Renggang Ikatan Kekerabatan Di Papua Sebabkan Peningkatan KDRT

ilustrasi
Jayapura, Jubi – Kekerasan dalam rumah tanggal (KDRT) yang terjadi pada Perempuan Asli Papua bukan terjadi lantaran tingginya mas kawin (mahar), adat atau budaya bahkan minuman keras (miras), melainkan karena semakin regangnya sistem kekerabatan di Papua. Orang Papua hidup semakin individualistis, sehingga sistem kekerabatan semakin renggang.
“Perempuan yang suami pencandu Miras, alami KDRT. Laki-laki yang tidak minum Miras juga melakukan KDRT. Perempuan yang sudah dibayar mas kawin mengalami KDRT. Perempuan yang belum dibayar juga alami KDRT, bahkan masih pacaran juga sudah mengalami kekerasan. Jadi mas kawin  dan miras itu bukan alasan KDRT,” ujar dosen senior, Jurusan Antropogi, FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen), Mien Rumbiak di Aula STFT Fajar Timur, Kamis (2/6/2016).
Menurut Mien Rumbiak, pada zaman dahulu orang Papua hidup dalam rumah besar bersama sanak famili (extended family). “Pola KDRT tidak dimungkinkan. Kalau sampai laki-laki memukul istrinya, dia akan berhadapan dengan keluarga besar dan harus membayar denda. Saat itu, suami harus berpikir dua kali jika akan melakukan KDRT,” lanjut Rumbiak saat membawakan materi Dimensi HAM dan Gender bagi Metodologi Penelitian Antropologi di Papua.
Namun saat ini, keluarga Papua hidup hanya dalam keluarga inti saja. Menurut Rumbiak, hal ini mengakibatkan kontrol kerabat dan nilai-nilai berubah. Saat ini kalau suami melakukan KDRT, dan hanya sedikit saudara laki-laki istri yang mau ikut campur dan menganggap itu persoalan pribadi keluarga inti saja.
“Perubahan nilai dalam keluarga ini mengakibatkan peningkatan kasus KDRT dalam keluarga orang asli Papua. Tidak ada hubungannya dengan mas kawi ataupun miras,” katanya.
Namun pakar Antropologi Oceania itu mempertanyakan beberapa penyataan yang menyatakan Papua memiliki kasus KDRT tertinggi di Indonesia. “Kalau di Papua itu tertinggi, datanya mana? Kita tidak bisa asal bicara kalau tanpa data,” jelasnya.
Mien Rumbiak menjelaskan bagi orang Papua, mas kawin itu memiliki nilai yang sakral. “Ada 3 nilai positif dalam mas kawin, yakni menjaga keseimbangan, menjalin hubungan antar klan yang berbeda dan merupakan nilai dalam membangun keluarga. Interpretasi yang salah soal mas kawin perempuan Papua itu mengakibatkan orang luar berpikir orang Papua menjual anak perempuannya. Itu yang harus diluruskan,” katanya.
Renggangnya ikatan kekerabatan di antara Orang Papua itu juga berdampak pada pola pengasuhan. Dalam extended family, anak Papua tidak dididik oleh orang tuanya saja, tetapi juga dididik oleh keluarga besarnya, mulai dari om, tante, kakek,  dan nenek. Banyak nilai yang diturunkan keluarga besar bagi anak-anak, sehingga anak tak terputus dengan kebudayaannya.
“Tetapi saat ini bapak dan mama bekerja.  Anak-anak lalu dititipkan ke pengasuh, pembantu. Anak-anak belajar dari pengasuh, pembantu lingkungan dia. Akhirnya terjadi perubahan nilai dan perilaku. Sekarang siapa yang harus disalahkan. Padahal anak-anak seharusnya diasuh dan dididik oleh orang tua,” jelasnya.
Dalam penelitian terakhirnya di Kabupaten Jayapura, Mien Rumbiak menemukan bahwa anak yang melihat ibunya mendapatkan kekerasan secara terus menerus, anak kemudian meniru dan melakukan kekerasan terhadap orang lain.
“Budaya kekerasan ini sudah cukup lama berlangsung, dan dibiarkan terus hidup tanpa ada pencegahan dari semua pihak. Bagaimana perempuan dapat melahirkan generasi baru Papua yang berkualitas kalau sejak mengandung dia sudah mengalami kekerasan. Ini salah satu hak asasi manusia yang harus diselesaikan oleh semua pihak, mulai pemerintah hingga komunitas masyarakat yang terkecil,” katanya.
Sebelumnya, data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, angka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) paling tinggi terjadi di kawasan Indonesia timur, khususnya Papua. Kekerasan yang dialami para perempuan di sana ternyata terjadi lantaran faktor adat dan budaya.
Dilansir dari Kompas.com, Regina Maubuay dari Koalisi Perempuan Papua Bangkit menjelaskan, faktor patriarki yang berlaku di masyarakat Papua sejak lama turut menjadi pemicu kaum perempuan mengalami kekerasan. Budaya patriarki tersebut menempatkan perempuan berada di bawah bayang-bayang kaum adam.
“Kalau laki-laki sudah bayar karena dia sudah merasa membeli, lalu mereka memukul. Makanya, ada juga orangtua yang tidak mau menerima mas kawin. Saya juga tidak mau menerima mas kawin kalau anak saya menikah, karena saya takut laki-laki akan seenaknya ke anak saya,” kata Regina dalam acara Citi Indonesia Women Council: International Women’s Day di Plaza Bapindo, Selasa (17/3/2015). (Angela Flassy)

Posting Komentar

0 Komentar