MAHABHARATA –The Great Epic of India, 1 Awal Mula




Hutan itu teramat lebat, adalah pohon-pohon yang tinggi menjulang menggapai angkasa dengan batang yang kokoh. Hijau daun menjadi kekuatan warna yang indah dan  menentramkan, akan tetapi tiada terdengar suara gemercik air, bahkan dari anak sungai yang paling kecil sekalipun. Lahan di seputar hutan itu dipenuhi bongkahan batu, tak ada  mahkluk hidup yang dapat bertahan, kecuali aneka binatang buas, si raja rimba, ular, gajah, banteng, badak, dan sebagainya. Sepanjang masa suasana hutan ini diliputi kesunyian, tanda kehidupan atau asap yang mengepul tanpa bentuk nyaris tak pernah tampak. Tanpa keberanian tak seorang pun mampu menginjakkan kaki di hutan yang lebat ini.

Akan tetapi hari itu suasana di tengah rimba raya  tampak berubah, berbeda dengan hari-hari biasa. Adalah  Dushmanta, seorang raja berperawakan perkasa, berwajah tampan yang selalu meluangkan waktu  untuk berburu binatang hutan, menunjukkan keberanian. Tentu, Sang Raja tak seorang diri, ia pergi berburu bersama sekelompok prajurit pilihan untuk bisa menaklukkan seekor gajah. Sekelompok tenda tampak berdiri di tengah hutan, di bawah rimbun dedaunan, angin demikian segar dan ramah, dari perapian tampak asap mengepul menerbitkan aroma.

Tak jauh dari tenda didirikan Raja Dushmanta bersama prajurit pilih tanding tengan  mengendap-endap untuk menombak sekelompok gajah. Ia adalah seorang raja yang telah terlatih dalam bertempur sekaligus berburu, sebatang tombak berhasil terlontar menembus tubuh besar seekor. Binatang itu menggeram dengan suara aneh seakan bermiat membangunkan seisi rimba, gajah yang lain terkejut. Tombak terus beterbangan melukai kawanan gajah, ada yang mati terkapar, ada yang berlari menyelamatkan diri, ada pula yang balas menyerang. Perburuan demikian seru, menantang sekaligus mengucurkan darah.

Gajah yang mengamuk melukai pula seorang prajurit kemudian seorang lagi yang lainnya, pemburu telah menyusun formasi. Prajurit penyerang terus memburu, prajurit pelindung menolong rekan-rekan yang  terluka. Suasana hutan lebat yang semula senyap tanpa tanda kehidupan, kini menjadi gegap gempita. Dalam suasana seperti ini Raja Dushmanta merasa keperkasaan sebagai seorang raja seakan hidup, ia menantang bahaya dengan kemungkinan selamat dan keluar sebagai pemenang. Ia tak merasa dirinya wajib kalah, ia harus mendapat segala yang diinginkan, termasuk memenangkan perburuan.

Sementara satu demi satu gajah roboh, meregang nyawa dan terluka, sinar surya perlahan menjadi padam, merah bara di langit sebelah barat, bersiap tenggelam. Udara berubah menjadi sejuk, menjelang dingin. Seorang raja mengerti, kapan perburuan paling seru sekalipun mesti diakhiri, perubahan sinar matahari selalu sebagai penanda. “Kita sudahi perburuan kali ini, semua kembali ke tenda”.
Kata-kata seorang raja adalah perintah, setiap gerakan perburuan terhenti, kini setiap orang merasa demikian lelah, beberapa orang prajurit mengerang kesakitan, prajurit yang lain tetap merawat bagi kesembuhan. Dengan perlahan, tapi pasti Raja Dushmanta memimpin rombongan kembali ke tenda untuk berisitirahat, menikmati hasil buruan. Malam pun berpijar dalam panas api unggun di tengah hutan lebat ketika udara terasa menjadi dingin. Di atas bintang-bintang berserakan seakan kilau batu berlian. Raja Dushmanta sangat menggemari suasana seperti ini, sejenak meninggalkan  megah kehidupan istana serta urusan kerajaan yang melelahkan, kembali pada susasana alam dengan sebutan pemburu yang menang.
Keesokan hari rombongan bergerak melintasi padang rumput yang sangat luas, sejauh mata memandang yang tampak adalah hijau sabana berbatas kaki langit. Tak terdengar suara apapun di padang yang luas itu kecuali derap sekawanan kaki kuda yang bergemuruh menerbangkan debu, kemudian hampa. Raja Dushmanta bersama seluruh prajurit akhirnya sampai pada suatu pemukiman, disambut masyarakat setempat dengan segala hormat.
“Segala hormat bagi Baginda bersama seluruh prajurit yang  telah berkenan singgah di kampung kami yang jauh. Apabila berkenan Baginda Raja dapat bersua dengan Resi Kanwa yang menetap di tengah hutan, ia seorang pertapa yang masyur”, seorang warga masyarakat menyambut kedatangan itu dan menunjukkan tempat yang lebih tepat bagi seorang raja untuk berisitirahat setelah perjalanan yang jauh.
“Baik, terima kasih. Sekarang juga saya dan semua prajurit akan segera menuju ke pertapaan”, suara Dushmanta bergaung mantap dan berwibawa. Sesaat ia menatap warga kampung itu dengan tatapan berterima kasih kemudian memacu kuda secepat yang mampu ia pacu menuju ke pertapaan Resi Kanwa sebelum rembang petang. 
Perjalanan itu tak menghalami kesulitan, pertapaan Resi Kanwa mudah dicapai. Sampai di pintu gerbang Dushmanta memerintahkan prajurit untuk berisitirahat, mendirikan tenda, ia hendak menjumpai resi seorang diri untuk memberikan rasa hormat sekaligus penyucian. Langkah kaki Sang Raja setegap sosoknya, hati Raja Muda itu seketika terasa nyaman. Pelataran luas Resi Kanwa ditumbuhi aneka tanaman yang menghijau dengan buah-buah ranum bergelantungan, siap dipetik, aneka kelopak bunga mekar menebarkan wewangian. Sebatang anak sungai dengan air yang sangat jernih mericik sebagai suara alam yang memberikan rasa tentram. Sekejab Raja Dushmanta terlupa akan hiruk pikuk suasana perburuan, ia tersedot ke dalam suasana berbeda yang membuat jiwanya terasa damai. Kaki Sang Raja terus melangkah hingga mencapai pintu pertapaan.
“Hormat dan salam dari Raja Astina, Dushmanta”, suara Dushmanta bergaung ke seluruh pertapaan, akan tetapi sosok Resi Kanwa tak tampak bergegas menyambut kedatangannya. Hening bergulir beberapa saat, hingga akhirnya Raja Dushmanta dikejutkan oleh keberadaan seorang gadis dalam pakaian pertapa.
“Hormat yang mulia Baginda Raja Dushmanta, adakah yang bisa saya kerjakan bagi Paduka”, suara itu demikian lembut dan jernih, terucap dari seorang gadis  dalam pakaian bersahaja. Akan tetapi betapapun sederhana pakaian itu, sosok tinggi semampai terbalut kulit putih bersih dengan rambut hitam legam tak dapat disembunyikan.
Darah Dushmanta tersirap, ia tak menduga di tempat pertapaan yang indah ini ia akan berjumpa dengan seorang gadis cantik dengan suara lembut mendayu. Ketika bertapapan jantung Dushmanta beredegup kencang, ia bisa melihat sepasang mata indah, sejernih air sungai yang mangalir di tepi pertapaan. Adakah ia tengah bermimpi? Dushmanta terus menatap gadis cantik itu, ia sadar seluruh tubuhnya bergetar, ada kekuatan yang terus mendorong untuk tidak mengalihkan pandangan mata. 
“Adakah engkau  putri Resi Kanwa?” setelah terpana Dushmanta akhirnya bertanya dengan satu keraguan di hati, bukankah seorang resi tak pernah menikah sepanjang hidup, bagaimana pula ia bisa memiliki seorang putri?
“Mohon ampun Baginda, hamba Syakuntala, anak angkat Resi Kanwa”, suara itu masih tetap merdu, sepasang mata lembut Syakuntala menatap sosok Raja Dushmanta dengan takjub. Tak terbayang, setelah bertahun yang sunyi dan panjang, ia akan dapat bersua dengan seorang raja. Seorang yang demikian berkuasa yang tak pernah mampu ditemui dalam mimpi indah sekalipun, kini sosok gagah perkasa ini nyata-nyata berdiri tepat di depannya. Akan tetapi, Syakuntala dibesarkan seorang resi, ia terlalu pandai untuk sekedar mengusai diri, di hadapan seorang raja besar sekalipun.
“Bagaimana engkau bisa berada di pertapaan ini?” Raja Dushmanta menarik napas lega, Resi Kanwa menetap bersama seorang gadis rupawan di tempat ini bukan karena suatu kesalahan. Tatapan raja muda itu tetap melekat pada raut wajah yang damai, secantik purnama saat bintang-bintang bersinar gemerlapan. Dushmanta harus menyadari, ia telah jatuh hati pada pandangan pertama terhadap anak angkat Resi Kanwa ini. Ia merasa kelopak bunga yang mekar wangi di pelataran pertapaan, kini mekar pula di taman hati.
“Sebuah cerita yang panjang Paduka, tapi mari silakan bila Paduka berkenan duduk, melepas lelah”, lengan gemulai Syakuntala mempersilakan Raja Muda itu duduk di atas tikar yang sederhana. Diam-diam Dushmanta merasa tubuhnya seakan terbang melayang, ia tak pernah merasa seperti ini, demikian bahagia dan tersanjung berdua dengan seorang gadis cantik yang baru dikenalnya.
“Ceritakan tentang dirimu?” betapa ingin Dushmanta merengkuh Syakuntala ke dalam pelukannya, tetapi ia masih berkuasa menahan diri. Ia seorang raja, terikat dengan terlalu banyak tata cara dalam bertindak.
“Cerita yang panjang Paduka, apabila Paduka berkenan mendengar”, Syakuntala tak hendak menutupi kesejatian diri, ia tak berhak berbohong di depan seorang raja, apapun akibatnya.
“Aku tak keberatan mendengarnya”, Raja Dushmanta sungguh berminat akan cerita hidup Syakuntala, ia tak boleh salah memilih, ia terus menatap wajah ayu Saykuntala, sementara gadis cantik itu kemudian bercerita.
Dahulu, tersebutlah seorang bernama Wiswamitra yang tak pernah merasa puas dengan kesaktiannya. Ia terus khusuk bertapa, sehingga Batara Indra ketakutan, jika tapa Wiswamitra berhasil, kesaktian itu akan berhasil menggulingkan tahtanya di Indrtaloka. Batara Indra memanggil Dewi Menaka, memerintah bidadari itu untuk menggoda Wiswamitra. Dewi Menaka semula merasa berat, karena Wismamitra adalah seorang sakti mandraguna dan pemarah. Ia teralhir sebagai seorang kesatria, akan tetapi karena kebajikan, dharma, dan kesaktian, maka ia menjadi seorang brahmana. Ia mampu membuat gempa bumi, karena kemarahannya. Apabila harus menggoda Dewi menaka perlu dibantu Maruta, Dewa Angin yang menyebarkan wewangian pohon-pohon serta Manamatha, Sang Dewa Cinta. Dewi Menaka kemudian menemui Wiswamitra di pertapaan, melaksanakan perintah Batara Indra, menggoda pertapa sakti itu. Saat tengah berdua, tiba-tiba angin bertiup kencang menyingkap kain lembut Dewi Menaka, menampakkan sepasang betis yang indah bak bulir padi berisi. Wiswamitra terpana. Ia  mengira angin akan berhenti bertiup, tetapi hembusan semakin kencang menerbangkan seluruh pakaian Dewi Menaka. Wanita cantik berubah seakan boneka emas yang terhenyak, berpura-pura hendak mengejar pakaian, karena malu.
Hati Wiswamitra bergetar, ia tahu telah gagal bertapa, kecantikan itu demikian polos tanpa tata rias yang paling sederhana sekalipun, Menaka tampil dalam keadaan apa adanya, molek dan mempesona. Suasana khusus pertapaan segera berpijar oleh kobaran api cinta, Wiswamitra berpaling dari tujuan semula. Ia tak hendak lagi bertapa, ia memilih untuk mempersunting seorang putri jelita yang tiba-tiba muncul, telanjang dalam hembusan angin. Kini, keduanya adalah sepasang suami istri.
Tiada lama berselang Dewi Menaka mengandung cabang bayi di dalam rahimnya, Sembilan bulan setelah kehamilan itu Menaka pergi ke tepi Sungai Malini di Lembah Gunung Himalaya. Suasana di lembah sangat indah, ialah padang rumput yang ditumbuhi bunga, udara teramat dingin, di kejauhan kabut putih senantiasa berarak seakan lembut kepas putih menyelimuti kuduk gunung-gunung. Air sungai Malini mengalir dengan damai dari hulu menuju lepas pantai, di tepi sungai ini Menaka melahirkan seorang bayi perempuan. Dengan tega perempuan cantik itu meninggalkan bayi tanpa dosa di tepi sungai, ia kembali ke kahyangan tempat semula berasal, meninggalkan pula perkawinannya. Tugasnya menggoda Wiswamitra telah berhasil, pertapa itu gagal mencapai kesaktian tertinggi, tak akan mampu menggulingkan tahta Batara Indra.
Bayi tanpa dosa itu terbaring di tepi sungai dilindungi burung-burung syakuntala, Resi Kanwa menaruh belas kasihan terhadap seorang bayi tanpa ibu. Ia menyelamatkan bayi cantik itu, memberi nama Syakuntala sesuai dengan nama burung yang tengah melindungi pada saat pertama ia menemukannya. Resi Kanwa yang bijak membesarkan Syakuntala seakan bocah itu adalah anak kandungnya, sehingga bocah itu kini tumbuh menjadi seorang gadis jelita.
“Aku tak perlu mempersoalkan dari mana sebenarnya engkau berasal, kini engkau adalah seroang gadis jelita Syakuntala”, sejenak Dushmanta menghentikan kata-kata, ada yang bergemuruh di dalam dada. Ia yakin, tak akan pernah mampu meninggalkan pertapaan ini tanpa mendapatkan cinta Syakuntala. Ia seorang raja, pantang baginya tidak memperoleh sesuatu yang benar dikehendakinya, tetapi ia harus mengatakan dalam tata cara. “Bila ada satu permintaan dan engkau tidak berkeberatan?” dengan lembut Dushmanta mengulurkan tangan, ia segera merasakan balutan kulit yang teramat lembut menebarkan wewangian. Keduanya kini demikian dekat, nyaris tanpa jarak.
“Beribu ampun, apakah permintaan Baginda, mungkin hamba bisa memenuhi”, Syakuntala adalah gadis cantik yang dibesarkan dengan sopan santun oleh seorang pertapa, ia cukup memahami perasaan raja besar itu, akan tetapi ia memerlukan sebuah pernyataan. Gadis mana yang tidak tersanjung mendapatkan kehormatan kunjungan serta sikap ramah seorang raja.
“Tanpa seorang permaisuri istanaku terasa sunyi, bila bersedia, hari juga aku meminangmu, sehingga kesunyian itu tak akan terasa lagi. Kita akan menikah secara gandharwa”, Raja Dushmanta tak mampu lagi menahan diri, ia memberikan penawaran dengan akibat yang sangat berat. Gandharwa adalah perkawinan tanpa seorang saksi, kecuali dua hati yang mengasihi.
Syakuntala nyaris terlonjak, lembut raut wajah itu berhasil menyembunyikan keterkejutan. “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu kehadiran Resi yang sementara tengah memetik buah di tempat jauh”, Syakuntala tak dapat membayangkan akibat perkawinan tanpa saksi, kemungkinan terburuk pihak suami dapat menyangkal perkawinan itu di kemudian hari. Akan tetapi, bagaimana ia akan dapat menolak keinginan seorang raja, gadis itu merasa tersudut, meski hati kecilnya menolak untuk tidak mendapatkan pula Raja Dushmanta. Adakah seorang gadis yang tidak berniat  menjadi seorang permaisuri?
“Mengapa pula harus menunggu ayahanda?  Seorang manusia selalu berhak atas diri sendiri, ia berhak atas segala tindakan dan bertanggung jawab terhadap tindakan itu. Perkawinan Gandharwa adalah yang paling tepat untuk keadaan seperti sekarang ini, tak usah ragu. Seorang raja tak akan pernah  mencabut ucapannya. Engakulah permaisuri pilihanku”, Raja Dushmanta menatap Syakuntala dengan segala harap, ia benar-benar tak akan meninggalkan pertapaan ini tanpa perkawinan gandharwa.
Hening.
Tak terdengar suara apa-apa, kecuali daun kering yang gugur diterpa angin. Syakuntala dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Ia tak mampu menolak permintaan seorang raja, akan tetapi menikah tanpa saksi. Bagaimana bila dikemudian hari Dushmanta menyangkal perkawinan ini? Di lain pihak Dushmanta semakin terpesona, betapa semakin cantik wajah  yang bimbang ini. 
“Atau engkau ada memiliki pula persyaratan, sebelum menerima pinangan ini?” Dushmanta mendekat, ia dapat menghirup aroma lembut dari setiap ruas tubuh gadis itu, darahnya tersirap. Genggaman pada telapak tangan Syakuntala semakin erat, seolah tak hendak melepaskan andai bandai paling kencang sekalipun menerpa.
Syakuntala membuang pandang, ia tahu tak akan pernah dapat menolak permintaan seorang raja, meski ia harus menanggung akibat yang demikian berat dan mungkin suatu saat tak akan sanggup menanggungnya. Akan tetapi, bagaimana ia dapat mengelak? Persyaratan mungkin akan menyebabkan Dushmanta mempertimbangkan kembali pinangannya. “Beribu ampun paduka, andai anak yang hamba lahirkan kelak akan menjadi putra mahkota dan berhak akan tahta, hamba akan mempertimbangkan perkawinan gandharwa”.
“Seorang permaisuri pasti akan melahirkan bayi yang kelak akan menggantikanku selaku seorang raja. Kuterima persyaratanmu?” senyum Dushmanta mengembang, ia tak pernah merasa bahagia seperti sekarang ini, tubuhnya yang kekar seakan melayang di ketinggian di antara putih gumpalan awan. Syakuntala, si gadis jelita akan segera dipersunting dalam sebuah perkawinan gandharwa.
Tanpa menunggu lebih lama Raja Dushmanta dan putri angkat seorang pertapa, Syakuntala bergandengan tangan, mengelilingi api suci, mengucap mantra, mengukuhkan diri sebagai suami istri. Upacara gandharwa berlalu dengan cepat, kemudian Dushmanta dan Syakuntala merobek malam paling menakjubkan di bawah temaram cahaya lentera yang semakin malam semakin memudar. Keduanya hanyut dalam kebersamaan yang panjang ketika semakin lama malam semakin dingin, tanpa suara. Dushmanta merasa seluruh aliran darahnya mendidih, ia telah menyingkap rahasia terdalam yang tak pernah dimengerti sebelum pertemuan dengan Syakuntala. Andai malam tak akan pernah berakhir ….
Akan tetapi, malam paling mendebarkan sekalipun pasti akan sampai juga pada ujungnya, cahaya fajar merekah dalam warna keemasan menerobos melalui celah hijau daun, butiran embun menetes, angin lembut berdesir menebar aroma tanah basah. Dengan menyesal Dushmanta harus mengakhiri malam perkawinan gandharwa, ia harus kembali dengan kelompok prajurit, menempuh perjalanan panjang, kembali ke istana, melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang raja.
“Andaikan aku bisa tetap bersamamu di pertapaan ini, akan tetapi sekelompok prajurit menunggu di luar pintu gerbang, aku  harus kembali ke istana. Yakinlah, akan datang pengawal istana untuk memboyongmu selaku permaisuri ke kota raja. Sekali lagi aku tak akan pernah mencabut kata-kata seorang raja”, Syakuntala luluh dalam pelukan Dushmanta, sekali lagi ia tak bisa mengelak, seperti halnya ketika Sang Raja meminta perkawinan gandharwa. Kini, rasa cemas menyergap lebih cepat dari batas waktu yang ditentukan. Setelah ia memberikan dharma pada malam terindah sepanjang hidup, demikian cepat Raja Dushmanta berpamit kembali ke istana. 
Apa  yang dapat diucapkan?
Syakuntala hanya membisu hingga Raja Dushmanta berkemas, meninggalkan pintu pertapaan ini dan tak pernah menoleh lagi. Bahagia terlalu cepat berubah menjadi hampa dan harapan yang luluh tak pasti, gadis cantik itu duduk bersimpuh dalam pikiran kacau. Suasana hati tak menentu, sehingga ketika Resi Kanwa datang, Syakuntala tak memilik keberanian untuk menyongsong kehadiran itu, ia terdiam tanpa sepatah kata. Ia tak merasa yakin, benarkah seorang dari Isatana Wangsa Puru akan datang menjemput, memboyongnya layak seorang ratu?
Resi Kanwa, pertapa yang sakti serta berbudi mulia itu segera menangkap perubahan pada diri putri angkatnya. Gadis lugu itu tampak risau, tak lagi merasa yakin dengan hari-hari yang telah dan harus dilalui. Ia tak perlu bertanya, Resi Kanwa telah mengerti, ia sanggup menatap bagian manusia yang jauh tersembunyi di relung hati.
“Syakuntala, anak yang sungguh kukasihi, ada yang pernah engkau lakukan tanpa sepengetahuanku. Tidak mengapa, perkawinan gandharwa antara seorang Raja Wangsa Puru dan anak gadis seorang pertapa, syah adanya. Engkau tak melakukan kesalahan apa-apa, gandharwa adalah upacara terbaik bagi seorang kesatria. Dushmanta adalah raja yang agung dan bijak, anak yang akan kau lahirkan kelak akan menjadi seorang pangeran yang tangguh dan ternama. Pada saatnya ia akan bertahta selaku Raja Wangsa Puru”, suara Resi Kanwa demikian halus, seolah desir angin ketika sinar matahari demikian panas membakar. Ia tahu Syakuntala berhadapan dengan pilihan yang sulit manakala seorang diri berhadapan dengan seorang raja.
Syakuntala terisak, ia tak berniat melampaui perkawinan tanpa restu ayahanda, akan tetapi betapa tidak mungkin mengelak dari permintaan Raja Dushmanta.ia hanya anak seorang pertapa yang mesti menjalani takdir, apapun yang akan terjadi setelah perkawinan tanpa saksi. Dengan takzim Syakuntala membasuh sepasang kaki ayahnda, betapa ia sangat berhutang budi terhadap orang tua yang bijak ini. “Beribu ampun ayahanda, ananda memohon doa resu bagi perkawinan ini, berikan pula doa dan restu bagi seluruh rakyat Wangsa Puru”, suara Syakuntala lemah dan terpatah-patah, hatinya tersayat, bahwa Resi Kanwa tak melontarkan kemarahan untuk perkawinan tanpa saksi adalah sebuah keajaiban.
“Pasti kuberikan restu untuk perkawinan serta kehadiran Raja Dushmanta selaku suamimu juga seluruh rakyat Puru. Kini, ada lagi yang engkau inginkan?” Resi Kanwa menatap anak angkatnya dengan pandangan sepenuh kasih, ia sungguh merasa iba dengan nasib seorang bayi yang telah ditinggalkan ibunda di tepi sungai.

“Hamba mohon supaya Raja-raja Paurawa, Raja-raja keturunan Wangsa Puru akan senantiasa memiliki kejayaan dan kekuatan hingga selama-lamanya”, Syakuntala menundukkan kepala, menahan genangan air mata, ia meminta terlalu banyak dari pertapa ini, tapi kepada siapa lagi ia bisa meminta?

“Kupenuhi  permintaanmu Syakuntala, kini janganlah engkau merasa bersedih. Doaku akan selalu bersamamu”, Resi Kanwa memilih kata-kata terbaik untuk memberi kekuatan bagi satu-satunya anak gadis yang telah dibesarkan. Ia yakin akan setiap doa yang dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta, ia tahu kekuatan doa.

Maka si jelita Syakuntala kembali menjalani hari-hari seperti semula, ia merawat seisi pertapaan dengan baik. Hijau daun tetap tumbuh menaungi ranum aneka buah-buahan, warna bunga demikian elok digenangi embun pagi hari, suara ricik air sungai di samping pertapaan memberikan suasana alam yang abadi. Syakuntala menunggu ponggawa istana datang menjemput, akan tetapi hingga janin di dalam kandungan kian hari kian membesar menginjak usia terakhir kehamilan, tak seorang pun utusan datang menjemput.
Adakah Raja Dushmanta telah melupakan janji?
Syakuntala masih menunggu, ia meregang nyawa bagi bayi tanpa dosa yang mesti terlahir ke dunia tanpa didampingi seorang yang paling bertanggung jawab bagi kelahiran itu. Ibu muda itu masih bersabar, dan tetap bersabar hingga bayi mungil itu terus tumbuh menjadi seorang bocah, tengkuram, duduk, berdiri, berjalan kemudian berlari. Bocah kecil itu mewarisi kegagahan sang ayah dan kecantikan sang ibu, mestinya Syakuntala merasa berbahagia dikaruniai seorang anak yang tampan dan tangkas. Akan tetapi, kapan sebenarnya utusan Dushmanta akan datang bagi sebuah janji. Anak yang dilahirkan adalah seorang pangeran, ia adalah permaisuri, ia tak mungkin tetap tinggal bersama ayahanda, seorang pertapa. Ia melakukan dharma seorang istri terhadap suami.
Resi Kanwa lambat laun memahami kegalauan itu, ia sering mendapatkan Syakuntala berdiri di depan pintu dengan sikap menunggu. Akan tetapi penantian itu berakhir pada sia-sia, tak seorang pun ponggawa istana datang. Resi Kanwa harus bijak menentukan sikap, suatu hari saat senja perlahan padam, terik mentari berguncang pada temaram cahaya alam, orang tua arif itu membuka pembicaraan. “Putriku Syakuntala, telah lama engkau menjadi seorang istri dalam perkawinan gandarwa dengan seorang raja, akan tetapi engkau tidak tinggal di dalam istana. Ada jarak  yang menghalangi dharma seorang istri. Engkau telah sabar menunggu, namun sampai hari ini tak seorang pun utusan istana datang, mungkin Raja Dushmanta terlalu sibuk dengan urusan kerajaan. Anakmu harus mengenal lebih dekat seorang ayah, pergilah ke istana. Doaku selalu menyertaimu”, Resi Kanwa memberikan petunjuk, ada kemungkinan terburuk, Raja Dushmanta menyangkal perkawinan itu, ia tidak mengakui Syakuntala selaku seorang istri. Akan tetapi, seburuk apapun kemungkinan harus tetap dihadapi, supaya Syakuntala dapat menentukan sikap. Anak kesayangannya itu tak lagi harus menunggu, penantian itu harus segera diakhiri.
Sejenak suasana sunyi, bahkan angin paling lembut pun seolah enggan berdesir. Syakuntala harus menyadari, bahwa selama tiga tahun risau hati tak pernah dapat dipungkiri, betapa terus menunggu, menyebabkan seorang yang paling sabar dan mencintai sekalipun dapat terpuruk menjadi jemu. Kata-kata Resi Kanwa benar adanya, ia harus hadir ke istana, ia harus mampu menguji kebenaran janji seorang raja. Adakah Dushmanta hanya sekedar berucap atau selaku raja ia tak akan pernah mencabut kata-katanya. Tiga tahun janji itu belum juga terpenuhi, kini ia harus memberanikan diri menuntut hak selaku permaisuri. Syakuntala menatap sepasang mata teduh ayahanda, bertahun sudah ia tumbuh menjadi dewasa karena kebajikan pertapa ini. Kini, ia harus berpamit pergi, Resi Kanwa tak hendak mengusirnya, tetapi ia harus mengakhiri penantian dan membuktikan kebenaran janji seorang raja.
“Demikianlah pendapat ayahanda? Benar hamba jemu menunggu, hamba akan menuruti kata-kata ayahanda dengan permohonan doa restu. Semoga Yang Mulia Raja Dushmanta tak akan pernah mengingkari janji, meski dalam tiga tahun ini hamba tak juga mendapatkan kepastian”, Syakuntala berucap lirih, seumur hidup ia tak pernah meninggalkan tempat yang damai ini, tetapi karena suatu alasan yang kuat ia harus pergi dan mungkin tak akan pernah kembali. Perempuan jelita itu kini menyadari pedih arti perpisahan, tapi adakah ia memiliki pilihan? Setelah perkawinan gandharwa ia adalah seorang ratu, anak yang dilahirkan adalah seorang pangeran, kelak ia akan bertahta menjadi seorang raja atas doa restunya. Semua itu bisa terjadi andai Dushmanta menepati janji. Hal itu berarti Syakuntala harus menempatkan diri untuk menerima dua hal bertolak belakang, Raja Dushmanta tak akan pernah menjilat ucapannya atau sebaliknya, berpura-pura tak mengenal setelah berhasil meminta malam gandharwa yang indah itu. Syakuntala mengerti, ia akan berhadapan dengan hari-hari yang tidak mudah sekaligus menentukan takdir hidup selamanya, satu-satunya sikap yang harus dikukuhkan adalah menyusun keberanian. Ia bukan lagi gadis kecil, ia adalah seorang permaisuri. Ia harus bersiap bagi dua hal dalam waktu yang sama dan suasana yang sangat berbeda sejak janji Sang Raja terucap.
Keesokan harinya Syakuntala berpamit, beribu perasaan berkecamuk, wanita cantik itu tak banyak berucap, kecuali terima kasih  yang dalam serta permohonan doa restu supaya perjalanan ini akan sampai pada akhir yang semestinya. Beberapa orang resi menyertai keberangkatan itu, seorang ibu muda dan kanak-kanak tidak aman hanya berdua dalam perjalanan yang jauh. Kali ini adalah perjalanan Syakuntala yang pertama, berhari-hari rombongan kecil itu meneruskan perjalanan, menembus hutan, melewati hijau padanag rumput, menyeberangi sungai hingga akhirnya sampai di istana Raja Dushmanta.
Jantung perempuan itu berdegup kecang ketika melewati pintu gerbang istana yang megah, dijaga dengan ketat. Dua orang pengawal mengantarnya untuk menghadap Yang Mulia Raja.  Syakuntala tak pernah membayangkan, suatu hari dalam perjalanan hidupnya akan berkunjung ke tempat seindah ini. Di balik pintu gerbang adalah bangunan megah, tinggi menjulang dengan dinding kukuh, warna cemerlang, taman bunga menebarkan wangi kelopak kembang. Diam-diam  Syakuntala menjadi gentar, bagaimana nanti sikap Raja Dushmanta akan kehadirannya? Ia telah berpegang dengan keberanian, apapun yang akan terjadi kemudian, andai kemungkinan buruk harus dihadapi.
Langkah kaki Syakuntala akhirnya sampai di balairung tempat Raja Dushmanta bertahta di singgasana dikelilingi pengawal pilihan dan para menteri. Pilar-pilar istana demikian megah, segala yang berada di balairung adalah keindahan, lantai istana berkilau bagai kaca. Syakuntala duduk bersimpuh dengan bocah kecil tetap dalam rangkulan, ia menghaturkan sembah.
“Hormat dan sembah kepada Yang Mulia Raja Dushmanta, hamba Syakuntala putri seorang  Resi Kanwa, seorang pertapa”, sekilas Syakuntala menatap wajah agung Dushmanta, hatinya mengeluh, tatapan mata itu seolah tak pernah mengenalnya.
“Kuterima hormat dan sembahmu Syakuntala, jauh sekali perjalanan dari tempat pertapaan, maka kabar apa sebenarnya yang hendak engkau sampaikan?” Raja Dushmanta menatap wajah ayu Syakuntala, tentu ia tak melupakan paras nan elok itu meski hanya terbalut pakaian bersahaja. Ia terlupa satu hal penting yang menyangkut janji, tetapi bagaimana pula ia harus mengakui saat ia tengah bertahta di singgasana di hadapan menteri dan sekalian pejabat istana. Kehadiran perempuan ini diam-diam mengejutkan hati, Syakuntala ternyata memiliki keberanian,  ketika ia tak pernah memerintah ponggawa istana untuk menjemput, maka hari ini ia hadir tanpa sehelai surat undangan. Dan siapa gerangan bocah tampan yang tak pernah lepas dari rangkulan? Dushmanta menghela napas panjang, ia  harus menerima akibat dari suatu perbuatan.
“Beribu ampun paduka, apakah kiranya paduka yang mulia telah melupakan hari itu, tiga tahun yang lalu?” Syakuntala mengumpulkan keberanian berucap, apapun nanti jawaban seorang raja. Ia memerlukan sebuah kepastian, meski akan pahit terasa.
Suasana di balairung agung tiba-tiba diam, masing-masing pejabat istana yang hadir saling menatap dengan pertanyaan tak terucap. Siapakah perempuan cantik nan rendah hati ini? Apa yang pernah terjadi tiga tahun yang lalu? Mengapa pula ia berani bertanya kepada seorang raja dengan seorang bocah tampan dalam rangkulannya?
Dushmanta menghela napas panjang, ia telah mengelak dari sebuah tanggung jawab, ia tidak pernah lupa malam indah tiga tahun yang lalu ketika untuk pertama kali ia jatuh cinta kepada seorang wanita, cinta pada pertemuan pertama. Akan tetapi, tugas kerajaan demikian panjang tak terelakkan, andaikan ia segera menepati janji untuk mengirim utusan. Ia tak perlu bertemu dengan Syakuntala dalam suasana seperti ini, pikiran raja itu bekerja keras, ia harus mendapatkan jalan keluar.
“Syakuntala, atau siapapun nama itu. Setiap perempuan di kerajaan ini dapat dengan tiba-tiba hadir di balairung kemudian memintaku mengingat peristiwa yang telah lama terjadi. Tentu tak semudah bagiku melupakan. Akan tetapi, adakah engkau memiliki bukti”, Raja Dushmanta berucap setenang mungkin, ia perlu menjaga citra diri bahkan pada situasi yang genting dan tidak meguntungkan.
Di pihak lain Syakuntala menunduk, ia telah mendapatkan pertanda buruk, dan kini Sang Raja meminta bukti. Bukti apa yang ia miliki, kecuali ia dan Sang Raja telah bersumpah dalam perkawinan gandharwa, kecuali keyakinan akan dharma dan kesaksian dewata, Sang Maha Pencipta, ia tak memiliki bukti, mati atau tersurat. Darah perempuan itu berdesir, ia tak hendak dan akan menang bersilat lidah dengan seorang yang demikian berkuasa. Akan tetapi, ia masih memiliki sepenggal waktu untuk hening, untuk memohon kepada Sang Pencipta akan perkawinan tanpa saksi gandharwa tiga tahun yang lalu. Syakuntala menahan air mata yang mulai tergenang, dengan terbata ia berucap.
“Semoga Dushmanta, Raja Agung nan bijaksana senantiasa mendapatkan derajat yang tinggi dan kemuliaan. Benar hamba tak memiliki bukti, terlebih sehelai surat di atas daun lontar. Hamba hanya telah jemu menunggu. Andai Baginda berkenan, kiranya tak mungkin seorang raja melupakan janji. Akan tetapi, bila janji itu hanya sekedar pemanis lidah yang terbuang setelah keinginan tercapai, ijinkan hamba kembali ke pertapaan”,  suara itu terdengar seperti rintihan, diam-diam bulu kuduk Dushmanta meremang, ia dihadapkan pada pilihan yang berat. Waktu tiba-tiba berubah menjadi sepasang jeruji yang berhimpitan, menjepit kelalaian yang pernah dilakukan. Kehadiran Syakuntala di tempat ini bukanlah suatu kesalahan. Akan tetapi, ia adalah seorang raja, ia tak pernah “bersalah”.
“Andai saksi itu adalah sekalian Dewata, maka mintalah ia berucap, sehingga seisi balairung ini dapat mempercayainya”, Raja Dushmanta ingin saat-saat ini segera berlalu, ia tak ingin terusik dengan kehadiran seorang perempuan. Kekuasaannya demikian luas menyangkut hidup mati seisi kerajaan, ia hanya cukup berucap, maka ucapakan itu akan segera menjadi kenyataan.
“Semoga dewata yang agung akan membuktikan kebenaran ucapan Baginda yang mulia, hamba hanya anak seorang pertapa, tak lazim kiranya memberi paksaan kepada seorang raja”, Syakuntala sadar kehadirannya tak dikehendaki di balairung ini, sekalian pejabat menatapnya dengan aneh. Tiba-tiba ia merasa asing, ia merindukan suasana tentram di pertapaan ketika setiap orang yang ada di tempat ini akan bertegur sapa dengan santun dan memandangnya dengan rasa kasih. Setelah memberikan sembah peremuan cantik itu  mengundurkan diri, sikap dan ucapan Raja Dushmanta telah berubah seakan pisau tajam yang menyayat tepat di ulu hati menimbulkan rasa perih. Raja besar itu telah menyangkal perkawinan gandhara dengan bahasanya. Ia terlalu kecil untuk sekedar memulihkan ingatan Baginda, ia seperti seorang peminta-minta. Impiannya untuk hidup sebagai permaisuri hancur berserakan menguap bersama keringat dingin yang menetes. Syakuntala merasa sekujur tubuhnya gemetar. Lantai istana yang berkilau laksana kaca seakan berguncang, siap membelah, menelan rapuh tubuhnya, kemudian mengatup kembali supaya ia tak pernah datang lagi ke tempat ini.
Sesisi balairung menatap sosok Syakuntala yang berjalan menunduk memikul kekalahan, tak satu pun berani berkata. Mereka tak pernah ada di antara seorang raja dan Syakuntala, mereka masih bertanya-tanya. Sementara Raja Dushmanta tetap duduk di singgasana, agung dalam pakaian kebesaran serta mahakota yang indah gemerlapan. Betapa ingin ia turun dari singgasana menggenggam sepasang tangan lembut Syakuntala, akan tetapi keduanya berada dalam ruang waktu yang salah. Dushmanta diam mematung, lidahnya gagal berucap, terasa pahit. Ia menyesal, tapi apa yang harus diperbuat.
Diam menggantung teramat panjang di dalam balairung agung hingga sosok Syakuntala bergerak menjauh. Beberapa jengkal langkah bagi Syakuntala terasa jauh lebih panjang dari penantian selama tiga tahun yang berakhir sia-sia. Akan tetapi, kini ia telah dapat  menentukan sikap, ia tak akan  menunggu, ia akan membesarkan seorang bocah tanpa keluarga. Perempuan itu masih memiliki sisa kekuatan untuk menahan banjir air mata, akan ada saat untuk menangis, memohon kepada Sang Pencipta untuk ketidak adilan ini. udara tiba-tiba menjadi demikian dingin mengiris pori-pori, langkah Syakuntala seakan mengambang. Akan tetapi, sebelum Syakuntala mencapai anak tangga pertama, secara ajaib tiba-tiba terdengar suara. 
Raja yang Agung Dushmanta, kupenuhi permintaanmu, bukti perkawinan gandhara antara engkau dan Syakuntala tiga tahun yang lalu di pertapaan. Akulah saksinya, setelah tiga tahu menunggu Syakuntala meminta kepastian, sebab seorang istri tak bisa terus menerus menunggu, ia memerlukan seorang ayah bagi bayi yang dilahirkan. Bocah tampan itu adalah seorang anak berjiwa agung yang akan dikenal dengan nama Bharata, yang dipuja. Jika menyia-nyiakan Syakuntala dan Bharata, engkau akan tertimpa malapetaka besar. Syakuntala tidak berdusta….!”
Secara ajaib pula suara itu kemudian menghilang, hening menyelimuti seisi balairung, terpecah tak lama kemudian ketika Raja Dushmanta berucap dengan mantap “Seluruh menteri, pendeta, dan pejabat istana, semua telah mendengar bukti perkawinan gandhara antara aku sebagai raja dan seorang perempuan anak pertapa bernama Syakuntala. Aku sengaja meminta bukti supaya di kemudian hari tiada pernah terjadi penyangkalan, karena perkawinan ini hanya benar hanya disaksikan pengantin perempuan dan laki-laki. Kuterima Syakuntala sebagai permaisuri dan Bharata sebagai keturunan Dushmanta”, raja besar itu menarik napas lega, ia telah keluar dengan kemenangan pada celah sempit yang nyaris melemparnya dari ketinggian. Sesungguhnya ia tak pernah dapat menidurkan rasa cinta teramat dalam kepada Syakuntala, dan betapa tampan seorang bocah yang dilahirkan.
Sementara Syakuntala segera menghentikan langkah sebelum menuruni anak tangga, ia menghela napas melepas segala beban dan kemungkinan, Dewata Yang Agung agaknya senantiasa melindungi dharma dan kejujuran hati. Impian untuk menjadi seorang permaisuri akhirnya teraih kembali, tidaklah jauh jarak yang terentang antara suka dan duka, antara sedih dan bahagia. Bhatara, bayi  mungil yang dilahirkan akan hidup selayaknya putra mahkota, kelak akan bertahta sebagai raja. Wajah pucat Syakuntala berubah menjadi merah merona, sepasang mata yang basah air mata kini  bercahaya seakan seakan bintang di ketinggian. Perempuan itu seakan terbang bersama angin ketika merasa sepasang tangan kekar Raja Dushmanta perlahan menggenggam telapak tangannya yang dingin. Perjalanan panjang dan melelahkan ini tidak berakhir dengan sia-sia.
Keesokan harinya Raja Dushmanta memerintahkan sebuah upacara penyambutan bagi permaisuri dan putra mahkota. Upacara agung itu mengawali sebuah cerita panjang. Permohonan Syakuntala kepada Resi Kanwa, supaya keturunan Wangsa Puru akan mendapatkan perlindungan sebagai raja-raja besar dikabulkan. Kekuatan doa Sang Resi terbukti, karena kesaktian. Di kemudian hari keturunan Bharata benar menjadi bangsa yang besar, Bharata menurunkan pula raja-raja perkasa. Salah seorang dari raja itu adalah Santanu.

***

Posting Komentar

0 Komentar