Oleh ; Sonny Dogopia
”Hancurkan Klaim Wilayah dan Hapuskan Penghisapan”
Ko'Sapa - Di Australia masyarakat pribumi yang
disebut Aborigin telah
dipinggirkan dari peradaban modern belahan bumi Eropa
dan Amerika, setelah Amerika
berhasil menyudutkan masyarakat pribumi di Amerika
yang dikenal sebagai pribumi Indian. Masyarakat pribumi Aborigin telah mengalami
perpindahan sosial-budaya dan
karaktek, bahkan
berkurangnya perkembang-biakan hingga terancam punah.
Hari ini, sebagai masyarakat pribumi Papua untuk menjaga dan melestarikan
eksistensi, tatanan sosial-budaya Orang Papua dipandang sebagai
primitif
dan pornografi hingga sampai pada pengecapan separatis, makar,
anti-pembangunan, pengacau keamanan, bahkan teroris.
Pada
perkembangan sejarah,
datang manusia dari bangsa lain dengan berbagai aktivitas berdagang dan
kepentingan Ekonomi.
Mereka mengira bumi Papua
tidak ada masyarakat pribuminya. Tetapi, mereka telah melakukan perdagangan disertai dengan pemberian
nama pada waktu itu.
Pemberian nama ke nama untuk bumi Papua
tentunya bukan hanya asal memberi nama. Namun, Mereka melihat dari bentuk
fisik, isi bumi dan penghuni bumi Papua.
Pada
abad ke-14 pernah
dikunjungi oleh pedagang China di Papua,
dan menamai pulau Papua dengan nama Tung-ki atau Janggi.
Papua tercatat dalam Kitab
Negara-Kertagama, dibawah kekuasaan Raja Majapahit pada tahun 1365, dimana Raja
Mpu Prapanca membangun jalur-jalur perdagangan dan dapat memberikan dua bagian
wilayah orang Papua yaitu, Onin
dan Seran dengan maksud untuk mudah
control dari Jawa.
Dalam tahun 1511, Papua telah dikunjungi
oleh Antonio 'de Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha de Papoia'.
Kemudian, diikuti oleh Radriguez dalam tahun 1517.
Pada tanggal 20 Juni 1545, pulau Papua dikunjungi oleh
Ynigo Ordize de Retes, seorang pelaut berkebangsaan Spanyol pada, saat dia
mengelilingi dunia sambil mencari rempah-rempah, dari ternate menuju Meksiko
melalui jalur Pasifik, singga di Muara sungai Mamberamo dan menamainya dengan
nama Nova Guinea.
Setelah Ynigo kembali ke Eropa, membuat
laporan atas penemuannya. Kemudian,
para Ilmuwan memplotnya dalam peta Dunia, dan memberi nama Pulau Papua menjadi
New Guinea pada tahun 1569. Nama ini berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas
ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa Papua yang ada kesamaannya dengan orang-orang
di Guinea, Benua Africa, dan Papua New Guinea
(PNG). Berdasarkan sumber di Encylopaedie van Nederlandsch
Indie
(Tentang Papua).
Nama ini diplot lagi dalam peta Dunia
menjadi dua bagian, sesuai pembagian wilayah dari dua colony, yaitu Belanda dan
Inggris. Kemudian, setelah Belanda mulai menguasai Papua dari tahun 1908, nama
Papua diplot lagi menjadi West
Nederlands New Guinea di bagian Barat (dibawah
kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea di bagian Timur dibawah kekuasaan
Inggris.
Pemberian nama ini bertahan hingga tahun
1963, aneksasi Papua ke dalam Negara
Indonesia. Dimana, Belanda meninggalkan
Papua Barat dan Indonesia melakukan pendudukan di Tanah Papua melalui Invasi Militer besar-besaran, dengan jalan
membumi-hanguskan lingkungan hidup penduduk pribumi serta membunuh dan
menghilangkan paksa nyawa-nyawa masyarakat pribumi Papua, yang sebenarnya
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Hubungan politik dengan Sultan Tidore
resminya dalam tahun 1649 pada masa VOC (Dutch
Indies Company) atas pembagian laut Tidore. Untuk menghalau VOC, Sultan
Jamaluddin meminta bantuan kepada Mambri Kurabesi. Kurabesi adalah seorang
pemimpin perang yang terkenal dari pulau Waigeo, Papua.
Kurabesi berangkat dengan 24 perahu perang,
dibawah komandonya dan berhasil menghalau VOC. Atas bantuan dari Mambri
Kurabesi ini, maka sebagai penghargaan, Sultan Jamaludin memberikan anak
gadisnya yang bernama Bongky di kawinkan dengan Mambri Kurabesi.
Dengan Demikian, maka tidak ada hubungan
dengan Negara Indonesia.
Klaim penguasa Negara Indonesia
atas Papua adalah pembohongan. Mengapa? Karena fakta historisnya tidak terbukti, penuh manipulatif dan
menutup aspirasi rakyat Papua untuk merdeka.
Dari hasil temuan para ahli-ahli ilmuwan
dunia di atas, maka bukti bahwa Papua adalah Papua yang belum pernah tersentu
oleh siapapun manusia di Dunia, sebelum Ynigo Ordiz de Retes dan Missionaris
berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geisler) datang di atas tanah Papua pada
tanggal 5 Februari 1855.
Pada tanggal 24 Agustus 1828, Pemerintah
Belanda telah memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial colony-nya, dan mulai membangun pos
perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut adalah ”Fort du Bus”.
Pada 1 Desember 1961, deklarasi Kemerdekaan
bagi Papua Barat dan
mulai dibangun pos-pos Papua untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh. Namun, Pada
19 Desember 1961, Indonesia yang dikumandankan oleh Presiden Indonesia, Ir. Soekarno di Alun-alun
Utara Kota Yogyakarta-Indonesia melakukan invasi militer melalui Operasi
Trikora dengan alasan mengusir Belanda dan Membubarkan Negara Boneka buatan
Belanda. Sejak itulah, Negara Indonesia
melalui penguasanya memerintahkan dan memulai niat jahat untuk menjajah Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses
pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum
internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam
agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1962. Di dalam Majelis
Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York pada
15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Penentuan Bebas
Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh penguasa Negara Indonesia sebagai PEPERA
(Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Perjanjian
New York, Perjanjian ini diusulkan oleh Amerika Serikat yang dalam teknisnya
disiapkan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker.
Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua
Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) yang akan
dilaksanakan tahun 1969.
Penandatanganan
New York Agreement
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam
perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut: (Baca: Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.)
Pertama,
Perjanjin New York adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis
maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib
bangsa Papua. Namun, di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil
resmi dari Papua Barat.
Kedua,
Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive
Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat
menyerahkan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia
mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua.
Akibatnya, hak-hak politik dan Hak
Azasi Manusia (HAM) dilanggar
secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Ketiga,
Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The
eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to
participate in the act of self-determination to be carried out
in accordance whit international practice…”.
Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang
dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat
penandatanganan New York Agreement.
Namun, hal ini tidak dilaksanakan.
PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara
lokal Indonesia. Yaitu: Musyawarah oleh 1025 orang dari total 800.000 orang
dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan, dari 1025 orang yang dipilih untuk
memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah
disiapkan oleh penguasa
Negara Indonesia. Selain itu,
masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, tidak diberi kesempatan untuk
terlibat dalam pra dan
pasca PEPERA 1969.
Sikap mendasar Indonesia dan niat buruk
Amerika yang merusak masyarakat pribumi Papua di seluruh wilayah adat Papua. Ironisnya, PBB hingga
sampai saat ini seperti lupa ingatan, cacat mental sehingga, tidak
mempertanggungjawabkan kesalahan dalam penyelesaian sengketa Politik.
Peradaban masyarakat Pribumi Papua mulai
dari Ekonomi, Pola Hidup, Kepercayaan, sistem pemerintahan saat itu kerajaan, menunjukkan bahwa mampu
untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku,
yang telah mendiami Papua Barat sejak ribuan tahun silam, dipimpin oleh
kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap
kepala suku dipilih secara demokratis.
Sedangkan, di beberapa daerah lainnya
kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan
pemerintahan tradisional di beberapa daerah, seperti; seorang Ondofolo masih
memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh
masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Atas dasar masyarakat Pribumi Papua
mewaspadai pemusnahan maka mengutip Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi seperti tercantum dalam tambahan
resolusi saat ini. Penulisan
rekomendasi dari Majelis Umum PBB tercantum dalam resolusi 1 / 2 tanggal 29
Juni 2006, yang mana Majelis Umum PBB mengutip dari teks deklarasi PBB tentang
Hak-hak masyarakat pribumi, mengingat resolusi 61/178 tanggal 20 Desember 2006.
Berpedoman pada tujuan dan prinsip piagam
PBB, dan itikad yang baik dengan memenuhi kewajiban yang dimaksud oleh Bangsa-bangsa
sesuai dengan piagam. Menegaskan juga bahwa semua manusia memberikan kontribusi
pada keragaman dan kekayaan dari pada peradaban dan budaya yang merupakan
warisan bersama umat manusia.
Menegaskan lebih jauh bahwa semua doktrin,
kebijakan-kebijakan dan tindakan yang berdasar pada pembelaan superioritas
orang-orang atau individu-individu dalam basis perbedaan negara asal atau ras, agama,
etnik atau budaya adalah rasis, salah secara ilmu, tidak valid menurut hukum,
salah secara moral dan tidak adil secara sosial. Penegasan kembali bahwa
masyarakat pribumi, dalam pelaksanan Hak –hak mereka harus bebas dari segala
bentuk diskriminasi.
Keprihatinan bahwa masyarakt pribumi telah
menderita ketidakadilan sejarah sebagai hasil dari timbal balik, kolonisasi dan
pengambilalihan tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka. Hal
tersebut yang pada dasarnya menghalangi mereka melaksanakan hak-hak mereka
untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keterwakilan mereka sendiri.
Mengetahui kebutuhan mendesak mereka untuk menghargai
dan menaikan hak azasi dari masyarakat pribumi yang di peroleh dari struktur
politik, ekonomi dan sosial mereka serta dari budaya, tradisi spiritual,
sejarah dan filosofi mereka terutama hak atas tanah, wilayah serta
sumber-sumber daya mereka.
Melalui
kehadiran Negara
Indonesia secara illegal di Papua Barat,
membuka pintu bagi negara
Kapitalisme yang telah
menghancurkan masyarakat pribumi, sama
seperti; Aborigin (Australia) dan Indian (Amerika) maka, tidak boleh terjadi
bagi masyarakat pribumi Papua.
Sikap melindungi diri, kolektif, atau sejenisnya oleh
masyarakat Pribumi Papua dicap separatis, anti-pembangunan, makar, pengacau
keamanan, bahkan teroris. Negara dan hegemoninya memperalat Tentara dan Polisi
Indonesia, sehingga terjadi pelanggaran HAM secara berlanjutan dan tidak ada
penyelesaian akhir dari tahun 1963 (aneksasi) hingga saat ini.
Elit-Politik Papua
merupakan boneka penguasa Negara
Indonesia, Negara Indonesia adalah boneka negara Kapitalisme, dan Militer Indonesia setia untuk
mengkawal agenda pemusnahan Papua (Manusia
dan Karakter Olah Tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan
Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat,
Makanan dan Bahan Pokok) secara sistematis maupun fisik.
Untuk
melindungi pemodal, penguasa Negara
Indonesia melegalkan kehadiran pemodal di dalam Keputusan Presiden (Keppres)
dan peraturan perundang-undangan, seperti; Keppres No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah
Irian Barat (sekarang Papua) untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Undang-undang (UU) Nomor. 15 Tahun 1956, Tentang: Pembentukan Provinsi Irian
Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Irian Barat dengan Gubernur
Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956
bersamaan dengan Peresmian Provinsi Irian Barat. UU Negara Republik Indonesia Nomor. 01
Tahun 1967, Tentang: Penanaman Modal Asing.
Penjajah Indonesia masih mengklaim wilayah
sengketa politik (Papua Barat) dengan adanya PEPERA 1969 (Pra PEPERA 1969,
Pasca PEPERA 1969) yang jelas-jelas cacat hukum dan moral. (Baca referensi: P.J. Drooglever; Tindakan Pilihan Bebas!
Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri). Dan memperlancar, memperluas,
semakin profesional dalam setiap kebijakan politik penjajahan yang dilegalkan
agar mudah untuk menindas rakyat bangsa Papua.
PEPERA 1969 tidak sah karena, dilaksanakan
dengan sistem “musyawarah” (sistem lokal Indonesia) yang bertentangan dengan
isi dan jiwa New York Agreement. Di
samping itu, PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat teror, intimidasi,
penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).
Kemenangan PEPERA 1969 secara cacat hukum dan moral ini akhirnya diterima oleh
PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan
praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi
Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekertaris Jendral (Sekjend) PBB
dan mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB
kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara
Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian
Barat). (Baca Referensi: Melinda Janki;
West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional).
Resolusi
Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7
tahun 1971, kemudian dalam pembentukan UU Oleh Presiden Republik Indonesia,
Nomor: 12 Tahun 1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta),
Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian
Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Sebagai
tindak lanjut, Presiden
Republik Indonesia mengklaim
bahwa dari hasil PEPERA yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari
NKRI dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang
efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian
Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963,
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera
diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXI/MPRS/ 1966.
Sebelum PEPERA 1969 sudah dilancarkannya
invasi militer besar-besaran ke Papua dalam kebijakan DOM. Sudah dan sedang
memobilisasi massa dari luar Papua ke Papua. Dan setelah hasil PEPERA 1969,
Negara Indonesia lebih cepat dan disiplin dalam praktek-praktek penjajahan.
Akibatnya, Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi, Sosial-Budaya bagi OAP
diperlakukan seperti bukan pemilik tanah Papua.
Kehadiran Indonesia yang cacat hukum dan tidak bermoral di tanah Papua seakan memaksakan Orang Papua agar diharuskan
dalam kepentingan Indonesia dan hegemoni imperialisme global. Tanpa, melihat
dan memahami karakteristik rakyat setempat, apa itu Papua, Tatanan
sosial-budaya dan yang utama adalah sejarahnya.
Hingga hari ini, sekitar 20-an negara di Eropa, Afrika,
Australia, Asia dan Amerika beradu keuntungan di dalam Freeport yang terus
menghisap tanah Papua, kandungan Bumi Papua hingga pemilik didaruratkan oleh
negara Indonesia berseragam militer dan berwatak kapitalis. Indonesia sendiri
menciptakan kaum borjuasi dan berperan sebagai elit-politik, tentunya demi
kejayaan keuntungan bagi pemodal.
![]() |
Ilustrasi |
Perusahaan asing atau saham pemodal (Imperialisme) yang terus mencari keuntungan dan mencekik tanah Papua
hingga pemilik negri sesak nafas dan berujung pada kepunahan. Yaitu: BP dari UK, penghasil LNG di Teluk
Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari USA, penghasil LNG di Warim,
Papua dan telah eksploitasi. CNOOC
dari Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih
beroperasi. ECR Minerals dari UK,
penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan masih beroperasi. Freeport
McMoran dari USA, penghasil Emas
dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Hillgrove
Resources dari Australia,
penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara
Resources dari Australia,
penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula, Papua dan Perusahaan ini
baru diberitahukan. KG dari
Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih
beroperasi. Painai Gold dari
Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi. PT.
Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula,
Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari Indonesia, penghasil Nikel dan
Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Anugerah
Surya Pratuma, penghasil Nikel
dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Kawe
Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe
Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua
dan masih beroperasi. Nippon Oil
dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih
beroperasi. Queensland Nickel
dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat, Papua dan masih
mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto
dari Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua
dan masih beroperasi. Santos dari
Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina, Papua dan sudah
mengeksploitasi. Talisman Energy
dari Canada, penghasil LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih
beroperasi. West Wits Mining Ltd
dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai Degeuwo,Paniai-Papua dan
masih beroperasi. (Daftar perusahaan asing:
Nonton BloombergTV!).
Penguasa
negara Indonesia dan hegemoni
Kapitalis terus memperjayakan Imperialisme dalam arus globalisasi. Lagi-lagi,
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, Canada, Afrika Selatan dan Cina
adalah raja bagi Indonesia. Jangan heran ketika Presiden Indonesia, Jokowidodo
hadir dalam pertemua APEC dan mempresentasekan bagaimana Indonesia menyiapkan
lahan Pangan berbasis Internasional serta Migas (Minyak dan Gas) terus
beroperasi. Dan dalam pertemuan G20 Jokowidodo hadir sebagai sentral Ekonomi
dunia dengan dasar Freeport, ini membuat presiden Indonesia sebagai pekerja
dapur ekonomi global yang dilegalkan dalam politik pemerintahan Indonesia dan
melahirkan MP3EI.
Dan melalui MP3EI, proyek MIFEE di dalamnya ada 36 investor
pun masih beroperasi di Tanah Papua bagian Selatan. Di Merauke, dalam sambutan
Presiden Indonesia, Jokowidodo saat di Kurik, Merauke pada 10 Mei 2015 bahwa
1,2juta hektar harus selesai dalam waktu tiga atau empat tahun bagi pangan
berbasis internasional. Dan sekitar 300 ribu lebih hektar sedang beroperasi untuk
Kelapa Sawit, di luar dari 1,2juta hektar itu (Sumber: Nonton Video Ekspedisi
Indonesia Biru! "The Mahuzes").
Dengan memperkerjakan warga migran yang hingga saat ini
mendominasi tanah Papua bahwa tidak ada keuntungan bagi masyarakat pribumi Papua dan dampaknya pemusnahan
bagi Papua, seperti; Manusia
dan Karakter olah tanah, Tatanan Sosial
dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut
dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok.
Keputusan Mahkama Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 tentang
Hutan Adat Bukan Hutan Negara, sudah sangat jelas. Negara yang namanya
Indonesia sudah memutuskan demikian. Namun nyatanya tidak, ada
pertimbangan-pertimbangan oleh karena, UU No.33 Tahun 1945 tentang segala isi
bumi, tanah, air dan hutan, milik negara, diatur oleh negara dan untuk negara.
Setelah melihat ini semua maka inilah niat dari kehadiran Negara Indonesia di Papua Barat. Walaupun, fakta sejarah Papua Barat dan Ilegalnya Indonesia
di tanah Papua, bahkan PBB, Amerika dan Belanda belum
mempertanggungjawabkan kesalahan fatal mereka yang pada waktu itu sepihak,
cacat hukum dan tidak bermoral.
Hal Ini jelas bahwa wajah penguasa Negara Indonesia adalah melegalkan kepentingan pemodal untuk terus merauk
keuntungan. Akibatnya, bukan hanya manusia dan karakter sebagai pemilik negri
yang punah. Tetapi juga, bumi Papua, seperti; Tatanan Sosial
dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut
dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok.
Penguasa Negara Indonesia yang memperjelas wajah
Indonesia hingga membuktikan bahwa Indonesia adalah penjajah. Dan Orang
Indonesia yang tidak henti-hentinya memperlakukan Orang Papua setengah binatang
(Baca: Seakan kitorang setengah binatang,
Diskriminasi Rasial, Filep Karma), memanggil Orang Papua dengan sebutan
Kera, pemabuk, bodok, dan lainnya. Jelas bahwa hal itu merupakan hasil dari
politisasi NKRI oleh penguasa Negara Indonesia yang
menjaga keuntungan pemodal untuk membenturkan sesama rakyat tertindas.
Kutipan lembar lepas
sekertariat Negara Indonesia tahun 2001, bentuk UU oleh presiden Republik Indonesia, Nomor 21
TAHUN 2001 (21/2001) pada tanggal 21 November 2001 di Jakarta (Sumber: LN
2001/135; TLN NO 4151), tentang Otonomi Khusus (OTSUS) lahir karena, Dinamika
perjuang Papua untuk merdeka dan berdaulat di Sipil Kota oleh Theiy Eluay dan
kawan-kawan mulai dari Deklarasi 1 Agustus 1999, Pertemuan Tim Seratus dengan Presiden Indonesia B.J.
Habibie yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, Pada tanggal 23 – 26 Februari 2000
dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani-Jayapura, dan Kongres Papua II dilaksanakan pada tanggal 29 Mei – 4 Juni
2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura dengan tema: “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat”,
dan subtema: Rakyat Bangsa Papua
Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini telah berhasil melahirkan
sebuah Manifesto. Inti dari manifesto hak-hak dasar Rakyat Papua Barat dan Resolusi Kongres 2000
adalah Papua Barat harus keluar dari NKRI dan menjadi negara yang merdeka dan
berdaulat sendiri. Selanjutnya, dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua
memberikan mandat sepenuhnya kepada PDP.
Setelah Kongres Papua 2000, perjuangan
Papua Barat untuk merdeka mulai menampakkan hasil. Namun, sejak terbunuhnya
Theys Hiyo Eluay, perjuangan (mandat kepada PDP) mengalami kemunduran sehingga
dilahirkannya OTSUS oleh negara Indonesia melalui presiden Megawati Soekarno
Putri.
OTSUS tidak serta merta ada karena
kepedulian Indonesia kepada Papua Barat. Apalagi, mendukung aspirasi rakyat
Papua Barat. Pembunuhan Theys Eluay dan penculikan terhadap Aristoteles Masoka
oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) yang diperintahkan oleh Megawati Soekarno
Putri sebagai presiden pada saat itu merupakan
ketakutan akan kebangkitan nasionalisme Papua Barat hingga tercapainya harapan
rakyat untuk merdeka dan berdaulat. Juga, merupakan sebuah tawaran yang berlandaskan pada
hasil PEPERA 1969 sehingga, memekarkan wilayah Papua sebagai wilayah Otonom.
OTSUS juga bukan merupakan hasil kerja
keras Negara Indonesia
di wilayah teritorinya untuk diberikannya
ke Papua Barat. Tetapi, hasil dari pajak Perusahaan asing dari sumber daya Papua Barat yang diberikan
kembali ke Papua dalam jumlah yang sangat kecil. Data pada tahun 2008, untuk
penghasilan Emas di Freeport perhari kurang-lebih sekitar 800 Milyar USD (1 USD sama dengan 12 Ribu
Rupiah, dikalkulasikan kira-kira sekitar 9,6
Triliun Rupiah). Bagaimana dengan penghasilan Tembaga, Nikel, dan lain-lain.
Dan jika, semua perusahaan di Papua Barat
memberikan pajak dari hasilnya ke Indonesia? Sementara, OTSUS hanya
berjumlah 30 Triliun rupiah. (Nonton Referensi: Video dibloombergTV dan Kaset VCD/DVD tentang Freeport).
Pada
tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang; 1.980.000
jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa. Dengan demikian, penghasilan Emas di Freeport
perhari USD800 Milyar bisa melengkapi kebutuhan ekonomi bagi orang Papua,
termasuk Pendidikan kalau dilihat dari jumlah penduduk OAP. Apalagi, jika
ditambah dengan Sumber Daya Alam yang sudah dan sedang dihisap lainnya.
Pastinya, saya bisa kuliah di Rusia dan weekend
di Tanah Air atau membuat tempat tinggal ala Papua, makanan Pokok Papua dan
Guru-Dosen (Pendidik) dari Rusia, Korea Utara atau Cuba kita datangkan dan
mendidik generasi Papua agar ahli di bidang tertentu.
Mulai dari Invasi Militer besar-besaran ke Papua, Mobilisasi massa ke Papua Barat
(Transmigrasi), Pemekaran sampai pada OTSUS dikawal ketat oleh Tentara dan
Polisi Indonesia dalam bentuk Operasi Militer secara berlanjutan. Pada dasarnya
OTSUS adalah nilai tawar kepada rakyat Papua Barat agar
meredam “Merdeka” dan penguasa Indonesia terus melakukan kongkalikong bersama
Pemodal.
Bentuk-bentuk turunan dari niat menjajah di Papua Barat ada banyak dan
semakin profesional yang intinya penguasa Negara Indonesia
terus keras kepala menahan Papua Barat hanya karena kepentingan Ekonomi-Politik
atau dasarnya adalah membantu kejayaan keuntungan bagi pemodal. Sangat
memprihatinkan ketika aksi dari Pemilik Tanah Adat “tutup perusahaan asing”
dicap separatis, makar dan teroris. Juga, ketika aksi dari pemilik negri “Self-Determination” dicap
anti-pembangunan dan makar. Sehingga, Tentara dan Polisi Indonesia sebagai alat
reaksioner yang selalu berhadapan dengan rakyat yang melawan tirani penindasan
atas niat
menjajah Negara
Indonesia.
Dampak kolonisasi dan Pemodal yang terus
mencari keuntungan hingga jumlah penduduk OAP menurun drastis. Dilihat dari
Pembunuhan secara fisik maupun sistematis terhadap OAP dan Pembatasan pada
Rahim Perempuan Papua untuk mereproduksi keturunan. (Pantauan dan diskusi,
Referensi: angka kelahiran yang berkurang
dan angka kematian yang meningkat).
Sumber
data oleh Jim Elsmslie, sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011.
Dari tahun 1971, penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa,
dengan jumlah keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk
orang Papua; 1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah
keseluruhan penduduk; 1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua;
1.558.795 jiwa dan pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan
penduduk; 2.646.489 jiwa. Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000
jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.
Jika,
hal ini dibiarkan maka penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Negara Indonesia akan mempolitisasi rakyat
indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh presidennya sendiri hingga dibenturkan
dengan masyarakat pribumi Papua yang semakin
berkurang.
Hingga sampai
saat ini, niat menjajah masih terus diperjuangkan oleh penguasa Negara
Indonesia dengan cara-cara yang profesional (mencuri hati orang Papua, menipu,
dan menikamnya dari belakang). Dan di dalam politik pemerintahan Negara
Indonesia, melegalkan Imperialisme demi keuntungan bagi Kapitalis. Dan
aktivitas ini beruncing pada pemusnahan “Papua”.
Penulis adalah Aktivis Papua, Tinggal di West Papua
0 Komentar