Oleh: Sundi
Roberth Wayangkau
Sekilas
dalam pandanganku terlihat ada seorang gadis diantara jejeran rak-rak buku di perpustakaan
itu. Namun aku tetap mencoba untuk mengabaikannya, seolah-olah tak melihatnya.
Gadis itu mondar-mandir,
mencuri perhatianku, aku seolah-olah lakukan sebagai orang yang baru pertama
kali masuk dalam perpustakaan tersebut, sambil terus mencari letak rak buku
yang berisikan Novel dan bacaan sastra. Yang menjadi bacaan kesukaanku.
Sekejap tercengat
dalam pandanganku baru aku sadari, sedari tadi gadis itu sedang berdiri diam
sambil kepalanya menunduk.
Akupun
melihat jelas gadis itu mengenakan kemeja berwarna merah muda dipadukan dengan
celana jeans panjang sebatas mata kaki.
Mataku terus
tak berkedip, Aku belum juga sadar bahwa rak buku yang aku tuju, sedang
diobrak-abrik oleh gadis berkemeja merah muda dengan potongan rambut hitam
sebatas bahu, yang terlihat menjuntai dikedua sisi bahunya.
Tiba-tiba,
dua buku dari pelukan gadis itu terjatuh.
Bruak…! Ia segera
menunduk sambil sekilas sambil melihatku dengan mata penuh curiga, aku hanya
terdiam.
Entah baru
atau sudah sejak tadi Gadis manis berbaju pink itu menyadari keberadaanku, aku
pun tak tahu. Tak mau tertangkap basah sedang memandang dirinya dari tadi aku
pun langsung menghampiri gadis itu lalu berdiri bagaikan patung dihadapannya,
tanpa mencoba membantu gadis itu agar sebagai imbalannya kita bisa berkenalan.
Namun aku
tetap berdiri dihadapannya yang sedang menunduk lalu memungut buku-buku yang
barusan ia jatuhkan.
Gadis itu
kemudian bangkit dari posisi menunduk dan… mata kita saling bertumpu satu sama
lain. Agar tidak terjebak dalam rasa gugup.
Aku segera
mengulurkan tangan dan bertanya, “ade nona ko pu nama sapa ?” aku pun
berkenalan! “
“Sa pu nama
Julianti, Kaka,” Jawabnya sambil malu-malu.
“Kalo kaka
pu nama?” tanyanya padaku. Sambil kita terus berbalas pandang. Aku terus
melototi bola mata bulat tampak bagaikan sepasang bola pimpong.
Aku segera
menjawab, “ Sa pu nama Sundi” aku berusaha menjawabnya agar tak terlihat salah
tingkah.
“Kaka Sundi
lagi cari buku apa?” Tanya gadis itu singkat.
“Sa lagi
cari Novel ade”. Ade de tra sadar kalo ade de lagi berdiri tepat di rak Novel,
makanya Sa menuju ke sini!”
Ia kemudian
bertanya sekali lagi, katanya; “Kaka cari novel apa?
“Sini Sa
carikan,” Ajaknya dengan suara lembut yang jelas teras feminim.
Lalu aku
menjawab singkat, “oke....!”
Jujur seolah-olah
semua yang ada pada diriku dibawa oleh dirinya menyusuri kedua sisi rak buku
bertuliskan “SASTRA” itu.
Tiba-tiba ia
berbicara dengan posisi badan menyamping dan wajahnya memandangku, “kalo sa
suka baca Novel misteri atau petualangan, ceritanya tu asik, mendebarkan, dan
banyak kejutan”. Aku kemudian hanya mengangguk pelan seakan orang bisu yang
hanya mampu berisyarat tanpa kata.
Terlihat
jari lentik gadis itu dari tangannya yang dibungkus kulit eksotik campuran
Papua (serui) - Jawa itu. Dengan lincah ia menarik sebuah Novel yang tebalnya
kira-kira lima cm, dan serahkan kepadaku, “coba kaka lihat dulu sapa tau kaka
tertarik”, katanya.
Aku menerima
buku itu lalu memasang tampang serius memandang buku tersebut. Dalam hatiku berkata
“sebenarnnya yang ingin sa pandangi dalam jarak sedekat dirimu......!” Hahaha jurus
gombal macam apa lagi tu...? Pikiranku kemudian kembali kepada kenyataan
dihadapanku setelah melayang dalam ilusi gila buatan isi kepalaku selama
kira-kira dua detik lamanya.
“coba kitong
lihat yang lain lagi!” aku segera mengajaknya. Tanpa menjawab, Ia kembali
mengambil sebuah roman berada tepat ditengah barisan buku yang berbaris
layaknya anak sekolahan dikala upacara bendera tiap hari senin pagi.
Tampak jelas
bahwa itu sebuah Roman berjudul “BUMI MANUSIA”. Roman tersebut ditulis oleh
Tete (kakek) Sastra Indonesia, namanya Pramoedya Ananta Toer. Demikian aku suka
menyebutnya.
Setelah kita
berdua mondar-mandir, berbincang seadanya sebagai perkenalan, dan dari
perbincangan itulah aku tahu. Ia, gadis manis dengan kulit eksotik yang aku
pandangi sedari tadi ternyata berdarah campuran Papua (Serui)-Jawa.
Setelah itu
aku langsung berbalik badan dan pergi meninggalkanya tanpa coba mengajak,
memang aku sengaja. Sesampainya aku diruang baca aku langsung menuju sebuah
meja berbentuk persegi panjang, berukuran 3 meter persegi.
“kaka sa
boleh gabung duduk disitu ka ?“ kata Julianti.
“Silahkan
Nona cantik”, Ujarku Sambil tersenyum. Tanpa basa-basi seolah tersihir oleh
suara lembut gadis itu. Lalu dalam hati berkata “upsss...itu apa lagi tu kaka
stop gombal sudah”.
Kemudian
Julianti tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang tampak seperti
serdadu perang jaman mencari budak ala Saireri dari Teluk Cenderwasih.
Dengan
matanya yang bulat seperti sepasang bola pimpong Ia menatap manja padaku. Kita
kemudian sama-sama, dan tanpa aba-aba. Menarik kursi, menaruh buku dan Pantat
kita diatas kursi masing-masing, serta meja yang kita pakai berdua, seakan
sudah disepakati batas wilayahnya antara dirinya dan diriku.
Sebenarnya ada
keinginan yang terlintas dibenakku untuk segera memulai percakapan baru dengan
Gadis itu. Namun aku tetap memilih diam dan segera membuka Roman Tete Pramoedya
Ananta Toer, yang ada dihadapanku.
Selang
beberapa menit setealah masing-masing dari kita sibuk sibuk dengan bacaan kita.
Gadis itu tiba-tiba berkata sambil melihatku dan berkata, “Sa bingung ni kaka.
“Sa pilih buku yang mana ee..?”
“Kalo
menurut kaka mana dari ketiga Novel ini yang bagus, ?” Tanyanya.
Lalu dengan
tenang dan bersikap seperti seorang anggota tim penilai, saya mulai
membolak-balik ketiga novel itu dan mengamatinya seseserius mungkin.
Kembali
dalam hati ku berkata; “yang mau Sa amati dalam jarak ini sedekat ini ya..
dirimu!” Ahhh.. sudahalah. Terpaksa aku berkata “Ade Julianti, yang ini bagus”.
Ia pun
menjawab “Oke makasih kaka sudah bantu pillih”
“Yup
sama-sama” jawabku tenang sambil memandangi bola matanya yang bulat seperti
bola pimpong itu.
Sepertinya
akan ada banyak kejutan dalam ceritanya” aku berkata kepadanya sambil
menggenggam salah satu novel dengan sampul hitam ditambah merah pudar
ditengahnya.
Tiba tiba
aku mendengar suara Julianti, “Kaka Sundi, Sa abalik dulu ee... ini sudah
waktunya Sa pulang,. Sudah jam tiga sore”
Layar Hand phoneku
(HP) menunjukan pukul 05.00 waktu yang sama kira-kira sudah lewat sepuluh
menit.
“Sebentar.........!”
kataku singkat.
Aku mencoba
mencegat langkahnya sambil menyodorkan kertas dan sebuah pena. Kepada Gadis itu,
aku segera berkata, “ade tulis ade pu nomor HP ka ?”
“Oke Boleh ”
satu menit ia menulis dua belas digit
angka.
Jaulianti
kemudian membalas menyodorkan kertas padaku, yang entah didapatnya dari mana.
Sambil berkata, katanya; “Kaka tulis nomor HP dan nama Akun Facebook!” Saya
langsung melakukan apa yang Ia minta.
“Sip.. kaka
nanti, kontak-kontak sa eee...” kata Julianti.
Ia kemudian bepaling
dariku dan pergi meninggalkanku dalam diam bersama deretan bangku kosong yang
seolah berkata “Sundi jangan paksa ganteng, ko biasa saja, nanti bagus..
hahaha”.
Sebenarnya
aku masih ingin berbincang-bincang dengannya. Setelah gadis itu berjalan
kira-kira sejauh dua meter, gadis itu tiba-tiba berbalik melihatku dan berkata,
“Daaaa.. kaka nanti kita jumpa lagi disini lagi ya.”
Saya pun
hanya membalas; “Ya.. hati-hati dijalan nona”
Setelah
gadis itu menghilang dibalik dinding ruang baca yang memisahkan kita, aku pun
merenung seperti ini “saya penasaran ada gadis cantik berdarah campuran Papua (Serui)
– Jawa yang punya ketertarikan sama.
Memang
perbedaan warna kulit dan rambut kita tak boleh jadi pembeda, karena terlihat
dalam diri gadis itu bagaimana perbedaan suku dan dan ras itu telah berpadu dan
menciptakan dara cantik nan eksotik yang sedari tadi aku suka ketika mata kita
saling bertumpu.
Perjumpaan yang
berkesan.
Jayapura,
Prima Garden Abe 06 September 2016.
Ko'Sapa@2016
0 Komentar