Papua Diambang Kepunahan


 
Foto : Doc. Pace Ko' Ko' SaPa
Buku antologi Puisi “Papua Diambang Kepunahan” begitulah kiranya judul buku puisi terbitan Pilar Media (Anggota IKAPI) Cetakan pertama Desember 2012 dicetak oleh Nuansa Aksara. Didalamnya terdapat 118 puisi karya Benediktus Goo.

Buku yang diberi pengantar oleh penyair. Saat ini Benediktus Goo sendiri sekarang menjadi guru sukarelawan di SMA Negeri 2 Dogiyai dan SMA Negeri 1 Dogiyai.

Benediktus Goo bersama kawan-kawannya pernah menulis buku berjudul Dogiyai Berdarah (Pilar media 2012). Buku ini adalah karya keduanya. Tentu saja puisi-puisi yang tergelar didalam buku ini layak diapresiasi karena mengungkapkan tema-tema yang senantiasa menjadi bahan pergulatan kita di Tanah Papua.

Buku bersampul hitam dan gambaran covernya ialah Pulau Papua dikelilingi oleh api yang menyala. Itu dipersembahakan kepada seluruh rakyat Papua yang selalu menjadi Korban Konflik diatas negrinya sendiri.

Kumpulan antologi puisi ini dibagi dalam empat bagian yakni bagian pertama, ratapan Rakyat Papua Barat, bagian kedua membangkitkan rasa Nasionalisme Papua dan ketiga ialah harapan-harapan akan perubahan yang lebih baik dan sejuk untuk terselenggaranya kehidupan di Papua.

Dia mengajak untuk semua peristiwa harus diserahkan kepada Allah melalui doa dan bagian keempat bagaiman Benediktus Goo mengajak untuk mensiasati hidup Rakyat Papua Barat dengan Penuh Optimis bahwa kami juga bisa bertahan hidup di tanah kita sendiri.

“Biarkanlah ku dipaksa untuk tempuh jalan KEPUNAHAN”. Dengan metafora yang memikat, Benediktus Goo melukiskan sebuah kehidupan di Tanah Papua yang kian buram akibat konflik berkepanjangan. Barangkali itulah sirkulasi penderitaan rakyat Papua yang dituangkan dalan syair Berikut ini puisi "Kepunahan" (halaman 28) karya penyair  selengkapnya.

Ketika aku termenung dalam alamku, tawa dan senyum mengurai wajahku, kala dengungan dan lengkingan burung menghiasi alamku, kala dedaunan pohon melambai lambai menghiasi alam Papua yang terpesona. 

Saat tawa dan dan senyum mengurai wajahku. Seekornya nyamuk datang menghampiri dan menggigitku. Terkagetlah daku ketika darah membanjiri wajahku, ku kaget, dia datang tanpa kuundang. 

Hai nyamuk siang dan malam tak henti-henti, Mengisap darahku, menghisap harta kekayaanku,  sampai kapan engkau berhenti ? Entalah.......!

Ku tak tahu sampai kapan dia berhenti, tubuhku menjadi letih dan lesu, tubuhku menjadi kurus dan langsing, walau saudara yang sana pun membiarkan daku.

Hai nyamuk engkau datang tanpa diundang, engkau memang licik dan halus, engkau memang terlatih, engkau membuat darahku terus mengalir, seakan aku menjadi pendonor darahku terus mengalir seakan menjadi pendonor darah bagimu.

Kini ku hanya menghitung jarum jam, sambil meneriak riak tuk mengobati, tak ada saudara yang sana pun datang mengobatiku.  

Kini jarum jam menuju detik detik terakhir, harapannya pun lenyap, nafasku pun hampir terlepas, biarlah ku dipaksa untuk, tempuh jalan kepunahan.


Expo Port Numbay, 02 Mei 2010


Diresensi Oleh Pace Ko' SaPa

Posting Komentar

0 Komentar