BERJUANG (Bagian II)



(Ini bagian II. Baca dulu cerpen ini pada Bagian I:  klik!)

“Komandan, Bapa panggil!”

Yosep, seorang pemuda tangkas yang ada di bawah komandonya itu datang dan bilang ke sang komandan. Pikiran sang komandan agak risau. Ini panggilan yang tidak biasanya. Kalau bapa ingin bicarakan hal-hal tertentu, biasanya dia yang akan datang cari saya, pikir komandan.

Bapanya komandan itu seorang yang misterius. Semua penghuni markas itu tahu, tidak seorangpun diperkenankan memasuki, bahkan mendekati sekalipun bilik Bapa. Siapa namanya? Bahkan sang komandan pun tidak tahu namanya. Maka sudah sejak dulu-dulu, mereka sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Bapa.

“Bapa, saya datang.”  Sang komandan teriak dulu dari luar bilik.

“Masuk sudah. Dari tadi saya tunggu.”

Sang komandan pun segera membuka pintu. Ruangan sepi. Lantai yang terbuat dari belahan kayu yang dicincang, kelihatan bersih. Tidak ada meja atau kursi. Di dinding depan pintu, terpampang bendera pusaka, Bintang Kejora. Di sudut ruangan, ada satu lemari, terbuat dari kayu-kayu kecil, persegi empat jadi mirip lemari, isinya beberapa buku dan beberapa map. Di kanan sana, ada busur dan anak panah beracun. Katanya, panah itu senjata andalan Bapa. Kalau dia pakai senjata itu, tentara  tidak punya kata selamat. Meninggal saja yang di depan mata.

Bapa sedang duduk di lantai, di atas tikar daun pandan. Bapa mempersilahkan anaknya duduk.

“Anak,” Bapa mulai buka cerita.

“Saya sudah tua sekali, Ko lihat sendiri.  Selama ini, Bapa sembunyi satu rahasia. Sengaja. Ini rahasia soal kita.” Muka komandan jelas menggambarkan orang kaget. Sementara Bapa terlihat senyum-senyum kecil, tenang dan berwibawa.

“Sekarang ini sa pikir waktu untuk sa bilang ke anak,” lanjut Bapa. Lalu Bapa mulai bicara lagi.

“Bapa punya umur su  80 tahun. Kemarin-kemarin, sa tidur juga tidak, bangun juga tidak, pas saat-saat begitu, dengar ada orang bisik, Bapa punya umur hurang tiga hari lagi. Ini adalah hari ketiga. Suara itu bilang saya, bilang kastau anak, supaya ko pi ambil satu gadis yang akan mandi di kali Kemabu, pas tujuh hari setelah Bapa meninggal. Itu yang pertama.”

Sang komandan masih tidak percaya akan semua ini. Dia ingin potong Bapa bicara dan bertanya, tapi Bapa sudah lanjut dengan bicara lagi.

“Kedua. Bapa ingin bilang Bapa pu nama. Sa nama Thomas Pieter Sanggamuni. Dulu, Bapa pernah selamatkan seorang anak, umurnya kira-kira satu tahun lebih sedikit. Dia pu bapa itu satu pejuang kemerdekaan Papua, tahun 1952 dibuang ke Negeri belanda karena dianggap berbahaya. Setelah itu,  seluruh keluarganya dibawa oleh truk ke kantor polisi. Saya tidak tahu keluarga itu lagi setelah itu.  Untung, Bapa waktu itu sembunyi dia pu anak satu.”

Sang komandan serius dengarkan. Bapa sedikit berhenti bicara, angkat muka, lihat komandan, terus bicara lagi.

“Anak kecil itu saya pelihara, ajak masuk hutan dan besarkan dia. Anak kecil itu kamu, sa pu anak,” lanjut Bapa.

Komandan kaget. Ini tidak terduga.

Bapa mendekat. Tangannya Bapa taruh di atas kepala komandan. Terus dia tutup mata dan bicara lagi.

“Bapa pesan, kasi nama Thomas sebagai nama anakmu yang lahir nanti, setelah anak menikah dengan perempuan yang anak ketemu di Kemabu 7 hari ke depan. Bapa pesan, jangan bilang siapa-siapa soal semua ini. Teruskan perjuangan ini sampai merdeka! Anak, ko harus jadi pemimpin yang baik. Atur strategi. Taktik menentukan hasil terakhir. Lindungi rakyat, tanah dan airmu dengan berusaha menghadirkan kemerdekaan, berusaha dengan korbankan anak pu darah, anak pu keringat, sampai anak pu tubuh jadi pengorbanan terakhir di jalan ini.”

Lalu komandan disuruh kembali ke tempatnya. Dari luar, komandan ingat, dia belum tanya nama dia punya bapak dan mama yang sebenarnya.

Ketika balik, Bapa sudah tertidur di lantai. Tenang. Tak bernyawa.

***
Hari itu menjadi hari dukacita. Bendera Bintang Kejora di markas berkibar setangah tiang. Sejak pagi, alam sudah berkabung: mendung di pagi hari, gerimis menjemput siang, lalu hujanpun turun dengan derasnya.  Langit seakan berduka, bersedih menangis meratapi kepergian sang pahlawan. Petir menyambar-nyambar, kilat dan halilintar silih berganti menguasai jagad. .

***
Sesuai pesan almarhum Bapa, sang komandanpun mulai menghitung hari-harinya. Hari keenam tiba.
Tidak ia katakan kepada siapapun soal wasiat sang ayah, juga tentang identitas sang ayah, yang adalah ayah angkatnya. Sebab pikirnya, biarlah hal itu diketahiu olehnya hanya seorang diri, mungkin untuk sementara waktu. Mungkin masih ada kesempatan ke depan dimana ia dapat menceritakan itu semua kepada anak buahnya, yang telah ia anggap sebagai saudara- saudaranya seperjuangan dan sepenanggungan.

Sore itu, ia segera memanggil Frans, anak buah yang dipercayai. Sang komandan tidak menceritakan panjang lebar tujuan dan maksud kepergian. Hanya bilang akan pergi untuk sementara waktu karena ada keperluan.

Frans Yarinap dengan sigap menerima tanggung jawab yang biberikan tersebut, meskipun dengan sedikit kuatir akan keselatan sang komandan.

“Komandan, kalau butuh, kami siap kawal,” kata Frans, dengan was-was.

“Tidak perlu.”

Sang komandanpun berangkat menuju hulu sungai Kemabu, tempat yang menurut sang ayah akan ditemui seorang gadis, yang kemudian akan diperistrinya.

Sang komandan itu pun berjalanlah. Langkahnya dipercepat. Hari sudah mulai gelap.  Sesampainya di sebuah batu besar, sang komandan segera melompat ke batu berikutnya, dan begitu seterusnya sampai 5 kali, menghilangkan jejak. Kemudian ia memanjat anak pohan yang condong ke arah sebuah batu besar di samping sebuah beringin, sangat besar, sangat rindang, sampai sampai daun dan beberapa rantingnya terkulai hinga menyentuh tanah.  Sampai di dahan pertama, sang komandan melompat ke atas batu besar. Ditariknyalah sebuah tali dari atas batu itu, dan dari dalam pohon beringin yang rindang tersebut, turunlah tangga yang terbuat juga dari tali. Sang komandan pun segera naik ke atas, melalui tangga tersebut. Dan di atas, di dalam pohon beringin yang besar nan rindang tersebut berdapatlah sebuah gubuk kecil. Ia segera membersihkan tempat tesebut, menyimpan segala baawaan yang dibawanya, dan segera turun ke bawah, ke mata air yang jernih di tengah hutan tersebut untuk membersihkan badan dan minum.

Setelahnya ia langsung ke gubuk kecil di atas. Tertidur hingga pagi tiba.

Subuh ia segera bersiap untuk berangkat. Ketika ia melompat-lompat melewati lima batu kemarin untuk melanjutkan perjalanan, matanya tertuju pada seorang gadis yang cantik.  Matanya bagai sepasang kejora yang membara. Wajahnya adalah pualam murni; hitam manis. Sang komandan pun terpesona.

Gadis itu membersihkan diri, lalu berjalan melalui jalan setapak. Sang komandan mengikutinya.

Gadis itu dibiarkannya untuk jalan duluan tanpa membiarkan kehadirannya diketahui sang gadis. Tibalah mereka di sebuah perkampungan yang hanya punya lima rumah. Perempuan itu memasuki rumah pertama.

Sang komandan kembali ke ke hutan, berburu, dan sore harinya, dengan hasil buruan yang didapatnya, ia berjalan melalui jalan yang sama menuju rumah gadis itu.

Sang komandan segera disambut oleh seorang bapak, yang tampaknya lebih tua darinya. Bapak itupun segera memberkenalkan namanya.

“Nama saya Gerard. Anak siapa?

“Saya Pieter, Pieter Sanggamuni.”

Raut muka lelaki itu sedikit berubah. Sang komandan menangkap artinya.

“Benar, saya pimpinan OPM daerah ini. Saya hanya jalan-jalan,” jawab Komandan menenangkan. Setelah saling perkenalkan diri, mereka segera larut dalam perbincangan-perbincangan, mulai dari soal hidup, perjuangan, kematian Bapa di markas, hingga kepada soal kedatangan sang komandan. Sang komandan menceritakan detail pesan Bapa sebelum meninggal, hingga pertemuannya dengan anak gadis Paitua Gerard.

Sehabis makan bapak Gerard pun memanggil anak dan istrinya untuk ke ruang laki-laki, guna membicarakan pinangan dari sang komandan, sesuai adat mereka.

Setelah mereka duduk melingkari tungku; ibu dan gadis itu di sisi sebelah, sementara Paitua Gerard dan Komandan di sisi lainnya, Paitua Gerard menjelaskan maksud kedatangan Pieter.

“Jadi, anak sudah besar. Sudah cukup umur dan belajar hidup dari kami (sambil lihat istrinya). Bagimana (sambil lihat anaknya) menurutmu, kami mengikuti kehendakmu.”

Perlahan gadis itu pun mengangkat wajahnya, memandang ibunya, lalu ke ayahnya, dan terakhir ke sang komandan. Gadis itu menatap lama, dan tersenyum.

Paitua Gerard tersenyum. Ibunya tersenyum.

“Bapa,” kata gadis itu kepada Paitua Gerard. “Berikan waktu sampai besok pagi untuk saya pikir-pikir,” katanya melanjutkan.

Lalu mereka melanjutkan bicara-bicara sebentar sambil makan, dan sesaat kemudian, Ibu-anak itu kembali ke bilik mereka. Malam itu Komandan tidak tidur nyenyak. Wajah gadis itu ternyata di luar bayangan: seperti bidadari di mimpi.

Besok pagi, gadis itu membuka pintu, menyerahkan beberapa buah ubi masakannya kepada Komandan, depan Paitua Gerard. Paitua Gerard senyum, sang komandan mengerti, lamarannya diterima.

Setelah membereskan upacara nikah, Paitua Gerard meminta Komandan tinggal semalam lagi di gubuknya. Lalu dia cerita banyak hal dan memberikan banyak nasehat untk kehidupan dan perjuangan.

“Pergi sudah dengan ko pu suami,” bisik ibunya sambil menangis, teramat cepat melepas anak gadisnya.

Sementara di dada sang komandan, ada suara yang menderu-deru: ‘perjuangan ini teramat berat, lalu kau dengan sadar mengambil beban yang lebih berat lagi dan itu kau pikulkan pada dirimu untuk kau tanggung seumur hidupmu; berkeluarga!”

Siapa nama gadis itu? (...bersambung)


Penulis: Sanimala B.


Posting Komentar

0 Komentar