karena ideologi mereka masih tetap hidup dalam pemikiran para pendukungnya yang berada di luar penjara.

Menanggapi dinamika aksi solidaritas kemanusiaan baik terhadap Ahok maupun korban-korban ketidakadilan hukum di Papua, perlu kiranya mendorong suatu gerakan bersama yang tidak menempatkan para korbannya dalam konteks yang berbeda. Perjuangan terhadap keadilan sesungguhnya tidak dibatasi oleh kedaulatan politik lokal, nasional dan regional. Gerakan perubahan ini harus ditempatkan dalam konteks global, sebagai upaya untuk mewujudkan tatanan masyarakat dunia yang lebih damai, harmonis dan setara.

Penulis adalah alumni Antropologi Universitas Cenderawasih

Posting Komentar

0 Komentar