ISTANA PASIR, 1





.....Jalan terjal berliku hanya memungkinkan untuk
membangun rumah boneka -- istana pasir -- bangunan
yang tampak “cantik”, namun sama rapuh dengan
rumah kardus, sehingga jilatan lidah ombak yang paling
kecil sekalipun sudah cukup untuk merobohkannya!



Dewanti, dokter muda berbakat itu
kembali melakukan rutinitas seperti
yang pernah terjadi pada hari-hari
lalu.Ia telah bersiap dengan blazer putih,
blouse warna serupa, dan rok span sebatas
lutut berwarna hitam seakan gelap malam.
Usianya telah menjelang tiga puluh lima
tahun, ia melakukan perawatan wajah secara
cermat, sehingga penampilanya tak banyak
berubah, bahkan setelah hampir sewindu ia
meninggalkan masa lajang. Dewanti biasa
terbangun pada pukul 05.00 WIT ketika
suara panggilan untuk mendirikan sholat
bergaung. Ia menetap sejak masa PTT,
sembilan tahun yang lalu pada sebuah kota
yang terletak di ujung sebelah timur wilayah
Republik. Hal itu berarti ia termasuk salah
seorang warga negara yang terbangun
lebih awal dari pada warga negara yang
menetap di wilayah lain di bagian tengah
atau di bagian barat. Di kota ini matahari
selalu lebih dulu terbit, sehingga kehidupan
masyarakatpun terjaga lebih awal, bahkan
ketika di wilayah lain sementara orang
tengah nyenyak berselubung mimpi.

Dokter itu mengawali seluruh hari
dengan sepenuh keyakinan, bahwa jarum
waktu yang telah berputar tak akan dapat
ditarik undur ke belakang, sebab itu ia
selalu mengambil manfaat yang terbaik bagi
datangnya hari ini. Ada begitu banyak hal
yang harus dikerjakan, ada begitu banyak
kesibukan, sehingga ia tak mempunyai cukup
waktu untuk berkeluh kesah atau menyesali
segala yang pernah terjadi. Ia meyakini
hukum alam yang telah berlaku secara baku
sejak awal masa purba, yaitu hukum tarik
menarik! Apabila seseorang menginginkan
hal-hal yang baik, maka kebaikan itu secara
langsung maupun tidak langung, sadar atau
tidak sadar akan tetarik dan masuk secara
pasti ke dalam hidupnya. Seluruh energi
akan tersalur untuk mencapai kebaikan itu,
sehingga keinginan akan hal-hal yang baik
itu tercapai sudah. ....................Diri manusia adalah
magnet yang dapat menarik segala hal baik
dan buruk atas dasar kendali.

Demikian, Dewanti melewatkan masa
muda dalam kendali diri yang pasti,
sehingga cita-cita sebagai seorang dokter
tergapai setelah melampaui kesulitan demi
kesulitan. Ia mengenal seorang teknisi yang
bekerja selaku konsultan jasa konstruksi
bangunan, menikah atas restu kedua orang
tua kemudian melahirkan dua anak, laki-
laki dan perempuan. Sebagaimana layaknya
perkawinan, gesekan dan kerikil tajam
selalu menjadi hambatan dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, Dewanti tak mau
mengorbankan pekerjaan, karena urusan di
dalam rumah tangga. Suami adalah teman
hidup, bukan tempat bergantung, ia tak
akan menempatkan diri sebagai korban dari
budaya patriarkal. Ia adalah wanita yang
hidup di alam merdeka di alam kebebasan,
sekaligus yakin, bahwa hal terpenting dalam
hidup supaya ia dapat tetap berarti di tengah
orang banyak, adalah berkarya.

Dewanti memerlukan waktu sekitar lima
belas menit dari rumah menuju ke Klinik
Reproduksi Sehat tempatnya bekerja dengan
mengendarai mobil pribadi berwarna putih.
Sepeninggal dokter itu, maka suasana rumah
menjadi sunyi. Byan, sang suami telah
meninggalkan rumah pada pukul 06.30
WIT beserta kedua anaknya yang masih
belajar di TK dan Sekolah Dasar. Dewanti
perlu membereskan seisi rumah dibantu
seorang pelayan dari daerah transmigrasi
yang biasa kembali untuk menengok cucu
sebulan sekali. Setelah yakin tak ada yang
kurang dalam suasana di rumahnya dan ia
yakin pula, bahwa ketika kedua anaknya
kembali dari sekolah dalam keadaan lelah
akan mendapatkan kondisi rumah yang
nyaman, maka iapun bersiap dengan tugas
keseharian yang dicintai, yaitu pekerjaannya
sebagai dokter.

Jalanan kota tampak lengang, tata kota
secara keseluruhan berbentuk seakan jajaran
genjang dengan empat garis lurus yang
saling berhubungan sebagai jalan utama.
Tak ada tampak bukit, gunung atau dataran
yang lebih tinggi. Keseluruhan wajah
kota adalah bidang datar, kecuali sebuah
gundukan rendah menuju ke Pantai Lampu
Satu. Semula penampilan seisi kota tampak
seakan raut muka perawan yang bangun
kesiangan. Akan tetapi, kepala dan wakil
kepala daerah yang dipilih langsung oleh
DPR di era Reformasi telah melakukan
perubahan mendasar pada pembangunan
daerah secara totalitas, sehingga wajah kota
berubah menjadi cerah seakan roman gadis
belia menjelang malam pesta dansa.

Dokter itu mengemudikan mobil dengan
hati-hati, sebuah kijang produk terbaru yang
diberikan Byan pada ulang tahun ke tujuh
perkawinannya. Beberapa kali ia menyalakan
lampu dan membunyikan klakson ketika
berpapasan dengan teman kerja atau sahabat.
Ia harus mengerutkan kening ketika di tepi
jalan tampak gadis muda berpenampilan
selayaknya perempuan penghibur berdiri
menunggu taksi dengan tatapan mata yang
teramat liar. Ah! Siapa yang tak mengenal
kehidupan malam di kota ini? Kota yang
menjadi tempat persinggahan terakhir dari
rute penerbangan? Setelah menyentuh
landasan pacu, maka satu-satunya pesawat
dari maskapai penerbangan Merpati tak
akan lagi memiliki tujuan kecuali kembali
ke ibu kota provinsi untuk melanjutkan
penerbangan menuju ibu kota negara.

Kota di ujung timur ini terkenal dengan
Bar sebagai satu-satunya tempat hiburan,
telah menjadi rahasia umum, bahwa
alternatif bagi laki-laki berkantung tebal
untuk melewatkan saat-saat membosankan
adalah dengan berpesta pora bersama
para PSK di bawah remang cahaya lampu
rumah hiburan. Alhasil, kota ini menempati
prevelansi teritinggi bagi penderita HIV/
AIDS bila dibandingkan dengan jumlah
penduduknya. Tahun 1992 dua orang
penderita HIV ditemukan di kalangan
nelayan Thai Land dan PSK. Kasus ini terus
meningkat dari tahun ke tahun tanpa padang
bulu. Tragedi sebuah keluarga yang musnah,
karena terinfeksi HIV yang bermula dari
perilaku menyimpang sang suami menjadi
buah mulut dari tahun ke tahun. Akan tetapi
lambat laun, berita kematian masyarakat
dari bermacam kalangan, karena HIV/AIDS
akhirnya menjadi suatu hal yang biasa. Mati,
karena HIV bukan lagi berita baru, adalah hal
yang amat biasa!

Lokalisasi bahkan telah ditempatkan
pada sebuah posisi yang amat jauh dari
wilayah perkotaan dengan melewati padang
ilalang dan tanah pekuburan. Akan tetapi,
pengunjung tetap ramai berdatangan, bahkan
pada jam kerja dengan mengenakan pakaian
dinas pula. Kota ini tampaknya benar-benar
miskin tempat hiburan, sehingga masyarakat
tak mengenal takut untuk mengunjungi
lokalisasi. Semula khalayak mengira lokalisasi
adalah konsentrasi hunian layak tinggal
dengan suasana alam yang menantang
untuk berwisata. Ternyata perkiraan itu jauh
dari kenyataan yang ada. Lokalisasi adalah
sekumpulan rumah panggung dengan bahan
dasar kayu yang berdiri saling berhadapan.
Sebatang jembatan kayu dengan lima buah
papan terpaku secara beraturan sebagai
satu-satunya jalan utama di tempat itu. Di
dalam rumah-rumah panggung itu para
PSK menempati kamar sempit, berukuran 2
x 2 meter dengan penerangan bolam lampu
10 watt. Sebuah tempat tidur mini, sebuah
almari kecil, dan sebuah meja selalu ada di
dalam setiap kamar. Di atas meja terdapat
seperangkat perlengkapan kosmetik, foto 

diri, kondom, dan beberapa botol minuman
beralkohol.

Seorang mami bertindak selaku manager
pada setiap rumah, mami tidak boleh
berlaku seperti halnya PSK, melayani tamu.
Ia mengontrol kinerja para PSK, memberi
teguran apabila PSK bertindak di luar jalur
yang telah ditentukan. Lokalisasi tak pernah
sunyi dari hari ke hari, dari malam ke malam.
Semula para pengunjung menghibur diri
dengan bermain bilyard, para PSK duduk
di teras rumah dengan penampilan paling
menantang yang bisa dilakukan. Selanjutnya
transaksi seks terjadi. Pengguna jasa PSK
selalu menolak menggunakan kondom pada
saat transaksi, PSK kehilangan segala daya
untuk melindungi diri dari infeksi penyakit
menular. Maka HIV/AIDS menyebarlah!

Dewanti membelokkan kemudi, mobil
yang dikendarai bergerak memasuki
halaman klinik Reproduksi Sehat. Bangunan
ini seluruhnya bercat putih, posisi tepat
di sebelah kiri Rumah Sakit Daerah, ada
sebuah jalan setapak yang menjadi tempat
lalu lalang dari Rumah Sakit Induk menuju
ke Klinik tempat dokter muda itu bekerja.
Dewanti memarkir mobil di bawah rimbun
dedaunan pohon mangga, ia mematikan
mesin, mengatupkan sekaligus mengunci
pintu mobil kemudian bergegas menuju



ruang tempatnya bekerja. Beberapa pegawai
dan pekerja sosial di bidang penanggulangan
HIV/AIDS berpapasan dan segera tersenyum
ramah dengan ucapan salam. “Selamat
pagi”.

Dokter wanita itu merogoh saku tas
kerja, mendapatkan anak kunci dengan
gantungan minatur gajah dari bahan logam
berwarna keemasan. Ia mendapatkan dari
seorang rekan sepulang dari konferensi
tentang HIH/AIDS dan Gender di Thai
Land. Terdengar suara gemerincing diiringi
anak kunci berputar, sedetik kemudian daun
pintu itupun terkuak. Dewanti mendapati
kembali ruangan kerja dalam keadaan bersih
dan teratur sama persis dengan situasi hari
kemarin ketika ia meninggalkan ruangan ini.
Di dalam ruangan itu terdapat sebuah meja
kerja satu biro merek Olimpyc, kursi putar
ET 171 dengan sandaran tinggi, almari kayu
dengan buatan yang sangat halus dengan
relung yang dipenuhi buku, seperangkat sofa
berwarna putih serupa dengan korden dan
cat dinding. Pada sekitar bulan November
hingga Januari ketika matahari berada
di garis balik selatan, udara akan terasa
menyengat, ruangan ini akan berubah
seakan oven, karena udara yang membakar.
Akan tetapi pada sekitar bulan Juni hingga
Agustus ketika matahari berada di garis



balik utara, salju berguguran di Australia,
maka udara dingin akan menghembus dan
menggigit pori-pori. Sementara anak muda
berkomentar, bahwa pada bulan-bulan itu
udara akan berubah seakan kulkas jebol.
Pada pagi hari sinar surya tampak sebagai
cahaya yang teramat pucat sementara udara
beku terus menghembus, menyebabkan
sesiapapun orangnya menjadi malas untuk
beranjak dari tempat tidur.

Saat ini penanggalan telah memasuki
minggu terakhir di bulan Juli, udara menjadi
jahat dalam dingin yang menyayat. Dewanti
berlindung di balik blazer dan pakaian dari
kain yang lebih tebal. Ia tak perlu menyalakan
mesin pendingin, untuk beberapa lama alat
elektronik itu harus berhenti bekerja. Dokter
itu membuka jendela, menyibakkan korden,
ia dapat menyaksikan sebuah taman mungil
dan kolam ikan yang terletak tepat pada
halaman bagian belakang kantor. Bangunan
ini berbentuk leter U dengan koridor pada
bagian dalam bangunan. Ada beberapa
ruangan di dalam bangunan ini, yaitu aula
dengan kapasitas 50 orang, laboratorium,
ruang kepala, sekretaris, tenaga medis,
ruang staf, perpustakaan, dapur serta ruang
makan.

Setelah membiarkan udara segar
bebas masuk ke dalam ruangan Dewanti



menempatkan diri di belakang meja. Ia
membuka kembali catatan dan terpekur, hasil
pemeriksaan pada kelompok prostitusi liar
yang mendiami lima buah “hotel terapung”
yang terletak tepat di belakang klinik
ini benar-benar menjadi laporan yang
mengerikan. Dari fluktuasi 25 PSK yang
tinggal, tiga di antarnya telah dinyatakan
positif HIV, dua orang telah meninggal,
karena AIDS, satu orang tengah menunggu
hari. Kehadiran para pengguna jasa PSK tanpa
memahami betapa berbahayanya penyakit ini
telah menyebabkan infeksi terus menyebar,
seorang pemuda PNS meninggal, korban
lain menunggu. Dewanti memejamkan mata.
Ia dan rekan-rekan sejawat lainnya bukan
hanya berhadapan dengan suatu bahaya
yang disebut dengan ancaman prostitusi,
akan tetapi dengan akumulasi persoalan
hidup yang sangat komplek. Prostitusi
hanya salah satu dari mata rantai yang
berpotensi dalam menyebarkan penyakit
mematikan ini. Tampaknya penanggulangan
HIV/AIDS bukan semata-mata tanggung
jawab dokter, akan tetapi seluruh komponen
masyarakat, khususnya para pemimpin
yang berwenang secara mutlak dalam
pengambilan keputusan.

Dokter itu tersentak ketika tiba-tiba
terdengar suara ketukan di pintu, “Masuk”,



suaranya halus namun tegas. Sedetik
kemudian di depan pintu telah berdiri
sesosok tubuh wanita dalam balutan T shirt
warna merah ketat dengan celana jeans batas
lutut yang tak kalah ketat dengan pakaian
di atasnya. Sepasang sepatu warna menyala
berhak tinggi membalut sepasang kaki yang
jenjang. Wajah wanita muda itu tentulah
amat menarik, andai sepasang matanya
yang pucat dan roman mukanya yang pias
dapat berubah menjadi binar kegembiraan.
Akan tetapi, sebuah hal yang bernama
kegembiraan untuk sementara ini ternyata
menjadi barang yang sangat langka, bahkan
tak terjangkau.

“Kau Anita, mari duduk”, dokter itu
mempersilakan tamunya duduk, iapun
menutup catatannya.

“Selamat pagi dokter, maaf saya
mengganggu”, suara itu terdengar lirih dan
parau, amat berbeda dengan penampilan dan
rias wajah yang dipenuhi goresan bedak tebal
dan gincu merah membara serta perhiasan
emas yang bergelantungan seakan ramai
suasana pasar malam. Tampaknya wanita itu
tengah berusaha untuk tampil dalam sikap
cemerlang, akan tetapi gagal. Penampilan
badaniah sama sekali tidak memantulkan
keadaan jiwa yang gundah gulana.

“Mari duduk, apa kabarmu?”



“Seperti yang dokter lihat, saya merasa
tidak sehat, cepat merasa lelah. Seminggu
yang lalu seorang rekan saya meninggal
setelah dinyatakan positif HIV. Apakah saya
akan menyusul? Apakah sampel darah saya
juga termasuk yang positif HIV dokter?”

“Saya baru memeriksa laporan hasil
pemeriksaan sampel darah pada kalangan
PSK yang menetap di belakang rumah sakit
ini. Saya belum memeriksa hasil laporan
pemeriksaan darah di bar tempatmu bekerja.
Apa yang kau cemaskan?”

“Saya mencemaskan banyak hal dokter.
Adalah suatu hal yang amat baik, bahwa
manusia tidak pernah mengerti kapan ajal
akan datang, tetapi penderita yang telah
dinyatakan positif HIV harus mengerti.
Bukankah hal itu menakutkan?”

Jawaban itu membuat Dewanti terdiam,
kalangan PSK berhak merasa cemas terhadap
nasib yang dijalaninya. HIV adalah ancaman
mengerikan, bukankah naluri paling kuat di
dalam diri seorang manusia adalah strategi




pertahanan hidup? Strategi apa yang akan
dilakukan seorang PSK ketika tahu, dirinya
terinfeksi HIV? “Anita, kau memilih profesi
yang penuh resiko”.

“Saya tidak punya pilihan dokter, tak
ada yang dapat saya lakukan untuk bertahan
hidup kecuali dengan menjual diri. Saya 

sadar akan resiko yang harus hadapi, jadi
saya mohon dokter tidak berkeberatan untuk
menyampaikan hasil pemeriksaan darah
saya”.

Dewanti kembali terdiam, ia perlu
menimbang beberapa lama sebelum akhirnya
memutuskan untuk menekan tombol
intercome dan memanggil nama seseorang.
“Pak Esko, tolong antar ke ruangan saya hasil
pemeriksaan darah yang terakhir, terima
kasih”.

“Baik dokter”, terdengar jawaban
dari dalam intercome. Tak berapa lama
kemudian daun pintu diketuk, sesosok laki-
laki berumur dengan rambut dan alis mata
memutih menampakkan diri di tangannya
tergenggam selembar map bermotif batik,
kolaborasi antara warna kuning dan coklat.
Laki-laki itu tampak demikian tua, akan
tetapi ketekunan dalam bekerja teramat
mengagumkan. Ia telah melewatkan masa
muda sebagai tenaga medis di tempat-
tempat terpencil, ia memahami hasil dari
jerih payah dan segala dedikasinya. Maka di
masa tuanya, ia tetap memiliki sebuah posisi
yang menuntut kemampuannya untuk tetap
aktif bekerja. Paramedis itu meletakkan map
batik dengan sangat hati-hati di atas meja
kemudian mengangguk pergi.

Dewanti menimang-nimang map itu, ia
tahu di dalamnya terdapat selembar kertas
yang sekaligus menjadi vonis mati bagi
pasien di depannya. Ia sudah terlalu sering
dan teramat ahli dalam melakukan tugas-
tugas semacam ini. Sikapnya tetap dingin dan
terkontrol, tetapi diam-diam hatinya mulai
gelisah, ia turut andil dalam menentukan
hidup matinya orang lain. Dewanti harus
menyadari, bahwa kemampuannya sebagai
seorang dokter untuk kesekian kali tengah
diuji.

“Apa yang akan kau lakukan, bila akhirnya
terjadi kemungkinan paling buruk, hasil tes
ini adalah positif?” Dewanti menatap wajah
pasien di depannya dalam-dalam, seolah ia
ingin menjenguk isi hati wanita itu.

“Hal yang pertama, saya berhak tahu,
karena saya pernah merelakan darah
sebagai sampel. Hal kedua, saya harus
mempersiapkan segala sesuatu bila maut
memang telah dekat. Setidaknya saya dapat
mempersiapkan liang bagi jenazah saya”.

“Baik, kalau itu jawabanmu. Tetapi
sebagai dokter saya harus berpesan, bahwa
hal pertama yang harus dilakukan seorang
penderita HIV adalah tidak menularkan
penyakit kepada orang lain. Kedua, ada
penderita HIV yang dapat bertahan hidup
hingga 18 tahun, karena ia menjalani hidup secara wajar. Ia bekerja, makan, dan
beristirahat dengan seimbang, menikmati
hidup sama seperti ketika ia belum terinfeksi.
Sikap hidup semacam ini amat membantu
penderita, ini pesanku”.

“Saya akan selalu mengingat pesan
dokter”.

Dewanti membuka map, memeriksa
hasil tes dari sebuah mesin bernama Elissa
seharga hampir setengah milliar. Ia membaca
dengan teliti, mencocokkan nama dan hasil
yang keluar dalam bentuk print out. Dokter
itu merasa seakan letusan gunung berapi
menggelegar dengan semburan larva pijar
mengguncang isi dada. Ia mencoba bersikap
tenang, meski diam-diam lututnya gemetar.
Kemampuannya sebagai seorang penyembuh
tampaknya tengah dipertaruhkan, ia
harus membesarkan hati seorang pasien,
seorang PSK yang telah menerima vonis
bagi kematiannya. Hasil tes darah Anita,
menyatakan PSK itu positif terinfeksi HIV.
Tiba-tiba Dewanti merasa tenggorokannya
terbakar, ia memerlukan segelas air. Dokter
itupun beranjak menuju sebuah rak, meraih
dua gelas kristal bertangkai sekaligus
kemudian meraih pula sebotol air mineral
berukuran satu liter. Ia menuang air ke dalam
dua gelas kemudian meneguknya, sekejap
dokter itu merasa lebih nyaman. Ia tak punya 

pilihan terhadap tuntutan sang pasien, Anita
berhak tahu nasib dirinya.

“Baik Anita, seperti yang sudah saya
katakan, bahwa hal terpenting yang harus
dilakukan seorang penderita HIV adalah
tidak menularkan penyakit kepada yang
lain. Hal kedua, menjalani hidup secara
wajar dengan aktivitas, gizi, dan isirahat
yang seimbang. Siapapun berhak tahu akan
nasib dirinya, ini permintaanmu, ini hakmu.
Kuatkan hatimu, tes darahmu positif, kau
telah terinfeksi HIV”, Dewanti mengira
ia akan segera dikejutkan oleh sebuah
teriakan menakutkan atau tangis memecah
atau sebuah atraksi sempurna dari seorang
pemain teater di atas panggung kelas dunia.
Ternyata perkiraan itu keliru, wanita di
depannya tak bereaksi. Anita diam, wajahnya
memang berubah menjadi semakin pucat,
akan tetapi expresi itu justru menampakkan
sebuah daya tarik yang demikian kuat.
Alangkah cantiknya wanita ini, seandainya
ia bukan seorang PSK, seandainya ia tidak
terinfeksi HIV.

Di pihak lain Anita segera merasakan
sebuah tikaman telak tepat di ulu hati,
ia tahu apa arti hukuman mati, usianya
bahkan belum tiga puluh tahun. Kemudaan
dan kecantikan telah membuat sekian
banyak tamu tergila-gila, setiap malam 

berlalu ia tak pernah sepi dari kehadiran
tamu. Mereka menunggu secara bergiliran,
bahkan terkadang berselisih dan baku
hantam. Ia mendapatkan bayaran yang
sangat mahal, ia mampu mengumpulkan
pembayaran itu menjadi sejumlah modal.
Ia telah memiliki cita-cita suatu saat akan
menyelamatkan diri dari kubangan lumpur
ini, memiliki sumber mata pencaharian
baru dan mengubur kehidupan PSK sebagai
masa lalu. Akan tetapi, rencana itu kini
tinggal rencana, ia terlambat mengubah
jalan hidup. Hari-hari hanya tinggal sisa
sebelum akhirnya tertanggal seakan daun
kering dan gugur entah kemana. Apa
yang akan dikerjakan pada sisa hidup
dalam keadaan tanpa daya. Anita tak sadar
ketika sepasang matanya menjadi basah.
Siapakah diri sebenarnya? Manusia selalu
sebagai hasil dari sebuah situasi, ia adalah
produk dari situasi yang paling buruk. Anita
memandang dokter muda di depannya,
mereka demikian dekat dan hubungan
mereka memang benar-benar dekat. Dokter
Dewanti bukan menganggapnya sebagai
pasien semata-mata atau ia adalah seorang
pasien istimewa, pasien yang bisa berkeluh
kesah berlama-lama dengan sang dokter. Ia
dapat merasakan keramahan dan ketulusan
hati dokter Dewanti, ia bersyukur dapat
mengenal wanita ini di saat-saat yang
paling kritis dan mengerikan. Anita dapat
merasakan tatapan lembut dari dokter itu, ia
tak seorang diri dalam menerima hukuman
mati, ada seorang pelindung.

Akan tetapi, tiba-tiba Anita merasa
demikian asing, ia merasa terlalu kerdil untuk
sekedar duduk berhadapan dengan seorang
dokter. Mereka sama-sama wanita, sama-
sama memiliki kecantikan di masa muda.
Namun, Dewanti adalah seorang dokter,
wanita masa kini memiliki kemampuan
setara dengan seorang laki-laki. Seorang
yang telah mampu mencapai suatu hal yang
disebut dengan kesetaraan gender, seorang
yang mampu keluar sebagai pemenang
dalam setiap persoalan, menggapapi cita-
cita, merebut posisi kuat dalam kehidupan
masyarakat. Dewanti seorang wanita yang
beruntung, dokter yang sukses, memiliki
harapan hidup tinggi. Ia seorang pejuang
dalam rangka penanggulangan HIV/
AIDS di tempat ini, masyarakat mengakui
kegigihannya.

Akhirnya, Anita harus melihat dirinya
sendiri, ia adalah sesosok pribadi, korban
dari sebuah tragedi. Adakah orang yang
dapat memahami liku-liku hidup jalan yang
harus ditempuh, sehingga akhirnya ia harus
mendapatkan selembar kartu mati yang 

bernama pernyataan positif mengidap HIV/
AIDS. Apakah liku-liku hidup yang harus
dilalui dokter Dewanti sama dengan liku
hidup yang harus dilalui? Pasti tidak! Tak
mungkin seorang wanita yang dibesarkan
dalam keluarga baik-baik, dalam lingkungan
baik-baik harus bertaruh hidup dengan
berkubang lumpur seperti yang terjadi
pada dirinya. Anita harus kembali menoleh,
harus kembali mengingat jalan hidup yang
dipenuhi tragedi, ia merasakan kembali
pedih perih dan kegetiran demi kegetiran
yang harus ditelan tanpa kenal ampun.
Tanpa sadar mata Anita menjadi basah.

Menangis adalah ekspresi dari PSK itu
dalam bereaksi dengan hasil tes darah yang
sengaja ingin ia ketahui. Sungguhpun ia
telah siap dengan kemungkinan yang paling
buruk, akan tetapi ketika kemungkinan itu
benar-benar terjadi, ia menjadi sedemikian
terguncang dan tak dapat membendung
emosi. Anita segera merasakan tangan halus
menyentuhnya, ia tahu dokter itu tetap
memberikan simpati, Dewanti tak merasa
takut menyentuh tangan seorang penderita
HIV, karena penyakit ini tak menular melalui
sentuhan.

“Manusia bisa berharap tentang sesuatu,
tetapi takdir ada yang mengatur, kita
hanyalah pelaku”, Dewanti menghibur.

“Waktu kecil saya pernah bercita-cita
menjadi seorang dokter, tetapi takdir saya
ternyata menjadi seorang pelacur. Saya
tak menginginkan semua ini, andai saya
memiliki keluarga dan lingkungan seperti
dokter, saya tak akan datang ke mari untuk
mengemis sebuah pernyataan yang berisi
hukuman mati”, air mata Anita kembali
berlinang-linang, ia merasakan sakit sungguh.
Ia telah kenyang dengan perasaan yang
disebut dengan kesakitan, ia telah mati rasa
dengan segala tragedi hidup. Kini, di akhir
tragedi yang paling menakutkan, tanggul
pertahanannya bobol, ia mesti terisak-isak
di hadapan seorang dokter.

“Apa yang pernah terjadi dengan
dirimu?” pertanyaan itu terlontar dari
mulut Dewanti secara refleks, dokter itu
tiba-tiba perlu menyingkap sebuah tirai
yang menyelubungi tabir hidup Anita, tabir
hidup seorang PSK. Bukankah menjadi PSK
adalah akibat dari suatu sebab? Sebab yang
teramat panjang!

“Apa yang pernah terjadi dalam hidup
saya?” .....................................Anita bertanya pada dirinya sendiri.
Ia menatap wajah dokter itu lekat-lekat, ia
tahu wanita itu tak pernah ragu dengan
pasiennya, ia selalu peduli, sekalipun
pasiennya seorang PSK. Anita menyusut
air mata, pandanganya menerawang jauh, 

menembus dinding ruangan, menuju lapisan
waktu yang telah membeku dan berubah
menjadi masa lalu. Masa yang mengantarnya
hingga hari ini, sehingga ia harus bersiap
menuju alam kematian pada usia yang sangat
muda.

Ketika bibir terpoles gincu merah darah
itu mulai bergerak, mengucap kata-kata,
menyusun sebuah rangkaian cerita. Dewanti
terpana, ia seakan menembus kembali lorong
waktu, ia tersedot ke dalam ketegangan film
tiga dimensi, iapun terguncang ke dalam
tragedi demi tragedi. Mata dokter itu terus
menatap pasien di depannya tanpa berkedip.
Tanpa berkedip!

                                                                          ***


Bersamabung ke ISTANA PASIR, 2.....






Posting Komentar

0 Komentar