Bahasa Daerah dalam Bingkai Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat

Oleh; Dr. Hugo Warami, S.Pd., M.Hum (Universitas Negeri Manokwari)
Peta Bahasa Papua, SIL

ABSTRAK
Bahasa daerah kini telah menjadi bagian penting dalam era Otonomi Khusus Papua. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap bahasa daerah. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001 hadir sebagai jaminan atas kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah yang semakin menguat. Tentu kondisi ini harus segera diantispasi dengan paradigam baru kebijakan di bidang pelestarian bahasa, yakni (1) pemberdayaan masyarakat tutur, (2) penyadaran jati diri, dan (3) integrasi pengajaran di bidang pendidikan.

Pengantar
Papua Barat merupakan provinsi ke-2 di Tanah Papua yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999. Provinsi ini terletak di wilayah kepala dan leher burung pulau Irian (Papua) pada posisi di bawah garis khatulistiwa antara 129″a – 132″a Bujur Timur dan 0″a – 4″a Lintang selatan dengan luas wilayah 114.953,50 Km2. Wilayah provinsi ini memiliki batas-batas wilayah, yaitu a) sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, b) sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda Provinsi Maluku, c) sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram Provinsi Maluku, dan d) sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat membawahi 8 Kabupaten dan 1 Kota, 103 Distrik, 46 Kelurahan, dan 1.126 Kampung (Rochani, dkk, 2006:9).

Mekarnya Provinsi Papua Barat dari Provinsi Papua mengakibatkan bahasa dan budaya pun ikut dalam kaplingan-kaplingan politik. Dampak dari mekarnya wilayah, cakupan wilayah sebaran bahasa menjadi dibatasi oleh tapal-tapal batas wilayah administrasi.

Jumlah bahasa yang ada di Tanah Papua sebanyak 263 bahasa, yang terdiri atas 53 bahasa kelompok Austronesia dan 210 kelompok Non-Austronesia. Khusus bahasa-bahasa di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok bahasa dari 9 kelompok bahasa yang di Tanah Papua. Empat kelompok bahasa yang di maksud, yakni (1) kelompok filum Austronesia (20 bahasa), (2) kelompok filum Papua Barat (13 Bahasa), (3) Kelompok filum Kepala Burung Papua (3 Bahasa), dan (4) Kelompok Filum Trans Papua Barat (22 bahasa). Total jumlah bahasa di wilayah sebaran Papua Barat sebanyak 58 bahasa yang terdiri atas 20 kelompok Austronesia dan 38 Non-Austronesia.
Peta Provinsi Papua Barat Peta Tanah Papua

2. Fenomena Kebahasaan di Papua Barat
2.1 Bahasa Daerah

Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, membawa dampak yang luas bagi keberlangsungan bahasa-bahasa nusantara. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap budaya (bahasa) lokal. Kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah pun semakin menguat. Tentu kondisi ini harus segera diantisipasi sebab kematian suatu bahasa tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui proses yang panjang (bd. Sobarna, 2006:31; Mbete, 2001:79-87).

Menghadapi perubahan budaya global yang demikian cepat, termasuk di dalamnya komponen bahasa, maka refleksi dan evaluasi atas kehidupan bahasa daerah menjadi sangat penting. Realita menunjukkan bahwa gejala kehidupan, keterpeliharaan dan keberhasilan usaha pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lainnya, berbeda-beda. Ada bahasa-bahasa daerah yang cukup terawat, tetapi juga ada sebagian yang lolos dari perhatian, apalagi pemeliharaan.

Keterpinggiran bahasa-bahasa daerah ini disebabkan karena terjadi persaingan antara bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing. Oleh karena itu, kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah semakin beralasan. Gejala kepunahan bahasa ditandai secara alami oleh merosotnya jumlah penutur karena adanya persaingan bahasa (desakan bahasa Indonesia ¡¥Melayu Papua¡¦ dan bahasa asing) dan semakin berkurangnya loyalitas penuturnya terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu serta sekaligus sebagai simbol budaya.

2.2 Loyalitas Bahasa Indonesia
Hampir di setiap wilayah pakai bahasa daerah besar dan kecil di Provinsi Papua Barat, hidup dan berkembang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara dan bahasa resmi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Kendatipun berdampingan, jelaslah bahwa bahasa Indonesia lebih dominan, memiliki loyalitas yang tinggi dan besar pengaruhnya atas bahasa daerah. Keloyalitas bahasa Indonesia ini kadang-kadang menjadi sebuah hal yang mutlak dan wajar dalam bingkai negara kesatuan.

Keseragaman memang merupakan sesuatu yang penting dalam membangun kesatuan bangsa, tetapi adalah kekeliruan besar bila menganggapnya sebagai alat yang efektif untuk membangun bangsa atas keberagaman etnik (Wijana dan Rohmadi, 2006:39).

3. Paradigama Baru Pelestarian Bahasa Daerah
Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, Bab XVI tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 58 ayat (1) berbunyi Pemerintah provinsi berkewajiban membina dan mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua; (2) selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan, (3) bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

Sejalan dengan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di atas, sudah selayaknya menjadi tugas pemerintah daerah untuk melakukan upaya peningkatan pelestarian bahasa daerah. Secara umum upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah di Provinsi Papua Barat itu masih sangat rendah, terutama dilakukan dan didorong oleh kesadaran masyarakat di daerahnya masing-masing untuk mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerahnya berdasarkan amanat undang-undang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai jati diri orang Papua.

Paradigma baru pelestarian bahasa daerah di era otonomi khusus Papua mencakup:
(1) Pemberdayaan Masyarakat, yakni penyadaran akan khazanah bahasa dan budaya masayarakat yang dapat dijadikan sebagai sumber daya pembangunan. Untuk itu bahasa perlu didayagunakan bagi kepentingan masyarakatnya. Sikap mental dan perilaku kebahasaan yang positif dan kretif, menjadi tumpuan pembangunan manusia Papua. Pemberdayaan masayarakat dalam ranah agama, adat, dan aneka budaya etnis, merupakan tumpuan hidup bahasa daerah. Bahasa daerah adalah warna ekspresi budaya daerah dalam pelbagai aspek;

(2) Penyadaran Jati Diri, yakni bahasa daerah sebagai identitas masyarakat daerah. Walaupun sebagian masyarakat Papua telah beralih bahasa Ibu mereka dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia Melayu Papua, khusunya masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dampak pembangunan, perkawinan campuran antar-etnik, serta pembinaan generasi muda yang telalu keindonesiaan;

(3) Integrasi pengajaran bahasa, sastra dan budaya, yakni model integrasi pendidikan yang menjadi syarat mutlak harus dijalankan dalam mengelola sumber daya masyarakat. Wujud integrasi pengajaran dapat membentuk sikap, pola, dan perilaku atau persepsi lokal ¡¦corpus¡¦ terhadap kepemilikan kearifan lokal tersebut. Integrasi pengajaran ini dapat mengugah sedini mungkin masyarakat tentang pengetahuan lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi pengembangan gagasan-gagasan alternatif dalam penjelajahan ilmiah yang sedang dan akan dikembangkan, seperti: pengembangan pangan spesifik lokal, obat tradisional, dan sistem klasifikasi bahasa (rumpun/vila) yang dapat digunakan sebagai acuan makna sosial budaya kehidupan masyarakat terhadap fenomena alam dan sosial tertentu, transmisi pengetahuan, penyedia makanan, dan masalah sosial kependudukan (pemukiman).

4. Penutup
Pelestarian bahasa-bahasa daerah di Tanah Papua khusunya Papua Barat kini harus menjadi perhatian serius. Perhatian itu sekarang telah menjadi betapa penting dengan adanya kontak antarbudaya, agama dan politik. Hal ini disebabkan jika bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antaretnis. Pada dasarnya, masyarakat atau kelompok orang yang termarginalisasi (tersisih) karena adanya proses pemusatan kekuasaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang budaya (ilmu pengetahuan, agama, ideologi, bahasa dan kesenian).

Pelestaraian bahasa-bahasa daerah di Provinsi Papua Barat sangat bergantung kepada kebijakan bahasa, kearifan bahasa, perencanaan bahasa dan sikap postif masyarakat penuturnya. Untuk itu, di era Otonomi Khusus diharapkan adanya paradigam baru dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku terhadap penggunanan bahasa Indonesia "Melayu Papua", bahasa daerah dan bahasa asing dalam membangun kesetaraan bahasa di Tanah Papua.

Daftar Rujukan
Tim Asistensi. 2001. Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jakarta: DEPDAGRI.

Rochani, Achmad, dkk. 2006. Rencana Pengembagan WIlayah dan Investasi di Provinsi Papua Barat. Manokwari: BAPPEDA Prov. Papua Barat.

Mbete, Aron Meko. 2001. Paradigma Baru Pemertahanan dan Pengembangan Bahasa Daerah dalam LINGUISTIKA, Edisi Keempatbelas, Maret 2001. Denpasar: Program Pascasarjana Magister dan Doktor Linguistik UNUD.

Sobarna, Cecep. 2006. Pemertahanan Bahasa Daerah: Menuju Kesetaraan Bahasa dalam Bumiku, Bahasaku, Mahmud, dkk (Ed.) 2006. Bandung: Jurusan Sastra Indonesian Fasa UNPAD.

Wijana, I Putu Dewa dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Posting Komentar

0 Komentar