Melanesia, Sejarah dan Politik sebuah Gagasan (3): Jalan Melanesia


Oleh; Stephanie Lawson



Pengantar dari penerjemah
Bagian ketiga dari tulisan ini akan berfokus secara khusus pada kemunculan identitas positif Melanesia.
Pembahasan akan dimulai dari wacana-wacana yang muncul dari orang-orang dan negara yang dikelompokkan sebagai Melanesia terutama PNG, Kaledonia Baru dan Vanuatu. Dengan mendiskusikan “Jalan Melanesia”, “kastom” kemudian “wantok/wantokisme”, pembaca diharapkan dapat memahami kemunculan istilah-istilah ini dan konsekuensinya secara politik terhadap pembentukan organisasi dan identitas subkawasan Melanesia, the Melanesian Spearhead Group yang akan dibahas di bagian ke empat (Veronika Kusumaryati).

Jalan Melanesia mulai populer terutama lewat serangkaian artikel yang ditulis oleh intelektual PNG Bernard Narokobi yang dipublikasikan di harian Post-Courier antara tahun 1976-1978 tidak lama setelah PNG mendapatkan kemerdekaan dari Australia. Artikel-artikel ini dikumpulkan dan ditambah dengan komentar kritis dari beberapa kontributor/penulis kemudian ditambah dengan kata pengantar Henry Olela, akademisi di Jurusan Filsafat, Universitas Papua Nugini (yang sangat mengenal gagasan-gagasan Negritude dan pendekatan Afrosentris).
Pada tahun 1980, tulisan-tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Jalan Melanesia”.[1]  Buku dengan judul yang sama diterbitkan oleh pemimpin Kanak Jean-Marie Tjibaou tidak lama setelah itu. Buku ini berfokus pada isu-isu kebudayaan dan gagasan Melanesia di bawah penjajahan Perancis di Kaledonia Baru.[2] Buku Tjibaou ini diterbitkan setelah sebuah festival besar seni Melanesia diselenggarakan di Noumea selama dua minggu dan dihadiri oleh ribuan orang Kanak. Festival ini tidak hanya mencerminkan meningkatnya sentimen nasionalisme di antara orang Melanesia pribumi di sana –yang menggunakan kata yang merendahkan “kanak” sebagai penekanan yang bermakna positif atas identitas pribumi mereka[3] –tetapi hal ini juga berhubungan dengan gagasan yang lebih besar tentang Jalan Pasifik dan Melanesia yang sedang populer saat itu.[4] Hal ini mengilustrasikan salah satunya hubungan antara gagasan-gagasan nasionalis dan kawasan serta lapis-lapis identitas di antaranya.
Dalam konteks pengalaman orang Kanak, banyak orang juga menunjukkan bagaimana ideologi-ideologi nasionalis telah muncul melalui usaha-usaha mengangkat nilai-nilai yang umum di kalangan orang Melanesia, sebuah gerakan nasionalis yang cukup berbeda dengan proyek-proyek nasionalis yang mengambil hal-hal abstrak dalam proyek emansipasi.[5] Proyek-proyek yang terakhir ini tak diragukan lagi juga memiliki peran. Karya Narokobi berangkat dari pengalamannya di PNG dan tak diragukan lagi ditujukan untuk audiens nasional PNG, namun analisisnya meluas ke kawasan Melanesia yang dia identifikasi mencakup Papua Barat, PNG dan pulau-pulau sekitarnya, Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru dan Fiji, yang dihuni oleh penduduk yang bukan Asia, bukan pula Eropa, bukan Afrika bukan juga Polinesia.[6]

Bernard Narokobi pada tahun 1977. Credit photo:https://masalai.wordpress.com

Berkaitan dengan Jalan Melanesia sendiri, Narokobi mengklaim dirinya bukanlah yang mencetuskan istilah itu. Ia bahkan tidak menjelaskan apa arti Melanesia itu sendiri. Dia menganggap kata itu berasal dari Eropa yang mungkin berarti ‘negroid’ atau “hitam” atau bahkan ‘pribumi atau kanaka”.[7] Dia juga menolak memberikan definisi Jalan Melanesia yang lebih jelas, menandakan bahwa usaha-usaha untuk mendefinisikan ‘keseluruhan visi kosmik kehidupan’ adalah sia sia atau bahkan basi.
Namun tujuan utama dari penegasan Jalan Melanesia—dengan atau tanpa penjelasan yang cukup memadai—tak diragukan lagi adalah sebagai berikut.
“Berabad-abad lamanya, orang-orang Melanesia telah melihat diri mereka dari gambaran dan tulisan yang dibuat oleh orang asing. Orang-orang Melanesia sedang berjalan di bawah bayang-bayang para pengamat Barat, hidup di dalam visi dan mimpi yang diimpikan oleh orang Barat. Kalau tidak berhasil mendirikan dasar filsafat berdasar pada kearifan masa lalu, kita akan punah sebagai orang-orang yang berkualitas, berwatak dan yang memiliki dinamisme yang unik.”[8]

Pernyataan ini menggarisbawahi watak antikolonial/anti Barat yang kental dan kredensial pasca-kolonial Jalan Melanesia, terutama dibandingkan dengan formulasi awal Mara tentang Jalan Pasifik. Fakta bahwa Jalan Narokobi sangatlah berwatak antikolonial dari awal membuatnya lebih sebanding dengan gerakan Négritude di Afrika pasca penjajahan yang berkembang secara eksplisit  untuk melawan tingkah laku rasis para penjajah melalui reafirmasi/penguatan kembali cara-cara lokal.[9]
Karya Tjibaou juga mencerminkan keterkaitan dengan gagasan yang lebih besar saat itu, dengan situasi orang-orang terjajah dan eksploitasi mereka sebagai kaum tak terdidik dan yang umumnya tidak berdaya. Namun, kritik Tjibaou atau pun Narokobi tidak  sepenuhnya menolak cara-cara Barat tetapi lebih ke sebuah panggilan untuk percampuran yang lebih bijak/seimbang antara praktik-praktik lokal dan Barat.[10]
Jalan Melanesia Narokobi secara khusus bersifat oposisional tidak seperti Jalan Pasifik Mara. Ton Otto berargumen bahwa Narokobi menugaskan dirinya sendiri untuk membela “kami yang terbayangkan” vs. “mereka yang terbayangkan”. “Mereka” merujuk pada berbagai agen atau pun perwakilan kekuatan kolonial dan metropolitan dan “kami” merujuk pada semua orang Melanesia.[11] Lebih lanjut, Otto menganjurkan bahwa Jalan Melanesia bisa berfungsi baik dalam konteks kerjasama kawasan. Perkembangan organisasi-organisasi kawasan mencerminkan hal ini.
Nicholas Thomas menambahkan poin penting tentang representasi diri pribumi. Ia mencatat bahwa bahkan jika Jalan Melanesia Narokobi dilihat terutama sebagai berlawanan terhadap perendahan orang Barat terhadap istilah generik gaya hidup primitif atau tradisional, istilah itu tidak bersandar pada representasi Barat atas orang Melanesia.[12]” Lebih umum lagi, analisis Clive Moore mengindikasikan bahwa di dalam gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa ini, gagasan Melanesia itu sendiri telah dipribumikan dan secara efektif terpisah dari asosiasinya dengan perasaan rendah diri.[13] Maka, dalam proses kemerdekaan negara-negara di kawasan Melanesia –terkecuali Kaledonia Baru – bersamaan dengan munculnya konsep seperti Jalan Melanesia, istilah Melanesia sendiri kemudian berubah dari istilah yang merendahkan menjadi suatu kekuatan. Istilah “Melanesia” telah memberikan dasar yang positif bagi identitas subkawasan dan juga organisasi formal subkawasan masa kini (organisasi yang dimaksud di sini adalah the Melanesian Spearhead Group, pen.). Hal yang sama dapat dikatakan terjadi juga dengan wacana kastom Melanesia, yang bertumpang tindih dengan tetapi tidak sama dengan istilah Jalan Melanesia Tjibaou dan Narokobi. [14]

Buku karya Jean-Marie Tjibaou, credit photo: Amazon.fr
Wacana  “Kastom” di Melanesia
Kastom –yang umumnya dipahami sebagai istilah Pidgin Melanesia atau lebih tepatnya kata Bislama Vanuatu, merujuk pada adat kebiasaan, kebudayaan, atau tradisi. Istilah kastom muncul sebagai topik pembicaraan di literatur antropologi Melanesia, terutama ketika Roger Keesing dan Robert Tonkison menerbitkan edisi khusus jurnal Mankind.[15] Penerbitan ini mengeksplorasi politik kastom ini terutama dalam konteks ‘penemuan kembali’ (reinvention) kebudayaan tradisional dalam situasi politik masa kini, termasuk gerakan-gerakan dan wacana-wacana antikolonial; situasi kemerdekaan dan bentuk baru organisasi sosial dan politik, serta dinamika lokal, nasional dan kawasan saat itu. Mengesampingkan debat rumit tentang penemuan tradisi dan isu otentisitas (dan tidak otentis) yang diangkat oleh artikel-artikel itu, perhatian di sini akan ditujukan pada bagaimana gagasan kastom terkait dengan pembentukan identitas yang relevan dengan diskusi kita.
Tinjauan Keesing membahas proses perendahan yang sistematis terhadap tradisi orang Pribumi di bawah kolonialisme, termasuk yang berasal dari misionaris Kristen. Ideologi dekolonisasi mencoba mencari cara untuk membalik gambaran negatif ini. Keesing mengacu pada munculnya elit baru di PNG, Solomon dan Vanuatu (yang telah belajar retorika kemerdekaan Afrika –Nkrumah, Toure, Nyere, Memmi, Fanon, dan lain-lain). Tidak mengejutkan bahwa pemimpin-pemimpin Melanesia yang baru sering mengidealkan masa lalu prakolonial mereka dan mencoba merancang sebuah identitas yang positif dengan retorika Jalan Melanesia.[16]
Pengantar dari Tonkinson mencatat bahwa kastom mungkin digunakan secara lokal untuk membatasi kelompok-kelompok yang bersaing.. Dalam wacana politik, istilah ini sendiri paling banyak digunakan untuk menciptakan solidaritas dan kesatuan dari orang-orang Melanesia yang umumnya memiliki masa lalu yang hampir sama. Mereka tidak meminjam unsur asing apa pun dan sekarang sedang merintis jalan untuk memberlakukan Jalan Melanesia di seluruh kawasan, yang secara samar didefinisikan tetapi sangat berbeda dengan dan bahkan berlawanan dengan kebudayaan modern Barat.[17]
Lamont Lindstrom juga melacak munculnya omong-omong soal kastom yang diambil oleh para antropolog pada tahun 1960an, terutama mereka yang bekerja di Vanuatu (kemudian Hebrida Baru) dan Solomon, dari sejak waktu wacana kastom menyebar dan berkembang secara intensif.[18] Warisan Kristen yang ambigu terlihat di sini. Di antara orang-orang yang pertama kali membawa wacana kastom dari kebekuan Kristen dan mempopulerkannya sebagai penanda identitas politik di Vauatu, Lindsrom mencatat anggota dari Asosiasi Kebudayaan Hebrida Baru yang didirikan pada tahun 1971. Asosiasi ini kemudian melebur menjadi Partai Vanua’aku dan menjadi partai berkuasa ketika Vanuatu merdeka di tahun 1980-an.  Pemimpin-pemimpin gereja yang berpendidikan baik di dalam kelompok ini membalik gambaran dominan yang dulu sehingga kastom tidak lagi dilihat sebagai tinggalan masa lalu yang gelap dan kafir namun lebih sebagai hadiah dari Tuhan.[19]
Dengan cara ini, agama Kristen menjadi terpribumikan dan dimasukkan ke dalam kastom daripada sebagai tinggalan negatif dari proses kolonialisme atau pengaruh Barat secara umum. Maka, seperti yang dikatakan Bronwen Douglas, di satu sisi oposisi antara Melanesia dan Barat tetap ada, di sisi lain kastom dan agama Kristen digambarkan sebagai saling sejalan.[20] Hal yang sama dapat dikatakan juga untuk agama Kristen dan Jalan Pasifik secara umum. Di Fiji, Tonga dan Samoa, meski pesan Kekristenan yang paling penting adalah kesetaraan, tetap ada asosiasi yang kuat antara kekuatan surgawi dengan kekuatan politik kepala suku dalam reinterpretasi agama Kristen yang telah terpribumikan. Interpretasi ini pada gilirannya cenderung mendukung tata politik dan sosial yang konservatif.[21]
Asosiasi kastom dan kekristenan dalam istilah para Melanesianis telah juga membantu mendasari istilah sosialisme Melanesia yang dipromosikan secara khusus oleh Walter Lini di Vanuatu. Dalam sebuah pidato penting yang disampaikan di Canberra (Australia) pada tahun 1982, Lini mengartikulasikan  sebuah visi sosialisme Melanesia yang secara jelas berlawanan dengan nilai-nilai Barat yang diasosiasikan dengan materialism dan kredo kepentingan diri (self-interest).
Mengenai kekristenan, Lini mengatakan bahwa kekristenan “secara umum sesuai dengan etika dan prinsip komunalisme Melanesia. Keduanya memiliki penekanan pada prinsip saling tolong menolong, kasih, dan peduli satu dengan yang lain. “ Meski kata dia, sangat sedikit orang Eropa yang benar-benar mempraktikkan nilai-nilai itu.[22] Lini juga mempromosikan gagasan kerangka politik yang sama untuk negara-negara Melanesia di dalam beberapa kebijakan, termasuk strategi kawasan. Hal ini mendahului munculnya MSG beberapa tahun kemudian.[23]
Dari sekitar tahun 1980, sosialisme Melanesia Lini telah diasosiakan dengan kemunculan sikap yang lebih kritis dan skeptik di antara orang Melanesia mengenai wacana Jalan Pasifik. Bagi orang—orang Melanesia, Jalan Pasifik jelas-jelas bersifat lebih konservatif dan asosiasinya sangat dekat dengan kepentingan Polinesia.[24]  Namun di saat yang sama, wacana kastom Melanesia mulai memasukkan hal-hal yang telah lama dilihat sebagai khas Polinesia, yakni gagasan kepala suku.
Seperti yang dicatat Geoffrey White, perkembangan politik di Melanesia pasca kolonialisme telah memperlihatkan adanya usaha untuk memberdayakan kepala-kepala suku tradisional di dalam satu periode di mana kepala suku meraih sebuah posisi penting secara simbolik. Situasi politik ini menggarisbawahi oposisi antara tradisional dan pribumi vs. asing dan modern.[25] Sistem penghormatan jabatan PNG telah melembagakan gelar “Kepala Suku Besar”, agak mirip dengan istilah “kepala suku utama” yang digunakan untuk mereka yang memiliki status tinggi di Polinesia. Oleh karena itu, gelar lengkap mantan Perdana Menteri Tuan Michael Somare adalah Rt. Hon. Grand Chief Sir Michael T. Somare MP GCL GCMG CH CF KStJ.  Ini bukanlah cara Melanesia yang dibela oleh Narokobi yang menolak gagasan besar gelar seperti ini. Narokobi sendiri konon katanya telah juga menolak tawaran pemberian gelar pada pertengahan tahun 1990-an.[26]
Lindstrom berargumen bahwa kastom Melanesia menyediakan wacana yang jauh lebih kaya dan ambigu daripada alternatif lain seperti Jalan Melanesia.[27] Meskipun begitu, Jalan Melanesia Narokobi dan Tjibaou dan varian lain—termasuk mereka yang memasukkan istilah sosialisme Melanesia – bersama dengan kastom Melanesia mungkin bisa dimengerti sebagai wacana-wacana yang mempromosikan kesadaran Melanesia yang positif di dalam negara-negara Melanesia sendiri atau pun di seluruh kawasan Melanesia.[28]
Apa pun perbedaan antara wacana politik berbahasa Inggris atau pun Perancis, terutama dalam konteks politik nasional Vanuatu, kesadaran Melanesia telah memberikan ikatan kebersamaan yang kuat. Hal ini diperkuat lagi dengan perayaan identitas Melanesia seperti yang terlihat dalam Festival Seni Melanesia yang diselenggarakan oleh MSG pada tahun 1995 dengan festival keempat dilaksanakan di Kaledonia Baru pada tahun 2010.  Acara ini terpisah dari Festival Seni Pasifik yang diselenggarakan setiap empat tahun sejak tahun 1972 dan yang berasal dari inisiatif SPC.  
Sekali lagi, hal ini tampaknya mewakili penekanan kekhasan Melanesia atau bahkan keterpisahan dari bentuk identitas Pasifik atau Oseania lainnya.[29] Menariknya, kajian Barbara Glowczewski dan Rosita Henry tentang arus politik bawah di dalam Festival Seni Pasifik yang kesembilan mengindikasikan bahwa kategori lama kolonial Mikronesia/Polinesia/Melanesia telah diambil oleh para penampil sebagai kategori pertukaran budaya. Meski demikian, mereka juga melihat bahwa kategori-kategori ini dimediasi di dalam jaringan hubungan yang termaktub dalam Jalan Pasifik.[30]

Penampil di Festival Seni Melanesia di PNG pada tahun 2014. Credit photo:http://www.abc.net.au/
Faktor kunci lain yang terkait dengan isu identitas adalah soal konsepsi wantok, yang arti harafiahnya satu bahasa. Wantok merujuk pada mereka yang berada di dalam kelompok bahasa yang sama. Wantokisme secara implisit memberi preferens pada mereka yang berasal dari kelompok yang sama atau pun kelompok kerabat dengan harapan bahwa tindakan ini akan dibalas suatu hari nanti.[31] Hal ini berkaitan dengan kelompok-kelompok lokal yang beroperasi di tingkat akar rumput.
Dengan urbanisasi dan situasi lain di mana orang berpindah dari wilayah asalnya, istilah ini berguna untuk mengidentifikasi orang yang berasal dari daerah yang sama—meski mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Penerapan yang lebih luas telah diperlihatkan dalam kasus identifikasi entitas nasional –contohnya semua orang Solomon – dan yang paling luas seluruh Melanesia.[32]
Maka wantokisme telah dikonseptualisasisikan sehingga memungkinkannya untuk digunakan untuk menyebut identitas-identitas yang berlapis di komunitas lokal yang sangat khusus hingga ke tingkat nasional dan kawasan. Konsep wantok sendiri sangat Melanesia. Ia merujuk pada keanekaragaman Melanesia dan kesatuan konseptual yang membedakan dirinya dengan Polinesia dan Mikronesia.
 Secara menyeluruh, baik wacana kastom maupun wantokisme, meski berasal dari bentuk identitas lokal dapat dilihat telah memberikan kontribusi pada ideologi Melanesianisme yang pada gilirannya mendasari penegasan identitas kawasan yang sangat khusus. Ideologi merupakan istilah yang sangat tepat di sini, karena ia berarti telah melampaui fungsinya sebagai kategori deskriptif yang mempomosikan serangkaian gagasan normatif tentang kategori itu, tetapi juga ia telah menjadi semacam pandangan hidup yang kemudian menyebar dan dipercaya.

Kajian terbaru yang berfokus pada sikap terhadap identitas nasional para mahasiswa di Melanesia dan Timor Leste menunjukkan adanya perasaan ke-Melanesia-an yang cukup kuat dari mereka yang tinggal di PNG, Solomon dan Vanuatu. Mereka memiliki perasaan kedekatan ke Melanesia yang jauh lebih kuat daripada kedekatan mereka dengan kawasan Pasifik secara umum.[33] Hal ini memperkuat argumen pemisahan politik Melanesia/Polinesia di politik regional pasca-kolonialisme.
Namun poin penting lain yang patut dicatat di sini adalah bahwa mereka yang disurvei—
mahasiswa—terdiri dari semacam elit di antara rekan-rekan seusianya dan mereka akan menjadi calon-calon elit nasional dan kawasan di masa depan.  Hal ini juga memunculkan pertanyaan apakah konsepsi Melanesia lebih banyak ditemukan pada mereka yang berada pada situasi di mana persepsi kawasan secara lebih luas sangat kuat, berbeda dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya di tingkat akar rumput tidak mempertanyakan soal identitas regional atau bahwa identitas regional bukanlah sebuah persoalan dalam kehidupan sehari-hari mereka.  Seperti yang telah ditunjukan oleh kajian tadi, bercampur dengan teman-teman dari kampung sendiri cenderung akan memperkuat afiliasi lokal dan subnasional.[34] Lebih umum, persoalan identitas menyangkut aspek fenomena yang secara inheren situasional, relasional dan instrumental, yang melibatkan konstruksi ‘diri’ dan ‘yang lain’ yang mencerminkan situasi dan kepentingan sosial dan politik pada saat tertentu dan yang terus berubah seiring perkembangan-perkembangan baru.

Kesimpulannya, konstruksi identitas Melanesia yang positif telah muncul selama 50 tahun terakhir sebagai usaha orang-orang Melanesia itu sendiri. Dalam prosesnya, identitas ini telah dimediasi oleh dinamika antikolonial tertentu di mana diri Melanesia ditegaskan sebagai lawan terhadap “yang lain Eropa” yang direpresentasikan oleh agen-agen kekuatan kolonial di kawasan ini. Setidaknya, inilah fokus dari banyak kajian antropologi.
Hal yang sangat penting tapi jarang diakui dalam pembentukan identitas diri Melanesia ini adalah dinamika hubungan yang muncul dengan ‘yang lain Polinesia’. Penegasan ke-Melanesia-an atau Melanesianisme mungkin merupakan respon kepada salah satu atau dua fenomena ini, tergantung pada konteks. Bagian terakhir dari tulisan ini berfokus pada perkembangan regionalisme Melanesia dalam bentuk organisasi MSG (the Melanesian Spearhead Group), di mana dinamika relasional ini terlihat dengan jelas.




[1] Bernard Narokobi, The Melanesian Way, ed. Henry Olela (Boroko, PNG 1980).
[2] Jean-Marie Tjibaou, Kanaké: the Melanesian Way, tr. Christopher Plant (Suva 1978). Buku ini sebenarnya diterbitkan pada tahun 1976 dengan judul Kanaké: Mélanésian de Nouvelle-Calédonie, yang lebih mencerminkan fokus lokalnya. Lihat juga Jean-Marie Tjibaou, ‘Recherche d’identité mélanésienne et société traditionanelle’, Journal de la Société des Océanistes 32(1976):281-92.
[3] Lihat Robert Aldrich dan John Connell, The Last Colonies (Cambridge 1998), 153.
[4] Alban Bensa dan Eric Wittersheim, ‘Nationalism and interdependence: the political thought of Jean-Marie Tjibaou’, Contemporary Pacific 10:2(1997), 374.
[5] Eric Wittersheim, ‘Melanesian elites and modern politics in New Caledonia and Vanuatu’, SSGM, Discussion Paper 3(1998), 2.
[6] Narokobi, The Melanesian Way, 4.
[7] Ibid., 8.
[8] Ibid., 9.
[9] Lawson, Tradition versus Democracy, 2-3. Lihat juga Tom Otto, ‘After the “tidal wave”: Bernard Narokobi and the creation of a Melanesian Way’, dalam Nicholas Thomas (ed.), Narratives of Nation in the South Pacific (Amsterdam 1997), 60; karya ini membandingkan Jalan Melanesia dengan gagasan Négritude.
[10] Lihat Gregory Bablis, ‘A Melanesian icon: Professor Bernard Mullu Narokobi (-2010)’, makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Asosiasi Sejarah Pasifik di Universitas Goroka, September 2010. Tahun lahir Narokobi dihilangkan karena tidak diketahui.
[11] Ibid., 39-40.
[12] Nicholas Thomas, In Oceania: visions, artifacts, histories (Durham, NC 1997), 154.
[13] Moore, New Guinea, 4.
[14] Persoalan ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan di PNG diangkat dalam debat tentang Jalan Melanesia Narokobi. Beberapa dari kritik ini telah dibahas di bagian akhir buku.
[15] Roger M. Keesing dan Robert Tonkinson (ed.), ‘Reinventing Traditional Culture: the politics of culture in island Melanesia’, edisi khusus, Mankind 13:4(1982).
[16] Robert M. Keesing, ‘Kastom in Melanesia: an overview’, dalam Keesing dan Tonkinson, ‘Reinventing Traditional Culture’, 297.
[17] Robert Tonkinson, ‘Kastom in Melanesia:introduction’, in Keesing and Tonkinson, ‘Reinventing Traditional Culture’, 302.
[18] Lamont Lindstrom, ‘Melanesia kastom and its transformation’, Anthropological Forum 18:2(2008), 166-67.
[19] Ibid.
[20] Bronwen Douglas, ‘Weak states and other nationalisms: emerging Melanesian paradigms?’, SSGM Discussion Paper 3(2000), 5.
[21] Lawson, Traditions versus Democracy, 129.
[22] Walter Lini, ‘Keynote address, Australia and the South Pacific Conference, Canberra, 1982’, Pacific Islands Monthly 53:4(1982), 25-28.
[23] Ibid., 28.
[24] Howard, ‘Vanuatu’, 184.
[25] Geoffrey M. White, ‘The discourse of chiefs: notes on a Melanesian society’, in Geoffrey M. White dan Lamont Lindstrom (ed.), Chiefs Today: traditional political leadership and the postcolonial state (Stanford 1997), 230-31.
[26] Bablis, ‘A Melanesian icon’, 1.
[27] Lindstrom, ‘Melanesian kastom and its transformation’, 165.
[28] Salah satu medan penelitian yang menarik adalah hubungan antara wacana Melanesia yang berasal dari bahasa Inggris dan Perancis.
[29] Politik identitas seperti yang diekspresikan melalui festival-festival seni dan pameran-pameran kreatif sejenisnya merupakan fenomena yang sangat menarik yang belum diselidiki secara mendalam, meski bisa dilihat di catatan kaki 26 di atas untuk komentar singkat mengenai sikap Polinesia vs. Melanesia. Sebuah artikel baru tidak menyebut pembagian ini tetapi membahas secara singkat tentang sebuah kelompok dari Papua Barat yang tampil secara tidak resmi pada Festival Seni Pasifik ke-9 di Palau pada tahun 2004. Artikel yang sama menyebut permintaan dari Indonesia dan Filipina untuk diizinkan mengirimkan delegasi. Permintaan ini ditolak karena mereka bukanlah bagian dari kawasan ini dan bukanlah praktisi Jalan Pasifik. Lihat Barbara Glowczewski dan Rosita Henry, ‘Dancing with the flow: political undercurrents at the 9th Festival of Pacific Arts’, Journal de La Société des Océanistes 125:2(2007), 214.
[30] Ibid., 216.
[31] Clive Moore, ‘Pacific view: the meaning of politics and governance in the Pacific Islands’, Australian Journal of International Affairs 62:3(2008), 392.
[32] Ibid.
[33] Michael Leach, James Scambary, Matthew Clarke, Simon Feeny dan Heather Wallace, ‘Attitudes to national identity among tertiary students in Melanesia and Timor Leste: a comparative analysis’, SSGM, Discussion Paper 8(2912), 7.
[34] Ibid., 6.

Posting Komentar

0 Komentar