Negara Indonesia: Dari Klaim Wilayah Teritori Hingga Memusnahkan “Papua”

Oleh ; Sonny Dogopia

Hancurkan Klaim Wilayah dan Hapuskan Penghisapan

Ilustrasi
Ko'Sapa - Di Australia masyarakat pribumi yang disebut Aborigin telah dipinggirkan dari peradaban modern belahan bumi Eropa dan Amerika, setelah Amerika berhasil menyudutkan masyarakat pribumi di Amerika yang dikenal sebagai pribumi Indian. Masyarakat pribumi Aborigin telah mengalami perpindahan sosial-budaya dan karaktek, bahkan berkurangnya perkembang-biakan hingga terancam punah.

Hari ini, sebagai masyarakat pribumi Papua untuk menjaga dan melestarikan eksistensi, tatanan sosial-budaya Orang Papua dipandang sebagai primitif dan pornografi hingga sampai pada pengecapan separatis, makar, anti-pembangunan, pengacau keamanan, bahkan teroris.

Pada perkembangan sejarah, datang manusia dari bangsa lain dengan berbagai aktivitas berdagang dan kepentingan Ekonomi. Mereka mengira bumi Papua tidak ada masyarakat pribuminya. Tetapi, mereka telah melakukan perdagangan disertai dengan pemberian nama pada waktu itu.

Pemberian nama ke nama untuk bumi Papua tentunya bukan hanya asal memberi nama. Namun, Mereka melihat dari bentuk fisik, isi bumi dan penghuni bumi Papua.

Pada abad ke-14 pernah dikunjungi oleh pedagang China di Papua, dan menamai pulau Papua dengan nama Tung-ki atau Janggi.

Papua tercatat dalam Kitab Negara-Kertagama, dibawah kekuasaan Raja Majapahit pada tahun 1365, dimana Raja Mpu Prapanca membangun jalur-jalur perdagangan dan dapat memberikan dua bagian wilayah orang Papua yaitu, Onin dan Seran dengan maksud untuk mudah control dari Jawa.

Dalam tahun 1511, Papua telah dikunjungi oleh Antonio 'de Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha de Papoia'. Kemudian, diikuti oleh Radriguez dalam tahun 1517.

Pada tanggal 20 Juni 1545, pulau Papua dikunjungi oleh Ynigo Ordize de Retes, seorang pelaut berkebangsaan Spanyol pada, saat dia mengelilingi dunia sambil mencari rempah-rempah, dari ternate menuju Meksiko melalui jalur Pasifik, singga di Muara sungai Mamberamo dan menamainya dengan nama Nova Guinea.

Setelah Ynigo kembali ke Eropa, membuat laporan atas penemuannya. Kemudian, para Ilmuwan memplotnya dalam peta Dunia, dan memberi nama Pulau Papua menjadi New Guinea pada tahun 1569. Nama ini berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa Papua yang ada kesamaannya dengan orang-orang di Guinea, Benua Africa, dan Papua New Guinea (PNG). Berdasarkan sumber di Encylopaedie van Nederlandsch Indie (Tentang Papua).

Nama ini diplot lagi dalam peta Dunia menjadi dua bagian, sesuai pembagian wilayah dari dua colony, yaitu Belanda dan Inggris. Kemudian, setelah Belanda mulai menguasai Papua dari tahun 1908, nama Papua diplot lagi  menjadi West Nederlands New Guinea di bagian Barat (dibawah kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea di bagian Timur dibawah kekuasaan Inggris.

Pemberian nama ini bertahan hingga tahun 1963, aneksasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Dimana, Belanda meninggalkan Papua Barat dan Indonesia melakukan pendudukan di Tanah Papua melalui Invasi Militer besar-besaran, dengan jalan membumi-hanguskan lingkungan hidup penduduk pribumi serta membunuh dan menghilangkan paksa nyawa-nyawa masyarakat pribumi Papua, yang sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Hubungan politik dengan Sultan Tidore resminya dalam tahun 1649 pada masa VOC (Dutch Indies Company) atas pembagian laut Tidore. Untuk menghalau VOC, Sultan Jamaluddin meminta bantuan kepada Mambri Kurabesi. Kurabesi adalah seorang pemimpin perang yang terkenal dari pulau Waigeo, Papua. 

Kurabesi berangkat dengan 24 perahu perang, dibawah komandonya dan berhasil menghalau VOC. Atas bantuan dari Mambri Kurabesi ini, maka sebagai penghargaan, Sultan Jamaludin memberikan anak gadisnya yang bernama Bongky di kawinkan dengan Mambri Kurabesi.

Dengan Demikian, maka tidak ada hubungan dengan Negara Indonesia. Klaim penguasa Negara Indonesia atas Papua adalah pembohongan. Mengapa? Karena fakta historisnya tidak terbukti, penuh manipulatif dan menutup aspirasi rakyat Papua untuk merdeka.

Dari hasil temuan para ahli-ahli ilmuwan dunia di atas, maka bukti bahwa Papua adalah Papua yang belum pernah tersentu oleh siapapun manusia di Dunia, sebelum Ynigo Ordiz de Retes dan Missionaris berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geisler) datang di atas tanah Papua pada tanggal 5 Februari 1855.

Pada tanggal 24 Agustus 1828, Pemerintah Belanda telah memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial colony-nya, dan mulai membangun pos perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut adalah ”Fort du Bus”.

Pada 1 Desember 1961, deklarasi Kemerdekaan bagi Papua Barat dan mulai dibangun pos-pos Papua untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh. Namun, Pada 19 Desember 1961, Indonesia yang dikumandankan oleh Presiden Indonesia, Ir. Soekarno di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta-Indonesia melakukan invasi militer melalui Operasi Trikora dengan alasan mengusir Belanda dan Membubarkan Negara Boneka buatan Belanda. Sejak itulah, Negara Indonesia melalui penguasanya memerintahkan dan memulai niat jahat untuk menjajah Papua Barat.

Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1962. Di dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Penentuan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh penguasa Negara Indonesia sebagai PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

Perjanjian New York, Perjanjian ini diusulkan oleh Amerika Serikat yang dalam teknisnya disiapkan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker. Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) yang akan dilaksanakan tahun 1969.

Penandatanganan New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut: (Baca: Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.)

Pertama, Perjanjin New York adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua. Namun, di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi dari Papua Barat.

Kedua, Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerahkan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. Akibatnya, hak-hak politik dan Hak Azasi Manusia (HAM) dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.

Ketiga, Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance whit international practice…”

Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement.

Namun, hal ini tidak dilaksanakan. PEPERA 1969 dilaksanakan  dengan cara lokal Indonesia. Yaitu: Musyawarah oleh 1025 orang dari total 800.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan, dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh penguasa Negara Indonesia. Selain itu, masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam pra dan pasca PEPERA 1969.

Sikap mendasar Indonesia dan niat buruk Amerika yang merusak masyarakat pribumi Papua di seluruh wilayah adat Papua. Ironisnya, PBB hingga sampai saat ini seperti lupa ingatan, cacat mental sehingga, tidak mempertanggungjawabkan kesalahan dalam penyelesaian sengketa Politik.

Peradaban masyarakat Pribumi Papua mulai dari Ekonomi, Pola Hidup, Kepercayaan, sistem pemerintahan saat itu kerajaan, menunjukkan bahwa mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak ribuan tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis. 

Sedangkan, di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, seperti; seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.

Atas dasar masyarakat Pribumi Papua mewaspadai pemusnahan maka mengutip Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi seperti tercantum dalam tambahan resolusi saat ini. Penulisan rekomendasi dari Majelis Umum PBB tercantum dalam resolusi 1 / 2 tanggal 29 Juni 2006, yang mana Majelis Umum PBB mengutip dari teks deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat pribumi, mengingat resolusi 61/178 tanggal 20 Desember 2006.

Berpedoman pada tujuan dan prinsip piagam PBB, dan itikad yang baik dengan memenuhi kewajiban yang dimaksud oleh Bangsa-bangsa sesuai dengan piagam. Menegaskan juga bahwa semua manusia memberikan kontribusi pada keragaman dan kekayaan dari pada peradaban dan budaya yang merupakan warisan bersama umat manusia. 

Menegaskan lebih jauh bahwa semua doktrin, kebijakan-kebijakan dan tindakan yang berdasar pada pembelaan superioritas orang-orang atau individu-individu dalam basis perbedaan negara asal atau ras, agama, etnik atau budaya adalah rasis, salah secara ilmu, tidak valid menurut hukum, salah secara moral dan tidak adil secara sosial. Penegasan kembali bahwa masyarakat pribumi, dalam pelaksanan Hak –hak mereka harus bebas dari segala bentuk diskriminasi.

Keprihatinan bahwa masyarakt pribumi telah menderita ketidakadilan sejarah sebagai hasil dari timbal balik, kolonisasi dan pengambilalihan tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka. Hal tersebut yang pada dasarnya menghalangi mereka melaksanakan hak-hak mereka untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keterwakilan mereka sendiri. 

Mengetahui kebutuhan mendesak mereka untuk menghargai dan menaikan hak azasi dari masyarakat pribumi yang di peroleh dari struktur politik, ekonomi dan sosial mereka serta dari budaya, tradisi spiritual, sejarah dan filosofi mereka terutama hak atas tanah, wilayah serta sumber-sumber daya mereka.

Melalui kehadiran Negara Indonesia secara illegal di Papua Barat, membuka pintu bagi negara Kapitalisme yang telah menghancurkan masyarakat pribumi, sama seperti; Aborigin (Australia) dan Indian (Amerika) maka, tidak boleh terjadi bagi masyarakat pribumi Papua.
Sikap melindungi diri, kolektif, atau sejenisnya oleh masyarakat Pribumi Papua dicap separatis, anti-pembangunan, makar, pengacau keamanan, bahkan teroris. Negara dan hegemoninya memperalat Tentara dan Polisi Indonesia, sehingga terjadi pelanggaran HAM secara berlanjutan dan tidak ada penyelesaian akhir dari tahun 1963 (aneksasi) hingga saat ini.

Elit-Politik Papua merupakan boneka penguasa Negara Indonesia, Negara Indonesia adalah boneka negara Kapitalisme, dan Militer Indonesia setia untuk mengkawal agenda pemusnahan Papua (Manusia dan Karakter Olah Tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok) secara sistematis maupun fisik.

Untuk melindungi pemodal, penguasa Negara Indonesia melegalkan kehadiran pemodal di dalam Keputusan Presiden (Keppres) dan peraturan perundang-undangan, seperti; Keppres No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat (sekarang Papua) untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Undang-undang (UU) Nomor. 15 Tahun 1956, Tentang: Pembentukan Provinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Provinsi Irian Barat. UU Negara Republik Indonesia Nomor. 01 Tahun 1967, Tentang: Penanaman Modal Asing.

Penjajah Indonesia masih mengklaim wilayah sengketa politik (Papua Barat) dengan adanya PEPERA 1969 (Pra PEPERA 1969, Pasca PEPERA 1969) yang jelas-jelas cacat hukum dan moral. (Baca referensi: P.J. Drooglever; Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri). Dan memperlancar, memperluas, semakin profesional dalam setiap kebijakan politik penjajahan yang dilegalkan agar mudah untuk menindas rakyat bangsa Papua.

PEPERA 1969 tidak sah karena, dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem lokal Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement. Di samping itu, PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat teror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA 1969 secara cacat hukum dan moral ini akhirnya diterima oleh PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. 

Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekertaris Jendral (Sekjend) PBB dan mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian Barat). (Baca Referensi: Melinda Janki; West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional).

Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971, kemudian dalam pembentukan UU Oleh Presiden Republik Indonesia, Nomor: 12 Tahun 1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta), Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Sebagai tindak lanjut, Presiden Republik Indonesia mengklaim bahwa dari hasil PEPERA yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari NKRI dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963, Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/ 1966.

Sebelum PEPERA 1969 sudah dilancarkannya invasi militer besar-besaran ke Papua dalam kebijakan DOM. Sudah dan sedang memobilisasi massa dari luar Papua ke Papua. Dan setelah hasil PEPERA 1969, Negara Indonesia lebih cepat dan disiplin dalam praktek-praktek penjajahan. Akibatnya, Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi, Sosial-Budaya bagi OAP diperlakukan seperti bukan pemilik tanah Papua.

Kehadiran Indonesia yang cacat hukum dan tidak bermoral di tanah Papua seakan memaksakan Orang Papua agar diharuskan dalam kepentingan Indonesia dan hegemoni imperialisme global. Tanpa, melihat dan memahami karakteristik rakyat setempat, apa itu Papua, Tatanan sosial-budaya dan yang utama adalah sejarahnya.

Hingga hari ini, sekitar 20-an negara di Eropa, Afrika, Australia, Asia dan Amerika beradu keuntungan di dalam Freeport yang terus menghisap tanah Papua, kandungan Bumi Papua hingga pemilik didaruratkan oleh negara Indonesia berseragam militer dan berwatak kapitalis. Indonesia sendiri menciptakan kaum borjuasi dan berperan sebagai elit-politik, tentunya demi kejayaan keuntungan bagi pemodal.

Ilustrasi
Perusahaan asing atau saham pemodal (Imperialisme) yang terus mencari keuntungan dan mencekik tanah Papua hingga pemilik negri sesak nafas dan berujung pada kepunahan. Yaitu: BP dari UK, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari USA, penghasil LNG di Warim, Papua dan telah eksploitasi. CNOOC dari Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. ECR Minerals dari UK, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan masih beroperasi. Freeport McMoran dari USA, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Hillgrove Resources dari Australia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara Resources dari Australia, penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula, Papua dan Perusahaan ini baru diberitahukan. KG dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Painai Gold dari Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi. PT. Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Anugerah Surya Pratuma, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Kawe Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Nippon Oil dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Queensland Nickel dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat, Papua dan masih mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto dari Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Santos dari Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina, Papua dan sudah mengeksploitasi. Talisman Energy dari Canada, penghasil LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih beroperasi. West Wits Mining Ltd dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai Degeuwo,Paniai-Papua dan masih beroperasi. (Daftar perusahaan asing: Nonton BloombergTV!).

Penguasa negara Indonesia dan hegemoni Kapitalis terus memperjayakan Imperialisme dalam arus globalisasi. Lagi-lagi, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, Canada, Afrika Selatan dan Cina adalah raja bagi Indonesia. Jangan heran ketika Presiden Indonesia, Jokowidodo hadir dalam pertemua APEC dan mempresentasekan bagaimana Indonesia menyiapkan lahan Pangan berbasis Internasional serta Migas (Minyak dan Gas) terus beroperasi. Dan dalam pertemuan G20 Jokowidodo hadir sebagai sentral Ekonomi dunia dengan dasar Freeport, ini membuat presiden Indonesia sebagai pekerja dapur ekonomi global yang dilegalkan dalam politik pemerintahan Indonesia dan melahirkan MP3EI.

Dan melalui MP3EI, proyek MIFEE di dalamnya ada 36 investor pun masih beroperasi di Tanah Papua bagian Selatan. Di Merauke, dalam sambutan Presiden Indonesia, Jokowidodo saat di Kurik, Merauke pada 10 Mei 2015 bahwa 1,2juta hektar harus selesai dalam waktu tiga atau empat tahun bagi pangan berbasis internasional. Dan sekitar 300 ribu lebih hektar sedang beroperasi untuk Kelapa Sawit, di luar dari 1,2juta hektar itu (Sumber: Nonton Video Ekspedisi Indonesia Biru! "The Mahuzes").

Dengan memperkerjakan warga migran yang hingga saat ini mendominasi tanah Papua bahwa tidak ada keuntungan bagi masyarakat pribumi Papua dan dampaknya pemusnahan bagi Papua, seperti; Manusia dan Karakter olah tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok.

Keputusan Mahkama Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 tentang Hutan Adat Bukan Hutan Negara, sudah sangat jelas. Negara yang namanya Indonesia sudah memutuskan demikian. Namun nyatanya tidak, ada pertimbangan-pertimbangan oleh karena, UU No.33 Tahun 1945 tentang segala isi bumi, tanah, air dan hutan, milik negara, diatur oleh negara dan untuk negara.

Setelah melihat ini semua maka inilah niat dari kehadiran Negara Indonesia di Papua Barat. Walaupun, fakta sejarah Papua Barat dan Ilegalnya Indonesia di tanah Papua, bahkan PBB, Amerika dan Belanda belum mempertanggungjawabkan kesalahan fatal mereka yang pada waktu itu sepihak, cacat hukum dan tidak bermoral.

Hal Ini jelas bahwa wajah penguasa Negara Indonesia adalah melegalkan kepentingan pemodal untuk terus merauk keuntungan. Akibatnya, bukan hanya manusia dan karakter sebagai pemilik negri yang punah. Tetapi juga, bumi Papua, seperti; Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok.

Penguasa Negara Indonesia yang memperjelas wajah Indonesia hingga membuktikan bahwa Indonesia adalah penjajah. Dan Orang Indonesia yang tidak henti-hentinya memperlakukan Orang Papua setengah binatang (Baca: Seakan kitorang setengah binatang, Diskriminasi Rasial, Filep Karma), memanggil Orang Papua dengan sebutan Kera, pemabuk, bodok, dan lainnya. Jelas bahwa hal itu merupakan hasil dari politisasi NKRI oleh penguasa Negara Indonesia yang menjaga keuntungan pemodal untuk membenturkan sesama rakyat tertindas.

Kutipan lembar lepas sekertariat Negara Indonesia tahun 2001, bentuk UU oleh presiden Republik Indonesia, Nomor 21 TAHUN 2001 (21/2001) pada tanggal 21 November 2001 di Jakarta (Sumber: LN 2001/135; TLN NO 4151), tentang Otonomi Khusus (OTSUS) lahir karena, Dinamika perjuang Papua untuk merdeka dan berdaulat di Sipil Kota oleh Theiy Eluay dan kawan-kawan mulai dari Deklarasi 1 Agustus 1999, Pertemuan Tim Seratus dengan Presiden Indonesia B.J. Habibie yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, Pada tanggal 23 – 26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani-Jayapura, dan Kongres Papua II dilaksanakan pada tanggal 29 Mei – 4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura dengan tema: “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, dan subtema: Rakyat Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.

Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto. Inti dari manifesto hak-hak dasar Rakyat Papua Barat dan Resolusi Kongres 2000 adalah Papua Barat harus keluar dari NKRI dan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat sendiri. Selanjutnya, dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada PDP.

Setelah Kongres Papua 2000, perjuangan Papua Barat untuk merdeka mulai menampakkan hasil. Namun, sejak terbunuhnya Theys Hiyo Eluay, perjuangan (mandat kepada PDP) mengalami kemunduran sehingga dilahirkannya OTSUS oleh negara Indonesia melalui presiden Megawati Soekarno Putri.

OTSUS tidak serta merta ada karena kepedulian Indonesia kepada Papua Barat. Apalagi, mendukung aspirasi rakyat Papua Barat. Pembunuhan Theys Eluay dan penculikan terhadap Aristoteles Masoka oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) yang diperintahkan oleh Megawati Soekarno Putri sebagai presiden pada saat itu merupakan ketakutan akan kebangkitan nasionalisme Papua Barat hingga tercapainya harapan rakyat untuk merdeka dan berdaulat. Juga, merupakan sebuah tawaran yang berlandaskan pada hasil PEPERA 1969 sehingga, memekarkan wilayah Papua sebagai wilayah Otonom.

OTSUS juga bukan merupakan hasil kerja keras Negara Indonesia di wilayah teritorinya  untuk diberikannya ke Papua Barat. Tetapi, hasil dari pajak Perusahaan asing dari sumber daya Papua Barat yang diberikan kembali ke Papua dalam jumlah yang sangat kecil. Data pada tahun 2008, untuk penghasilan Emas di Freeport perhari kurang-lebih sekitar 800 Milyar USD (1 USD sama dengan 12 Ribu Rupiah, dikalkulasikan kira-kira sekitar 9,6 Triliun Rupiah). Bagaimana dengan penghasilan Tembaga, Nikel, dan lain-lain. Dan jika, semua perusahaan di Papua Barat  memberikan pajak dari hasilnya ke Indonesia? Sementara, OTSUS hanya berjumlah 30 Triliun rupiah. (Nonton Referensi: Video dibloombergTV dan Kaset VCD/DVD tentang Freeport).

Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa. Dengan demikian, penghasilan Emas di Freeport perhari USD800 Milyar bisa melengkapi kebutuhan ekonomi bagi orang Papua, termasuk Pendidikan kalau dilihat dari jumlah penduduk OAP. Apalagi, jika ditambah dengan Sumber Daya Alam yang sudah dan sedang dihisap lainnya. Pastinya, saya bisa kuliah di Rusia dan weekend di Tanah Air atau membuat tempat tinggal ala Papua, makanan Pokok Papua dan Guru-Dosen (Pendidik) dari Rusia, Korea Utara atau Cuba kita datangkan dan mendidik generasi Papua agar ahli di bidang tertentu.

Mulai dari Invasi Militer besar-besaran ke Papua, Mobilisasi massa ke Papua Barat (Transmigrasi), Pemekaran sampai pada OTSUS dikawal ketat oleh Tentara dan Polisi Indonesia dalam bentuk Operasi Militer secara berlanjutan. Pada dasarnya OTSUS adalah nilai tawar kepada rakyat Papua Barat agar meredam “Merdeka” dan penguasa Indonesia terus melakukan kongkalikong bersama Pemodal.

Bentuk-bentuk turunan dari niat menjajah di Papua Barat ada banyak dan semakin profesional yang intinya penguasa Negara Indonesia terus keras kepala menahan Papua Barat hanya karena kepentingan Ekonomi-Politik atau dasarnya adalah membantu kejayaan keuntungan bagi pemodal. Sangat memprihatinkan ketika aksi dari Pemilik Tanah Adat “tutup perusahaan asing” dicap separatis, makar dan teroris. Juga, ketika aksi dari pemilik negri “Self-Determination” dicap anti-pembangunan dan makar. Sehingga, Tentara dan Polisi Indonesia sebagai alat reaksioner yang selalu berhadapan dengan rakyat yang melawan tirani penindasan atas niat menjajah Negara Indonesia.

Dampak kolonisasi dan Pemodal yang terus mencari keuntungan hingga jumlah penduduk OAP menurun drastis. Dilihat dari Pembunuhan secara fisik maupun sistematis terhadap OAP dan Pembatasan pada Rahim Perempuan Papua untuk mereproduksi keturunan. (Pantauan dan diskusi, Referensi: angka kelahiran yang berkurang dan angka kematian yang meningkat).

Sumber data oleh Jim Elsmslie, sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011. Dari tahun 1971, penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk orang Papua; 1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua; 1.558.795 jiwa dan pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 2.646.489 jiwa. Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.

Jika, hal ini dibiarkan maka penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Negara Indonesia akan mempolitisasi rakyat indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh presidennya sendiri hingga dibenturkan dengan masyarakat pribumi Papua yang semakin berkurang.

Hingga sampai saat ini, niat menjajah masih terus diperjuangkan oleh penguasa Negara Indonesia dengan cara-cara yang profesional (mencuri hati orang Papua, menipu, dan menikamnya dari belakang). Dan di dalam politik pemerintahan Negara Indonesia, melegalkan Imperialisme demi keuntungan bagi Kapitalis. Dan aktivitas ini beruncing pada pemusnahan “Papua”.

 
Penulis adalah Aktivis Papua, Tinggal di West Papua 


 

Posting Komentar

0 Komentar