Obahorok

Oleh; Umar Kayam
 
Ilustrasi; www-mediajakarta-com Kota Jakarta;
OBAHOROK, kepala suku dari lembah Baliem, telah menawan hati saya. Dengan gagah dia telah tampil di Jakarta, kota metropolitan yang angkuh itu. Dengan perkasa dia telah menghadap presidennya, menghadiahkan pusaka-pusakanya dengan ikhlas, menerima dan mengisap cerutu dari "kepala suku"-nya yang lebih besar itu dengan gembira tanpa sikap nyrepepeh, merunduk-runduk. Dengan penuh keyakinan-diri pula dia mewejang rakyat Jakarta untuk jangan hidup berdesak-desak dan pindah saja ke lembah Baliemnya yang luas.

Mang Usil dari Kompas menganggap ini sebagai isyarat sederhana untuk bertransmigrasi. Saya melihatnya sebagai sikap besar dari seorang pemimpin suku yang penuh welas melihat penderitaan suku lain. Saya melihatnya sebagai kemurahan hati tanpa satu keangkuhan dari seorang kepala suku yang tidak keder, tidak terhardik oleh kemilau lampu neon dan kegarangan pencakar langit Jakarta.

Dan di hotelnya, di mana dia mestinya bisa memesan nasi goreng atau bacon and eggs dengan roti-bakar buat sarapan pagi, chicken escallope atau nasi campur buat makan siang, dan filet mignon dengan kentang ongklok buat makan malam, Obahorok memilih menyantap tales. Di tengah kemilau "keindahan plastik" Hotel Marcopolo itu sang kepala suku dengan tenang tanpa rasa kurang harga diri melahap tales dengan enaknya....

Alangkah segar penampilan yang begitu. Alangkah berlainan dengan penampilan sementara "pemimpin suku yang lain" yang sering mesti ber-raker atau ber-rapim di Jakarta. Begitu penuh dengan kompleks-rasa yang mengherankan kadang-kadang. Dengan baju safari yang terbuat dari worsted wool, mereka, "pemimpin suku yang lain" itu, akan petentengan di lobi hotelhotel besar yang "bertaraf internasional" mencoba meyakinkan setiap orang (dan lebih-lebih lagi dirinya sendiri) bahwa mereka menginap di hotel itu.

Kemudian mereka akan makan steak, baik untuk makan siang maupun untuk makan malam, di restoran hotel yang mahal itu- yang akan jauh melebihi jatah pengeluaran uang harian mereka. Atau mungkin mereka akan bersantap dan bersantai di restoran-restoran Cina yang mewah dan mahal bersama "relasi" mereka.

Pagi atau sore hari mungkin mereka akan menyempatkan diri untuk bermain golf. Lengkap dengan accessories-nya mereka akan mondar-mandir di lapangan sambil memukul dan berkongkow-tak ubahnya seperti Presiden Marcos dengan presiden kita. (Lho, main golf "pemimpin suku kita yang lain" itu? Kenapa tidak. Saya pernah melihat sebuah lapangan golf dibangun di satu ibukota kabupaten kecil nun di pedalaman Sulawesi Selatan sana. Pemain tetapnya konon cuma empat sang bupati dan tiga orang camatnya...). 

Kemudian malam harinya? Mungkin dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan tim opstib, mereka akan ke klab malam untuk berajojing atau mungkin ke pemandian uap untuk mengendurkan urat-urat mereka. Maklum, habis seharian ber-raker untuk suksesnya pembangunan negeri kita. Capek tenan, lho...!

Kenapa penampilan Obahorok segar, penampilan "pemimpin suku yang lain" tidak? Karena Obahorok tampil utuh dan wajar, sedangkan "pemimpin suku yang lain" itu tampil berkeping-keping dan tidak wajar. 

Dalam menghayati peranannya sebagai pemimpin suku, Obahorok selalu konsisten menafsirkan peranan yang telah digariskan komunitasnya. Yakni untuk selalu melihat hubungannya dengan makhluk lain dan lingkungan lain dalam konteks jagatnya sendiri di lembah Baliem itu. Maka itu dia bebas menawarkan undangan kepada rakyat Jakarta untuk pindah ke lembahnya, bersikap gagah terhadap "pemimpin suku" yang lebih besar, dan tidak merasa harus menggantikan menunya yang tales itu.

Sebaliknya, para "pemimpin suku yang lain" itu tidak konsisten dalam menafsirkan peranan mereka karena mereka banting stir begitu mereka bermain di atas panggung yang lain. Dalam panggung baru yang bernama Jakarta itu para "pemimpin suku yang lain" itu tiba-tiba merasa perlu menggeser konteks jagatnya menjadi jagat Jakarta. Peranan yang digariskan oleh komunitas mereka, mereka abaikan. Akibatnya, penghayatan peranan mereka jadi kedodoran dan "over acting". Kena hardik kemilau lampu yang "bertaraf internasional" mereka jadi grogi, jadi kecut, hingga perlu penampilan yang berlebihan untuk penyesuaian peranan.

***

Apakah penggambaran begitu adil? Mengontraskan seorang Obahorok dari jagat zaman batu dengan "pemimpin suku yang lain" dari jagat zaman peralihan? Menghadapkan seorang aktor dari panggung yang terbatas prop-nya dengan aktor dari panggung yang sudah mulai memiliki kemungkinan prop yang lebih beragam? Menghadapkan seseorang yang hanya tahu tales sebagai bahan makanan pokok dengan seseorang yang sedikit-sedikit pernah mencicipi "buah-kuldi"-nya modernitas?

Saya kira persoalannya bukan pada sempit atau luasnya cakrawala jagat itu. Tapi pada kesetiaan kepada cakrawala jagat itu. Obahorok mungkin saja belum pernah melihat makanan pokok selain tales, tapi yang lebih penting adalah kesetiaannya kepada tales. Hingga ia tidak melihat kepentingannya menggantikan dengan makanan lain. Cakrawala komunitasnya adalah cakrawala tales. Komunitasnya menggariskan peranan pemimpin sukunya pada proporsi dan konteks yang demikian. Kesetiaan Obahorok kepada tales adalah kesetiaan kepada komunitas.

Sedang pada para "pemimpin suku yang lain" itu kesetiaan mereka kepada cakrawala jagat mereka luntur begitu mereka menginjak jagat Jakarta. Cakrawala komunitas mereka yang nasi gudeg, ikan bakar, rendang, clan soto ayam itu ditarik tidak hanya pada steak, tapi hingga jauh merembet pada embel-embel yang lain. Pada aksesori, uba-rampe gaya hidup hotel kosmopolitan yang jauh di atas kemampuannya menampung....

***

Jadi, lain kali ke rumah makan Padang, warung Jawa Timur, atau gudeg Bu Tjitro saja? Kenapa tidak. Format komunitas kita juga format yang begitu saja kan? Untuk sementara, setidaknya. Hidup Obahorok!

Majalah Tempo, 1979

Posting Komentar

0 Komentar