Oleh Veronika Kusumaryati
Sebelum saya datang ke Papua Barat (yang meliputi provinsi Papua dan Papua Barat) dan melakukan penelitian tentangnya, saya banyak menonton film-film tentang Papua Barat. Mungkin justru saya kenal Papua Barat pertama kali dari film. Oleh karena itu, saya ingin membagi daftar film-film atau karya video yang mungkin bisa jadi pengantar untuk mengenal Papua Barat. Tentu saja daftar ini tidak menyeluruh dan berdasar selera pribadi. Urutan di dalam daftar ini tidak mencerminkan urutan kualitas ataupun kronologi.
1. Dead Birds (Burung yang Mati) (Robert Gardner, Amerika Serikat, 1963)
Pada tahun 1961, sekelompok pembuat film dan antropolog dari kampus Harvard pergi ke Lembah Baliem di Pegunungan Jayawijaya untuk melakukan apa yang disebut The Harvard Peabody Museum’s New Guinea Expedition (Ekspedisi Harvard and Museum Peabody ke New Guinea). Film Dead Birds dibuat di lembah agung ini, tepatnya di Witawaya dan Kurulu. Film ini serta komponen lain yang menyertainya (buku Karl Heider tentang suku Dani/Hubula, rekaman music oleh Michael Rockefeller dan novel tentang ekspedisi oleh Peter Matthiessen berjudul Under the Mountain Wall) merupakan sebuah rekaman paling menyeluruh dari sebuah suku di muka bumi ini.
Film “Dead Birds” sendiri merekam terjadinya perang suku di dua wilayah itu yang melibatkan berbagai konfederasi dan aliansi perang paling menonjol di Lembah Baliem. Film ini juga menggambarkan dengan lengkap berbagai tradisi suku Hubula pada tahun itu, pada saat unsur asing seperti pemerintah kolonial Belanda dan misionaris masih sedikit mempengaruhi perilaku orang Hubula. Film ini diterima dengan sangat kritis baik di Amerika Serikat sendiri maupun di luar negeri. Kritik yang sering dilancarkan pada film ini terdiri dari dua hal. Pertama, dari aspek produksi, pembuat film ini dikatakan memprovokasi perang suku. Tetapi pada kenyataan sejarahnya, sejak tahun 1950-an di Lembah Baliem telah terjadi perang antarkonfederasi sehingga kritik ini ditolak oleh tim pembuat film. Kritik yang kedua dan paling fundamental berkenaan dengan pertanyaan, apakah film bisa menjadi representasi paling baik bagi kekayaan dan kompleksitas budaya suku Hubula?
2. Papuan Voices
Pembuat film Papua telah banyak bermunculan, kebanyakan lulusan dari lokakarya-lokakarya pembuatan film yang diadakan oleh lembaga swadaya masyarakat, gereja, dan lain-lain. Bagaimana cara menonton film-film buatan teman-teman Papua? Salah satu platform yang bisa dilihat adalah Papuan Voices yang dulunya menjadi proyek dari Engagemedia. Salah satu keunggulan dari proyek ini adalah kita bisa menonton film-film dari berbagai daerah di Papua yang dibuat oleh orang Papua sendiri. Film-film ini juga bisa ditonton secara online. Namun dengan kondisi jaringan internet yang sangat lambat di Papua, teman-teman yang berminat bisa mendapatkan DVD yang mereka distribusikan.
3. Eux et moi (Mereka dan Saya) (Stéphane Breton, Perancis, 2001)
Trailer bisa dilihat di sini.
Film ini merupakan hasil studi dan penelitian lapangan antropolog Stéphane Breton di tanah orang Wolani, Pegunungan Tengah, Papua. Film ini menggambarkan secara sensitif interaksi orang asing seperti Breton dengan orang-orang Wolani yang tidak pernah hidup dengan orang asing sebelumnya, terkecuali misionaris. Breton juga menggambarkan tokoh-tokoh orang Wolani dan kegemaran mereka menghitung mege (uang dari kulit bia). Di film kedua dan lanjutan dari film ini, ia menggambarkan situasi menyedihkan dari perubahan sosial yang dialami masyarakat Wolani dengan datangnya pemerintahan dan sistem dari Indonesia. Film ini merupakan salah satu film yang paling mengharukan yang pernah saya lihat tentang Papua.
4. Birdman Tale (Dongeng tentang Laki-Laki Burung)( Garin Nugroho, Indonesia, 2001)
Preview bisa dilihat di sini.
Mungkin banyak orang lupa bahwa pembuat film Indonesia satu ini telah membuat sebuah film yang cukup politis di tahun 2001. Garin Nugroho bertemu dengan Tuan Theys Eluay dan mengikuti kegiatan-kegiatannya di Presidium Dewan Papua sejak 1999. Ia menggabungkan gambar-gambar dokumenter yang ia peroleh dari pertemuan ini dengan cerita fiksional tentang Bertold, seorang guru tari dan pendukung Theys. Bagi saya, film ini merupakan dokumentasi berharga tentang keadaan Papua secara umum dan Jayapura secara khusus pada tahun-tahun reformasi. Film ini juga dihiasi dengan musik dan tarian-tarian indah penuh misteri dari Papua. Mungkin ini merupakan film yang mampu mengangkat eforia dan semangat perubahan pada waktu itu dan proses penghancurannya pada tahun 2001.
5. Lukas’ Moment (Aryo Danusiri, Indonesia/Norwegia, 2005)
Film yang dibuat dengan metode observasional ini tidak memiliki narasi seperti yang banyak kita jumpai dalam film-film dokumenter Orde Baru. Film ini berfokus pada sosok Lukas, seorang Marind Anim di Merauke yang ingin merintis usaha penjualan udang. Dengan sabar, film ini mengikuti perjuangan Lukas menembus sebuah sistem yang diskriminatif. Tanpa menggurui, film ini berhasil menampilkan Lukas dan komunitasnya yang berinteraksi dengan sistem modern.
6. Melody Kota Rusa (Irham Acho Bachtiar, Papua, 2010)
Di antara film-film komersial fiksi Indonesia tentang Papua, hanya sedikit film yang saya suka. Salah satunya film Melody Kota Rusa ini. Meski ada beberapa masalah dengan pendekatan, tapi film ini relatif memiliki sensitivitas terhadap situasi Papua (baca: tidak propagandis). Cerita film ini sederhana, yaitu tentang lima pemuda dari berbagai suku yang hidup di Merauke. Mereka bermimpi menjadi pemain band. Film ini dengan jenaka menggambarkan berbagai pergulatan dan konflik yang harus dilalui kelima orang ini guna menjadi pemenang kompetisi band di kota Merauke. Sutradara film ini adalah lulusan Institut Kesenian Jakarta dan telah sukses memproduksi seri epen-cupen, mungkin merupakan seri paling populer tentang mop Papua.
7. Tanah Mama (Asrida Elizabeth, Papua, 2015)
Terlalu banyak cerita menyedihkan tentang perempuan Papua, mulai dari cerita pemerkosaan dan pembunuhan hingga kekerasan di dalam rumah tangga. Film ini mengangkat cerita Mama Halosina di Kurima di Kabupaten Jayawijaya. Ia ditinggalkan suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Selain harus menghidupi keempat anaknya, Mama Halosina juga harus membayar denda karena ia dianggap mencuri hasil kebun milik saudaranya. Film ini mengikuti perjuangan mama Halosina dan keluarganya, juga adat yang kadang tidak berpihak pada perempuan.
8. Jungle Child/ Dschungelkind (Anak Rimba) (Roland Suso Richter, Jerman, 2011)
Film ini diangkat dari otobiografi Sabine Kuegler yang pernah besar bersama suku Fayu yang tinggal di muara sungai Rouffaer. Ia dibawa ayahnya yang seorang ahli linguistik dan misionaris, Klaus Kuegler. Selain menggambarkan perpindahan budaya dari Jerman ke Papua (dan sebaliknya), film ini juga menggambarkan kehidupan sehari-hari suku Fayu, mulai dari soal kematian, perang, hingga persahabatan di kalangan anak-anak. Film ini merupakan film blockbuster (film yang berbiaya besar yang ditujukan untuk pasar komersial) yang diproduksi dengan standar cerita dan visual yang tinggi.
9. The Mahuzes (Dandhy Laksono and Ucok Suparta, Indonesia, 2015)
Film ini bisa disebut sebagai sebuah film kampanye guna melawan pembangunan proyek MIFEE (The Merauke Integrated Food and Energy Estate), sebuah megaproyek yang akan mengubah jutaan hektar lahan milik suku-suku asli Merakue di selatan Papua menjadi perkebunan dan area industri besar. Film ini mengikuti perjuangan klan Mahuze (dari suku Marind Anim) menghadapi dampak dari MIFEE ini terutama dengan kehadiran perusahaan PT Agriprima Persada Mulia. Film ini banyak menggunakan gambar-gambar yang dramatis untuk menjelaskan dampak buruk dari berbagai program pembangunan ke masyarakat asli.
Credit: Tanah Mama/Kalyana Shira Films |
Sebelum saya datang ke Papua Barat (yang meliputi provinsi Papua dan Papua Barat) dan melakukan penelitian tentangnya, saya banyak menonton film-film tentang Papua Barat. Mungkin justru saya kenal Papua Barat pertama kali dari film. Oleh karena itu, saya ingin membagi daftar film-film atau karya video yang mungkin bisa jadi pengantar untuk mengenal Papua Barat. Tentu saja daftar ini tidak menyeluruh dan berdasar selera pribadi. Urutan di dalam daftar ini tidak mencerminkan urutan kualitas ataupun kronologi.
1. Dead Birds (Burung yang Mati) (Robert Gardner, Amerika Serikat, 1963)
Pada tahun 1961, sekelompok pembuat film dan antropolog dari kampus Harvard pergi ke Lembah Baliem di Pegunungan Jayawijaya untuk melakukan apa yang disebut The Harvard Peabody Museum’s New Guinea Expedition (Ekspedisi Harvard and Museum Peabody ke New Guinea). Film Dead Birds dibuat di lembah agung ini, tepatnya di Witawaya dan Kurulu. Film ini serta komponen lain yang menyertainya (buku Karl Heider tentang suku Dani/Hubula, rekaman music oleh Michael Rockefeller dan novel tentang ekspedisi oleh Peter Matthiessen berjudul Under the Mountain Wall) merupakan sebuah rekaman paling menyeluruh dari sebuah suku di muka bumi ini.
Film “Dead Birds” sendiri merekam terjadinya perang suku di dua wilayah itu yang melibatkan berbagai konfederasi dan aliansi perang paling menonjol di Lembah Baliem. Film ini juga menggambarkan dengan lengkap berbagai tradisi suku Hubula pada tahun itu, pada saat unsur asing seperti pemerintah kolonial Belanda dan misionaris masih sedikit mempengaruhi perilaku orang Hubula. Film ini diterima dengan sangat kritis baik di Amerika Serikat sendiri maupun di luar negeri. Kritik yang sering dilancarkan pada film ini terdiri dari dua hal. Pertama, dari aspek produksi, pembuat film ini dikatakan memprovokasi perang suku. Tetapi pada kenyataan sejarahnya, sejak tahun 1950-an di Lembah Baliem telah terjadi perang antarkonfederasi sehingga kritik ini ditolak oleh tim pembuat film. Kritik yang kedua dan paling fundamental berkenaan dengan pertanyaan, apakah film bisa menjadi representasi paling baik bagi kekayaan dan kompleksitas budaya suku Hubula?
2. Papuan Voices
credit: Papuanvoices |
Pembuat film Papua telah banyak bermunculan, kebanyakan lulusan dari lokakarya-lokakarya pembuatan film yang diadakan oleh lembaga swadaya masyarakat, gereja, dan lain-lain. Bagaimana cara menonton film-film buatan teman-teman Papua? Salah satu platform yang bisa dilihat adalah Papuan Voices yang dulunya menjadi proyek dari Engagemedia. Salah satu keunggulan dari proyek ini adalah kita bisa menonton film-film dari berbagai daerah di Papua yang dibuat oleh orang Papua sendiri. Film-film ini juga bisa ditonton secara online. Namun dengan kondisi jaringan internet yang sangat lambat di Papua, teman-teman yang berminat bisa mendapatkan DVD yang mereka distribusikan.
3. Eux et moi (Mereka dan Saya) (Stéphane Breton, Perancis, 2001)
credit: Stéphane Breton |
Trailer bisa dilihat di sini.
Film ini merupakan hasil studi dan penelitian lapangan antropolog Stéphane Breton di tanah orang Wolani, Pegunungan Tengah, Papua. Film ini menggambarkan secara sensitif interaksi orang asing seperti Breton dengan orang-orang Wolani yang tidak pernah hidup dengan orang asing sebelumnya, terkecuali misionaris. Breton juga menggambarkan tokoh-tokoh orang Wolani dan kegemaran mereka menghitung mege (uang dari kulit bia). Di film kedua dan lanjutan dari film ini, ia menggambarkan situasi menyedihkan dari perubahan sosial yang dialami masyarakat Wolani dengan datangnya pemerintahan dan sistem dari Indonesia. Film ini merupakan salah satu film yang paling mengharukan yang pernah saya lihat tentang Papua.
4. Birdman Tale (Dongeng tentang Laki-Laki Burung)( Garin Nugroho, Indonesia, 2001)
credit: http://www.bigozine2.com/features/birdmantale.html |
Preview bisa dilihat di sini.
Mungkin banyak orang lupa bahwa pembuat film Indonesia satu ini telah membuat sebuah film yang cukup politis di tahun 2001. Garin Nugroho bertemu dengan Tuan Theys Eluay dan mengikuti kegiatan-kegiatannya di Presidium Dewan Papua sejak 1999. Ia menggabungkan gambar-gambar dokumenter yang ia peroleh dari pertemuan ini dengan cerita fiksional tentang Bertold, seorang guru tari dan pendukung Theys. Bagi saya, film ini merupakan dokumentasi berharga tentang keadaan Papua secara umum dan Jayapura secara khusus pada tahun-tahun reformasi. Film ini juga dihiasi dengan musik dan tarian-tarian indah penuh misteri dari Papua. Mungkin ini merupakan film yang mampu mengangkat eforia dan semangat perubahan pada waktu itu dan proses penghancurannya pada tahun 2001.
5. Lukas’ Moment (Aryo Danusiri, Indonesia/Norwegia, 2005)
Film yang dibuat dengan metode observasional ini tidak memiliki narasi seperti yang banyak kita jumpai dalam film-film dokumenter Orde Baru. Film ini berfokus pada sosok Lukas, seorang Marind Anim di Merauke yang ingin merintis usaha penjualan udang. Dengan sabar, film ini mengikuti perjuangan Lukas menembus sebuah sistem yang diskriminatif. Tanpa menggurui, film ini berhasil menampilkan Lukas dan komunitasnya yang berinteraksi dengan sistem modern.
6. Melody Kota Rusa (Irham Acho Bachtiar, Papua, 2010)
Di antara film-film komersial fiksi Indonesia tentang Papua, hanya sedikit film yang saya suka. Salah satunya film Melody Kota Rusa ini. Meski ada beberapa masalah dengan pendekatan, tapi film ini relatif memiliki sensitivitas terhadap situasi Papua (baca: tidak propagandis). Cerita film ini sederhana, yaitu tentang lima pemuda dari berbagai suku yang hidup di Merauke. Mereka bermimpi menjadi pemain band. Film ini dengan jenaka menggambarkan berbagai pergulatan dan konflik yang harus dilalui kelima orang ini guna menjadi pemenang kompetisi band di kota Merauke. Sutradara film ini adalah lulusan Institut Kesenian Jakarta dan telah sukses memproduksi seri epen-cupen, mungkin merupakan seri paling populer tentang mop Papua.
7. Tanah Mama (Asrida Elizabeth, Papua, 2015)
Terlalu banyak cerita menyedihkan tentang perempuan Papua, mulai dari cerita pemerkosaan dan pembunuhan hingga kekerasan di dalam rumah tangga. Film ini mengangkat cerita Mama Halosina di Kurima di Kabupaten Jayawijaya. Ia ditinggalkan suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Selain harus menghidupi keempat anaknya, Mama Halosina juga harus membayar denda karena ia dianggap mencuri hasil kebun milik saudaranya. Film ini mengikuti perjuangan mama Halosina dan keluarganya, juga adat yang kadang tidak berpihak pada perempuan.
8. Jungle Child/ Dschungelkind (Anak Rimba) (Roland Suso Richter, Jerman, 2011)
Film ini diangkat dari otobiografi Sabine Kuegler yang pernah besar bersama suku Fayu yang tinggal di muara sungai Rouffaer. Ia dibawa ayahnya yang seorang ahli linguistik dan misionaris, Klaus Kuegler. Selain menggambarkan perpindahan budaya dari Jerman ke Papua (dan sebaliknya), film ini juga menggambarkan kehidupan sehari-hari suku Fayu, mulai dari soal kematian, perang, hingga persahabatan di kalangan anak-anak. Film ini merupakan film blockbuster (film yang berbiaya besar yang ditujukan untuk pasar komersial) yang diproduksi dengan standar cerita dan visual yang tinggi.
9. The Mahuzes (Dandhy Laksono and Ucok Suparta, Indonesia, 2015)
Film ini bisa disebut sebagai sebuah film kampanye guna melawan pembangunan proyek MIFEE (The Merauke Integrated Food and Energy Estate), sebuah megaproyek yang akan mengubah jutaan hektar lahan milik suku-suku asli Merakue di selatan Papua menjadi perkebunan dan area industri besar. Film ini mengikuti perjuangan klan Mahuze (dari suku Marind Anim) menghadapi dampak dari MIFEE ini terutama dengan kehadiran perusahaan PT Agriprima Persada Mulia. Film ini banyak menggunakan gambar-gambar yang dramatis untuk menjelaskan dampak buruk dari berbagai program pembangunan ke masyarakat asli.
0 Komentar