Ini bukan kisah perdebatan,
apakah telur duluan, atau ayam yang duluan ada di bumi. Tulisan ini berkisah
tentang sebuah kota kecamatan yang bernama Bokondini di tahun 1980-1990. Saat
ini Bokondini masuk dalam Kabupaten Tolikara. Dahulu Bokondini masih masuk
dalam Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten yang sangat besar di Irian Jaya saat itu.
Foto; Andrew Williams. http://au.blurb.com/books/2051051-bokondini-memories |
Bokondini terkenal dengan buah
merah yang sangat lezat, lemon manis sejenis sankis, yang bulir-bulirnya sangat
mudah dipisah, dan tak lupa nenas jenis besar yang kaya akan airnya yang manis
dan nenas kecil. Konon lemon manis yang dibudidaya ini berasal dari Australia,
dibawa oleh misionaris dan di tanam di Kecamatan Karubaga (Saat ini ibu kota
Kabupaten Tolikara).
Di Tolikara, lemon Australia
tinggal satu pohon dan hampir mati. Pendeta Taedini ketika ke Karubaga, melihat
dan lalu mencangkoknya dan di bawa ke Bokondini. Lemon Australia tersebut
ditanam di kebun percontohan dekat Umaga, sebuah kampung kecil antara Bokondini
dan Kelila, jaraknya sekitar 2,5 kilo dari Bokondini. Lemon tersebut berkembang
dan menjadi primadona dari Bokondini dan sekitarnya. Lemon Bokondini menjadi
andalan ekonomi masyarakat selain nenas.
Ketika saya di Timor Timur tahun
1997, teman-teman saya bercerita tentang minuman kaleng yang berisi bulir-bulir
lemon—hampir sama dengan salah satu minuman yang saat ini banyak di pasarkan di
Indonesia. Cerita itu membuat saya membayangkan lemon Bokondini yang di
manisnya melekat dalam ingatan. Sepenggal kisah Timor tersebut selalu saya sisip
setiap cerita kabualan dengan teman-teman Papua. Seandainya, ya itu seandainya
dan seterusnya, impian akan sebuah produk minuman yang lahir dari kampung saya!
Rumah di Bokondini semuanya berarsitektur
panggung, dari rumah masyarakat hingga kantor pemerintah, mungkin mengikuti
arsitektur rumah misionaris. Dinding luar dan lantai terbuat dari papan,
sedangkan diding dalam di tutup dengan kulit nibun. Udara Bokondini sangat
sejuk, tidak seperti daerah pegunungan di bagian barat atau selatan Bokondini
yang dingin.
Foto; Andrew Williams. http://au.blurb.com/books/2051051-bokondini-memories |
Rumah saya letaknya limabelas
meter dari kali (sungai) Aurume. Kali yang lebarnya sekitar 20 meter. Ketika
hujan airnya menjadi kecoklatan seperti teh, mungkin air dari dedaunan berbaur
menjadi satu lalu bergerak dalam satu arus. Sebagian aliran air dari Aurume
mengalir ke rumah saya untuk mengisi dua kolam ikan, mas dan mujair.
Sekitar tigapuluh meter dari
rumah saya, Aurume menerjunkan airnya. Tidak terlalu tinggi, hanya sekitar
delapan meter. Di air terjun ini kami remaja Bokondini (ReBok) bisa mandi.
Namun kadang kala, sedikit keatas depan gereja yang juga dilewati kali Aurume,
kami membendungnya dengan menumpuk batu dan dedaunan. Jadilah kolam tenang,
kami gembira lompat sambil salto, berkejar-kejaran dan bermain tek-tek.
Di saat sadang bergembira,
seringkali mama-mama yang di hilir datang dan memarahi kami, masalahnya air di
hilir berkurang, kotor, kabur. Terpaksa kegembiraan itu harus terhenti. Tapi
tidak masalah, kami punya cara lain untuk menghibur diri. Kami pindah bermain
sepak bola di halaman APCM (Asia Pasific Christian Mission) yang
luasnya sepertiga lapangan sepek bola. Jangan bayangkan bola yang terbuat dari
plastik atau karet, bola ini terbuat dari isi pohon pakis. Kami menebang pohon
pakis, kulit luarnya yang keras dibuang, isinya yang serupa gabus di bentuk
menjadi bola, ya sebesar bola tenis lapangan. Kadang plastik bekas pembungkus
roti, atau pembungkus supermie kami kumpul lalu dibuat bola sepak. Jadilah 7
lawan 7, atau berapapun jumlahnya yang penting seimbang. Kalau ada yang lebih,
berarti tambahan satu orang itu di namakan anak bawang.
Sebagian are tempat kami bermain, saat ini dibangun tugu injil masuk di Bokondini |
Kalau bola pakis tidak ada, kami
bermain tuk. Permainan ini menggunakan papan bekas (piring untuk memeras buah
merah), atau pelepah pisang, bisa juga pelepah daun nibun. Dari bukit kecil
yang tidak terlalu curam, satu-tiga orang duduk diatas papan lalu meluncur. Itu
permainan sore hari. Kala malam tiba, kami pergi “berburu” burung pipit. Ada
yang mengusir burung diantara alang-alang, ada yang menjaga dengan memegang rating
kayu tempat burung pipit hinggap. Para penjanga ini harus sigap, menangkap dan
memasukkannya dalam noken. Pipit menjadi makan malam yang lezat bersama erom (ubi jalar bahasa Lani-Bokondini).
Suatu pagi di tahun 1985, kami
bersiap dengan seragam putih merah, dan memegang bendera kecil yang sudah
dibagi guru. Ya pagi itu Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, mentri Pendidikan
dan Kebudayaan (PdanK) kala itu melakukan kunjungan kerja ke Kecamatan Bokondini.
Bagi kami itu luar biasa, selain libur, ada bakar batu. Dari lapangan terbang
(bandara) yang tanpa ruang tunggu kami mengiringi mentri berjalan kaki menuju
SMP Negeri—hanya satu-satunya SMP di Bokondini saat itu, terletak di lokasi tiga. Jaraknya sekitar dua kilo.
Tak ada mobil, motor pun hanya satu, itu pun milik para pilot pesawat MAF (Mission Aviation Fellowship), kalau sepeda tak lebih dari sepuluh. Dari Wamena mama kota Jayawijaya,
selain berjalan kaki sehari penuh, Bokondini hanya bisa di tempuh dengan
menggunakan pesawat Cessna berpenumpang
empat orang dan pesawat Twin Otter 19
orang. Perjalanan dapat di tempuh dalam 25-35 menit, harga tiket antara 25-30
ribu rupiah.
Di sebrang jalan rumah saya, ada
sebuah gereja dan sekolah khusus untuk anak-anak misonaris, dari kelas 1 sampai
kelas tujuh, selanjutnya bisa melanjutkan di Sentani, atau di negara asal orang
tuanya. Di Bokondini mereka memiliki asrama, satu bangunan yang di tempati
belasan anak laki-laki dan perempuan. Saya berteman dekat dengan Sipke Vriend, anak seorang dokter yang bertugas di Rumah
Sakit Daerah Jayawijaya dan juga di rumah sakit gereja di Anggruk. Sering saya
mengikutinya bermain dalam asrama. Beberapa mainan (jenis tetris) diberikannya
untuk saya main, termasuk permainan robot. Selepas SD, kami tak pernah bertemu
lagi, entahlah, mungkin medsos akan pempertemukan kami, siapa tahu?
Saat liburan,
saya bersama Abami merencanakan membuat jerat burung tanah (sedikit lebih besar
dari burung puyuh). Karena jarak yang di tempuh menuju tempat membuat jerat
memutar jauh. Maka saya dan Abami, melompati pagar sekolah anak-anak
misionaris. Setelah memasang jerat, kami berdua kembali melewati jalan yang
sama. Ternyata di depan pintu pagar sudah berdiri dua orang perempuan tinggi
besar, Barbara Eldrige dan Roslyn Jones ibu guru yang mengajar di sekolah anak
misionaris. Rupanya mereka memegang ranting kayu. Habislah betis kami berdua
kena pukul. “Lain kali tidak boleh nakal, ya.”
“Ya,” jawab
kami serempak, lalu kabur.
Entah kenapa
hari itu kami memilih mamasang jerat di sebelah sekolah, biasanya kami mencari
udang kecil di sepanjang aliran kali Aurume, atau masuk hutan. Makanan jangan
kuatir, banyak tersedia, berry hutan, bongkol palem hingga nenas di kebun
orang, asal tau diri, setelah makan nenas taruh uang di atas tumpukan kulit
atau daun. Seratus-limaratus rupiah saudah cukup, makan sepuasnya.
Dua
guru asal Australia itu baik, sering kami meminjam buku cerita berbahasa Indonesia
di perpustakaan sekolah mereka, bahkan mereka memberi kursus bahasa Inggris
bagi anak-anak SMP, juga umum. Dari sekolah anak misionaris, saya kenal dan
membaca buletin yang mereka buat, sederhana dan menarik. Setelah SD, saya tidak
pernah bertemu mereka lagi.
Foto; Andrew Williams.Buletin Siswa |
Di Bokondini, tanahnya sangat
subur, berbagai macam sayur segar tanpa pupuk bisa dengan mudah di temukan di
pasar yang ada di tiap hari Selasa dan Jumad. Untuk mencukupi protein saya dan
adik-adik, bapa dia piara ayam dan kelinci. Lumayan banyak. Ayam-ayam ini bisa
bertelur sesukanya, selain di kandang. Kalau kelinci, agak susah di biarkan
bebas, tanah bisa berlubang-lubang di buat menjadi sarangnya. Untuk merawatnya
juga susah, sehingga di perlukan kandang.
Di belakang rumah, dekat tangga
masuk ada seekor ayam bertelur. Mama turun dan hendak mengambil telur. Saat itu
saya berjalan dari arah belakang rumah, karena melihat mama menuju tempat ayam
bertelur saya pun mengikutinya. Saya melihat ada darah di telur tersebut, saya
pun bertanya “Mama kenapa telur itu ada darah?”
“Itu sama seperi waktu mama
melahirkan ko!” jawabnya sambil senyum. Saya tak mengerti, tapi tidak juga
bertanya lagi.
Sungguh memang, perempuan
mengandung itu sebuah beban. Ia harus “menggendong”, memikul beban yang berat
selama sembilan bulan. Ditambah pula dengan kerja rutin sebagai mama rumah
tangga—mungkin itu untuk mama jaman dahulu, skarang sudah tidak ka? Ada
pembantu deelel Heheheheeeee. Mr. Chico membuat mop, enak 10 menit, mederita
sembilan bulan.
Namun perempuan juga secara semiotik dari
tanah, mama yang melahirkan, memberi makan, memelihara, mendidik, membesarkan.
Tanah adalah rahim mama yang membentuk dan membuat manusia ada.[i] Tanah
akan mendekatkan pemilik dan rahim mamanya. Tak berlebihan bila ada ibu yang
berpesan pada anaknya, pergilah merantau. Bawalah juga segenggam tanah, agar
kau tak lupa tanah lahirmu. Atau dalam ungkapan yang sering di lontarkan “masa
dia mo lupa tempat tali pusat di tanam!”
Tapi sekarang, mopnya Mr. Chico menjadi “jual tanah enak 10 menit, menderita seumur hidup,” hahahaaaaaaaaaaaaaaaa
Tapi sekarang, mopnya Mr. Chico menjadi “jual tanah enak 10 menit, menderita seumur hidup,” hahahaaaaaaaaaaaaaaaa
0 Komentar