Dretarastra berdiri di peraduan, menghadapkan wajah ke luar
jendela, ia dapat menghirup udara segar yang menerbangkan pula wangi bunga
serta lembut aroma tanah basah, ia seakan dapat pula mendengarkan suara halus
dari embun yang gugur. Akan tetapi, ia tak dapat melihat indah taman bunga,
sejuk hijau daun, jernih air kolam, serta warna menakjubjan dari seluruh isi
istana. Sepasang matanya hanya hanya mengenal satu warna, hitam, yang semakin
lama seakan semakin kelam. Konon, sang ibu Ambika menutup mata ketika mengikuti upacara Putrotpadana
yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan, maka bayi yang
kemudian dilahirkan tidak mampu melihat apa-apa. Sepasang mata Dretarastra buta
adanya.
Raja Astinapura itu kerap mengutuki takdir hidup yang mesti
dijalani, ia dapat mengenali watak orang dari detak langkah kaki, ucapan,
kata-kata serta nada bicara. Akan tetapi, ia tak pernah dapat mengenal raut
wajah serta sosok tubuh dari pemilik wajah itu. Setiap jengkal wilayah di
istana telah dikenali, ia tidak perlu dituntun selama berjalan, dari peraduan
menuju ke tangga, menghitung jumlah anak tangga kemudian duduk dengan agung di
singgasana. Akan tetapi, ia tak pernah tahu keadaan yang sesungguhnya terjadi
di balairung agung kecuali dari setiap
kata-kata yang terucap. Dretarastra bahkan dapat melempar sebilah pisau
tepat mengenai sasaran, akan tetapi ia tidak pernah tahu bagaimana mata pisau
itu berkilat, bagaimana sebenarnya bentuk sasaran yang harus diserang.
Seharusnya ia berhak akan tahta, bukan Pandu, namun cacat
sejak lahir menghalangi langkah kaki untuk mencapai tempat tertinggi di
Astinapura, hingga akhirnya Pandu mengundurkan diri dari singgasana, karena
terkena kutuk pasthu. Ia hanya mengenakan mahkota yang digadaikan, kelak anak pertama Pandu akan meminta kembali
mahkota itu, menggantikannya sebagai raja. Tentu, ia tidak seorang diri dalam
memerintah Astinapura. Bhisma yang Agung sesungguhnya memiliki tanggung jawab
yang lebih berat, ia yang sebenarnya berhak menduduki tahta. Usia Bhisma
semakin tua, seluruh rambutnya telah memutih serupa dengan warna pakaian yang
selalu dikenakan. Akan tetapi, kesaktian itu menyebabkan usia tak pernah menyurutkan kemampuan Bhisma dalam
menata pemerintahan, ia tetap tampak sebagai kesatria brahmana yang gagah dan
tampan.
Mahatma Widura telah beranjak dewasa, ia telah mempelajari
ilmu pemerintahan secara langsung dalam kehidupan istana sejak belia usia.
Kini, ia adalah perdana menteri Astinapura yang mampu bersikap cakap dan bijak.
Dretarastra tak kesulitan memimpin kerajaan menuju kemakmuran, yang menjadi
masalah adalah kekecewaan terhadap sepasang matanya yang hanya mampu melihat
gelap. Dretarastra tak dapat menatap wajah cantik Gandari, permaisuri yang
hanya dikenal lewat merdu suara, hangat serta harum tubuhnya.
Ah Gandari, satu sosok dengan kisah cerita tersendiri.
Gandari, putri Raja Subala dari Kerajaan Gandhara, satu
wilayah yang kelak akan bernama Kandahar, yang meliputi Pakistan Barat Daya dan
Afganistan Timur. Gandari amat berharap, bahwa ia akan dinikahkan dengan Pandu.
Akan tetapi Bhisma selalu lebih berhak akan perkawinan itu, Gandari dinikahkan
dengan Dretarastra, saudara Pandu yang buta. Harapan Gandari berkeping-keping
menjadi kekecewaan, terlebih ketika Bhisma memberi ijin Pandu untuk menikah
pula dengan Dewi Madrim. Gandari tahu bagaimana harus menjalani perkawinan
dalam kehidupan kerajaan tanpa rasa cinta dan kewenangan memilih, sejak hari
perkawinan itu ia menutup pula sepasang matanya, maka di depan khalayak ramai,
ia tampak pula sebagai permaisuri jelita yang buta sepasang matanya.
Shangkuni, adik bungsu Gandari menyertai ke Astinapura,
kehadiran itu seakan percikan nyala api teramat kecil, akan tetapi ketika
kehidupan istana berubah seakan gumpalan kapas yang telah dikucuri minyak,
dengan licik Shangkuni tega meniupkan api di atasnya. Shangkuni menjadi simbol
penjilat dan segala kelicikan yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia.
Gandari menjalni
perkawinan dengan perasaan sukar dilukiskan, andai ia hidup pada suatu zaman,
sehingga seorang putri raja memiliki hak untuk memilih seorang calon suami?
Akan tetapi, ia hidup pada suatu masa ketika seorang putri raja harus tetap
diam ketika dinikahkan, tugas utamanya adalah melahirkan. Persoalan yang muncul
kemudian, beberapa tahun setelah perkawinan itu Gandari tak juga mengandung,
bahkan setelah kabar Pandawa lahir di tengah hutan sampai pula ke istana.
Gandari tahu, tanpa kemampuan seorang ibu melahirkan anak-anak, nasibnya akan
dipertaruhkan, seisi istana akan menekan dengan banyak cara hingga ia akan
tersisih dari kehidupan istana. Perasaan yang menyergam Gandari kemudian adalah
galau, ia harus melakukan sesuatu bagi kelangsungan garis keturunan. Hingga
suatu saat Resi Abiyasa datang berkunjung bagi Gandari di Astinapura.
“Senang dengan kehadiranmu Resi Abiyasa, engkau seakan segelas
air di saat seorang permaisuri merasa haus”, Gandari menerima uluran tangan
Resi Abiyasa, ia tahu apa yang harus dilakukan seorang permaisuri, ia tak boleh
mencurahkan kesulitan kepada orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat
melakukan apa-apa. Ia menaruh rasa hormat terhadap Resi Abiyasa, ia seakan
tengah dikunjungi orang tua yang dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan
apa adanya. Dengan setulus hati Gandari memenuhi segala keperluan Resi Abiyasa
selama menetap di istana, satu sikap yang menyentuh hati sanubari sang resi, ia
memahami kegalauan serta kelembutan hati permaisuri Astinapura.
“Saya selalu berdoa semoga permaisuri Gandari selalu berada
dalam keadaan sehat, menjadi cahaya bagi seluruh kerajaan Astinapura”, suara
Resi Abiyasa dalam, ia telah melihat jauh cerita kehidupan, ia harus mengerti
mengapa seorang permaisuri mesti menutupi indah sepasang matanya. Bahkan ketika
sehelai kain sutera merah menghalau kemampuan melihat seorang ratu, kecantikn
Gandari tetap tampak dengan nyata. Tubuh Gandari ramping dan semampai terbalut
pakaian seorang ratu dengan perhiasan mewah berkilau menyilaukan mata. Tata
rias wajahnya menakjubkan, sikapnya yang anggun mampu menyembuyikan seluruh
gejolak diri, akan tetapi Gandari tak sepenuhnya mampu bersandiwara di depan
seorang resi. Abiyasa mampu melihat dengan ketajaman mata hati.
“Seandainya Gandari benar bisa menjadi cahaya bagi Astinapura,
karena sejak perkawinan itu, aku masih harus menunggu kelahiran seorang bayi.
Apa sesungguhnya tugas seorang ratu, kecuali menurunkan calon penerus tahta”,
suara Gandari mulai parau, tekanan dari Dretarastra akan kelahiran anak-anaknya semakin hari
terasa semakin melukai. Dretarastra tak bisa menuntut kelahiran anak kepada
siapapun kecuali kepada Gandari.
“Ada yang bisa saya kerjakan Ibunda Ratu?” Resi Abiyasa
menanggapi keluhan Gandari dengan bijak, iapun tahu tugas seorang ratu adalah
melahirkan atau ia akan dianggap tak memiliki peranan dalam kehidupan istana.
“Apakah aku harus dua kali berucap, perlunya kelahiran itu
bagiku?” Gandari menarik napas panjang, ia tahu kesaktian Resi Abiyasa, maka ia
tak perlu sungkan menyatakan keluhannya.
“Baiklah, saya akan memberi anugrah. Berapa anak yang
permaisuri harapkan?”
“Aku menginginkan seratus anak yang sama hebat dengan ayahnya”,
Gandari menyatakn sikap dengan tegas, ia menginginkan jumlah anak yang
berlebihan tanpa menyadari akibat mengerikan dari jumlah yang harus dilahirkan.
“Baik, saya akan memberikan seratus anak sebagai anugrah”,
Resi Abiyasa menganggukkan kepala sebagai kepastian akan anugrah itu.
Tak lama kemudian Gandari mengandung, ia merasakan kebahagiaan
yang tiada tara, ia akan segera menjadi seorang ibu, memenuhi tugas berat
seorang ratu. Akan tetapi jarak antara suka cita dan duka nestapa tidaklah
jauh. Gandari merasa putus asa, setelah sembilan bulan sepuluh hari mengandung,
bayi di dalam rahim tak juga terlahir. Ketika kanduganya berusisa dua tahun,
bayi yang ditunggu-tunggu tak juga lahir. Gandari menjadi kalap, ia memukul
perutnya yang membesar, maka terlahirlah sepotong daging keras tak bernyawa,
tak berujud pula seorang bayi.
“Tuhanku....!” Gandari menjerit, tubuhnya lunglai sama dengan
suasana hati, ia mengharapkan seratus orang bayi, tetapi yang terlahir hanya
seonggok daging. Apa yang sesungguhnya telah berlaku pada takdir hidupnya? Permaisuri Dretarastra itu menjadi semakin
kalap, ia berniat menyambar seonggok daging tak berguna itu kemudian
membuangnya jauh-jauh. Air mata telah jatuh berderai.
Tiba-tiba Resi Abiyasa telah hadir di ruangan itu, suaranya
tenang saat berucap, “Anugrah yang saya berikan bukanlah kebohongan, sediakan
seratus guci berisi minyak murni, saya akan memotong daging itu menjadi seratus
bagian. Potongan daging itu akan menjadi seratus anak seperti yang permaisuri harapkan”.
“Aku juga menginginkan seorang anak perempuan”, Gandari masih memiliki satu permintaan.
“Baiklah, saya akan penuhi permintaan itu”, jawab Resi
Abiyasa, masih dengan sikap yang tenang, amat tenang. Ia kemudian memotong
daging menjadi seratus satu bagian, memasukkan masing-masing bagian ke dalam
guci berisi minyak murni kemudian menutupnya. “Tunggulah pada waktunya hingga
tutup guci ini dapat dibuka”.
Gandari tak sabar menunggu, ketika akhirnya tiba saat untuk
membuka tutup guci pertama, permaisuri itu kembali bersuka cita. Ia mendapatkan
seorang bayi laki-laki, memberinya nama Duryudana. Akan tetapi, segera setelah bayi Duryudana mulai menangis, segala binatang hutan melolong sementara pertanda
bencana alam terlihat pula.
Semua penduduk kerajaan Kuru terhenyak, merasa kecewa. Pertanda itu sudah cukup memberikan isyarat, kelahiran
Duryudana akan membawa bencana bagi seluruh penghuni kerajaan
Kuru.
Dengan segala hormat Widura memberikan saran, berucap, “Beribu
ampun Paduka, suara binatang hutan dan pertanda bencana alam adalah isyarat
yang tidak baik bagi kelahiran Duryudana. Dalam kitab suci jelas tertulis, untuk menyelamatkan satu keluarga, singkirkanlah satu orang. Untuk
menyelamatkan sebuah desa, singkirkanlah satu keluarga, untuk menyelamatkan
negeri, singkirkanlah satu desa, untuk menyelamatkan jiwa, lepaskan
keduniawian. Demi kebaikan
keluarga kerajaan, negeri dan
seluruh umat manusia, pertimbangkan kembali untuk membesarkan Duryudana
di lingkungan istana sebelum hal-hal yang buruk terjadi."
0 Komentar