Mabharata --The Great
Epic of India, adalah karya sastra yang tak pernah lekang, bahkan setelah
ribuan tahun waktu berlalu, ribuan
cerita lain bermunculan dalam berupa
bentuk dan judul. Penayangan berulang-ulang di layar kaca, menghidupkan kembali
tokoh Pandawa dan Kurawa, seolah sosok mereka benar pernah ada. Karakter kelima
Pandawa melambangkan kebajikan dan seratus Kurawa melambangkan kejahatan,
sebuah binary oposisi –dua hal yang berlawanan akan tetapi selalu bersisihan
tak pernah terpisahkan. Karakter itu seolah hidup dalam dunia nyata.
Dalam kebudayaan Jawa
Epos Mahabharata menyatu dalam karya sastra dan kesenian tradisionil.
Pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan seorang dalang semalam suntuk,
diiringi suara merdu waranggono serta alunan seperangkat gamelan menjadi ritual
yang selalu tampil dalam beragam perhelatan. Ki Dalang selalu melakonkan keping
cerita Mahabharata, sedemikian seru, sehingga penonton datang berduyun-duyun
menatap kelir sejak petang hingga fajar menyingsing. Mahabhrata mengalami
akulturasi budaya, antara epos yang berasal dari India, menyeberanag ke tanah
Jawa, bersinergi dengan budaya setempat, maka lahirlah pertunjukkan wayang
kulit semalam suntuk yang tak terdapat di tanah cerita termaksud berasal.
Karya sastra
mengajarkan moral, budi pekerti sebagai
suatu hal yang mendasari setiap perilaku, sehingga setiap individu dapat
diarahkan untuk melakukan hal-hal baik, tidak merugikan diri sendiri atau orang
lain. Kehidupan dapat berjalan dengan damai. Adapun seni mengajarkan keindahan
yang di dalamnya terkandung pula muatan filsafat dengan tujuan nyaris serupa
dengan karya sastra, kandungan moral yang sangat penting dalam setiap perilaku.
Demikian indahnya pertunjukkan wayang kulit dan demikian tingginya filsafat
yang terkandung dalam setiap lakon cerita, maka tokoh Pandawa seakan menjadi panutan para penggemar wayang yang
memerlukan filsafat dalam menjalani kehidupan.
Adapun Mahabhrata
adalah kisah panjang yang terdiri atas berkeping-keping cerita berkaitan antara
yang satu dengan yang lain, tak terpisahkan. Perkawinan antara Raja Dushmanta
dan si gadis jelita Syakuntala di wilayah pertapaan telah melahirkan seorang
bayi tampan yang kelak di kemudian hari akan melahirkan keturunan Bharata di
Astina Pura. Kisah cinta Raja Santanu dan Dewi Gangga melahirkan Bhisma.
Perkawinan antara Raja Santanu dan Saraswati melahirkan Citranggada.
Citranggada menurunkan Wichitrawira. Wichitrawira memiliki dua istri Ambika dan
Ambalika. Ambika menurunkan Dritarastra, Ambalika menurunkan Pandu.
Dritarastra menikah
dengan Gandari, maka terahirlah 100 orang Kurawa. Pandu menikah dengan Kunti,
terlahir Yudhistira, Bhima, Arjuna. Perkawinan kedua Pandu dengan Madri
melahirkan di kembar Nakula dan Sadewa. Pandu meninggal pada usia muda, tak
dapat meneruskan tahta, maka Dritarastra yang buta menggantikan posisinya. Sang
Raja yang buta itu membesarkan seratus Kurawa dan lima Pandawa bersama Bhisma,
yang telah bersumpah menjadi resi, tak
pernah menikah, sehingga tak memiliki keturunan yang berhak akan tahta.
Keseratus Kurawa tak pernah nyaman dengan kehadiran Pandawa, perselisihan
selalu terjadi. Demikian pula ketika usia mereka telah beranjak dewasa dan tiba
saat untuk menuntut ilmu bersama Mahaguru Drona, perselisihan antara Panda dan
Kurawa tak pernah padam, bahkan semakin menyala.
Kebencian Kurawa
semakin menjadi Yudhistira dinobatkan menjadi raja Astina Pura, kebencian it
uterus berkobar, karena kebencian Karna --
yang sesungguhnya adalah sulung Pandawa. Anak pertama Kunti dengan
Bhatara Surya sebelum perkawinannya dengan Pandu. Karna selalu mengira dirinya
anak Radeya, sais kereta. Budi baik Duryudana mengukuhkan posisinya untuk selalu
berada di pihak Kurawa, bermusuhan dengan Pandawa. Demikian benci Kurawa dengan
Pandawa, sehingga muncul niat licik untuk membakar kelima Pandawa hidup-hidup.
Akan tetapi Pandwa selamat.
Tipu muslihat Kurawa
tak berhenti sampai di sini, dan tak akan pernah berhenti hingga akhirnya
Pandawa memutuskan untuk mengakhiri pertikaian dalam perang besar yang disebut
dengan Bharata Yuda. Perang besar yang mengerikan, karena masing-masing pihak
sesungguhnya tidak sedang berusaha menumpas musuh yang nyata-nyata menghancurkan
kehidupan bernegara. Pandawa dan Kurawa adalah saudara sepupu, satu keturunan,
akan tetapi iri dengki dapat mengubah hubungan persaudaraan menjadi peperangan,
karena tahta. Satu kekuasaan yang sebenarnya telah dimiliki Kurawa, akan tetapi
iri hati menyebabkan ia tak pernah rela melihat Yudhistira arif menduduki
singgasana.
Satu pertanyaan yang
muncul kemudian adalah, dimana sebenarnya posisi musuh? Kecuali iri hati yang
selalu berkobar di dalam diri. Musuh manusia bukan terletak pada lawan perang,
akan tetapi kebencian terhadap orang lain, bahkan saudara sepupu yang tak
pernah bisa dipadamkan. Mahabharata mengajarkan satu pengertian, suatu strategi
menghadapi lawan dengan cara paling akhir, perang. Epos ini memberikan pula
suatu pesan – meski kelima Pandawa bersimbah darah pada adegan perang kembang,
akan tetapi kejahatan seratus Kurawa pada akhir cerita tak pernah menang.
Bagaimana jalan cerita
kepingan kisah Mahabharat yang saling berkaitan? Ayo ikuti Mahabhrata –The
Great Epic of India pada episode pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya …..
Dewi Linggasari
0 Komentar