Oleh: Benny Pakage
Google Sourch |
Dalam minggu ini, kami telah baca berita melalui berbagai media mengenai pertemuan PCWP (Pasific Coalition for West Papua) sesuai agenda PIF yang dihadiri juga oleh ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) di
Hawai. Dalam pertemuan itu ada dua negara yang turut mendukung tuntutan
rakyat Papua untuk merdeka dan penyelesaian hak asasi manusia kembali
ke Dewan Dekolonisasi, sesuai pasal 73 Konvensi PBB.
Namun di balik riak semangat rakyat
Papua mengikuti berita di Hotel Aloha Honolulu, banyak orang terganggu
dengan pernyataan Prof. Dr. Hikmanto Yuwana, Pakar Hukum Internasional,
yang mengatakan, “Sebenarnya masalah Papua sudah final, jadi tidak perlu
ada lagi lobi-lobi oleh ULMWP.” Dilansir media Rappler pada Jumat, 15
Juli 2016.
Komentar ini disampaikan
kepada wartawan yang bertanya mengenai upaya ULMWP melobi negara-negara
Melanesia melalui pertemuan pimpinan mereka yaitu forum MSG untuk
menjadi anggota penuh di Honiara, Solomon Island pada 14 – 16 Juli 2016.
Padahal lobi yang dilakukan ini lahir setelah sebelumnya, beberapa
wadah perjuangan Papua berkoalisi di Saralana, Port Villa, Vanuatu,
tanggal 6 – 7 Desember 2014 dan melahirkan ULMWP.
Bahkan,
upaya orang Papua ini mendapat dukungan Solomon Island, Vanuatu, akibat
tidak diselesaikannya konflik berkepanjangan di Tanah Papua oleh
Indonesia walau terus didesak oleh individu, kelompok, komunitas maupun
oleh negara.
Kami menghargai pendapat Prof. Hikmanto
yang telah menyampaikan pendapat pribadinya, namun beliau sebagai pakar
Hukum Internasional, dalam komentarnya telah mengabaikan pertanyaan dari
Hukum Internasional sendiri yaitu: “Siapa saja yang bisa disebut
sebagai subyek dalam Hukum Internasional itu sendiri setelah Negara;
Organisasi Internasional; Palang Merah Internasional; Tahta Suci
Vatikan; Individu?” Pasti kita semua sepakat bahwa kaum pemberontak; Insurgency (Pemberontakan yang belum terorganisir) dan Belligerency (pemberontakan yang diorganisir) juga diberi tempat sebagai subyek dalam hukum internasional.
Berangkat
dari pemikiran itu, kami juga bisa bertanya ke publik: apabila ULMWP
setelah berkoalisi dengan beberapa elemen perjuangan yang lahir
karena pertentangan dalam negeri Indonesia mengenai: hak atas tanah
Papua, Perjanjian New York yang sama sekali tidak memenuhi unsur, asas
serta prinsip perjanjian internasional, manipulasi Pepera 1969 serta
lahirnya berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia akibat konflik
berkepanjangan yang tidak diselesaikan oleh Indonesia serta mendapat
dukungan dari Vanuatu, Solomon Island dan dukungan kemanusiaan dari
berbagai pihak, maka ULMWP dapat disebut sebagai Insurgency atau Belligerency?
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent)
dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan tertentu ini ditentukan oleh
pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak atau pihak yang bersengketa bila
ada niat untuk diselesaikan. Dan pengakuan pihak ketiga lahir dari Hak
Asasi Manusia, dimana bangsa-bangsa di dunia dianggap mempunyai beberapa
hak asasi. Seperti: hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk
secara bebas memilih sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial
sendiri, dan hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang
didudukinya.
Dalam Konvensi Wina 1969
yang diterima dan diakui oleh dunia internasional mengatur tentang
Pemberontakan dalam Bagian V Pasal 53 mengenai “jus Cogens”
yaitu menyebut pemberontakan sebagai gejolak yang terjadi dalam sebuah
negara yang penanganannya diatur secara nasional. Namun dalam “Premptory norm” sebagai
bagian dari hukum internasional, mengikat individu, selain negara,
termasuk kaum pemberontak, sehingga mengakui pemberontak sebagai bagian
dari subyek hukum internasional.
Demikian juga dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, Belligerent
dapat disebut sebagai subyek Hukum Internasional dengan syarat: tidak
ada upaya penyelesaian konflik dari suatu negara, sumber konfliknya
nasionalisme, selain pemberontak telah terorganisasi dalam satu
kekuasaan yang rapi dan menghindari kekerasan kepada rakyat sipil dan
mendapat pengakuan beberapa negara.
Dengan
demikian, bila beberapa elemen perjuangan bersepakat dan melahirkan
ULMWP, tidak diselesaikannya berbagai konflik sebagaimana kami sebutkan
di atas, dukungan Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, serta
diundangnya ULMWP dalam pertemuan MSG dan PIF, serta adanya kesepakatan
antara Solomon Island, Vanuatu, Gerakan Kanak dengan ULMWP,
diundangnya ULMWP dalam pertemuan PCWP serta dukungan berbagai pihak di
dunia, telah menunjukkan kepada kita bahwa ULMWP telah memenuhi kriteria
sebagai “Belligerent” dan sudah dapat dikategorikan sebagai bagian dari subyek Hukum Internasional.
Sehingga, tugas ULMWP adalah mencari pengakuan sebagai “Belligerent” dengan
melakukan syarat sebagai Subyek Hukum Internasional. Dimana, ULMWP
wajib berjuang mendukung hak dan kewajiban internasional, melakukan
tindakan tertentu yang bersifat internasional, berhak menjadi pihak
dalam pembentukan perjanjian internasional; mempunyai hak melakukan
penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional;
mempunyai hak kekebalan dari pengaruh dan penerapan yuridiksi nasional
suatu negara; dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan
suatu organisasi internasional.
Jadi,
perjuangan Papua melalui ULMWP yang lahir dari hasil koalisi dan dari
sumber-sumber konflik di atas, maka secara Hukum Internasional sudah
tidak bisa lagi disebut sebagai pemberontak atau separatis semata, namun
perjuangan ini telah naik satu tingkat dari Insurgent ke Belligerent
dan akibat hukumnya, lembaga tersebut telah menjadi subyek Hukum
Internasional yang memiliki hak yang sama dengan apa yang dimiliki oleh
subjek hukum internasional lainnya.
Walaupun dini, sebenarnya sebagai “Insurgent”
ULMWP telah dibebankan hak seperti dapat menentukan hak nasibnya
sendiri, mempunyai hak menentukan sistem ekonomi, politik dan sosial
sendiri, dan dapat menguasai sumber kekayaan alam di wilayah. Para
pemberontak sebagai kelompok maupun gerakan yang dapat diberikan hak-hak
tersebut sebagai pihak yang sedang dalam keadaan berperang dalam
perselisihannya dengan pemerintah yang sah. Meskipun tidak dalam artian
organisasi kompleks seperti negara. (Lihat ULMWP dan Indonesia diundang
sama-sama sebagai Observer di pertemuan MSG). Disini tindakan Vanuatu,
Salomon Island dan MSG yang memberikan peluang dan mengundang ULMWP ini
tidak bisa dianggap sebagai intervensi, sesuai Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965.
Karena tidak ada upaya penyelesaian konflik berkepanjangan oleh Indonesia dan ULMWP telah memenuhi kriteria sebagai Belligerent di
mana ULMWP telah terorganisasi dalam satu kekuasaan yang benar
bertanggungjawab atas tindakan bawahannya dan memiliki organisasi
pemerintahan sendiri; mempunyai kontrol efektif secara de facto
dalam penguasaan atas beberapa wilayah, serta telah menaati hukum dan
kebiasaan perang dengan memberi perlindungan kepada penduduk sipil.
Pengakuan ULMWP sebagai Belligerent
ini lahir karena Indonesia mengabaikan penyelesaian konflik Papua
melalui cara-cara damai sesuai konvensi PBB. Sehingga secara universal
sebagai solusi penanganannya, dunia internasional diberi kewenangan oleh
Hukum Internasional untuk turut mengambil-alih dan memberi keputusan
dengan mengakui eksistensi keberadaan ULMWP sebagai lembaga yang
mewakili orang Papua, sebagai upaya penyelesaian masalah yang bermuara
ke nasionalisme. Sehingga dalam hukum perang, kaum pemberontak dapat
juga menjadi subjek hukum internasional karena memperoleh kedudukan dan
hak sebagai pihak yang bersengketa.
Kita bisa lihat PLO (Palestine Liberalism Organization)
adalah salah satu lembaga politik yang telah mendapatkan pengakuan dari
dunia internasional, dengan bergabungnya beberapa faksi perjuangan
disana. Sehingga hasil dari itu: Yasser Arafat sebagai Ketua PLO hadir
dalam Sidang Umum PBB tahun 1974, yang selanjutnya telah diakui sebagai
wakil sah rakyat Palestina melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242
dan Nomor 338. Pada tanggal 15 November 1988, PLO mengumumkan
berdirinya negara Palestina dari markas besar di Aljir Aljazair dan
mendirikan kantor kedutaannya di berbagai negara Timur Tengah dan
Indonesia.
Dan PLO mendapatkan status
peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum Nomor
3237). Dengan pengakuan terhadap negara Palestina, PBB mengubah status
peninjau yang dimiliki oleh Palestina pada tahun 1988 (Resolusi Sidang
Umum Nomor 43/177). Begitu juga Cekoslowakia, menjadi Republik Ceko dan
Slovakia; Ethiopia, pemisahan Eritrea; Timor Leste, pemisahan Indonesia;
Yugoslavia, menjadi Bosnia, Herzegovina, Kroasia, Makedonia, Slovenia,
Serbia, Montenegro, dan Kosovo; Uni Soviet, menjadi Armenia, Azerbaijan,
Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgizia, Latvia, Lithuania,
Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.
Apakah kasus Papua dalam waktu dekat akan kembali ke PBB? Tunggu artikel berikut.
Penulis adalah pemerhati sosial di Papua. Tinggal di bumi Amungsa.
0 Komentar