Foto; frompo.com |
Namaku Matius. Bocah Papua yang sangat
miskin dan tidak punya papa lagi. Ini tahun 2011 tetapi bagiku seperti
jaman purbakala. Kenapa? Yah, aku tidak pernah sekolah di sekolah formal
tetapi bersyukur baru-baru ini ada sekolah darurat didirikan beberapa
pendatang, Ibu gurunya sangat cantik dan baik, dia berasal dari Jakarta
namanya Ibu Gretha. Dia mengajarkan kami baca tulis dan sebagainya
sampai kini aku sudah bisa membaca. Terkadang dia memberikan aku roti
yang sangat enak lalu ku bawakan separuhnya kepada Mama. Dia sayang
padaku, walaupun aku anak termiskin di sekolah darurat itu. Aku pernah
mengatakan padanya bahwa aku tak pantas untuk didekati karena aku adalah
orang penyakitan. Tetapi dia bilang tak apa. Ya, sudahlah…
Oh ya, Aku juga selalu ke hutan bersama
Mama mencari makan. Makan apa? Entahlah, terkadang kami berburu babi
hutan, rusa dan lain-lain. Itulah pekerjaan Mama siang dan akan pulang
malam harinya terkadang bersamaku terkadang juga tidak. Kenapa? Ya,
karena aku sering bekerja di salah satu rumah makan untuk mencuci
piring. Aku tidak sendiri dan tak akan pernah sendiri. Mengapa aku
mengatakan itu? Ya, di punggungku melekat erat seorang balita yang
cantik, dia adikku namanya Sara. Aku tak pernah malu. Biarpun
teman-temanku mengolok-olok diriku dengan mengatakan aku adalah
‘emak-emak’ yang gendong anaknya. Terkadang mereka geram lalu
melempariku dengan batu, jika sudah begitu aku segera melindungi kepala
adikku agar tak terkena lemparan mereka. Beberapa saat kemudian mereka
menjerit kepadaku, “DASAR PENYAKITAN!!!”. Aku sedih sangat sedih.
Aku heran melihat mereka yang selalu
mencemoohku dan adikku ini. Tahukah kalian? Mereka mencemoohku dari
jauh, mereka sama sekali tak mau mendekati aku. Mereka takut dan najis
mendekati aku, adikku bahkan Mamaku. Karena… Penyakit HIV/Aids yang kami
idap. Mamaku seorang pelacur dulunya namun sekarang di sudah pensiun.
Ternyata sebelum aku lahir dan Mama belum menikah dengan almarhum Papa,
Mama sudah melacurkan diri karena ekonomi yang tak jelas ini. Hingga
akhirnya muncullah aku bayi hitam yang sehat dari rahim Mama dilengkapi
dengan penyakit HIV.
Oh iya Papaku? Dia sudah tiada.
Meninggal karena penyakit jantung. Papa terusir dari rumah sakit karena
tidak mampu membayar. Aku sedih mengingat Papa yang masih lengkap dengan
infus dan segala macam, tiba-tiba didatangi perawat dan segera
mencabutinya. Mama segera mengisyaratkan aku mengumpuli barang-barang ke
tas. Yah, aku dan Mama sama-sama berkemas-kemas diikuti airmata
kesedihan. Aku tak berani menoleh Papa yang berusaha bangun dari tempat
tidur menggapai kami. Kami pun pulang dengan becak Papa (sekarang becak
itu dijual). Tak tahan hanya beberapa hari di rumah, dan Papa pun
dipanggil Tuhan.
Setahun Papa meninggalkan kami sendiri.
Mama tak manja tetapi bukan berarti Mama tidak pernah menangisi
kepergian Papa, dia tidak menunjukkan kepada kami betapa pedihnya
kehilangan orang yang disayang. Dia selalu sembunyi-sembunyi menangis.
Segera kudatangi Mama yang tertangkap basah telah menangis. Aku tanya
kenapa bisa sampai menangis. Mama jawab kalau hidup yang kami jalani ini
terlalu hina. Entah kapan akan berubah. Aku berfikir… Hina? Ah, itu
khan cemoohan orang-orang saja. Tidak punya apa-apa? Hei!!! ‘Aku percaya saat aku tak punya apa-apa lagi hanya doa yang aku miliki’.
Iya tuh aku masih punya doa plus Mama dan plus adik Sara. Aku tersenyum
manis melihat awan Papua yang indah. Tiba-tiba Mama memelukku dan
menangis terharu. Terimakasih Mama sudah menangis terharu padaku.
Biasanya seorang Mama yang lain menagis terharu karena anaknya
membanggakan. Aku bagaimana yah? Dalam kekuyuanku apa yang dibanggakan?
Hahaha…
Doaku menjelang malam:
“Ya, Tuhan! Aku bingung. Mengapa Kau tempatkan aku pada keadaan memuakkan ini? Di sini, rakyat yang korban rezim penindasan ini. Di sini, di gubuk tua bersama segenap kemiskinan kami. Di sini, bersama penyakit yang kami bertiga derita. Tuhan! Ini sangat menyakitkan. Terkadang perutku kosong melompong harus diisi nasi namun selalu saja memutar otak untuk makan apa hari ini. Jika sore hari perut minta makan, bisa jadi bertemu pagi dulu baru bisa makan. Aku lelah sebenarnya, Tuhan. Tetapi ajaibnya, aku masih ada. Masih ada dengan sebuah doa dan 2 wanita yang ku sayang (Mama dan Sara). Tuhan, kuatkan aku……....”
Begitulah doaku ketika malam menjelang.
Aku kembali memandangi Papuaku yang indah tak terkira. Sungguh! Kenapa
daerah kami yang indah ini terabaikan? Berharap konflik tak ada walaupun
aku tak punya TV, tapi aku selalu baca koran di tempat kerjaku mencuci
piring. Oh , Papua! Kenapa ini terjadi.
Istirahat bekerja, aku duduk di belakang
rumah makan sambil membaca koran tentang berita Papua. Ku lihat adikku
sudah tertidur nyenyak dalam gendongan belakangku, aku selalu
menggendong adikku sendiri tidak pernah kulepas, karena ku tahu tak ada
di sekitar ini yang bakal gemas dan mencolek adikku makanya aku gendong
terus. Ya iyalah! Secara adikku ada penyakitnya. Kemudian, aku
membacanya dengan seksama sampai habis semuanya dan… Oh, papuaku!
Malamnya, Aku kembali pulang ke rumah
setelah seharian pergi ke sekolah darurat dan bekerja di rumah makan.
Aku pulang dengan keadaan galau karena ternyata suhu tubuh Sara tinggi.
Aku panik dan segera ku buka pintu rumah ternyata Mama tidak di rumah.
Kemana? Tidak seperti biasanya? Ah, tanpa pikir panjang segera ku
kompres adikku sayang. Namun keadaanya lemah sekali. Aku takut!
“Dik?”
Dia hanya menjawab dengan gumaman kecil
memanggil Mama. Aku makin bergetar ku pegangi tangannya dan bedoa pada
Tuhan. Aduh, kenapa aku setakut ini? Dan kenapa keadaan adikku mencekam
begini? Lagian Mama ada dimana nih? Aku kalut, Ma!
Ku goncang tubuh adikku yang suhu
tubuhnya sungguh sangat panas. Dia tak menjawab, kaku! Oh, tidak!
Penyakit itu jelas yang membuatnya begini. Aku pun mungkin sebentar
lagi. Bercucuran airmataku dan meraung-raung tengah malam itu juga. Ku
goncang-goncang tubuh kurusnya lagi tetapi dia tak menangis lagi. Sara
pergi dan tak akan menghuni gendongan belakangku lagi. Aku makin kalut
dan ku jeritkan Mama. “Maaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Namun, Mama tak datang
untuk melihat Sara kenapa. Belakangan ku ketahui bahwa Mama pergi
mencuri di pusat perbelanjaan karena tidak ada uang beli beras. Dan
sekarang Mama dilaporkan lalu dipenjara.
*********
Beberapa minggu berlalu, namun Mama
belum pulang ke rumah, Ingin aku ke penjara menjenguk Mama tetapi tidak
ada yang mau mengantarkan aku ke tempat itu yang lumayan jauh itu .
Sekali-kali ku pandangi kubur adik Sara yang berada di kolong rumah
panggung kami, masih utuh. Aku sedih kenapa aku ditinggal sendiri oleh
semua? Aku diam terpaku di gubuk reot ketika malam menjelang. Aku tetap
sekolah dan belajar dengan tekun, aku hanya berpikir begini. “Bisa saya
penyakit HIV ini tidak merenggutku cepat-cepat sehingga aku bisa menjadi
pejabat negara nantinya.” Hohoho… Mungkinkah ? Sekolah darurat?
“Ma, dimana??? Tanah kubur adik
sudah mengering. Taukah kau itu? Ma, kenapa sepedih ini? Ma, pulanglah
Mama… Matius rindu akanmu yang lembut”. Aku sendrir sekaang dan tak
punya teman.
Aku pun menengadah di atas langit-langit
dan mulai berpikir bahwa, Aku percaya ketika aku hampa dan tidak punya
apa-apa lagi hanya doa yang aku punya. Aku harap ada mujizat di balik
doa. Tergerus sudah nyata dengan kematian dan kepergian Mama tiba-tiba.
Tetapi tak akan membuat aku ikut mati dalam optimissnya hidup. Hadirlah
ditetapku selamanya, Ma.
Hidup Papua!
0 Komentar