Festival Budaya Papua: Pengembangan Atau Eksploitasi


Oleh: Daniel Randongkir*

grafis; https://cdn.evbuc.com
Festival Budaya Papua yang marak dilakukan oleh pemerintah lokal di Papua dalam satu dekade terakhir ini, merupakan kebijakan keliru dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kebijakan seperti ini telah menempatkan orang pribumi Papua beserta dengan kebudayaannya sebagai objek tontonan dari para wisatawan maupun masyarakat perkotaan. Kata “Promosi Budaya” yang disematkan dalam setiap event Festival Budaya, sesungguhnya telah mereduksi sebagian dari esensi nilai budaya orang Papua. Orientasi penyelenggara Festival Budaya juga lebih menitikberatkan pada nilai profit daripada nilai spiritual yang hidup di dalam budaya orang Papua. Demonstrasi atau atraksi budaya yang disuguhkan selalu dikompensasi dengan nilai uang. Orang Papua yang menyuguhkan atraksi budaya tak ubahnya pelaku entertainment yang menyajikan hiburan kepada setiap penonton yang hadir. Komersialisasi budaya seolah menjadi salah satu sumber penghasilan bagi para pelaku Festival Budaya, termasuk mendatangkan “income daerah”. Inilah realitas yang dihadapi oleh orang Papua hari ini. Lalu dimanakah esensi nilai budaya yang ingin orang Papua banggakan?

Paradigma pemerintah yang menempatkan “Budaya Papua” sebagai “komoditas ekonomi” daerah, sebenarnya menunjukan kegagalan berpikir dalam menemukan solusi bagi pengembangan kebudayaan orang Papua. Kebudayaan harus dipahami dalam konteks yang menyeluruh, bukan dipahami secara segmenter dalam sekat-sekat tertentu. Budaya jangan sekedar dipahami dalam bentuk bahasa atau kesenian, tapi harus dilihat secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan nilai, tindakan dan karya dari orang Papua. Dengan demikian maka pengembangan budaya harus dilakukan dengan membentuk “Metabolisme Kebudayaan Papua” yang mana setiap unsurnya harus saling terikat, saling mengisi, saling menopang dan saling menguatkan.
foto; http://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Upaya “promosi budaya” yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, tidak akan cukup untuk melindungi dan mengembangkan budaya orang Papua di masa depan. Ketika Festival Lembah Balim pertama kali dibuat pada Agustus 1989, banyak orang Papua akan merasa sangat bangga. Pada saat itu, 28 tahun silam, situasi orang Papua belum seperti sekarang. Generasi tua “Lembah Balim” yang mengilhami dan mengayomi nilai spiritual budaya orang Ndani, masih hidup. Asap dalam honai adat masih mengepul, diskusi dan transformasi nilai budaya kepada generasi muda masih dilakukan. Promosi budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jayawijaya saat itu adalah langkah yang tepat untuk menanamkan motivasi kepada generasi muda untuk tetap mencintai budaya mereka. Hal mana akan berbanding terbalik dengan kondisi orang Ndani pada saat ini. Kondisi serupa juga di alami oleh orang asli Papua pada berbagai wilayah di Tanah Papua.

Menghadapi perubahan kondisi sosial budaya di Tanah Papua, baik orang Papua maupun kebudayaan papua semakin terpinggirkan oleh masuknya nilai-nilai dan budaya baru dari luar Papua. Perubahan Kebudayaan Papua tentunya dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Guna memahami faktor yang mempengaruhi perubahan Kebudayaan orang Papua, ada baiknya kita melihat lebih dulu faktor-faktor tersebut.

1.       Faktor Agama Semitis.
Masuknya pengaruh budaya baru seperti Agama Semitis, telah merubah sebagian besar budaya orang Papua. Pandangan Agama Semitis yang melihat orang lain sebagai “bangsa kafir” telah membangun hegemoni budaya bahwa segala budaya lokal Papua dipandang sebagai nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip “Ketuhanan” atau “Kailahian”. Religi lokal dianggap sebagai “Agama Kafir” dan oleh karenanya harus dimusnahkan. Sejarah lokal dianggap sebagai unsur yang mengaburkan upaya penyebaran agama semitis. Upacara ritual tradisional ditiadakan dan diganti dengan ritual Agama Semitis. Pengenalan terhadap huruf dan pengetahuan modern telah meminggirkan sistem pengetahuan lokal dan tradisi lisan. Orang Papua digiring untuk mempelajari sejarah Agama Semitis, dan mengabaikan sejarah sendiri. Rumah-rumah Agama Semitis didirikan secara terpisah dan difungsikan sebagai media interaksi sosial, sementara rumah-rumah adat menjadi kehilangan fungsi dan beralih fungsi menjadi kantor administrasi pemerintahan kampung.

2.       Faktor Politik Modern.
Masuknya paham negara modern beserta sistem politiknya, telah menghancurkan tatanan struktur politik lokal. Pembentukan partai politik telah menurunkan pamor struktur politik tradisional. Dukungan politik masyarakat beralih kepada figur politik modern yang lebih mapan dari sisi intelektual maupun finansial, sementara pengaruh politik pemimpin tradisional semakin berkurang. Alih fungsi Rumah adat menjadi kantor atau balai kampung, semakin melengkapi pergeseran nilai budaya di tengah orang Papua. Persaingan politik antara aktor politik lokal dan pemimpin tradisional, seringkali berujung pada konflik dan kekerasan di tengah masyarakat. Masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok pendukung figur politik tertentu. Perselisihan dan dendam tetap hidup di antara anggota komunitas lokal, sementara pranata hukum modern tidak mampu menuntaskan pertikaian yang terjadi.

3.       Migrasi dan urbanisasi
Derasnya arus migrasi dan urbanisasi, telah merubah komposisi orang Papua dari masyarakat homogen menjadi masyarkat heterogen. Pola interaksi sosial orang Papua ikut berubah seiring dengan perubahan komposisi masyarakat. Penggunaan bahasa sebagai media komunikasi beralih dari bahasa lokal (dalam masyarakat homogen) kepada penggunaan bahasa Indonesia (dalam masyarakat heterogen). Penguasaan terhadap sentra-sentra ekonomi semakin kompetitif, komunitas migran lebih unggul dalam penguasaan ekonomi, sendangkan masyarakat lokal semakin kehilangan akses terhadap sumber komoditas pangan seperti hutan ataupun laut.

foto; https://i.ytimg.com
Dengan memahami kondisi perubahan sosial budaya yang dihadapi orang Papua dewasa ini, tentunya kebijakan “Promosi Budaya” sebagaimana yang sering dilakukan dalam Festival Budaya Papua, bukanlah suatu pendekatan yang populer dan dapat terus dipertahankan. Orang Papua membutuhkan pendekatan baru yang lebih komprehensif dalam mempertahankan dan mengembangkan budayanya. Beberapa pendekatan yang perlu dipertimbangkan adalah:

1.       Dokumentasi dan Studi Etnografi
Beberapa upaya dokumentasi bahasa lokal yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintah, perlu ditingkatkan hingga menjangkau kepada semua bahasa lokal di Tanah Papua. Fokus dokumentasi bahasa sebaiknya ditujukan pada bahasa-bahasa lokal yang terancam punah. Namun lebih dari pada itu, studi Etnografi perlu dilakukan untuk kebutuhan pendokumentasian informasi budaya yang lebih luas dari dokumentasi bahasa. Hasil studi etnografi dapat dikompilasi ke dalam sebuah Ensiklopedi Orang Papua, yang memuat berbagai informasi budaya orang Papua.

2.       Sosialisasi Budaya
Pelaksanaan sosialisasi budaya dapat diterapkan melalui beberapa metode. Perayaan Festival Budaya Papua hanyalah bagian terkecil dari rangkaian sosialisasi. Pendirian Pusat Kebudayaan Orang Papua adalah langkah awal untuk menyiapkan suatu pusat data dan informasi tentang Papua. Pusat Kebudayaan Orang Papua sebailnya meliputi beberapa bidang yang saling terintegrasi seperti (1). Bidang Riset dan Pengembangan; (2). Bidang Publikasi, Informasi dan Dokumentasi, dan (3). Bidang Pendidikan dan Pembinaan. Pelaksanaan program pengembangan kurikulum lokal yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, akan semakin diperkaya dengan hasil kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Orang Papua.

3.       Refungsionaliasi Adat
Pendekatan terakhir yang tak kalah penting adalah Refungsionalisasi Adat. Peran dan Fungsi Rumah Adat harus dikembalikan pada posisi semula, dimana menjadi pusat pendidikan adat dan budaya bagi generasi muda Papua. Sistem pranata hukum adat harus ditempatkan dalam posisi yang sejajar dengan pranata hukum modern, sehingga sengketa adat bisa diselesaikan pada tempat yang semestinya. Lembaga atau institusi Adat yang didirikan atas inisiatif masyarakat Adat, harus dijadikan sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan. Pemerintah harus menghilangkan stigma bahwa Dewan Adat Papua (DAP) adalah organisasi yang berafiliasi dengan kelompok separatis. DAP sendiri harus memiliki peta jalan (Road Map) pengembangan budaya papua, dan secara otonom bertindak atas kepentingan masyarakat adat Papua. Segala aset kepemilikan adat (baik darat, laut dan udara) harus mendapat rekognisi pemerintah, termasuk di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual. Terkait hak kepemilikan adat, sudah sepantasnya pemerintah membuat aturan khusus yang mengatur seluruh hak kepemilikan adat orang Papua.
 
http://www.festivalrajaampat.com
Sebagai bagian dari pembangunan budaya orang Papua, pemerintah Papua perlu untuk menata kembali program dan pola pendekatan pembangunan budaya di Papua. Orang Papua jangan lagi dipandang sebagai objek pembangunan semata, sebaliknya dijadikan sebagai mitra (subjek) pembangunan. Partisipasi penduduk asli Papua harus diutamakan dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pembangunan di bidang kebudayaan. Penghargaan terhadap adat dan budaya Papua harus dimulai dari Kampung Asli (Kampung Adat), bukan dari “Kampung” yang dibentuk dalam struktur pemerintahan modern. Tokoh politik tradisional harus ditempatkan dalam kapasitasnya sebagai pelindung dan pengayom adat. Guna menjaga independensi dan kredibilitasnya, tokoh politik tradisional sama sekali tidak boleh berpartisipasi dalam struktur pemerintahan modern.

Demikian pandangan umum kami tentang pelaksanaan Festival Budaya Orang Papua. Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi upaya kita semua dalam mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan di Tanah Papua.

* Penulis adalah alumni Antropologi Universitas Cenderawasih.



Posting Komentar

0 Komentar