Aku Masih Punya Doa Sekalipun itu di Tanah Papua

Oleh; Uli Elysabet Pardede
Foto; frompo.com

Namaku Matius. Bocah Papua yang sangat miskin dan tidak punya papa lagi. Ini tahun 2011 tetapi bagiku seperti jaman purbakala. Kenapa? Yah, aku tidak pernah sekolah di sekolah formal tetapi bersyukur baru-baru ini ada sekolah darurat didirikan beberapa pendatang, Ibu gurunya sangat cantik dan baik, dia berasal dari Jakarta namanya Ibu Gretha. Dia mengajarkan kami baca tulis dan sebagainya sampai kini aku sudah bisa membaca. Terkadang dia memberikan aku roti yang sangat enak lalu ku bawakan separuhnya kepada Mama. Dia sayang padaku, walaupun aku anak termiskin di sekolah darurat itu. Aku pernah mengatakan padanya bahwa aku tak pantas untuk didekati karena aku adalah orang penyakitan. Tetapi dia bilang tak apa. Ya, sudahlah…

Oh ya, Aku juga selalu ke hutan bersama Mama mencari makan. Makan apa? Entahlah, terkadang kami berburu babi hutan, rusa dan lain-lain. Itulah pekerjaan Mama siang dan akan pulang malam harinya terkadang bersamaku terkadang juga tidak. Kenapa? Ya, karena aku sering bekerja di salah satu rumah makan untuk mencuci piring. Aku tidak sendiri dan tak akan pernah sendiri. Mengapa aku mengatakan itu? Ya, di punggungku melekat erat seorang balita yang cantik, dia adikku namanya Sara. Aku tak pernah malu. Biarpun teman-temanku mengolok-olok diriku dengan mengatakan aku adalah ‘emak-emak’ yang gendong anaknya. Terkadang mereka geram lalu melempariku dengan batu, jika sudah begitu aku segera melindungi kepala adikku agar tak terkena lemparan mereka. Beberapa saat kemudian mereka menjerit kepadaku, “DASAR PENYAKITAN!!!”. Aku sedih sangat sedih.

Aku heran melihat mereka yang selalu mencemoohku dan adikku ini. Tahukah kalian? Mereka mencemoohku dari jauh, mereka sama sekali tak mau mendekati aku. Mereka takut dan najis mendekati aku, adikku bahkan Mamaku. Karena… Penyakit HIV/Aids yang kami idap. Mamaku seorang pelacur dulunya namun sekarang di sudah pensiun. Ternyata sebelum aku lahir dan Mama belum menikah dengan almarhum Papa, Mama sudah melacurkan diri karena ekonomi yang tak jelas ini. Hingga akhirnya muncullah aku bayi hitam yang sehat  dari rahim Mama dilengkapi dengan penyakit HIV.

Oh iya Papaku? Dia sudah tiada. Meninggal karena penyakit jantung. Papa terusir dari rumah sakit karena tidak mampu membayar. Aku sedih mengingat Papa yang masih lengkap dengan infus dan segala macam, tiba-tiba didatangi perawat dan segera mencabutinya. Mama segera mengisyaratkan aku mengumpuli barang-barang ke tas. Yah, aku dan Mama sama-sama berkemas-kemas diikuti airmata kesedihan. Aku tak berani menoleh Papa yang berusaha bangun dari tempat tidur menggapai kami. Kami pun pulang dengan becak Papa (sekarang becak itu dijual). Tak tahan hanya beberapa hari di rumah, dan Papa pun dipanggil Tuhan.

Setahun Papa meninggalkan kami sendiri. Mama tak manja tetapi bukan berarti Mama tidak pernah menangisi kepergian Papa, dia tidak menunjukkan kepada kami betapa pedihnya kehilangan orang yang disayang. Dia selalu sembunyi-sembunyi menangis. Segera kudatangi Mama yang tertangkap basah telah menangis. Aku tanya kenapa bisa sampai menangis. Mama jawab kalau hidup yang kami jalani ini terlalu hina. Entah kapan akan berubah. Aku berfikir… Hina? Ah, itu khan cemoohan orang-orang saja. Tidak punya apa-apa? Hei!!! ‘Aku percaya saat aku tak punya apa-apa lagi hanya doa yang aku miliki’. Iya tuh aku masih punya doa plus Mama dan plus adik Sara. Aku tersenyum manis melihat awan Papua yang indah. Tiba-tiba Mama memelukku dan menangis terharu. Terimakasih Mama sudah menangis terharu padaku. Biasanya seorang Mama yang lain menagis terharu karena anaknya membanggakan. Aku bagaimana yah? Dalam kekuyuanku apa yang dibanggakan? Hahaha…
Doaku menjelang malam:
“Ya, Tuhan! Aku bingung. Mengapa Kau tempatkan aku pada keadaan memuakkan ini? Di sini, rakyat yang korban rezim penindasan ini. Di sini, di gubuk tua bersama segenap kemiskinan kami. Di sini, bersama penyakit yang kami bertiga derita. Tuhan! Ini sangat menyakitkan. Terkadang perutku kosong melompong harus diisi nasi namun selalu saja memutar otak untuk makan apa hari ini. Jika sore hari perut minta makan, bisa jadi bertemu pagi dulu baru bisa makan. Aku lelah sebenarnya, Tuhan. Tetapi ajaibnya, aku masih ada. Masih ada dengan sebuah doa dan 2 wanita yang ku sayang (Mama dan Sara). Tuhan, kuatkan aku……....”
Begitulah doaku ketika malam menjelang. Aku kembali memandangi Papuaku yang indah tak terkira. Sungguh! Kenapa  daerah kami yang indah ini terabaikan? Berharap konflik tak ada walaupun aku tak punya TV, tapi aku selalu baca koran di tempat kerjaku mencuci piring. Oh , Papua! Kenapa ini terjadi.

Istirahat bekerja, aku duduk di belakang rumah makan sambil membaca koran tentang berita Papua. Ku lihat adikku sudah tertidur nyenyak dalam gendongan belakangku, aku selalu menggendong adikku sendiri tidak pernah kulepas, karena ku tahu tak ada di sekitar ini yang bakal gemas dan mencolek adikku makanya aku gendong terus. Ya iyalah! Secara adikku ada penyakitnya. Kemudian, aku membacanya dengan seksama sampai habis semuanya dan… Oh, papuaku!

Malamnya, Aku kembali pulang ke rumah setelah seharian pergi ke sekolah darurat dan bekerja di rumah makan. Aku pulang dengan keadaan galau karena ternyata suhu tubuh Sara tinggi. Aku panik dan segera ku buka pintu rumah ternyata Mama tidak di rumah. Kemana? Tidak seperti biasanya? Ah, tanpa pikir panjang segera ku kompres adikku sayang. Namun keadaanya lemah sekali. Aku takut!

“Dik?”

Dia hanya menjawab dengan gumaman kecil memanggil Mama. Aku makin bergetar ku pegangi tangannya dan bedoa pada Tuhan. Aduh, kenapa aku setakut ini? Dan kenapa keadaan adikku mencekam begini? Lagian Mama ada dimana nih? Aku kalut, Ma!

Ku goncang tubuh adikku yang suhu tubuhnya sungguh sangat panas. Dia tak menjawab, kaku! Oh, tidak! Penyakit itu jelas yang membuatnya begini. Aku pun mungkin sebentar lagi. Bercucuran airmataku dan meraung-raung tengah malam itu juga. Ku goncang-goncang tubuh kurusnya lagi tetapi dia tak menangis lagi. Sara pergi dan tak akan menghuni gendongan belakangku lagi. Aku makin kalut dan ku jeritkan Mama. “Maaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Namun, Mama tak datang untuk melihat Sara kenapa. Belakangan ku ketahui bahwa Mama pergi mencuri di pusat perbelanjaan karena tidak ada uang beli beras. Dan sekarang Mama dilaporkan lalu dipenjara.

*********

Beberapa minggu berlalu, namun Mama belum pulang ke rumah, Ingin aku ke penjara menjenguk Mama tetapi tidak ada yang mau mengantarkan aku ke tempat itu yang lumayan jauh itu . Sekali-kali ku pandangi kubur adik Sara yang berada di kolong rumah panggung kami, masih utuh. Aku sedih kenapa aku ditinggal sendiri oleh semua? Aku diam terpaku di gubuk reot ketika malam menjelang. Aku tetap sekolah dan belajar dengan tekun, aku hanya berpikir begini. “Bisa saya penyakit HIV ini tidak merenggutku cepat-cepat sehingga aku bisa menjadi pejabat negara nantinya.” Hohoho… Mungkinkah ? Sekolah darurat?

“Ma, dimana??? Tanah kubur adik sudah mengering. Taukah kau itu? Ma, kenapa sepedih ini? Ma, pulanglah Mama… Matius rindu akanmu yang lembut”. Aku sendrir sekaang dan tak punya teman.

Aku pun menengadah di atas langit-langit dan mulai berpikir bahwa, Aku percaya ketika aku hampa dan tidak punya apa-apa lagi hanya doa yang aku punya. Aku harap ada mujizat di balik doa. Tergerus sudah nyata dengan kematian dan kepergian Mama tiba-tiba. Tetapi tak akan membuat aku ikut mati dalam optimissnya hidup. Hadirlah ditetapku selamanya, Ma.

Hidup Papua!

Posting Komentar

0 Komentar