Oleh,
Ernest Pugiye
Nampaknya, agenda damai dalam konteks demokrasi di
Papua masih tetap dilawan dengan demokrasi pemerintahan oleh pemerintah
Indonesia. Pengembangan ideologi dememokrasi pemerintahan di Tanah Papua masih tetap
diwarnai oleh berbagai persoalan yang semakin kompleks.
Berbagai persoalan itu di
antaranya, adanya kemerosotan nilai-nilai moral, budaya dan demokrasi di antara
pemerintah dan para pemimpin Gereja Katolik di Papua (selanjutnya and baca:
Gereja).
Sudah diketahui bersama, pemerintah dengan struktur
kepemimpinannya masih tetap berada tanpa mengakar dan bertujuan pada
nilai-nilai hakiki tersebut. Realitas seperti ini bermuara langsung pada
kehancuran martabat rakyat di Tanah Leluhur. Di sinilah pemerintah dan para
pemimpin Gereja di Tanah Papua mengamankan dirinya di atas dan berada bersama
struktur kekuasaan jabatan, sistem kekerasan
serta mengalami perdamaian diri mereka di atas realitas struktur
penderitaan rakyat Papua.
Perbedaan Persektif
Kesemua persoalan di atas dapat terjadi di antaranya
karena perbedaan perspektif pemerintah dan para pimpinan Gereja di Tanah Papua
terhadap realitas agenda demokrasi damai di Tanah Papua. Tentunya, pandangan
ini mengandung makna perlawanan terhadap tujuan perdamaian di Papua.
Kedua aktor ini dalam mengembangkan perdamaian dalam
konteks demokrasi di Papua sudah memiliki perbedaan pandangan yang paling
teramat gelap dan mengandung realitas kematian bagi rakyat.
Konstruksi dogmatis dan otoritas pemerintah dan
pemimpin Gereja masih dipandang sebagai milik yang harus dipertahankan demi
kedaulatan martabat pemerintah dan para pemimpin Gereja meskipun pandangan ini
memang sudah tidak dibenarkan dalam konteks agenda perdamaian demokrasi di
Tanah Papua. Ini paling tidak benar dan justru melawan (VS) misi Papua Tanah
damai.
Makna perlawanan bagi pemerintah nampak berbaya. Di
mana rakyat dan Gereja (Gereja=persekutuan umat beriman, tidak termasuk
pemimpinnya) biasa dipandang dan dipelakukan tidak punya kuasa sedikit pun oleh
pemerintah dalam membangun Papua.
Dalam hidup nyata, mereka tidak pernah diberikan hak
dan kewajiban untuk membangun Papua dalam maraknya berbagai proses kebijakan
pembangunan Papua.
Biasanya, rakyat dibuat terasing dengan adanya
berbagai proses kebijakan pembangunan di Papua. Demikian juga bagi pemimpin
Gereja dalam konteks pastoral lebih bernuansa otoriter, lemah, tidak
kontekstual, sentralistik dan artisitas dan finansialisme sehingga damai tidak
berakar dari seluk-beluk budaya Melanesia-Papua (bdk.12 diktat Pater Theodorus
Makai Pr.). Perwartaan seperti inilah yang menurut Pater Makai Pr, Para
pemimpin Gereja Katolik di Papua dalam pewartaan misi-Nya sudah salah membidik
dan salah sasaran bagi Papua sejak 1902 - sekarang.
Mengacu pada sejumlah dokumen Pater Makai itu, sebagian
pemimpin Gereja dari kelima Keuskupan di Tanah Papua saat itu, demokrasi dalam
terang teologi hanya dipandang sebagai tempat dan cara untuk merebut kekuasaan
dan mewartakan dirinya sendiri kepada rakyat di Papua.
Bagi pemimpin Gereja, otoritas demokrasinya malahan
mengkosentrasikan pada dirinya sendiri untuk merebut hak-hak asasi rakyat
termasuk hak rakyat atas tanah demi kesejahteraan kelompok tertentu. Rakyat
hanya dilibatkan dalam demokrasi menurut kesenagan daging kedua aktor.
Dikatakan secara eksplisit bahwa rakyat dan warga
Gereja dihardikan dan didayakan hanya untuk melaksanakan kehendak pemerintah
dan para pemimpin Gereja, dan bukan diutus untuk melaksanakan kehendak Allah
Tritunggal Maha Kudus atau tidak sesuai kadar kehendak kedamaian (Sang Logos).
Pewartaan yang hanya menempelkan kehendaknya pimpinan
Gereja dalam kehendak Bapa. Sekalipun orang Papua sudah akan memperjuangkan
damai dalam konteks demokrasi sebagai sebuah ideologi universal, pemerintah dan
sebagian pemimpin Gereja mengadakan rakyat dan Gereja dalam dan untuk
mengerjakan kehendak ke dua aktor.
Realitas demikian, kemudian mempertebal rasa tidak adanya
persatuan dan persaudaraan, mengikisnya rasa kemanusiaan, terdegradasinya nilai
kebaikan (pohon kebenaran) dan belum adanya realitas kedamaian baik secara
vertical maunpun secara horizontal di antara pemerintah dan rakyat.
Allah bahkan dipandang sudah mati sebelum pemerintah
dan Gereja berada di Papua. Mengadakan Allah buatan mereka (pemerinta dan
Gereja) adalah pokok pewartaan yang mutlak perlu merembesi ke dalam berbagai
aspek termasuk aspek demokrasi di Papua.
Mereka ini tidak pernah mengimani Allah yang merajai
dalam hati kaum kecil dan minoritas. Tapi demi kebahagiaan dan kesejahteraan
tertentu, mereka mengajak rakyat untuk mengimani Allah mereka, meskipun Allah
tidak perlu dibuat dan disama-samakan, melalui demokrasi yang justru diwarnai
dengan melawan kedaulatan rakyat dalam kedaulatan Allah.
Kedaulatan rakyat dan Allah yang telah berada secara
timbal balik. Maka itu, kita tidak heran hanya jika demokrasi di Papua hanya
diwarnai dengan kekuasaan berpolitik uang, kekuasaan struktur kepemilikan jabatan
dan kekuasaan persaingan/ ambisi negative serta pengasingan rakyat dari ranah
demokrasi, mempertebalnya penolakan eksistensi Papua dan kehancuran martabat
rakyat, tanpa komitmen dan orientasi bersama rakyat ke arah cita-cita bersama.
Dorongan Paham Klasik
Realitas masalah diatas dilatarbelangi oleh paham
klasik yakni tentang paham sekularisme, hedonisme dan materialisme. Secara
keseluruhan, arti harafia dari ketiga paham ini ialah melawan nilai-nilai
universal termasuk rakyat dan ideology perdamaian universal tersebut. Itu
berarti kehadiran para pemimpin yang otoritatif, tidak manusiawi dan tidak
beradat yang semakin ternampak jelas-jelas ini menunjukkan ketiga paham
tersebut. Dalam konteks ketiga paham ini, setiap dan semua rakyat di tanah Papua ini sudah dikategorikan
sebagai musuh Negara.
Pandangan ini dikonstruksikan dan dikembangkan tidak
hanya oleh pemerintah Indonesia, tetapi juga oleh sebagian pimpinan Gereja di
Tanah Papua.
Pemerintah dan sejumlah pimpinan Gereja tidak suka “mas-mas” Papua yang notabenanya adalah PEMILIK TANAH ADAT LELUHUR,
tetapi alam dan kekayaan Papua seperti emas, kayu dan batu Papua saja. Maka
rakyat telah layak dimusnahkan kapan dan di mana saja oleh pemerintah dan
pimpinan Gereja di Papua.
Dengan demikian, para pimpinan Gereja di tanah Papua
dengan refleksi dan pewartaan teologi yang tidak realistis dan kontekstual masih
tetap terus melemahkan semangat, roh dan jiwa anggota Gereja dan masyarakat di
Tanah Papua.
Di sinilah ada banyak rakyat dan anggota Gereja Papua
mati tanpa dialog dan solusi komprehensif dari agenda damai di Tanah Papua.
Oleh karena itu, orang Papua dibuat untuk
memperjuangkan damai menurut pemahaman para pemimpin Gereja dan pemerintah demi
kematian rakyat Papua di Tanah Leluhur. Dalam kasus ini hanya tidak termasuk
pihak Jaringan damai Papua (JDP) yang selama ini telah menyatakan komitmennya
untuk memperjuankakn dialog demi Papua Tanah damai.
Sambil terus-menerus menyaksikan realitas penderitaan
Papua yang tidak berubah, saya biasa melihat dan mengetahui tentang betapa
besarnya kegembiraan dan kebahagiaan pemerintah dan para pemimpin Gereja di
Papua.
Kedua aktor ini hanya bergembira riah, berjaya dan
mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari realitas pengorbananan rakyat. Untuk
kedua pihak, kedamaiannya dapat dialami dan dinyatakan dengan memelihara dan
mengelolah konflik Papua secara sistematis, komprehensif dan terstruktural.
Berdasarkan pandangan demokrasi yang masih tetap
berkembang di Papua, seperti dalam sejarah 1 Mei 1963 hingga sekarang, pengorbanan
rakyat malahan menjadi investasi (Modal) demokrasi damai yang paling terbesar
bagi kedua pihak yang kuat dan banyak yakni pemerintah dan para pimpinan Gereja
di Tanah Papua. Disinilah, demokrasi sebenaranya telah tercabut dari akarnya.
Yang ada hanya demokrasi kekuasaan pemerintah menuju kegembiraan bagi
pemerintah dan kematiaannya bagi rakyat.
Selain itu, adanya jarak antara pemerintah (Jakarta)
dan rakyat asli Papua semakin nampak besar. Sudah selama
71 tahun setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 dan pergantian pemimpin 01 demi pergantian
di Indonesia, rakyat dari
semua aspek tidak pernah disentuh oleh pembangunan daerah.
Rakyat biasa tidak tahu dan tidak mengalami dinamika hidup bersama dengan pemerintah, karena masih
belum pernah diperlihatkan tentang siapa
pemimpin sejati bagi dirinya, rakyat dan daerahnya demi kebaikan dan
kesejahteraan bersama (bonum commune).
Padahal rakyat sudah lama mengharapkan akan aliran perhatian dan kasih sayang
secara total dari pemerintah.
Mereka tidak hanya butuh pembanguan yang demokratis,
manusiawi dan damai, tetapi juga butuh relasi kasih dan niat baik dari
pemerintah untuk memaknai keunikan kehidupan berbudaya dan kelestarian alamnya
yang kaya dari dan demi rakyat. Mereka butuh suaranya didengar
secara serius bahkan
“didengarkan” dengan segenap hati nurani dan akal sehatnya secara bijaksana dan
penuh bertanggung jawab. Tapi kesemuanya itu tidak biasanya terjadi secara
wajar atau menyeluruh.
Harapan luhur ini hanya biasa dibalas dengan cucuran
air mata, stigma dan lumuran darah rakyat yang tak kunjung henti. Rakyat mati
dan
pemerintah tra respon tanpa dialog secara damai dan demokratis meskipun sudah dinyatakan
upuya-upaya yang paling panjang.
Sejak 2009 di Jayapura, misi dialognya secara tertulis
demi Papua damai pun telah muncul sederhana, dijiwai oleh
nilai moral dan jadi
titik temu antara Jakarta-Papua, tapi tidak diindahkan oleh
pemerintah Indonesia hingga sekarang. Kini, mereka (rakyat asli Papua) malahan jadi
minoritas, masih semakin terus-menerus berkurang dari 1,5 sampai 2 juta orang
dan jadi lemah di tanah Leluhurnya sendiri.
Sudah begitu realitasnya, berbagai persoalan sosial
lainnya pun biasa ditempatkan, dimengerti dan dikonstruksikan lebih substansial dalam konteks
politik kekuasaan demokrasi pemerintahan Indonesia sehingga esensi demokrasi di
Papua tidak lagi dilihat sebagai ruang dan waktu terbaik pula untuk membangun
rakyat dan daerahnya dalam suasana perdamaian dan kesejahteraan.
Dengan menggumuli perdamaian dalam konteks demokrasi
di Papua ini, saya berpendapat, apakah pandangan kedua aktor ini dapat berubah
dengan mendorong menyelesaikan konflik Papua melalalui dialog Jakarta-Papua dan
perundingan damai di luar negeri.
Bisakah kedua pihak ini dapat segera berubah pandangan
negatifnya terhadap demokrasi Papua ke arah realitas perdamaian bersama? Atau
kedua aktor itu hanya mempertahankan pandangan negatifnya demi materi belaka
dan kedamaian kelompok kuat tertentu di atas realitas lumuran darah rakyat dan
alam Papua?
Penulis adalah Mahasiswa
pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura
0 Komentar