Oleh; Stephanie Lawson
Pengantar dari penerjemah
Bagian ketiga dari tulisan ini akan berfokus secara khusus pada kemunculan identitas positif Melanesia.
Pembahasan akan dimulai dari wacana-wacana yang muncul dari orang-orang dan negara yang dikelompokkan sebagai Melanesia terutama PNG, Kaledonia Baru dan Vanuatu. Dengan mendiskusikan “Jalan Melanesia”, “kastom” kemudian “wantok/wantokisme”, pembaca diharapkan dapat memahami kemunculan istilah-istilah ini dan konsekuensinya secara politik terhadap pembentukan organisasi dan identitas subkawasan Melanesia, the Melanesian Spearhead Group yang akan dibahas di bagian ke empat (Veronika Kusumaryati).
Pembahasan akan dimulai dari wacana-wacana yang muncul dari orang-orang dan negara yang dikelompokkan sebagai Melanesia terutama PNG, Kaledonia Baru dan Vanuatu. Dengan mendiskusikan “Jalan Melanesia”, “kastom” kemudian “wantok/wantokisme”, pembaca diharapkan dapat memahami kemunculan istilah-istilah ini dan konsekuensinya secara politik terhadap pembentukan organisasi dan identitas subkawasan Melanesia, the Melanesian Spearhead Group yang akan dibahas di bagian ke empat (Veronika Kusumaryati).
Jalan Melanesia mulai populer terutama lewat
serangkaian artikel yang ditulis oleh intelektual PNG Bernard Narokobi yang
dipublikasikan di harian Post-Courier antara tahun 1976-1978 tidak lama setelah
PNG mendapatkan kemerdekaan dari Australia. Artikel-artikel ini dikumpulkan dan
ditambah dengan komentar kritis dari beberapa kontributor/penulis kemudian
ditambah dengan kata pengantar Henry Olela, akademisi di Jurusan Filsafat, Universitas
Papua Nugini (yang sangat mengenal gagasan-gagasan Negritude dan pendekatan
Afrosentris).
Pada tahun 1980, tulisan-tulisan ini pertama kali
diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Jalan Melanesia”.[1]
Buku dengan judul yang sama diterbitkan
oleh pemimpin Kanak Jean-Marie Tjibaou tidak lama setelah itu. Buku ini
berfokus pada isu-isu kebudayaan dan gagasan Melanesia di bawah penjajahan
Perancis di Kaledonia Baru.[2]
Buku Tjibaou ini diterbitkan setelah sebuah festival besar seni Melanesia
diselenggarakan di Noumea selama dua minggu dan dihadiri oleh ribuan orang
Kanak. Festival ini tidak hanya mencerminkan meningkatnya sentimen nasionalisme
di antara orang Melanesia pribumi di sana –yang menggunakan kata yang
merendahkan “kanak” sebagai penekanan yang bermakna positif atas identitas
pribumi mereka[3]
–tetapi hal ini juga berhubungan dengan gagasan yang lebih besar tentang Jalan
Pasifik dan Melanesia yang sedang populer saat itu.[4]
Hal ini mengilustrasikan salah satunya hubungan antara gagasan-gagasan
nasionalis dan kawasan serta lapis-lapis identitas di antaranya.
Dalam konteks pengalaman orang Kanak, banyak orang juga
menunjukkan bagaimana ideologi-ideologi nasionalis telah muncul melalui
usaha-usaha mengangkat nilai-nilai yang umum di kalangan orang Melanesia,
sebuah gerakan nasionalis yang cukup berbeda dengan proyek-proyek nasionalis yang
mengambil hal-hal abstrak dalam proyek emansipasi.[5]
Proyek-proyek yang terakhir ini tak diragukan lagi juga memiliki peran. Karya Narokobi berangkat dari pengalamannya di PNG
dan tak diragukan lagi ditujukan untuk audiens nasional PNG, namun analisisnya
meluas ke kawasan Melanesia yang dia identifikasi mencakup Papua Barat, PNG dan
pulau-pulau sekitarnya, Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru dan Fiji, yang dihuni
oleh penduduk yang bukan Asia, bukan pula Eropa, bukan Afrika bukan juga
Polinesia.[6]
Bernard Narokobi pada tahun 1977. Credit photo:https://masalai.wordpress.com |
Berkaitan dengan Jalan Melanesia sendiri, Narokobi
mengklaim dirinya bukanlah yang mencetuskan istilah itu. Ia bahkan tidak
menjelaskan apa arti Melanesia itu sendiri. Dia menganggap kata itu berasal
dari Eropa yang mungkin berarti ‘negroid’ atau “hitam” atau bahkan ‘pribumi
atau kanaka”.[7]
Dia juga menolak memberikan definisi Jalan Melanesia yang lebih jelas,
menandakan bahwa usaha-usaha untuk mendefinisikan ‘keseluruhan visi kosmik
kehidupan’ adalah sia sia atau bahkan basi.
Namun tujuan utama dari penegasan Jalan Melanesia—dengan
atau tanpa penjelasan yang cukup memadai—tak diragukan lagi adalah sebagai
berikut.
“Berabad-abad lamanya, orang-orang Melanesia telah
melihat diri mereka dari gambaran dan tulisan yang dibuat oleh orang asing.
Orang-orang Melanesia sedang berjalan di bawah bayang-bayang para pengamat
Barat, hidup di dalam visi dan mimpi yang diimpikan oleh orang Barat. Kalau
tidak berhasil mendirikan dasar filsafat berdasar pada kearifan masa lalu, kita
akan punah sebagai orang-orang yang berkualitas, berwatak dan yang memiliki
dinamisme yang unik.”[8]
Pernyataan ini menggarisbawahi watak antikolonial/anti
Barat yang kental dan kredensial pasca-kolonial Jalan Melanesia, terutama
dibandingkan dengan formulasi awal Mara tentang Jalan Pasifik. Fakta bahwa
Jalan Narokobi sangatlah berwatak antikolonial dari awal membuatnya lebih
sebanding dengan gerakan Négritude di Afrika pasca penjajahan yang berkembang
secara eksplisit untuk melawan tingkah
laku rasis para penjajah melalui reafirmasi/penguatan kembali cara-cara lokal.[9]
Karya Tjibaou juga mencerminkan keterkaitan dengan
gagasan yang lebih besar saat itu, dengan situasi orang-orang terjajah dan
eksploitasi mereka sebagai kaum tak terdidik dan yang umumnya tidak berdaya.
Namun, kritik Tjibaou atau pun Narokobi tidak
sepenuhnya menolak cara-cara Barat tetapi lebih ke sebuah panggilan
untuk percampuran yang lebih bijak/seimbang antara praktik-praktik lokal dan
Barat.[10]
Jalan Melanesia Narokobi secara khusus bersifat
oposisional tidak seperti Jalan Pasifik Mara. Ton Otto berargumen bahwa
Narokobi menugaskan dirinya sendiri untuk membela “kami yang terbayangkan” vs.
“mereka yang terbayangkan”. “Mereka” merujuk pada berbagai agen atau pun
perwakilan kekuatan kolonial dan metropolitan dan “kami” merujuk pada semua
orang Melanesia.[11]
Lebih lanjut, Otto menganjurkan bahwa Jalan Melanesia bisa berfungsi baik dalam
konteks kerjasama kawasan. Perkembangan organisasi-organisasi kawasan
mencerminkan hal ini.
Nicholas Thomas menambahkan poin penting tentang
representasi diri pribumi. Ia mencatat bahwa bahkan jika Jalan Melanesia
Narokobi dilihat terutama sebagai berlawanan terhadap perendahan orang Barat
terhadap istilah generik gaya hidup primitif atau tradisional, istilah itu
tidak bersandar pada representasi Barat atas orang Melanesia.[12]”
Lebih umum lagi, analisis Clive Moore mengindikasikan bahwa di dalam gerakan
kemerdekaan bangsa-bangsa ini, gagasan Melanesia itu sendiri telah dipribumikan
dan secara efektif terpisah dari asosiasinya dengan perasaan rendah diri.[13]
Maka, dalam proses kemerdekaan negara-negara di kawasan Melanesia –terkecuali
Kaledonia Baru – bersamaan dengan munculnya konsep seperti Jalan Melanesia,
istilah Melanesia sendiri kemudian berubah dari istilah yang merendahkan
menjadi suatu kekuatan. Istilah “Melanesia” telah memberikan dasar yang positif
bagi identitas subkawasan dan juga organisasi formal subkawasan masa kini
(organisasi yang dimaksud di sini adalah the Melanesian Spearhead Group, pen.). Hal yang sama dapat dikatakan
terjadi juga dengan wacana kastom
Melanesia, yang bertumpang tindih dengan tetapi tidak sama dengan istilah Jalan
Melanesia Tjibaou dan Narokobi. [14]
Buku karya Jean-Marie Tjibaou, credit photo: Amazon.fr |
Wacana “Kastom” di Melanesia
Kastom –yang umumnya dipahami sebagai istilah
Pidgin Melanesia atau lebih tepatnya kata Bislama Vanuatu, merujuk pada adat
kebiasaan, kebudayaan, atau tradisi. Istilah kastom muncul sebagai topik pembicaraan
di literatur antropologi Melanesia, terutama ketika Roger Keesing dan Robert
Tonkison menerbitkan edisi khusus jurnal Mankind.[15]
Penerbitan ini mengeksplorasi politik kastom ini terutama dalam konteks
‘penemuan kembali’ (reinvention)
kebudayaan tradisional dalam situasi politik masa kini, termasuk gerakan-gerakan
dan wacana-wacana antikolonial; situasi kemerdekaan dan bentuk baru organisasi
sosial dan politik, serta dinamika lokal, nasional dan kawasan saat itu. Mengesampingkan
debat rumit tentang penemuan tradisi dan isu otentisitas (dan tidak otentis)
yang diangkat oleh artikel-artikel itu, perhatian di sini akan ditujukan pada
bagaimana gagasan kastom terkait dengan pembentukan identitas yang relevan
dengan diskusi kita.
Tinjauan Keesing membahas proses perendahan yang
sistematis terhadap tradisi orang Pribumi di bawah kolonialisme, termasuk yang
berasal dari misionaris Kristen. Ideologi dekolonisasi mencoba mencari cara untuk
membalik gambaran negatif ini. Keesing mengacu pada munculnya elit baru di PNG,
Solomon dan Vanuatu (yang telah belajar retorika kemerdekaan Afrika –Nkrumah,
Toure, Nyere, Memmi, Fanon, dan lain-lain). Tidak mengejutkan bahwa
pemimpin-pemimpin Melanesia yang baru sering mengidealkan masa lalu prakolonial
mereka dan mencoba merancang sebuah identitas yang positif dengan retorika
Jalan Melanesia.[16]
Pengantar dari Tonkinson mencatat bahwa kastom
mungkin digunakan secara lokal untuk membatasi kelompok-kelompok yang bersaing..
Dalam wacana politik, istilah ini sendiri paling banyak digunakan untuk menciptakan
solidaritas dan kesatuan dari orang-orang Melanesia yang umumnya memiliki masa
lalu yang hampir sama. Mereka tidak meminjam unsur asing apa pun dan sekarang sedang
merintis jalan untuk memberlakukan Jalan Melanesia di seluruh kawasan, yang secara
samar didefinisikan tetapi sangat berbeda dengan dan bahkan berlawanan dengan
kebudayaan modern Barat.[17]
Lamont Lindstrom juga melacak munculnya omong-omong
soal kastom yang diambil oleh para antropolog pada tahun 1960an, terutama
mereka yang bekerja di Vanuatu (kemudian Hebrida Baru) dan Solomon, dari sejak
waktu wacana kastom menyebar dan berkembang secara intensif.[18]
Warisan Kristen yang ambigu terlihat di sini. Di antara orang-orang yang
pertama kali membawa wacana kastom dari kebekuan Kristen dan mempopulerkannya
sebagai penanda identitas politik di Vauatu, Lindsrom mencatat anggota dari
Asosiasi Kebudayaan Hebrida Baru yang didirikan pada tahun 1971. Asosiasi ini kemudian
melebur menjadi Partai Vanua’aku dan menjadi partai berkuasa ketika Vanuatu
merdeka di tahun 1980-an. Pemimpin-pemimpin gereja yang berpendidikan
baik di dalam kelompok ini membalik gambaran dominan yang dulu sehingga kastom
tidak lagi dilihat sebagai tinggalan masa lalu yang gelap dan kafir namun lebih
sebagai hadiah dari Tuhan.[19]
Dengan cara ini, agama Kristen menjadi
terpribumikan dan dimasukkan ke dalam kastom daripada sebagai tinggalan negatif
dari proses kolonialisme atau pengaruh Barat secara umum. Maka, seperti yang
dikatakan Bronwen Douglas, di satu sisi oposisi antara Melanesia dan Barat
tetap ada, di sisi lain kastom dan agama Kristen digambarkan sebagai saling
sejalan.[20]
Hal yang sama dapat dikatakan juga untuk agama Kristen dan Jalan Pasifik secara
umum. Di Fiji, Tonga dan Samoa, meski pesan Kekristenan yang paling penting
adalah kesetaraan, tetap ada asosiasi yang kuat antara kekuatan surgawi dengan
kekuatan politik kepala suku dalam reinterpretasi agama Kristen yang telah
terpribumikan. Interpretasi ini pada gilirannya cenderung mendukung tata
politik dan sosial yang konservatif.[21]
Asosiasi kastom dan kekristenan dalam istilah para
Melanesianis telah juga membantu mendasari istilah sosialisme Melanesia yang
dipromosikan secara khusus oleh Walter Lini di Vanuatu. Dalam sebuah pidato
penting yang disampaikan di Canberra (Australia) pada tahun 1982, Lini
mengartikulasikan sebuah visi sosialisme
Melanesia yang secara jelas berlawanan dengan nilai-nilai Barat yang diasosiasikan
dengan materialism dan kredo kepentingan diri (self-interest).
Mengenai kekristenan, Lini mengatakan bahwa
kekristenan “secara umum sesuai dengan etika dan prinsip komunalisme Melanesia.
Keduanya memiliki penekanan pada prinsip saling tolong menolong, kasih, dan
peduli satu dengan yang lain. “ Meski kata dia, sangat sedikit orang Eropa yang
benar-benar mempraktikkan nilai-nilai itu.[22]
Lini juga mempromosikan gagasan kerangka politik yang sama untuk negara-negara
Melanesia di dalam beberapa kebijakan, termasuk strategi kawasan. Hal ini
mendahului munculnya MSG beberapa tahun kemudian.[23]
Dari sekitar tahun 1980, sosialisme Melanesia Lini
telah diasosiakan dengan kemunculan sikap yang lebih kritis dan skeptik di
antara orang Melanesia mengenai wacana Jalan Pasifik. Bagi orang—orang Melanesia,
Jalan Pasifik jelas-jelas bersifat lebih konservatif dan asosiasinya sangat
dekat dengan kepentingan Polinesia.[24]
Namun di saat yang sama, wacana kastom
Melanesia mulai memasukkan hal-hal yang telah lama dilihat sebagai khas Polinesia,
yakni gagasan kepala suku.
Seperti yang dicatat Geoffrey White, perkembangan
politik di Melanesia pasca kolonialisme telah memperlihatkan adanya usaha untuk
memberdayakan kepala-kepala suku tradisional di dalam satu periode di mana
kepala suku meraih sebuah posisi penting secara simbolik. Situasi politik ini menggarisbawahi
oposisi antara tradisional dan pribumi vs. asing dan modern.[25]
Sistem penghormatan jabatan PNG telah melembagakan gelar “Kepala Suku Besar”,
agak mirip dengan istilah “kepala suku utama” yang digunakan untuk mereka yang
memiliki status tinggi di Polinesia. Oleh karena itu, gelar lengkap mantan Perdana
Menteri Tuan Michael Somare adalah Rt. Hon. Grand Chief Sir Michael T. Somare
MP GCL GCMG CH CF KStJ. Ini bukanlah
cara Melanesia yang dibela oleh Narokobi yang menolak gagasan besar gelar
seperti ini. Narokobi sendiri konon katanya telah juga menolak tawaran
pemberian gelar pada pertengahan tahun 1990-an.[26]
Lindstrom berargumen bahwa kastom Melanesia
menyediakan wacana yang jauh lebih kaya dan ambigu daripada alternatif lain
seperti Jalan Melanesia.[27]
Meskipun begitu, Jalan Melanesia Narokobi dan Tjibaou dan varian lain—termasuk
mereka yang memasukkan istilah sosialisme Melanesia – bersama dengan kastom
Melanesia mungkin bisa dimengerti sebagai wacana-wacana yang mempromosikan
kesadaran Melanesia yang positif di dalam negara-negara Melanesia sendiri atau
pun di seluruh kawasan Melanesia.[28]
Apa pun perbedaan antara wacana politik berbahasa
Inggris atau pun Perancis, terutama dalam konteks politik nasional Vanuatu,
kesadaran Melanesia telah memberikan ikatan kebersamaan yang kuat. Hal ini
diperkuat lagi dengan perayaan identitas Melanesia seperti yang terlihat dalam
Festival Seni Melanesia yang diselenggarakan oleh MSG pada tahun 1995 dengan
festival keempat dilaksanakan di Kaledonia Baru pada tahun 2010. Acara ini terpisah dari Festival Seni Pasifik
yang diselenggarakan setiap empat tahun sejak tahun 1972 dan yang berasal dari
inisiatif SPC.
Sekali lagi, hal ini tampaknya mewakili penekanan
kekhasan Melanesia atau bahkan keterpisahan dari bentuk identitas Pasifik atau
Oseania lainnya.[29]
Menariknya, kajian Barbara Glowczewski dan Rosita Henry tentang arus politik
bawah di dalam Festival Seni Pasifik yang kesembilan mengindikasikan bahwa kategori
lama kolonial Mikronesia/Polinesia/Melanesia telah diambil oleh para penampil
sebagai kategori pertukaran budaya. Meski demikian, mereka juga melihat bahwa
kategori-kategori ini dimediasi di dalam jaringan hubungan yang termaktub dalam
Jalan Pasifik.[30]
Penampil di Festival Seni Melanesia di PNG pada tahun 2014. Credit photo:http://www.abc.net.au/ |
Faktor kunci lain yang terkait dengan isu identitas
adalah soal konsepsi wantok, yang arti
harafiahnya satu bahasa. Wantok merujuk
pada mereka yang berada di dalam kelompok bahasa yang sama. Wantokisme secara implisit memberi preferens
pada mereka yang berasal dari kelompok yang sama atau pun kelompok kerabat dengan
harapan bahwa tindakan ini akan dibalas suatu hari nanti.[31]
Hal ini berkaitan dengan kelompok-kelompok lokal yang beroperasi di tingkat
akar rumput.
Dengan urbanisasi dan situasi lain di mana orang
berpindah dari wilayah asalnya, istilah ini berguna untuk mengidentifikasi
orang yang berasal dari daerah yang sama—meski mereka menggunakan bahasa yang
berbeda. Penerapan yang lebih luas telah diperlihatkan dalam kasus identifikasi
entitas nasional –contohnya semua orang Solomon – dan yang paling luas seluruh
Melanesia.[32]
Maka wantokisme telah dikonseptualisasisikan
sehingga memungkinkannya untuk digunakan untuk menyebut identitas-identitas
yang berlapis di komunitas lokal yang sangat khusus hingga ke tingkat nasional
dan kawasan. Konsep wantok sendiri sangat Melanesia. Ia merujuk pada
keanekaragaman Melanesia dan kesatuan konseptual yang membedakan dirinya dengan
Polinesia dan Mikronesia.
Secara menyeluruh, baik wacana kastom maupun wantokisme,
meski berasal dari bentuk identitas lokal dapat dilihat telah memberikan
kontribusi pada ideologi Melanesianisme yang pada gilirannya mendasari
penegasan identitas kawasan yang sangat khusus. Ideologi merupakan istilah yang
sangat tepat di sini, karena ia berarti telah melampaui fungsinya sebagai
kategori deskriptif yang mempomosikan serangkaian gagasan normatif tentang
kategori itu, tetapi juga ia telah menjadi semacam pandangan hidup yang
kemudian menyebar dan dipercaya.
Kajian terbaru yang berfokus pada sikap terhadap
identitas nasional para mahasiswa di Melanesia dan Timor Leste menunjukkan adanya
perasaan ke-Melanesia-an yang cukup kuat dari mereka yang tinggal di PNG,
Solomon dan Vanuatu. Mereka memiliki perasaan kedekatan ke Melanesia yang jauh
lebih kuat daripada kedekatan mereka dengan kawasan Pasifik secara umum.[33]
Hal ini memperkuat argumen pemisahan politik Melanesia/Polinesia di politik
regional pasca-kolonialisme.
Namun poin penting lain yang patut dicatat di sini
adalah bahwa mereka yang disurvei—
mahasiswa—terdiri
dari semacam elit di antara rekan-rekan seusianya dan mereka akan menjadi
calon-calon elit nasional dan kawasan di masa depan. Hal ini juga memunculkan pertanyaan apakah
konsepsi Melanesia lebih banyak ditemukan pada mereka yang berada pada situasi
di mana persepsi kawasan secara lebih luas sangat kuat, berbeda dengan mereka
yang kehidupan sehari-harinya di tingkat akar rumput tidak mempertanyakan soal
identitas regional atau bahwa identitas regional bukanlah sebuah persoalan
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Seperti yang telah ditunjukan oleh kajian
tadi, bercampur dengan teman-teman dari kampung sendiri cenderung akan
memperkuat afiliasi lokal dan subnasional.[34]
Lebih umum, persoalan identitas menyangkut aspek fenomena yang secara inheren
situasional, relasional dan instrumental, yang melibatkan konstruksi ‘diri’ dan
‘yang lain’ yang mencerminkan situasi dan kepentingan sosial dan politik pada
saat tertentu dan yang terus berubah seiring perkembangan-perkembangan baru.
Kesimpulannya, konstruksi identitas Melanesia yang
positif telah muncul selama 50 tahun terakhir sebagai usaha orang-orang
Melanesia itu sendiri. Dalam prosesnya, identitas ini telah dimediasi oleh
dinamika antikolonial tertentu di mana diri Melanesia ditegaskan sebagai lawan
terhadap “yang lain Eropa” yang direpresentasikan oleh agen-agen kekuatan
kolonial di kawasan ini. Setidaknya, inilah fokus dari banyak kajian
antropologi.
Hal yang sangat penting tapi jarang diakui dalam
pembentukan identitas diri Melanesia ini adalah dinamika hubungan yang muncul
dengan ‘yang lain Polinesia’. Penegasan ke-Melanesia-an atau Melanesianisme
mungkin merupakan respon kepada salah satu atau dua fenomena ini, tergantung
pada konteks. Bagian terakhir dari tulisan ini berfokus pada perkembangan regionalisme Melanesia dalam bentuk organisasi MSG (the Melanesian Spearhead Group), di mana dinamika relasional
ini terlihat dengan jelas.
[1] Bernard Narokobi, The Melanesian Way, ed. Henry Olela
(Boroko, PNG 1980).
[2] Jean-Marie Tjibaou, Kanaké: the Melanesian Way, tr.
Christopher Plant (Suva 1978). Buku ini sebenarnya diterbitkan pada tahun 1976
dengan judul Kanaké: Mélanésian de
Nouvelle-Calédonie, yang lebih mencerminkan fokus lokalnya. Lihat juga
Jean-Marie Tjibaou, ‘Recherche d’identité mélanésienne et société
traditionanelle’, Journal de la Société
des Océanistes 32(1976):281-92.
[3] Lihat Robert Aldrich dan
John Connell, The Last Colonies
(Cambridge 1998), 153.
[4] Alban Bensa dan Eric
Wittersheim, ‘Nationalism and interdependence: the political thought of Jean-Marie
Tjibaou’, Contemporary Pacific
10:2(1997), 374.
[5] Eric Wittersheim,
‘Melanesian elites and modern politics in New Caledonia and Vanuatu’, SSGM, Discussion Paper 3(1998), 2.
[6] Narokobi, The Melanesian Way, 4.
[7] Ibid., 8.
[8] Ibid., 9.
[9] Lawson, Tradition versus Democracy, 2-3. Lihat
juga Tom Otto, ‘After the “tidal wave”: Bernard Narokobi and the creation of a
Melanesian Way’, dalam Nicholas Thomas (ed.), Narratives of Nation in the South Pacific (Amsterdam 1997), 60;
karya ini membandingkan Jalan Melanesia dengan gagasan Négritude.
[10] Lihat Gregory Bablis, ‘A
Melanesian icon: Professor Bernard Mullu Narokobi (-2010)’, makalah yang
dipresentasikan pada Konferensi Asosiasi
Sejarah Pasifik di Universitas Goroka, September 2010. Tahun lahir Narokobi
dihilangkan karena tidak diketahui.
[11] Ibid., 39-40.
[12] Nicholas Thomas, In Oceania: visions, artifacts, histories
(Durham, NC 1997), 154.
[13] Moore, New Guinea, 4.
[14] Persoalan ketidaksetaraan
gender dan kekerasan terhadap perempuan di PNG diangkat dalam debat tentang
Jalan Melanesia Narokobi. Beberapa dari kritik ini telah dibahas di bagian
akhir buku.
[15] Roger M. Keesing dan
Robert Tonkinson (ed.), ‘Reinventing Traditional Culture: the politics of
culture in island Melanesia’, edisi khusus, Mankind
13:4(1982).
[16] Robert M. Keesing, ‘Kastom
in Melanesia: an overview’, dalam Keesing dan Tonkinson, ‘Reinventing Traditional
Culture’, 297.
[17] Robert Tonkinson, ‘Kastom
in Melanesia:introduction’, in Keesing and Tonkinson, ‘Reinventing Traditional
Culture’, 302.
[18] Lamont Lindstrom,
‘Melanesia kastom and its transformation’, Anthropological
Forum 18:2(2008), 166-67.
[19] Ibid.
[20] Bronwen Douglas, ‘Weak
states and other nationalisms: emerging Melanesian paradigms?’, SSGM Discussion Paper 3(2000), 5.
[21] Lawson, Traditions versus Democracy, 129.
[22] Walter Lini, ‘Keynote
address, Australia and the South Pacific Conference, Canberra, 1982’, Pacific Islands Monthly 53:4(1982),
25-28.
[23] Ibid., 28.
[24] Howard, ‘Vanuatu’, 184.
[25] Geoffrey M. White, ‘The
discourse of chiefs: notes on a Melanesian society’, in Geoffrey M. White dan
Lamont Lindstrom (ed.), Chiefs Today:
traditional political leadership and the postcolonial state (Stanford
1997), 230-31.
[26] Bablis, ‘A Melanesian
icon’, 1.
[27] Lindstrom, ‘Melanesian
kastom and its transformation’, 165.
[28] Salah satu medan
penelitian yang menarik adalah hubungan antara wacana Melanesia yang berasal dari
bahasa Inggris dan Perancis.
[29] Politik identitas seperti
yang diekspresikan melalui festival-festival seni dan pameran-pameran kreatif
sejenisnya merupakan fenomena yang sangat menarik yang belum diselidiki secara
mendalam, meski bisa dilihat di catatan kaki 26 di atas untuk komentar singkat
mengenai sikap Polinesia vs. Melanesia. Sebuah artikel baru tidak menyebut
pembagian ini tetapi membahas secara singkat tentang sebuah kelompok dari Papua
Barat yang tampil secara tidak resmi pada Festival Seni Pasifik ke-9 di Palau
pada tahun 2004. Artikel yang sama menyebut permintaan dari Indonesia dan
Filipina untuk diizinkan mengirimkan delegasi. Permintaan ini ditolak karena
mereka bukanlah bagian dari kawasan ini dan bukanlah praktisi Jalan Pasifik.
Lihat Barbara Glowczewski dan Rosita Henry, ‘Dancing with the flow: political
undercurrents at the 9th Festival of Pacific Arts’, Journal de La Société des Océanistes
125:2(2007), 214.
[30] Ibid., 216.
[31] Clive Moore, ‘Pacific
view: the meaning of politics and governance in the Pacific Islands’, Australian Journal of International Affairs
62:3(2008), 392.
[32] Ibid.
[33] Michael Leach, James
Scambary, Matthew Clarke, Simon Feeny dan Heather Wallace, ‘Attitudes to
national identity among tertiary students in Melanesia and Timor Leste: a
comparative analysis’, SSGM, Discussion Paper 8(2912), 7.
[34] Ibid., 6.
0 Komentar