Kepulauan “Para Raja” Raja Ampat (Bagian 2)


Oleh Ayu Arman*
Masyarakat Raja Ampat

Sementara dalam sejarah lisan yang berkembang, menerangkan bahwa pada abad XV daerah Biak telah menjadi wilayah Kesultanan Tidore. Sultan Tidore mengangkat Pejabat daerah bersangkutan, dengan gelar-gelar seperti Kapitan, Sangaji, Korano, Dimara, Mayor, dan sebagainya.

Salah seorang tokoh dari Biak bernama Kurabesi pun diangkat sebagai panglima di Pusat Kesultanan. Dan konon Kurabesi yang berpengaruh terhadap asal-usul nama Raja Ampat.

Dalam sejarah lisan dan tutur rakyat, antropolog A.C. Van Der Leeden dalam sebuah penelitiannya yang berjudul The Raja Ampat Islands: A Mythological Interpretation (1987) mencatat sekian kisah terwariskan tentang asal-usul Kepulauan Raja Ampat di tengah kehidupan masyarakat setempat.

Alkisah, Kepulauan Raja Ampat berasal dari tokoh legendaris bernama Kurabesi (Gurabesi). Ia berhasil membantu Sultan Tidore dalam mengalahkan peperangan dengan Sultan Jailolo dan Ternate pada abad 16. Kurabesi adalah anak lelaki dari perempuan bernama Pin Take dari Kali Waige.

Ketika Kurabesi besar, ia kembali ke Waigeo dan tampil sebagai seorang pemimpin perkasa dan perbawa. Keperkasaan dan keberaniannya ia tunjukkan pada saat ia memimpin penduduk Waigeo memenangkan peperangan besar melawan orang-orang Sawai di Asukweri, Waigeo Utara yang sekarang dinamakan Bukor Sawai, yang artinya tengkorak orang-orang Sawai yang dibunuh Kurabesi.

Pertempuran itu merupakan awal kepahlawanan Kurabesi. Usai pertempuran di Waigeo Utara, Kurabesi melakukan serangan ke daerah Patani di Halmahera yang pada itu berada di bawah kekuasaan Raja Jailolo. Kemenangan Kurabesi di Waigeo Utara dan serangan ke daerah Patani mengakhiri penyerbuan-penyerbuan orang Sawai ke daerah Kepulauan Raja Ampat.

Sebaliknya, di pihak Kurabesi petualangan pengayawan kepala kian bertambah. Di bawah pimpinan Kurabesi, pulau-pulau di Kawasan Raja Ampat hingga Seram menjadi jalur niaga disertai dengan pengayawan. Setelah Kurabesi yang kekuasaannya sudah mapan mendengar bahwa ada kerajaan-kerajaan besar di Kepulauan Maluku seperti Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, sang pahlawan ini pun  bertandang untuk proyek niaga bersama.

Kurabesi berlayar dan berkunjung ke Kerajaan Tidore. Dalam kunjungan pertamanya ke Tidore itu, Tidore sedang menghadapi peperangan Jailolo. Akhirnya, Kurabesi diminta Sultan Tidore untuk turut membantunya melawan balatentara Jailolo. Tawaran itu diterima Kurabesi dengan senang hati. Kurabesi memimpin pasukannya mengalahkan armada perahu perang Jailolo sebelum mereka mendarat di pantai Tidore.

Sebagai imbalannya, Sultan Tidore mengizinkan anak perempuannya, Boki Tabai, untuk menjadi isteri Kurabesi. Konon, nama Papua juga pemberian dari Sultan Tidore untuk memanggil sebutan nama dari Kurabesi dengan sebutan ‘papa ua’. Sebab dari 360 suku yang ada di Papua saat ini tak ditemukan suku kata ‘papua’ itu dalam bahasa mereka. Papua berasal kata ‘papa ua’, yang artinya tiada-papa dalam bahasa daerah Ternate.

Sebelum Kurabesi bersama istrinya berangkat kembali ke Raja Ampat, Sultan Tidore memberi mandat kepada Kurabesi untuk menjadi raja di Kepulauan Raja Ampat dan berpesan kepadanya bahwa kerajaan Tidore akan memberikan dukungan bantuan kepada Kurabesi untuk mendirikan kekuasannya. Selain itu kerajaan Kurabesi tetap menjadi sekutu Ternate.

Oleh karena itu rakyat yang akan ditaklukan Kurabesi harus  membayar upeti kepada Kurabesi dan juga kepada Sultan Tidore setiap tahun. Dengan perjanjian itu, Kurabesi bersama isterinya berangkat ke negeri Kurabesi. Mereka tiba di pulau Waigeo dan menetap di pusat pulau Waikeo. Demikianlah, dari Waigeo itulah kekuasaan Kurabesi berkembang ke pulau-pulau lainnya di Kepulaun Raja Ampat: Misol, Salawati, dan Batanta.

Versi sejarah lisan yang dikenal luas masyarakat adalah bahwa leluhur raja-raja di Kepulauan Raja Ampat berasal dari enam telur yang ditemukan sepasang suami-istri di tepi sungai Waigeo; atau masyarakat setempat mengenalnya dengan kali Raja. Mereka menyimpan telur itu dalam noken, tas yang terbuat dari anyam-anyaman.

Tak lama kemudian kelima dari enam telur yang ditemukan itu menetas menjadi manusia. Empat laki-laki dan satu perempuan. Empat anak lelaki itu diberi nama War (kelak menjadi Raja di Waigeo), Betani (kelak menjadi raja di Salawati), Dohar (kelak menjadi raja di Batanta atau Lilinta), dan Mohamad (kelak menjadi raja di Misool atau Waigama), serta anak perempuan diberi nama Pintake. Adapun satu telur lagi membatu.

Dalam waktu yang singkat anak-anak itu tumbuh menjadi dewasa. Pada suatu hari tiba-tiba diketahui, saudara perempuan mereka bernama Pintake hamil tanpa suami sehingga membuat malu keempat saudaranya. Pintake pun dihanyutkan ke laut oleh saudara-sudaranya dan terdampar di Pulau Numfor, yang kemudian melahirkan tokoh legendaris dari kepulaun Papua bernama Kurabesi.

Setelah kepergian Pintake, keempat anak lelaki itu terlibat percekcokan sehingga mereka memutuskan berpencaran mencari tempat masing-masing. War si anak sulung menetap di Waigeo di Kali Raja dan kemudian pindah ke Mumus, pulau yang terletak di muara Teluk Mayalibit (Waigeo selatan bagian Timur). Anak kedua, Betani, menuju Pulau Salawati. Yang keturunannya saat ini adalah marga Arfan. Mohamad si anak ketiga menuju ke arah selatan dan tibalah di pulau Misool. Keturunannya saat ini adalah marga Umkabu dan Soltip. Anak keempat, Dohar, menyeberang ke Seram bagian selatan dan bertempat tinggal di Kilimuri. Keturunannya saat ini adalah marga Kwairumaratu.
Rumah si pantai Salawati

Kisah asal-muasal kelima telur yang menetas dan menjadi raja telah diketahui banyak orang lewat pitutur dan perbuatan mereka. Tetapi telur keenam yang membatu masih menjadi rahasia dan diyakini batu telur itu memiliki kekuatan gaib. Konon, membatunya telur keenam itu karena ruh dalam telur itu sengaja tak ingin menetas agar suatu hari nanti bisa menjadi tanda dan cerita asal-usul masyarakat Kepulauan Raja Ampat. Untuk mengenang telur penanda itu dari lini-masa itu, maka dibangunlah sebuah kuil di tepi sungai Waige dan dipelihara serta dijaga keturunan marga gaman hingga kini.

* Ayu Arman penulis buku, Mengantar Raja Ampat ke Pentas Dunia, Biografi Drs. Marcus Wanma (2009), Pusaka Raja Ampat, History and Culture (2012), Derap Langkah Marinda Pembangunan Raja Ampat Periode 2005-2015 (2015, Misool Is Kingdom of The Sea, The Best Island in Raja Ampat (2017) dan buku lainnya.




Posting Komentar

0 Komentar