Kuala Kencana; dari Freeport untuk Indonesia*

Oleh Onny Wiranda*
Kuala Kencana, photo credit: Redaksi Sastra Papua


Burung elang itu terbang rendah. Saking rendahnya aku bisa mendongak ke atas sambil mengendalikan mobil dan masih bisa mengikuti cara terbangnya yang anggun. Jam di hapeku menunjukkan pukul 07:30. Cuaca cerah sekali dan tidak lembab walau tadi malam hujan lebat. Masih cukup waktu menempuh jarak 22 kilometer dalam waktu kurang dari 30 menit dan menyeduh kopi di kantor. Pagi terasa begitu indah hingga di depan nampak deretan mobil berhenti dan orang-orang keluar dari dalam mobil. Mungkin pemeriksaan mobil, batinku. Tapi setelah 10 menit menunggu dan makin banyak orang turun sambil melihat ke arah pertigaan yang masih sekitar 500 meter lagi aku jadi penasaran dan bertanya pada seseorang. Ada palang jalan, pak. Kemarin ada motor ditabrak truk. Korbannya orang Moni, katanya. Bah, bisa lama ini, balasku. Itu sudah, pak, katanya.

Semua orang di Timika maklum jika ada pemalangan jalan. Biasanya karena ada permasalahan besar. Seperti peristiwa tabrakan hingga ada korban meninggal dunia. Tapi di Kuala Kencana, pemalangan jalan adalah hal yang luar biasa. Orang-orang mulai membahas bahwa korbannya adalah seorang mama yang baru saja pulang dari kebun, naik motor matic, truknya melaju kencang dari arah Timika, dan seterusnya.

Karena sia-sia saja mendengarkan berbagai macam versi cerita, aku kembali ke mobil. Burung elang itu sudah hilang. Mungkin sudah mendapat mangsa. Aku sudah pasti terlambat kerja. Di depan pintu mobil aku sontak tersadar, bahwa setelah 5 tahun tinggal di Kuala Kencana, baru kali ini aku bisa berdiri dan berjalan kaki di jalan yang biasa aku lalui dengan mobil sambil ngebut.
Saat itu, pada bulan Agustus 2008 aku sudah tinggal di Timika selama dua bulan. Aku cukup betah, karena semua yang aku butuhkan ada di Timika. Sekalipun agak males karena repot harus pindah dan menjauh dari keramaian kota Timika, aku menurut saja ketika diajak pindah ke Kuala Kencana. Di sana, kata seorang teman, enak karena bebas Malaria dan orang mabuk, listrik dan air bersih lancar. Pokoknya pak dorang bisa istirahat dengan tenang, imbuhnya. Wah, seperti mau ke kuburan saja.
Ternyata yang dia ucapkan itu benar adanya. Setelah menempuh jarak 22 kilometer dari Timika, kami tiba di sebuah gerbang dan pos penjagaan. Di dalamnya ada dua orang berseragam satpam warna biru dan helm proyek warna yang sama duduk berjaga. Aku langsung menurunkan kaca jendela dan mengucapkan salam. Lurus saja ini, kata Pak Yus, yang sebelumnya sudah pernah ke Kuala Kencana.

Selepas pos pemeriksaan, aku tercengang mendapati jalanan luas nan lengang dengan tekstur aspal yang kasar. Terasa lebih berkualitas dibandingkan jalanan di Timika dan di semua kota di Indonesia yang pernah aku lewati. Ban mobil terasa mencengkeram di aspal. Di sisi kanan dan kiri, pepohonan dengan tinggi sekitar 5 meter menghalangi sinar matahari.

Sekalipun sudah tinggal di Timika selama 2 bulan, baru saat itu merasakan suasana sejuk hutan dan teduh melihat tingginya pepohonan di sini. Sekitar 500 meter kemudian, sebuah pertigaan. Setelah pertigaan itu, pemandangan sedikit berubah, hutan di sisi kanan mundur sekitar 10 meter, memberi tempat bagi tiang-tiang listrik besar di sepanjang jalan. Mobil yang lalu lalang juga berbeda.

Kebanyakan mobil bergarda-ganda bikinan Amerika, berwarna putih, dihiasi nomor lambung dan stiker Freeport di pintu depan. Jalanan lurus dan mulus itu menggodaku memacu laju mobil. Pak Yus yang menangkap gelagatku hendak ngebut mengingatkan, di sini hukumnya lain, lho, kalau ngebut kita terlacak radar gun dan didenda. Bah, ini kan masih Indonesia. Balasku sambil menekan pedal gas semakin dalam. Tidak sabar melihat tempat tinggal baruku.

***

Beda dengan Timika yang berkembang secara organis, Kuala Kencana adalah kota yang terencana dan ditujukan menjadi kota contoh di Indonesia serta menjadi akomodasi karyawan dan peralatan industri PT. Freeport yang semakin membesar. Semua itu karena keuntungan besar dari eksplorasi bijih mineral di tambang yang sudah ada serta dari kontrak kerja sama PT. Freeport Indonesia dengan perusahaan tambang raksasa Rio Tinto-CRA pada tahun 1992 (Soehoed, 2005, p.58). Kontrak ini adalah “nafas segar” karena Freeport mendapatkan pinjaman sebesar 250 juta dollar AS. Dengan akumulasi keuntungan sebelumnya plus dana segar itu, Freeport mampu melakukan ekspansi usahanya, mulai dari membeli sebuah pelebur tembaga di Huelva, Spanyol, lalu ikut urunan membangun pabrik pengolahan di Gresik. Sekalipun tidak ada literatur atau sumber yang dengan jelas menyebutkan hubungan antara kondisi keuangan Freeport pada paruh pertama tahun 1990-an dengan pembangunan Kuala Kencana, tanpa “nafas segar” itu Freeport tidak akan berani membangun sebuah kota baru bagi karyawannya yang semakin berjubel di Tembagapura dan diserbu Malaria di Timika.  

Ada dua lokasi yang awalnya menjadi lokasi sebuah kota baru, di Mil 50 dan di Mil 32. Keduanya berada tidak jauh dari Kwamki Narama, daerah pemukiman pertama di Timika.  Sebelumnya tidak pernah jadi daerah hunian baik bagi orang Amungme dan Kamoro. Mil 50 kemudian batal dijadikan lokasi kota karena setelah hasil survei tanah menunjukkan tanah di situ adalah tanah paling lunak di seluruh dataran rendah Mimika, tidak ideal untuk fondasi bangunan.

Setelah Mil 32 ditetapkan jadi lokasi kota baru, masalah lain muncul menghadang. Lokasi itu ternyata sudah dimiliki dan digarap oleh sebuah perusahaan kayu. Perusahaan itu sudah membuat jalan akses dari Timika dan menebangi sejumlah besar pepohonan. Dalam negosiasi dengan Freeport, perusahaan itu bersedia lokasinya dijadikan kota asal Freeport mau menunggu semua pohon di lahan yang diakuisisi perusahaan itu habis ditebang. Freeport menolak. Mereka tidak mau membangun kota di atas lahan yang baru saja digunduli. Dalam bukunya, George A. Mealey (1997, p.330), salah seorang eksekutif Freeport, mencatat bahwa Freeport “menginginkan hutan rimba yang masih perawan itu sebagai bagian integral kota.”  

Negosiasi akhirnya berhasil. Perusahaan kayu itu bersedia menjual lahan konsesinya kepada Freeport senilai 5 juta dollar AS. Freeport segera membuat berbagai persiapan membangun sebuah kota baru, mulai dari survei topografi hingga membuat survei kepada para pekerjanya yang tinggal di Tembagapura tentang kota ideal menurut mereka. Sebuah survei yang pasti diisi dengan antusias oleh para karyawan dan buruh Freeport yang hidup berjubel di barak-barak di Tembagapura, dingin terpencil, jauh dari hiburan dan keluarga mereka.

Hasil survei itu kemudian dirangkum dalam sebuah laporan dan dikembangkan menjadi sebuah master plan desain kota. Tapi sebelumnya, Freeport meminta bantuan AR. Soehoed, seorang penasehat Freeport dan mantan Menteri Perindustrian masa Orde Baru, untuk menyesuaikan master plan kota dengan konteks masyarakat Indonesia. (Mealey, 1997, p.134)  Penyesuaian itu cukup masif skalanya, mulai dari desain alun-alun ala Indonesia hingga dapur yang sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia. Kelar dengan penyesuaian desain, Freeport lalu mempercayakan proyek senilai 300 juta dollar AS itu pada sebuah perusahaan konstruksi asal Spanyol, OHL (Obrascón, Huarte, and Lain). Di situs webnya, perusahaan ini mengakui proyek pembangunan Kuala Kencana  yang dimulai tahun 1992 itu sebagai salah satu proyek mereka yang paling menantang.

***

Perusahaan Spanyol itu melakukan pekerjaannya dengan baik. Sepanjang jalan aku perhatikan semua hal ditata dan dibangun dengan penuh pertimbangan. Di samping kananku, tiang-tiang listrik besar berdiri berjajar setiap 500 meter. Karenanya rimbunan pepohonan dimundurkan sekitar 500 meetr memberikan ruang aman antara tiang listrik dan pepohonan. Tidak lama kemudian, jalan lurus berubah jadi sebuah boulevard yang menikung hingga sebuah pertigaan. Jika kamu belok kiri, akan langsung melihat mobil pemadam kebakaran berwarna hijau yang diparkir di gedung yang ditempati unit pemadam kebakaran dan unit keamanan Freeport . Belok kiri lagi akan bertemu dengan sebuah lapangan luas dan beberapa kantor departemen Freeport, yang sehari-harinya berurusan dengan masyarakat seperti PHMC (Public Health and Malaria Control) dan SLD (Social Outreach and Local Development).  Di lapangan luas itu ada sebuah helipad tempat helikopter Freeport biasa mendarat untuk berbagai keperluan. Lurus saja dari pertigaan itu kamu akan bertemu sebuah perempatan yang tidak simetris. Empat buah patung Kamoro didirikan di tengah-tengah, seperti menjadi penunjuk bahwa ada empat bagian Kuala Kencana yang bisa dituju dari bundaran ini, mempertegas papan penunjuk arah yang ada di sebelum bundaran.

Hanya rimbunan pepohonan saja yang nampak di sepanjang boulevard. Di sisi kiri jalan ada sebuah drainase besar yang siap menampung limpahan air saat hujan tiba. Suasana yang asri. Timika jadi terasa seperti seorang gembel jika disandingkan dengan Kuala Kencana yang molek ini. Belok kiri, kata Pak Yus sambil memakai kacamatanya. Sore itu dia berpakaian santai, kaos dan celana pendek. Di kantor dia selalu mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain. Orang kantoran sekali. Kami tiba di Rukun Wilayah A yang ditempati enam cluster perumahan. Di situ juga ada sebuah terminal angkot, pos polisi (yang selalu kosong), sebuah gedung pertemuan dan lapangan voli, serta beberapa toko dan warung makan. Masing-masing cluster disebut RT (Rukun Tetangga) 1 hingga 6. Satu cluster berbentuk huruf “U”, isinya 80 rumah dengan 2 tipe rumah; tipe 36 dan 46.
Tibalah kami di Jalan Elang, RT 4, rumah nomor 12, warna kuning, dengan halaman depan yang berantakan. Ada terpal warna biru membentang malas di depan rumah sebagai pelindung sebuah mobil, sebuah meja kerja rusak yang diletakkan di teras rumah, sepeda anak-anak tergolek di halaman rumah nyaris aku lindas. Seorang ibu menyambutku dari teras kecil di samping rumah. Silakan masuk, pak, katanya setengah berteriak tanpa beranjak dari teras itu.

Rumah itu sebelumnya ditempati konsultan pengembangan ekonomi dari Jakarta. Mereka tinggal bertiga di rumah ini dari tahun 2005 hingga tahun 2007. Teras di samping rumah itu ternyata teras masuk sebuah rumah lain yang menempel di belakang rumah yang kami kontrak. Di situ tinggal Ibu Marpaung, sang pemilik rumah dengan tiga anaknya, Pretty, Cartensz, dan Nina. Pretty duduk di kelas 1 SMP YPJ Kuala Kencana dan dua adiknya masih kelas 2 dan 3 di SD YPJ Kuala Kencana. Selain rumah yang kami tempati, Bu Marpaung ternyata juga menyewakan tiga kamar ukuran 4x6 dilengkapi dengan kamar mandi kecil. Ketiga kamar itu dihuni oleh seorang karyawan perusahaan pendukung Freeport, seorang guru komputer, dan seorang karyawan Freeport.

Tetangga sebelah kiri adalah keluarga Jack Omaleng, orang asli Amungme. Di depanku rumah yang dikontrak sebuah bank swasta sebagai gudang arsip-arsipnya. Sebelah kanan adalah Pak  Haji Hamka dari Makassar. Semuanya sudah tinggal di Kuala Kencana sejak kota ini baru diresmikan pada tahun 1995.

“Kalau ga gini ga bisa hidup mas,” kata Bu Marpaung pada suatu hari. Sudah beberapa tahun ini dia harus membesarkan ketiga anaknya sendirian. Suaminya dulu termasuk 66 keluarga pertama yang pindah dari Timika ke Kuala Kencana secara buru-buru pada tahun 1995. Dia bekerja di tambang Freeport di Grasberg dan secara mendadak meninggal di rumah ini beberapa tahun lalu. Dengan uang sewa 30 juta setahun untuk rumah yang aku kontrak dan 1,5 juta x 3 kamar per bulan, sepertinya masalah Bu Marpaung  tinggal mengelola keuangan dengan baik. Itu pun masih ditambah dengan usahanya di Timika sekalipun aku tidak tahu apa sebenarnya usahanya.

Bu Siti di RT 4 nomor 65 juga masih ingat sekali bagaimana suasana pindahan yang terburu-buru. Ibu yang sekarang membuka usaha warung kecil di depan rumahnya itu mengenang, “dulu itu diburu-buru, mas. Kita masih ga siap ya tetap diminta pindah. Disiapkan truk dengan gratis segala untuk angkut barang-barang.” Ketika aku tanya kenapa kok diburu-buru, Bu Siti menjawab, karena “kata orang Freeport, beberapa hari lagi mau diresmikan sama Presiden Soeharto.” Aku menyalakan rokok yang baru saja aku beli di warungnya dan Bu Siti terus bercerita soal rumah barunya ini, “waktu saya pindah itu Kuala [Kencana] masih sepi dan masih asri, tidak seperti sekarang ini.”

Aku jadi membayangkan suasana rumah Bu Siti masih dalam bentuk awalnya, masih belum ada warung di samping rumah, belum ada rumah baru di belakang yang jadi kontrakan, belum ada pagar kawat setinggi 1 meter yang mengelilingi rumahnya. Pagar itu sengaja dibangun supaya ayam peliharaannya tidak lepas dan dimakan anjing-anjing yang banyak berkeliaran. “Saya sempat didatangi orang FM (Facilities Management – departemen di Freeport yang mengurusi semua infrastruktur di Kuala Kencana). Mereka minta pagar ini dibongkar. Saya balas saja, bapak bongkar dulu itu orang-orang lain punya pagar.” Cerita Bu Siti dengan penuh semangat.

Di Kuala Kencana, ada aturan bahwa semua rumah tidak boleh dipagar. Mungkin karena alasan estetika. Tapi dengan semakin banyaknya penduduk dan meningkatnya pencurian, banyak rumah mulai memasang pagar. Selain itu juga karena ada binatang peliharaan seperti anjing dan kucing.  Mengembangkan rumah seperti yang dilakukan Bu Marpaung dan Bu Siti juga tidak boleh dilakukan sebenarnya. Tapi dengan semakin banyaknya karyawan Freeport dan perusahaan-perusahaan pendukungnya, makin meningkat pula permintaan akan hunian seperti kamar kost dan rumah kontrak.

Yang jelas, dari 6 RT yang ada di RW A, hanya rumah-rumah di RT 1 dan RT 2 yang masih dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia. Selebihnya sudah milik pribadi, mulai dari karyawan Freeport hingga pak kepala dinas yang saya sebutkan tadi. Dan banyak yang sudah menjadikannya sebagai lahan usaha mulai dari membuka warung hingga menyewakan persewaan rumah, kamar, atau paviliun.
Kuala Kencana semakin berkembang. Dari 66 keluarga di tahun 1995, sensus penduduk yang dilakukan tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk distrik Kuala Kencana berjumlah 20.288 jiwa. Daerah terpadat kedua di Kabupaten Mimika setelah distrik Mimika Baru. Di sekitar Kuala Kencana kini ada beberapa daerah hunian yang berfungsi sebagai daerah pemukiman penyangga kota Timika. Umumnya ditinggali para kelas menengah Timika yang tidak mau tinggal di Timika yang padat dan banyak masalah. Termasuk aku.

Di malam hari, aku bisa beraktivitas dengan nyaman di rumah tanpa perlu khawatir listrik padam sampai 10 jam, berkat pembangkit listrik bertenaga 9,4 megawatt. Bisa membaca dan melamun dengan tenang di teras rumah tanpa khawatir digigit nyamuk aedes aegypti penyebab Malaria, berkat perawatan yang dilakukan Departemen PHMC. Bisa mandi dengan segar setiap hari, berkat sumur sedalam 50 meter yang memompa 25 liter setiap detik. Tidak perlu khawatir dengan perang suku atau pencurian.

Dengan harga sewa rumah atau kamar yang tidak berbeda dengan Timika dan fasilitas air bersih dan listrik serta keamanan yang terjamin, tentu saja banyak warga kelas menengah Timika, terutama yang baru datang dari luar Papua memilih Kuala Kencana dan perumahan baru di sekitarnya katimbang Timika. Jarak 22 km Kuala Kencana ke Timika masih belum menjadi masalah. Di jam 8 pagi saat orang berangkat bekerja, jarak itu masih bisa ditempuh dalam waktu 35 menit dengan kecepatan kendaraan sekitar 40km/jam. Pada saat buku ini ditulis, jalan antara Kuala Kencana - Timika jadi semakin padat sejak Bupati membangun kantor Pemerintah Daerah di dekat Kuala Kencana.

***

Sebagai perusahaan multinasional pertama yang bekerjasama dengan Soeharto pada tahun 1967, tentu saja Soeharto dengan senang hati datang meresmikan kota baru itu. Bahkan membaptisnya dengan sebuah nama baru, Kuala Kencana, sungai emas, menggantikan nama generik yang digunakan Freeport pada saat pembangunan, New Town.

Kuala Kencana memang sebuah kota yang dipersembahkan Freeport bagi Indonesia, sebagai contoh bagaimana sebuah kota di wilayah tropis seharusnya dibangun. Sebagaimana Belanda membangun Bandung dan Bogor setelah Tanam Paksa (Cultuurstelsel) berakhir pada tahun 1900 dengan pasifikasi Hindia Belanda dan penuhnya pundi-pundi uang Kerajaan Belanda.

Kuala Kencana adalah wajah lain Mimika, wajah Papua yang cantik dan eksotis, yang membuat warga Timika berakhir pekan di alun-alun Kuala Kencana, para pejabat sipil dan militer menjamu dan mengajak tamu dan bersosialisasi sambil main golf di Rimba Golf, dan orang-orang seperti aku tinggal, yang di malam hari duduk memandangi pepohonan dan diam-diam merindukan kehidupan sebuah kota.

*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis/kontributor dan tidak mencerminkan/mewakili Komunitas Sastra Papua.

Posting Komentar

0 Komentar