Perempuan Yarmok


Oleh;  Tommy A.Wakum
TamanMesran; foto Eky Raka Pratama/Kompasiana
 
Perempuan berpenampilan gembal, tanpa berpikir panjang, nasibnya hampir tamat di hari terakhir tahun 1994, ketika is menyeberang jalan utama, arah pelabuhan ke kota Jayapura. Ia hampir mati, didepak mobil taksi angkutan kota saat itu. Ia merenungkan hidupnya. "Seandainya saya tidak meraih tepi jalan, barangkali, taman Yarmok akan setiap saat akan menjadi ajang tempat kencanku dengan pria hidung belang, akan menjadi saksi bisu kematianku," batinku.
Perempuan setengah baya, dan berlipstik merah tua dan tebal itu, menyesali dirinya, sambil berjalan ke arah sudut kantor Syah Bandar Jayapura. Ia mengambil tempat duduk, dan memandang teluk Imbi, yang setiap saat mempercantik kota Jayapura.
Renungnya, di hari-hari terakhir, dan telah menjadi kebiasaan umat
Nasrani, sebentar lagi mereka akan pergi ke gereja. Berdoa menurut iman mereka, bahwa Tuhan telah memelihara mereka. Memberi berkat setiap hari dalam kehidupan mereka.
Setelah gereja, mereka akan menyiapkan diri, guna sembahyang malam bersama keluarga rumahnya masing-masing. Perempuan Yarmok mencoba mengenang saat menjelang tutup tahun, waktu ia masih remaja di kampung Betaf, Pantai Timur, Jayapura.
Perempuan Yarmok, walaupun ia telah menjadi pelacur, sejak tahun 1970-an, dan tidak tamat SD, tetapi disaat merenungkan nasibnya, ia mencoba memahami iman tiap-tiap orang yang sebentar akan lewat di depan taman, pergi ke gereja.
"Mungkinkah mereka akan menggumuli keadaan sosial, yang menyangkut harkat hidup orang banyak, termasuk nasib saya." Perempuan Yarmok mencoba berpikir soal iman orang kristen. Ia pesimis. Barangkali mereka hanya berdoa untuk keselamatan jiwanya saja.
"Kalau toh ada yang berdoa menggumuli persoalan sosial, berapa jumlah mereka," tanyanya. dalam hati. "Siapa?... akan sibuk dengan masalah-masalah sosial, seperti kehidupan wanita pelacur, macam saya!" umpatnya dalam had.
Perempuan Yarmok mencoba memahami realita kota. Ia menggumam dalam hati. "Lihatlah kesibukan orang menanti hari Natal, lebih banyak orang sibuk dengan bikin kue kering, beli baju baru, bell pohon natal, belum lagi, kalau ada orang akan bertemu di rumah mereka, kebanyakan pesimis, kalau tidak menyuguhkan sesuatu".
Perempuan Yarmok, seolah-olah tidak tahu, bahwa ia sewaktu kecil, juga telah disosialisasi dengan nilai-nilai kehidupan. Yairu harus tahu, bahwa menjelang hari tutup tahun, ia harus berada dengan orang tuanya di rumah.
"Mengapa dia berada di taman ini?" tanya Paitua Ruben, asal Teluk
Yotefa, Kampung Engros, yang lagi mencari ketenanganan di taman Yarmok. Sejak pagi hari, Paitua Ruben telah cekcok dengan isterinya di kampung.
Ah! Dasar perempuan jalang, hari-hari bercokol di taman ini. Tidak kenal waktu, tidak tahu urus diri, orang tua siapa punya anak perempuan ini, yang tadi hampir ditabrak mobil." Paitua Ruben mencoba memahami perempuan Yarmok yang duduk termenung itu.
Orang-orang sekarang mau ke gereja, kebaktian dan berdoa minta syukur kepada Tuhan, karena perlindungan-Nya, sehingga mereka dapat hidup lanjut. "Mengapa? Kau perempuan jalan, pelacur tidak mengambil bahagian". Kau ... tidak percaya Yesus Kristus kah?" Tanya Paitu Ruben lagi dalam hati.
Sambil mencoba memahami perempuan Yarmok, Paitua Ruben tersentak karena waktu pukul 19.00 WIT orang-orang telah berjalan di depan taman. Berpakaian bagus, necis, dan membawa Alkitab dan Nyanyian Rohani, balk orang tua, anak-anak dan kaum muda.
"Hmm...pegang Alkitab tebal-tebal, seperti guru besar mau ajar di kampus saja," ejek Paitua Ruben. "Ah, tapi di Kampung Tobati sana, mungkin saya punya Maitua Dorkas dan anak-anak, pasti dorang akan pergi ke gereja juga. Seperti orang-orang yang berpapasan di mataku ini."
"Ah... tapi Aksamina, putriku yang sulung tidak punya baju baru nanti pakai apa ke gereja. Putriku, seminggu lalu dan Simon saudaranya telah tahu, bahwa tanah adat di kawasan terminal umum Entrop, telah saya jual, tapi saya tidak belikan mereka baju," sedih Paitua Ruben, saat­saat is terus mengikuti semua orang lewat, pergi ke gereja.
Menjelang hari Natal tahun ini, nasib sial. Paitua Ruben merefleksi dirt Pertengkaran Paitua Ruben dan istrinya Dorkas, sejak pagi hari setelah bangun, hanya oleh karena Maitua Dorkas tanya uang lima juta basil penjualan tanah di daerah Entrop itu.
"Ha ... mama, ko tidak tahu adat. Hanya uang lima juta itu saja, kau tanya-tanya terus." Ingat Paitua Ruben akan pertengkaran mereka pagi hari.
"Habis kobikin apa dengan uang banyak itu... bangsat ko, kokira saya pakai sendiri kah!" sela Paitua Ruben.

"Saya traktir ko punya saudara-saudara laki-laki satu kampung ini."
"Bukan main," sela istrinya. "Dari dulu uang penjualan tanah, kau dan bangsat-bangsat lain habiskan terus. Tiap hari kumpul di Sari Rasa dan Irian Plaza, bikin seperti Gubernur ada rapat dengan pejabat daerah saja. Padahal di rumah saja, tidak ada apa-apa. Ko pigi, keluar dari rumah ini, terserah mau tidur di hostes-hostes Irian Plaza pung paha kah!"
Paitua Ruben terusik dengan kata-kata istrinya tadi pagi.
"Ah, dasar Maitua Dorkas," sela Paitua Ruben membenarkan dirinya sendini. "Ah tidak apa, tanah lain masih ada, nanti saya jual lagi. Hanya soal itu saja, bikin pertengkaran terus saja," kenang Paitua Ruben, ketika ia meninggalkan rumah tadi pagi.
Di seberang arah selatan, Perempuan Yarmok, yang malang itu, sedang duduk termenung. Paitua Ruben hanya menatapnya dan jauh, jarak antara mereka berdua, kurang lebih lima puluh meter, sesekali Paitua Ruben iseng dengan batuk-batuk kecil, disela terpaan ombak kecil yang memecah pantai taman.
"Ada apa dengan perempuan itu," teriak Paitua Ruben dalam had. "Hei perempuan setan, ko tidak pergi mejeng dengan ko punya kawan­kawan di dekat Kantor Pos Jayapura, itu kah!"
"Ah, persetan dengan kau."
"Perempuan jalang, tidak punya anti bagi masyarakat. Siapa mau perduli dengan kau. Sudah sekian tahun, kau bercokol di sini. Hanya untuk merusak lingkungan, menjadi sampah masyarakat. Menunggu anak-anak muda, sehingga kau jadikan kelinci percobaan birahi seks.
"Kau juga merusak keluarga dari suami-suami, yang berkeliaran mencari ketenangan di luar rumah. Kau, tidak punya rasa harga did." Paitua Ruben mencoba menjadi sosiolog yang melakukan kajian sosial, bagi dirinya sendiri.
Perempuan Yarmok, termenung sendiri akibat penyesalan dirinya, hampir ditabrak mobil. Tetapi ia mengenang betapa harga dirinya sebagai manusia telah diinjak oleh masyarakat. Seminggu lalu, is hampir ditabrak mobil di tempat yang sama. Saat itu, terlempar suara-suara dari dalam
taksi. Seorang kondekrur berteriak lebih baik kau mati, perempuan
lonte, obor jalan, tidak berguna di masyarakat.
Hum ... hum... semua penumpang tertawa ria menyambut kata-kata hina sangkondektur. Ketika itu, seorang kaum hawa menertawai Perempuan Yarmok dan berteriak bikin malu saja, "dasar lonte ..."
"Ah, mobil itu bergegas terus," dengan keluguan dirinya, mencoba memahami realita hidup. Tanpa disadari persoalan hak asasi manusia telah merasuk jiwanya, pada saat is termenung bisu! "Apalah artinya saya ini," keluhnya. "Disaat kaurn hawa berusaha memperdulikan nasib perempuan di seantero dunia, yang dieksploitasi kaum laki-laki. Kok, anehnya sesamaku kaum hawa lebih menginjak martabatku."
Perempuan Yarmok memalingkan tatapannya ke arah Paitua Ruben, yang masih setia tepaku mati di tempat duduknya. Perempuan Yarmok mencoba memahami orang itu. "Wah hari sudah larut malam, sedikit lagi tiap keluarga akan berdoa lepas tahun. Mengapa kau orang tua yang harus menjadi figur dan teladan tidak berada di rumah. Ah barangkali orang tua itu tidak punya keluarga." Perempuan Yarmok menjawab isi hatinya sendiri.
"Ah, dunia ini bagaimana yah!"n Perempuan Yarmok sambil berdiri meninggalkan tempatnya.
la pergi, pergi kembali ke dunianya, yaitu sebagai perempuan jalan, Perempuan Yarmok berpikir terus menganalisa. "Bukan mustahil, kalau saya tetep melacurkan diri, hanya untuk mendapat materi, apalah harga din saya."
Tetapi apakah kesan saya ini sebagai sate harga mati, dari pandangan etika sosial!
"Ah dunia sama, dada orang yang berduit dapat berdagang wanita
membuka tempat pelacuran diorganisir rapi dan teratur. Suami‑suami tidak membawa gaji pulang ke rumah mereka menyiksa keluarganya!
Begitu juga, hak adat-adat sudah melenceng. Sehabis jual tanah, struktur adat lebih memihak kaum laki-laki. Kaum adam yang mengambil keputusan pelepasan tanah. Kaum adam menetukan pengaturan uang, mereka dapat lepaskan pada kaum hawa di Sari Rasa dan Irian Plaza, itu persoalan biasa. Tetapi setelah uang habis kaum hawa yang menanggung beban ekonomi rumah tangga, "Perempuan Yarmok terus menganalisa. "Dunia tidak adil, tidak adil," "Perempuan Yarmok menimpali dirinya sendiri."
Kalau dunia pelacuran, masyarakat mengejek saya setengah mati, di mana harga did, kaum hawa lain terinjak akibat struktur masyarakat yang dieksploitasi kaum adam," tanyanya!
"Ah, bukan main para germo seperti singa mencari anak-anak domba, guna dimangsanya ketika kapal Dobonsolo dan Cerimai merapat di dermaga Jayapura, ah, ah, bangsat mereka, perempuan Yarmok bergetar jiwanya, gemas!
"Bisnis perempuan sebagai pelacur, seolah-olah ilegal, tetapi pada kenyataannya diatur secara rapi, dan melibatkan banyak pihak. Masyarakat menerima dan mengakui lembaga wanita panggilan dan tidak pernah merasa bersalah. Inilah duniaku," sela perempuan Yarmok dalam hatinya, di samping Kantor Pos Jayapura. Mereka mulai meneguk minuman berlabel "drum" dan asap mengepul padat.
Menjelang pukul 24.00 wit, terdengar lonceng-lonceng berbunyi, tanda pelepasan tahun lama pergi. Tiba-tiba perempuan Yarmok membanting dirm. ya ke tanah, dan berteriak, "Saya mau mati .. .saya mau mati . ."
Kawan-kawannya tersendat diam, mendengar mantera yang keluar dari bibir berlipstik tebal merah tua itu!
"Kalau, kalau memang dunia adil, tanpa memihak kita, sebagai pelacur patut dihormati sebagai manusia. Hai sang kondektur gila, kau pernah memakai badanku, cemohanmu tidak pantas ditujukan pada diriku!"
Kata-kata lonte, perempuan jalan dan obor malam bukankah
masyarakat menciptanya dan tak pantas.

Perempuan Yarmok tak sadar din lagi...hum...hum...geram kawan­kawannya!

Kotaraja, 31 Desember 94

Harian Cenderawasih Pos. Sabtu, 14 Januari 1995

Posting Komentar

0 Komentar