Bintang Kejora Simbol Kontroversial

Oleh: Hugo Warami *)

Foto; Radio New Zealand
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, karena memiliki keistimewaan sebagai karunia Tuhan, yakni akal budi (kadang juga akal sehat, nurani). Akal budi manusia itu mencakup kemampuan berpikir, daya cipta, karsa dan rasa. Kemampuan bersuara pada manusia ditingkatkan menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi.


Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa ini bisa terjadi karena adanya kemampuan untuk menciptakan lambang (symbol): bunyi-bunyi yang melambangkan sesuatu dan sesuatu itu bisa makna, maksud, gagasan, konsep dan sebagainya. Dari situlah manusia menciptakan tulisan sebagai lambang yang melambangkan bunyi tadi. Karena kemampuannya menciptakan lambang itu manusia disebut sebagai animal symbolicum “binatang pencipta lambang”.

Penggunaan simbol dalam wujud budaya, ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara tradisional dari generasi ke generasi berikutnya. Paham atau aliran tata pemikiran yang mendasari diri pada simbol itu disebut simbolisme. Paham ini merupakan paham yang setaraf dengan paham-paham lain dalam kebudayaan lainnya seperti naturalisme, kubisme dan vitalisme. Simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar umat manusia, petunjuk jalan ke arah pembaharuan. Bahkan lambang-lambang purba yang sepanjang abad kita jumpai dalam dunia mitos kesenian, khayalan, impian, dan alam bawah sadar, bukanlah hal-hal yang tetap, melainkan selalu harus ditafsirkan kembali.

Sebuah simbol dapat dipandang sebagai: (a) sebuah kata, barang, objek, tindakan, peristiwa, pola, pribadi, atau hal yang kongkrit; (b) yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan, menyelubungi, mencorakkan, menunjukkan, mengacu kepada; dan (c) sesuatu yang lebih besar, transeden, tertinggi, terakhir, sebuah makna realitas, cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, konsep, lembaga dan suatu keadaan. Hubungan simbolik muncul sebagai hasil dari hubungan internal tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan internal. Istilah internal dipakai untuk menunjukkan hubungan antara signifier dan signified. Hubungan simbolik menunjukkan status kemandirian tanda untuk diakui keberadaannya dengan tanda-tanda lain. Kemandirian ini membuat tanda tersebut menduduki status simbol. Barthes mengambil contoh salib sebagai simbol nasarani dan bulan sabit sebagai simbol islam; keris simbol ketelitian atau kesaktian; meja makan simbol keakraban keluarga, dan lain sebaghainya.

Menatap surat kabar harian lokal dan nasional pekan ini mengetengahkan head line yang berfariasi mulai dari Buntut Pembentangan Bintang Kejora (Harian Media Papua dan Cahaya Papua, Manokwari), Bintang Kejora Bukan Lambang Kultural Papua (Papua Pos Jayapura), Bentangkan Bintang Kejora, 12 Pendemo di Tangkap (Cenderawasih Pos), Sembilan Pendemo BEM Jadi Tersangka (Bintang Papua), dan lain sebagainya. Wacana ini mengindikasikan bahwa Bintang Kejora bukanlah sekedar simbol semata tetapi menjadi simbol identitas yang diburu penguasa bumi pertiwi ini.

Bintang Kejora dimaknai sebagai simbol kebesaran dan kejayaan bagi orang Papua. Bintang Kejora diasosiasikan dalam bentuk sudut pandang tiap suku dan sub suku bangsa yang mendiami Tanah Papua. Pemaknaan Bintang Kejora melahirkan segudang nama atau sebutan, mulai dari sebutan ’Bintang Kejora’ ’Bintang Fajar’, ’Morning Star’, ’Sampari (bhs Waropen)’ ’Mak Meser (Bhs Biak), ’Yoniki atau Hiyakhe’ (bhs Sentani), Mo Yali Filen (Bhs Yali) ,’Sang Fajar’, ’Fajar Keemasan’, ’Bintang Pagi’ dan lain sebagainya. Inilah sebagian bentuk pengungkapan Bintang Kejora sebagai simbol dalam pandangan budaya tiap etnik. Bintang Kejora punya arti khusus. Kibarannya menjadi simbol panggilan suci pada leluhur untuk membebaskan mereka dari kehidupan fana di dunia yang penuh derita Bebaskanlah kami dari peluru, sangkur, dan bayonet. Suburkanlah kebunku dengan batatas dan keladi. Kembalikan hutan-hutanku agar sagu dan babi tersedia untukku dan kerabatku. Bersihkan sungai-sungaiku agar ikan dan udang kembali melompat ke perahuku. Jika pembebasan tidak kunjung datang pada saat bendera sudah dikibarkan, mereka lalu berintrospeksi, adakah sesuatu yang salah dalam proses sehingga ritus tidak berhasil. Maka, pada saat lain mereka akan mencoba mengibarkannya kembali.

Apalah arti sebuah nama? Nama adalah ideologi yang lahir dan menembus tapal batas. Dari sudut pandang inilah Bintang Kejora dinilai sebagai hal yang menentang hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bintang Kejora sendiri kini telah menjadi wacana dunia yang ramai diperbincangkan orang. Sepintas lalu Bintang Kejora pertama kali diperkenalkan pada 1 Desember 1961 dan kembali dibentangkan ke permukaan Tanah Papua lagi pada 1 Juli 1971. Dari simbol inilah memberi inspirasi munculnya ’Bintang 14 (Empat Belas)’ sebagai representasi Ras Melanesia yang ditokohi Tom Wanggai pada 14 Desember 1988. Ada tiga cara pandang dalam gerakan pengibaran Simbol Bintang Kejora. Pertama, sebagai strategi untuk meningkatkan posisi tawar pemimpin-pemimpin Papua terhadap pemerintah pusat. Dengan cara ini, soal hak asasi, politik, dan ekonomi Papua mendapatkan prioritas ketimbang sebelumnya. Kedua, untuk positioning dan rehabilitasi dosa-dosa keterlibatan politik selama Orde Baru. Ketiga, sebagai prakondisi gerakan politik untuk memperoleh kemerdekaan sebagai negara-bangsa baru, sebagaimana terlihat dalam upaya sungguh-sungguh mereka mempersoalkan status Papua sebagai bagian integral dari Republik Indonesia.

Walau hanya simbol yang kemudian dikongkritkan dalam bentuk kain yang berwarna putih-biru-bergambar bintang bersegi lima berwarna merah, namun sepak terjangnya telah merenggut berbagai konflik yang ujung-ujungnya menelan korban jiwa. Pada posisi yang serba salah, kadang-kadang bermuara pada motif politik dan berbenturan dengan aparat penegak hukum yang menjalankan tugas negara. Strategi Gus Dur sebelumnya yang mentolerir pengibaran bendera Papua dan perubahan nama Irian jaya menjadi Papua, dalam ukuran tertentu, sebenarnya telah mampu meredakan ketegangan dan menciptakan prakondisi menuju dialog. Sayangnya, wacana politik nasional kemudian berkembang memojokkan Gus Dur, dan strateginya tidak diikuti dengan proses lanjutan ke arah dialog dan rekonsiliasi.

Untuk menjamin keberlangsungan penggunaan simbol representasi budaya orang Papua, amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang berbunyi: …..Provinsi dapat memiliki lambang daerah sebagai jati diri orang Papua dalam bentuk Bendera dan Lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol Kedaulatan…….. Kini masa depan Tanah Papua bergantung pada kapasitas elite pemerintah pusat untuk segera belajar tentang budaya Papua. Hal pertama adalah memahami karakter dan bahasa politik yang simbolis dari orang Papua. Kedua adalah mendengarkan dan memahami dengan sabar dan mempersiapkan mental untuk mengelola perundingan dalam rentang waktu yang tidak terbatas. Ketiga, pihak pemerintah harus diterima oleh orang Papua siap dengan konsep tawar-menawar politik dan ekonomi yang konkret. Jiwa dan semangat yang mendasar dari filosofi otonomi khusus ini mengusung kearifan lokal yang diakomodasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Jiwa dan semangat terintegrasi dalam nilai kekerabatan, yakni sebagai dasar simbol atau lambang, penamaan fasilitas publik dengan nama-nama tokoh masyarakat lokal yang berjasa bagi pemerintahan, pembangunan maupun tempat ibadah.

Sejalan dengan implementasi UU OTSUS PAPUA 2001, muncullah PP No. 77 tahun 2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang Lambang Daerah yang ditanda tangani Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang menetapkan : Pada Bab IV Desain Lambang Daerah Pasal 6 ayat (4), Design logo daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan design logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan, pada pasal 8 ayat (3) Puisi atau Syair himne daerah sebagai dimaksud ayat (1) tidak mempunyai persamaan pandangan pokoknya atau keseluruhannya dengan puisi atau syair himne organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis.

Penjelasan Bab IV Pasal 6 ayat (4) Yang dimaksud dengan design logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi /perkumpulan/lambang/gerakan separatis dalam ketentuan ini. Lebih lanjut simbol bendera dalam bagian penjelasan yang dimaksudkan apakah mencakup simbol ’Bulan Sabit (GAM)’, ’Benang Raja (RMS)’, dan ’Binatang Kejora (OPM)’. Kemudian apakah muatan PP No. 77 tahun 2007 itu mengindikasikan tentang larangan menyanyikan lagu, hymne, puisi yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan lagu hymne, atau puisi organisasi terlarang, perkumpulan, lembaga dan gerakan separatis ….??? Dalam sepak terjang selanjutnya juga mengindikasikan bahwa logo daerah pada pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja dari luar negeri juga tidak boleh digunakan dan dalam dokumen perjanjian yang akan ditandatangani kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga lain. Lain pula dengan hymne atau lagu kebesaran atau yang sejenisnya juga boleh diperdengarkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan tetapi pada saat upacara hari besar kenegaraan di daerah dan pada saat upacara ulang tahun daerah. Nah, tetapi lagi-lagi hymne daerah itu dilarang diperdengarkan pada pertemuan resmi kepala daerah dengan mitra kerja/badan/lembaga kerja luar negeri.

Semangat yang terlahir dari Peraturan Pemerintah ini adalah untuk menjaga kebhinekaan tanpa mempengaruhi Negara Kesatuan yang merupakan komitmen bersama. Tetapi, apakah semangat ini akan melahirkan spirit Otonomi Daerah atau Khusus yang terpasung??? Dalam kerangka perundang-undangan di Indonesia hierarki antara UU No. 21 tentang OTSUS PAPUA dan PP No. 77 tahun 2007 tentang PELARANGAN SIMBOL DAERAH menjadi bertentangan. Pendidikan politik bagi masyarakat di Indoensia dan di Tanah Papua menjadi kabur, suram dan seram. Hierarki perundang-undangan ® Undang-Undang (UU) ®menghendaki alur yang jelas, yakni UUD 1945   Peraturan® Peraturan Presiden (PERPRES) ®Peraturan Pemerintah (PP)   Peraturan Kampung (PERKAM). Semoga kedudukan UU®Daerah (PERDA) dan  No. 21 tentang Otsus Papua dan PP No. 77 Tahun 2007 memberikan pendidikan politik yang baik bagi seluruh masyarakat di Tanah Papua.

*) Aktivis Melano-Papua

Posting Komentar

0 Komentar