Trikotomi Kelas dan Ancaman Disintegritas Revolusi Papua



Ilustrasi: TEMPO/Mahfoed Gembong
Oleh; Daniel Randongkir*


Orang Papua (khususnya kaum pejuang pembebasan) dewasa ini belum memahami dengan baik permasalahan mendasar yang dialami oleh rakyat Papua. Sebaliknya sebagian kecil individu yang perduli dengan persoalan Papua, justru jauh memahami persoalan Papua. Fenomena ini menggambarkan bahwa ada kendala serius yang dihadapi oleh rakyat Papua didalam memperjuangkan pembebasannya.


Kondisi ini nampak jelas pada beberapa momentum yang dialami dan dilalui oleh orang Papua. Misalnya dalam kasus Abepura Berdarah 2000, Wasior Berdarah 2001, Pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (Dortheys Hiyo Eluay), Penetapan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Kuhsus dan Inpres No 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran Propinsi. Dalam momentum ini, reaksi pejuang Papua terlihat sangat lamban dalam merespon, sehingga terkesan seolah-olah “membiarkan” momentum tersebut. Sementara dipihak lain, berbagai pihak melancarkan protes atas sikap Jakarta (Indonesia) terhadap rakyat Papua.


Fenomena social-politik yang berkembang di Papua pasca Dialog Nasional 26 February 1999 di Jakarta, semakin membingungkan rakyat Papua Barat. Protes rakyat yang terus-menerus diperjuangkan oleh berbagai pihak, semakin cenderung membias dari keinginan rakyat. Banyak muncul organisasi perlawanan dan mengklaim diri sebagai representasi rakyat, namun setelah berjalan, justru memicu krisis kepercayaan di kalangan rakyat.


Trend baru yang kini muncul dari aksi saling klaim, baik kaum oposisi (perlawanan rakyat) maupun pemerintah, menunjukan gejala munculnya budaya totalitiarianime. Dalam rangka memperoleh legitimasi rakyat, berbagai praktek politik diterapkan, mulai dari eksploitasi ideologis sampai dengan manipulasi aspirasi. Realitas yang muncul kemudian adalah kecenderungan mencari popularitas pribadi dari pada memperjuangkan nasib rakyat.


Anatomy Masalah dan Perjuangan Rakyat Papua Barat

Akar persoalan Papua selama ini berawal dari proses integrasi Papua kedalam NKRI yang dianggap cacat oleh orang Papua. Sayangnya proses ini mendapat dukungan politis dan juridis oleh masyarakat internasional, melalui payung PBB. Akibatnya rakyat menilai bahwa telah terjadi manipulasi internasional terhadap proses integrasi Papua.


Secara ideologis, saya melihat bahwa akar permasalahan Papua berada pada keinginan untuk bebas dari segala bentuk penindasan. Kondisi ini jelas terlihat pada perlawanan rakyat yang muncul sejak pertengahan abad 19. Dalam fase ini, perlawanan rakyat bertumpu pada ideologi mesianis dan pandangan primordial tentang “dunia baru” (ibarat surga dalam konsep Islam, Yahudi dan Kristen). Perlawanan pada fase ini diarahkan untuk menentang masuknya ajaran agama, terutama paham Kristen, serta invasi bangsa Eropa dan Jepang ke Papua. Kita bisa melihat hal ini pada Gerakan Manggarega di Fakfak (1900), Koreri di Biak (1942? 1945), Wage-bage di Paniai, Nabelan-kabelan di Lembah Baliem dan sebagainya.


Pasca integrasi perlawanan Papua lebih diarahkan untuk memisahkan diri (keluar) dari RI, yang dalam pandangan rakyat Papua telah menerapkan sistem penindasan dan eksploitasi terhadap SDA dan SDM di Papua. Rakyat beranggapan bahwa melalui pemisahan diri (disintegration) dengan Indonesia, maka penderitaan rakyat akan berakhir. Dalam fase ini perlawanan rakyat mulai bergeser pada ideologi global tentang dekolonisasi dunia ketiga. Perlawanan rakyat pada fase ini diarahkan untuk mengusir Indonesia (pemerintah maupun warganya) dari Tanah Papua. Hal ini bisa kita saksikan dalam berbagai aksi perlawanan OPM (penyerangan maupun penyanderaan), proklamasi kemerdekaan dan konflik SARA di berbagai daerah (terutama dengan isu Papua vs Amber atau Islam vs Kristen).


Pasca Revolusi Juli 1998, perlawanan rakyat mengalami pergeseran yang semakin jauh, baik secara ideologis maupun intensitas aksi. Kondisi ini makin menunjukan gejala regresi (kemunduran) perlawanan rakyat Papua. Dalam fase ini perlawanan rakyat Papua bergeser pada isu global tentang HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup. Perlawanan rakyat pada fase ini lebih ditujukan untuk mendorong terciptanya tata dunia baru yang dalam pandangan global akan mengurangi dampak konflik di berbagai belahan dunia. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai aksi kampanye ditingkat lokal, nasional dan internasional yang dilakukan oleh berbagai pihak. Kecenderungan ini dapat kita lihat dalam berbagai pernyataan dukungan dan simpatik yang ditujukan baik secara individu maupun institusi, terhadap persoalan HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup di Papua.


Analisa dan Refleksi

Berdasarkan realitas yang terjadi diatas, saya menganalisa bahwa ada beberapa hal yang menjadi kendala utama dari aspek ideologis terhadap permasalahan dan perjuangan Papua.


Pertama, Degradasi Ideologi. Derasnya arus informasi, komunikasi dan interaksi social yang makin mengglobal, telah mendorong terjadinya proses degradasi ideologi Papua secara structural dan sistematis. Dampaknya jelas terlihat dari pergeseran ideologi perlawaman rakyat Papua, yang awalnya ditujukan untuk melawan penindasan dan eksploitasi, kemudian berganti menjadi “penciptaan tata dunia baru”. Secara kritis dinilai seolah-olah kita sedang melaksanakan amanat pembukaan UUD 45 untuk mewujudkan perdamaian abadi dan ketertiban dunia??? Sehingga perjuangan kita lebih bersifat pragmatis, karena hanya mengikuti momentum yang sedang aktual.


Kedua, Krisis Identitas. Menguatnya gejala totalitarianisme dikalangan “elite Papua”, telah mendorong lahirnya sikap oportunisme dalam memperjuangkan nasib rakyat. Beberapa individu telah mengeksploitasi institusi rakyat demi kepentingan prestise dan popularitas guna mencari legitimasi rakyat. Akibatnya institusi rakyat menjadi sarana penindasan, sehingga rakyat termarginalisasi dari perjuangannya sendiri. Kondisi ini mendorong rakyat meng-generalisir semua institusi rakyat sebagai musuh baru.

Ketiga, Trikotomi Kelas. Kondisi ini lebih berdasar pada aspek ideologi dan pelaku peristiwa pada ketiga fase tersebut diatas. Rakyat secara luas masih memiliki keinginan untuk bebas dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi, sementara sebagian kalangan elite Papua masih cenderung memanipulasi dan mengeksploitasi perlawanan rakyat demi kepentingan mereka. Hal ini mendorong munculnya kelas sosial dalam masyarakat. Secara pyramidal, kalangan elite Papua berada pada lapisan kelas teratas dengan porsi yang relatif sedikit, merupakan kumpulan para oportunis Papua (para birokrat, “pejuang Papua”, dan pimpinan institusi rakyat), selama ini terus-menerus memanipulasi aspirasi rakyat; pada bagian tengah (kelas menengah) terdapat kelompok akademisi, aktivis, rohaniawan, LSM dan sebagainya dalam jumlah yang sedikit lebih banyak dari kelas pertama, yang selama ini mengeksploitasi penderitaan rakyat untuk kepentingan prestise dan popularitasnya; sedangkan pada tingkat basis (grass root), terdapat kalangan rakyat yang menderita dan tertindas, yang masih terus eksis memperjuangkan nasibnya.


Berdasarkan analisa diatas saya melihat bahwa letak permasalahan yang dihadapi oleh orang Papua saat ini lebih banyak bersifat internal, sehingga saya mencoba memberikan refleksi persoalan Papua dari aspek indeologi yang bertumpu pada beberapa factor utama, seperti akan saya jelaskan dibawah ini.


Pertama, Primordialisme. Orang Papua dengan jumlah suku yang lebih dari 250, sangat rentan terhadap ancaman primordialisme. Gejala ini telah mulai merasuki semua kelas sosial rakyat Papua, yang kerap muncul dalam tema putra daerah, penduduk asli, tuan di negeri sendiri, orang gunung dan orang pantai, orang utara dan orang selatan, dan sebagainya. Isu ini kemudian dikemas secara baik oleh kaum elite Papua demi kepentingan sendiri, sehingga berpotensi menciptakan polarisasi gerakan perlawanan rakyat. Kita bisa menemukan fenomena ini dalam momentum pemilihan Gubernur/Bupati/Camat/Lurah/ Kepala Desa, rekrutmen PNS atau karyawan swasta, penerimaan mahasiswa, fragmentasi faksi perjuangan Papua, dsb.


Kedua, Pragmatisme. Perlawanan Rakyat Papua yang temporal, sporadis dan insidentil, lebih disebabkan oleh mentalitas budaya peramu, yang masih dominan di Papua. Tradisi ini dapat disimak dari pola gerakan perlawanan rakyat yang selalu mengikuti momentum tertentu. Saya teringat salah satu point statement tim 100, yaitu menolak partisipasi orang Papua dalam pemilu 1999 jika tidak dilakukan dialog internasional. Reaksi pragmatis yang sama terjadi dalam momentum penolakan pemekaran tahun 1999, peringatan tahunan 1 Desember 1999 dan 2000, penolakan kebijakan Otsus Papua, dan penolakan Inpres 1/2003. Sikap demikian membuat rakyat Papua mudah dipermainkan oleh kaum elite Papua dan pihak Jakarta, karena kita selalu menunggu momentum untuk menyuarakan aspirasi kita. Budaya peramu selalu mencari makan ketika merasa lapar, dan setelah kenyang istirahat. Pola ini sama dengan perjuangan kita yang menunggu momentum baru bereaksi jika tidak ada momentum tidak bereaksi.


Ketiga, Feodalisme. Struktur klasik feodalisme tradisional masih dominan saat ini di Papua, sehingga turut menciptakan hirarki kekuasaan yang hampir absolut. Kondisi ini ikut memberikan peluang terciptanya arogansi dan eksklusifisme pada berbagai institusi rakyat. Komposisi kaum feodal tradisional (tokoh adat) dalam institusi rakyat, makin mengurangi peran kontrol dan kritik rakyat terhadap institusi tersebut. Peluang ini dimanfaatkan oleh pihak Jakarta untuk menjadikan kaum feodal sebagai tameng dalam meredam perlawanan rakyat. Akibatnya ideologi rakyat terkooptasi oleh kaum feodal, sehingga muncul sikap ketergantungan dan apatisme rakyat. Dalam tingkatan lebih lanjut, rakyat melihat kaum feodal sebagai agen penindas dan ekploitator di Papua.


Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas saya berkesimpulan bahwa: (1) Perjuangan Papua dewasa ini tidak memiliki basis ideologi yang jelas, sehingga mudah dimanipulasi menjadi alat kepentingan Jakarta dan agen penindasnya di Papua. (2) Bahaya laten disintegritas revolusi rakyat Papua sedang berlangsung, dan secara sadar maupun tidak rakyat Papua terseret kedalam scenario Jakarta. (3) Rakyat Papua kehilangan daya kritik dan kontrol terhadap institusinya, sehingga mudah terkooptasi.


(*) Penulis adalah Alumni Antropologi Universitas Cenderawasih

    


Catatan; Tulisan ini di posting 14 tahun yang lalu (Date: Wed, 19 Feb 2003 12:43:43 -0800 (PST)) dalam mislis di yahoogroup yang mendiskusikan masalah-masalah Papua. Tulisan ini masih layak untuk menjadi kajian dan refleksi bersama, oleh sebab itu redaksi merasa perlu untuk memuat ulang.

Posting Komentar

0 Komentar