Pertama-tama Jubi berterima kasih kepada doktor antropolog Universitas Negeri Papua(UNIPA) I Ngurah Suryawan yang telah memberikan buku berjudul ,”Mencari Sang Kejora, Fragmen-fragmen Etnografi.” Buku ini sangat menarik karena berasal dari tulisan opini seorang akademisi yang pernah dimuat dalam Harian Pagi Cahaya Papua di Manokwari, Papua Barat.
Pasalnya dalam buku setebal 315 menunjukan bahwa ada hubungan dan komunikasi yang baik antara media lokal, jurnalis, akademisi (dosen) dan seniman. Bahkan wartawan Harian Kompas yang pernah bertugas di Papua, Josie Susilo Hardianto menulis pengantar dalam buku tersebut berjudul “Saat Ngurah Bersetia dengan Sepi.”
Josie justru menganggumi Ngurah karena mencoba menghidupi sikap skeptis seorang akademisi, yang dijaman global agak susah dicari di Indonesia. Memang benar media sering menawarkan panggung bagi para akademisi tetapi tidak sedikit yang tergoda, apalagi kalau panggung itu jangkauannya jauh lebih luas.
Cilakanya lagi, kalau akademisi memanfaatkan ruang itu sebagai “seorang bintang panggung “dan melupakan sejarah sunyi orang-orang yang terpinggirkan. Ngurah rupanya tidak termasuk dalam bagian dari “celebriti akademisi “sebagaimana diajarkan Profesor PM Laksono, guru besarnya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Jubi mengenal PM Laksono saat masih bersama-sama di Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya. Antropolog PM Laksono waktu itu menjadi konsultan bersama crew YPMD meneliti masyarakat Marauw di Biak Timur,yang tersingkir akibat mimpi Barnabas Suebu membangun industri parawisata dengan hotel berbintang Empat Marauw.
Hotel ini, sekarang hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang tersisa, seolah-olah telah menjadi bagian dari warisan sejarah Perang Dunia Kedua di Biak. PM Laksono juga terlibat dalam penelitan terhadap masyarakat di sekitar LNG Tangguh di Teluk Bintuni.
Ngurah Suryawan bukannya tidak mampu memanfaatkan ruang media di luar Manokwari atau Papua. Tetapi dia memanfaatkan ruang opini di media lokal di Tanah Papua khususnya Harian Pagi Cahaya Papua. Beberapa kali juga Ngurah mengirimkan artikelnya ke Koran Jubi dan Tabloidjubi.com untuk mengangkat cerita sunyi orang-orang Papua.
Barangkali tidak berlebihan kalau kolaborasi antara media massa lokal di Manokwari Harian Cahaya Papua dan juga seniman Papua asal Suku Mee, Alexander Tebay menunjukan bahwa kitorang di Papua juga tra kosong.
Akademisi di Papua juga bisa mengisi ruang opini di media lokal dan memberikan ruang kepada seniman dalam buku karya seorang antropolog asal Bali yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari orang-orang Papua.
Bagian pertama buku ini, berjudul Perspektif Memahami Papua. Salah satu yang menarik dalam ulasan ini adalah bagaimana akumulasi pengetahuan dari berbagai penelitian soal Papua berguna bagi rakyat Papua “mengerti dirinya sendiri” dan terlibat sebagai subyek dalam perubahan sosial yang terjadi di tanahnya sendiri?(hal 11).
Hal ini menjadi penting karena dalam diskusi soal lingkungan hidup dan Papua sebagai paru-paru dunia. Salah seorang peserta dari Belanda pernah bertanya bagaimana orang Papua bisa menggunakan paru-parunya sendiri agar menjadi bagian dari paru-paru dunia itu.
Terkadang berbagai penelitian dan tumpukan pengetahuan di Papua sebagai obyek tanpa memperhatikan atau pun melihat subyeknya sendiri. Di sini I Ngurah Suryawan menempatkan dirinya sebagai ilmuwan untuk mengeritik banyak penelitian dan berbagai jurnal yang mengabaikan masyarakat Papua yang terpinggirkan.
Tak heran kalau ada cara memandang “membaca”, mencitrakan, dan menganalisis Papua sebagai masyarakat terbelakang, kurang beradab, dan sejumlah kesan minor lainnya karena sederetan kisah tentang gizi buruk, perang suku, dan kekurang majuan mereka dibandingkan dengan daerah Indonesua di bagian Barat.
Namun yang menjadi soal adalah memandang Papua dan merasa dirinya lebih beradab dan berkuasa dibandingkan masyarakat Papua secara umum. Ini merupakan cikal bakal dari pandangan kolonialistik dan penaklukan(baca penjajahan). Hal ini akan mengundang permasalahan dari pada menemukan solusi dalam menghadapi kompleksitas persoalan Papua.
Ulasan akademisi dari Unipa ini mengingatkan Jubi pada sebuah artikel dari mantan wartawan senior Kompas Manuel Kaisiepo berjudul, “Menghindari Modernisasi yang Keliru.” Kasiepo mengutip antropologi kenamaan dari Belanda Prof Dr Jan van Baal(pernah menjadi gubernur Irian Jaya jaman Belanda) pernah mengungkapkan suatu konsep tentang “akulturasi yang keliru”(erring acculturation) yaitu ketidakmampuan untuk mencapai sasaran yang diinginkan selama terjadinya proses kontak kebudayaan. Akulturasi yang keliru terjadi apabila proses kebudayaan kehilangan arah dan berkembang kejurusan yang merugikan, menjauhi sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.
Walau demikian Ngurah menawarkan beberapa refleksi salah satunya adalah dalam konteks kerja-kerja akademik dan praksis dari ilmu antropologi sendiri dengan gerakan etnografinya. Ilmu antropologi sudah sepatutnya melakukan gerakan engament (mentautkan) ilmunya dengan gerakan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Papua yang sedang berubah. Point ini menurut Ngurah sangat penting untuk melawan kolonisasi baru ilmu antropologi melalui kerja-kerja penghakiman (baca legitimasi) kebudayaan dan kesalahpenamaan identitas kelompok masyarakat dan kebudayaannya. (*)
Sumber; http://tabloidjubi.com
0 Komentar