Senyum anak-anak Papua. Suatu sore di Kenyam, Nduga, 2013 – Jubi/Timo Marten |
Sebait doa ini diucapnya dalam hati. Sekeras-kerasnya hingga bergema di batas kota. Disambut angin yang bertiup pelan.
“Mari, kubelikan kau makan, Dik,” tiba-tiba Ananias, temannya mengajak Sacroz membeli sebungkus nasi kuning.
“Terima kasih, teman. Saya tak berdaya,” ujar Sacroz menjawab ajakan Ananias.
Sambil merapikan tumpukan koran, Ananias meraih tangan Sacroz yang kaku dan gemetar.
Ananias berpaut tiga tahun dengan Sacroz. Namun mereka tinggal di salah satu rumah papan berdinding kayu di sebuah lorong berdiameter setengah meter di sekitar kawasan padat penduduk bilangan Abepura.
Saban hari mereka menjual koran di lampu merah Abepura dan Kotaraja, Distrik Abepura.
Sacroz berperawakan lucu, riang, terbuka dan sedikit lincah. Sederhana pula. Nun jauh dari daerah seberang dua karib ini mengadu nasib di Port Numbay–nama adat kota Jayapura. Sewaktu zaman Belanda disebut Holandia Land. Zaman Soekarno dinamakan Sukarnopura. Kini pada usia lebih dari satu abad kota ini tetap Jayapura.
Dalam riang yang polos, tersembunyi tentang harapan dan masa depannya bersama keluarga. Asa tak putus dirundung lara. Duka sejuta tak lari dari waktu.
Di sebuah lorong kecil. Terdengar riakan gelombang kecil samudra Pasifik yang membisik pekik. Bakau-bakau yang berdiri kokoh pun berjingkrak-jingkrak. Sementara angin menusuk sum-sum tulang.
Secara geografis Abepura bukan semacam puncak Carteenz. Tapi Sacroz tak mampu beradaptasi dengan cuaca peralihan musim panas ke penghujan ini.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Tak ada manusia yang lalu lalang. Jalan raya Sentani – Abepura semacam kota mati.
Sacroz masih tertidur lemas. Tak ada ubi dan keladi atau pisang bakar untuk dimakan. Cacing di perutnya berbunyi tak karuan. Sementara cacing adalah hewan kecil yang bergantung pada manusia. Simbiosis mutualisme.
Sehari ini tak ada yang membeli koran. Impian masih digantung di ufuk timur. Bersama bintang yang berpijar kala fajar, asa itu masih tersenyum sipu. Bukan mimpi yang oleh Sigmund Freud, kalau tidak salah: “jawaban atas kenyataan yang tak tercapai”.
Bukan itu. Mimpi adalah kenyataan—Surga kecil yang jatuh ke bumi.
Mungkin syair lagu om Iwan Fals pas untuk Sacroz dan Ananias. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu. Untuk suatu impian yang kerap ganggu tidurnya. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu. Dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal.
Tatapan Sacroz yang tajam mendeskripsikan ketegaran semangat. Tangan yang kuat memegang tumpukan koran. Lekukan rambut yang menipis mewarnai perjalanan hidup manusia. Garis waktu.
Hongkong di waktu malam. Itu dia, kota ini. Sakit-penyakit, demonstrasi, ledakan manusia, penangkapan, pembunuhan misterius, perjudian toto gelap, HIV-AIDS, pemerkosaan dan gemerlapan lampu penikmat syahwat adalah kawan karib Sacroz dan Ananias. Belum lagi soal alihfungsi lahan dan hutan adat berhektar-hektar luasnya oleh korporasi.
“Teman, kalau sa menjadi pemimpin di kota ini, apa yang sa harus lakukan?”
Tiba-tiba saja pertanyaan Ananias merasuk benak Sacroz. Lagi, “untuk suatu impian yang kerap ganggu tidurnya”. Matanya kembali berkaca-kaca. Seakan, dan lagi, memberontak pada kenyataan. Betapa tidak, lima puluh kawannya mengalami nasib yang sama. Maka pertanyaan Ananias merupakan titik balik.
“Ah, manusia seperti kitorang ni siapa peduli?” kata Sacroz.
“Ini pengandaian. Dilindungi konstitusi. Kita adalah makhluk politik,” ujar Ananias.
“Idealnya seperti itu, apa daya …….”
“Hahahai, kau yakin kah tidak, setelah duka ada suka? Begitu seterusnya. Laksana siang dan malam.”
“Ahai, kawan jangan bercanda.”
“Sudahlah. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Waktu yang ‘kan bicara.”
Begitu kelamnya dunia sehingga dua kawan karib ini melawan kenyataan. Kenyataan pekat di Surga yang Jatuh ke Bumi. Surga yang oleh Arnold Clemens Ap (Mambesak) dalam lagunya,“Nyanyian Sunyi”: Surga yang terlantar dan penuh senyuman. Laut mutiara yang hitam terpendam. Dan sungai yang deras mengalirkan emas.
Aliran emas yang kemilau dari perut bumi Papua memikat Amerika. Puluhan tahun lamanya.
“Pace, saya mau kasih kamu dua satu cerita.” Tiba-tiba Paul, dorang dua pu teman itu, menyambung percakapan.
“Saya duga, mau cerita soal emas, manusia dan kitorang pu tanah ini,” kata Ananias sambil tersenyum.
“Kamu dua simak sudah,” kata Paul.
Hening. Lorong waktu jadi tiga ratus enam puluh derajat. Suanggi pun trada. Rintik hujan kecil membasahi tanah yang penuh darah dan air mata.
“Tahun 1959 Fidel Castro menasionalisasikan semua perusahaan asing. Freeport nyaris bangkrut. Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson menemui Jan van Gruisen Direktur Manajer East Borneo Company, Agustus 1959. Itu sa pu tete (kakek) yang cerita,” kata Paul lagi.
“Terus, terus… ,” kata Sacroz dan Ananias.
Mereka jeda sejenak. Ibarat paduan suara, jeda satu ketukan musik.
“Paitua Forbes menceritakan penemuan Jean Jacques Dozy soal gunung tembaga, emas dan perak di kitorang pu tanah Amungsa,” Paul yang suka membaca koran ini melanjutkan ceritanya.
“Pace, macam ko tau juga eee. Tete pu cerita dari mana kah?” kata Ananias.
“Tete bilang dari Mace Lisa Pease. Di Real History Archives, dia pu tulisan judul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur tahun 1996,” lanjutnya.
“Menarik juga eee. Sa mo lanjut…, tapi waktu ni macam lama kah..”
“Ah, kan punya kebebasan bercerita to. Dari hal kecil seperti ini kitorang harus menghargai hak asasi atau martabat manusia,” Sacroz menyarankan.
“Iyo..,ketika itu John Kenedi presiden Amerika dukung Sukarno soal Papua Barat. Setelah paitua Kenedi meninggal, Amerika pu intrik paling bahaya sekali. Suharto naik tahta. Terjadilah sekarang.”
“Kitorang pu emas, tembaga, tanah dikuasai. Tete dan nene tra tinggal di tanahnya sendiri,” kata Ananias.
“Iyo, tempo hari sa baca di koran yang sa jual ini. Ribuan ikan dorang mati di kali dekat situ,” kenang Sacroz.
“Hmmm…!!!”
Tanah ini memang ladang emas, ladang uang, ladang kayu, ladang kepentingan dan ladang-ladang lainnya. Dari pulau Christmas, Amerika, kawasan pasifik, dan lainnya dorang yang diaspora pasti bilang: “Di sana pulauku yang kupuja selalu. Tanah Papua pulau indah. Hutan dan lautmu yang kupuja slalu. Cenderawasih burung indah.”
Siang dan terang bergantian. Siklus waktu yang mengagetkan. Sebentar sunyi-sepi. Sebentar-sebentar huru-hara. Riuh rendah oleh aneka fenomena. Alamiah dan “di-alamiah-kan”.
Surga yang diibaratkan Frangky Sahilatua dalam lagunya “Aku Papua” kembali jadi neraka dunia. Dunia api pimpinan Lusifer, si cahaya yang terusir dari surga lantaran kepongahannya.
Sepertinya, di tanah yang diberkati ini semua orang, dari ragam tipe, kepentingan, instansi, bahkan lebih mengerucut, orang Papua dan negara harus duduk bersama. Sambil makan papeda, mendengarkan cenderawasih bernyanyi bicara nan santun dan diplomatis. Damai. Tenang. Sambil membawa semuanya pada Sang Khalik di bawah terang bintang gemilang kala fajar merekah. Jaringan Damai Papua menyebutnya dialog. Dialog damai dan bermartabat.
Kalau tidak demikian, Papua tetap jadi ladang; ladang berbagai kepentingan, dari Papua, Jakarta hingga Amerika; negeri om Sam. Eh.., maksudnya negeri Paman Sam. Negara adikuasa.
“Saatnya berbicara tentang nasib,” lagi kata Ananias.
“Sebab, lagi-lagi, akan menjadi bom waktu. Siklus yang tak tentu seperti musim yang tak tentu di kota Hongkong di waktu malam,” sambung Sacroz.
Sejak organisasi serumpun di kawasan Pasifik mewadahi perjuangan orang Papua, disemangati Benny Wenda–yang mengembara dan melobi lintas regional dan internasional, gema Papua mengagetkan. Konon orang Papua gabung bersama organisasi serumpun ini sejak puluhan tahun silam. Tapi kontak sosial putus setelah sekarang jadi Irian Barat-Irian Jaya-Papua dan Papua Barat.
Belakangan suara-suara itu menggema ibarat lonceng gereja. Lebih tepatnya semacam sangkakala.
“Semoga Kau tak tuli Tuhan.” Demikian sepenggal lirik lagu Iwan Fals.
Istana pun terhenyak. Lalu“Road Show” ke negeri jiran. Meski tak terang-terangan menyebut soal respons lobi dunia, toh ini semacam hukum sebab-akibat.
Lalu belakangan demo dimana-mana. Hukum ketiga Isaac Newton dalam fisika; aksi-reaksi seakan bergantian. Berirama seperti sajak atau syair. Semacam prosa yang indah dan ritmis.
Demo dipentaskan, dari Fakfak kota pala hingga Merauke kota rusa, dari 1.400-an kaki di atas permukaan laut hingga bibir samudera pasifik. Bakar-membakar kain bermotif semacam bintang kejora meramaikan media massa. Its so sexy, like that, maybe?
Bakar-membakar adalah respons penolakan. Sekaligus antipati. Paradoksal. Benih antipati tumbuh di ruang demokrasi “harga mati”. Siapa dalang? Barangkali ini pertanyaan ketika menonton wayang. Lagi-lagi, biarkan waktu bicara.
Waktu adalah saksi sejarah yang tak pernah berbohong. Jujur seperti nurani yang bersaksi pada persona. Selayaknya saksi ahli dalam ruang sidang berteriak nyaring: di situ semua kebenaran terungkap.
Soal bakar-membakar, saya meminjam penyair Persia, Jalaluddin Rumi: “meski aku terbakar habis, namun aku tetap tertawa, karena abuku masih tetap hidup! Aku telah mati ribuan kali: namun abuku selalu menari dan lahir kembali dengan ribuan wajah baru.”
Ah, siklus waktu. Papuana yang cantik mau saja dirayu. Mulailah mengugat waktu. Waktunya menggugat. Lagi-lagi pinjam penyair Indonesia, Chairil Anwar dalam sajak “Aku”-nya: “Kalau sampai waktuku kumau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Luka dan bisa kubawa, berlari hingga hilang pedih perih.”
“Kawan, sa mau kasih kamu dua mob,” kata Paul.
“Mainkan saja sudah,” Sacroz dan Ananias berteriak kompak.
“Satu kali pace satu ni naik taksi dari Abe ke terminal Entrop. Dorang pu penumpang banyak apa. Padat sampe pace ni tidur enak sklai ooo. Pas di tengah jalan di Kotaraja paitua satu ni mau turun dan bilang: “OTONOM…..!!!” Pace satu de kaget bangun dan batariak:” Ah, trada otonomi-otonomi. MERDEKA saja.” Penumpang dorang kaget setengah mati ooo. Dia juga balik kaget. Ternyata yang paitua pu maksud tadi mo turun di jalan sekitar dinas otonom. Di Kotaraja situ.” (*)
*Penulis adalah redaktur Koran Jubi dan tabloidjubi.com
Sumber : http://tabloidjubi.com/2016/06/03/siklus-waktu/
0 Komentar