Untuk siapa dan untuk apa sebenarnya pembangunan di Tanah Papua?
Oleh; Cypri JP Dalegrafik; linked.com |
Pembangunan terus menjadi
mantra utama pemerintah Indonesia di Papua. Setelah Unit Percepatan dan
Perluasan Pembangunan (UP4B) yang dimulai pada 2011 bubar tanpa evaluasi
publik, kini pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo melancarkan babak baru
percepatan dan perluasan pembangunan di Papua dengan berporos pada
pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan industri baru di
seluruh pelosok Papua.
Tol laut, jalan trans-Papua, pelabuhan-pelabuhan, bahkan
kereta api yang menghubungkan kawasan industri tambang, kayu, dan
perkebunan menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi.
Desakan untuk dialog menyeluruh tidak digubris. Presiden
menegaskan, “Politik kita di Papua, politik pembangunan, politik
kesejahteraan”.
Ketika ditanya, “Anda tidak akan membicarakan masalah yang lalu? Masalah yang dialami rakyat Papua?”, Presiden mengatakan, “Tutup. Kita harus membuka lembaran baru. Kita harus menatap ke depan.”
Berbagai cara pun dilakukan untuk memuluskan gerak pembangunan itu. "Pemerintah menggunakan pendekatan antropologi sosial,”
kata Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan. “Papua
dibagi menjadi tujuh wilayah adat, sesuai suku besar yang ada di sana.” Entah
apa yang dimengerti mantan prajurit Koppasus itu tentang antropologi
sosial. Yang jelas memang antropologi sudah sejak lama dipakai oleh
kekuasaan kolonial, bukan saja untuk memahami masyarakat setempat dan
mengakomodasi aspirasi mereka, tetapi untuk memuluskan laju pembangunan
seperti dikehendaki oleh para perencananya dengan mengontrol masyarakat
pemilik sumber daya alam dan melemahkan perlawanan mereka.
Namun, dewasa ini ilmu antropologi sosial yang sama lah
yang juga menjadi alat bantu yang efektif untuk membongkar tipu daya
pembangunan. Antropologi sosial juga dipakai oleh pemikir dan aktivis
kritis-emansipatif untuk mencari alternatif atas pembangunan.
Kritik atas pembangunan
Sudah sejak lama agenda pembangunan pemerintah Indonesia
di Papua mendapat kritik dan menulai perlawanan sengit. Operasi tambang,
industri kayu, dan perkebunan sawit, tidak pernah sepi dari protes dan
perlawanan.
Inti dari gugatan orang Papua terhadap pembangunan versi
Indonesia itu terungkap dalam pertanyaan: Untuk siapa dan untuk apa
sebenarnya pembangunan di Tanah Papua?
Sebuah gugatan kritis mendasar yang mengobrak-abrik
kepercayaan diri dan membongkar kepentingan-kepentingan terselubung
Jakarta di Tanah Papua. Orang Papua tidak saja menuntut sebuah
pembangunan yang partisipatif, di mana mereka dilibatkan. Tetapi
mengggugat tujuan, manfaat, dan bahkan seluruh rancang bangun
pembangunan itu.
Kolonialitas pembangunan
Gugatan kritis seperti itu tidak dapat dienyahkan begitu
saja sebagai suara dari kaum yang dilabel separatis. Substansi dari
kritik itu adalah apa yang sudah lama digumuli antropolog sosial dan
aktivis anti-kolonial/post-kolonial/de-kolonial di berbagai belahan
bumi; yaitu kolonialitas pembangunan atau penjajahan dalam dan melalui
pembangunan.
Analisis tentang kolonialitas pembangunan itu mengungkap
sisi gelap pembangunan yang alih-alih memenuhi janji mengentas
kemiskinan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat, justru
menjadi alat bagi penguasaan sumber daya alam, dengan memarjinalkan
masyarakat pemilik asal dari sumber daya itu dan merusak lingkungan
serta budaya mereka.
Di Indonesia, studi yang mendalam tentang kolonialitas
pembangunan itu dilakukan oleh antropolog Tania Li (2007) dengan studi
kasus di Sulawesi Tengah. Di Amerika Latin, studi serupa dilakukan
Arturo Escobar (2008) dan Walter Mignolo (2011).
Dengan memakai kerangka analisis ekonomi-politik Marxis
dan kuasa/pengetahuan Foucauldian, serta pendekatan
post-kolonial/de-kolonial, mereka mengungkap bagaimana “kehendak untuk
memperbaiki (the will to improve)” para agen pembangunan
(pemerintah, korporasi, kontraktor, konsultan, LSM, dll) bercampuraduk
dengan kehendak untuk berkuasa, kehendak untuk menguasai, kehendak untuk
mengatur, kehendak untuk menjalankan apa yang diinginkan oleh kelompok
dominan. Akibatnya, alih-alih membuat keadaan lebih baik bagi
kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi,
pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam
berbagai bentuk.
Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama
menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi
tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH
raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi
termiskin dari tahun ke tahun.
Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi
keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak
membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara
terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai
korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra
trans-nasional mereka.
Sejarah dekolonisasi
Eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat Papua itu sebenarnya sudah dilakukan sejak masa
penguasaan Belanda. Eksploitasi minyak pertama dilakukan di Sorong pada
1907. Kekayaan alam itulah yang membuat Belanda bertekad pertahankan
Papua sebagai koloninya di tengah gelombang dekolonisasi di seluruh
dunia pasca Perang Dunia Kedua.
Intervensi Amerika Serikat pada 1960-an yang menggagalkan
proses kemerdekaan Papua dan mendukung integrasi Papua menjadi bagian
dari NKRI juga tidak lepas dari motivasi penguasaan sumber daya alam.
Dua tahun sebelum referendum (Pepera), perusahaan raksasa
Freeport sudah menandatangani kontrak eksploitasi tambang di Papua
dengan penguasa militer Soeharto pada 1967. Karena pengaruh itu pula,
proses Pepera yang penuh manipulasi pada 1969 dibiarkan begitu saja oleh
PBB. Dengan dukungan Amerika Serikat dan Sekutunya, proses kemerdekaan
Papua pada masa itu berakhir dengan pengakuan PBB atas otoritas
Indonesia di Papua. Proses dekolonisasi Papua menjadi negara bangsa sendiri dipatahkan terkait dengan perebutan sumber daya.
‘Settler Colonialism’
Kejahatan pembangunan dan manipulasi proses dekolonisasi
itu diperparah dengan infiltrasi penduduk Indonesia non Papua secara
besar-besaran sejak masa-masa integrasi/aneksasi pada periode 1960an.
Infiltrasi penduduk itu terjadi melalui proses yang
difasilitasi negara seperti program transmigrasi, infiltrasi militer,
dan mobilisasi aparat sipil dan keluarganya, maupun arus migran spontan
warga biasa yang mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam
proyek-proyek pembangunan di Papua.
Hanya dalam waktu lima puluh tahun, orang Papua menjadi
minoritas di tanahnya sendiri, yaitu 48% pada 2010 dan diprediksi hanya
tinggal 28% pada tahun 2020 (Elsmlie, 2010). Di kota-kota utama seperti
Jayapura, Timika, dan Sorong, Merauke populasi orang asli Papua bahkan
hanya sekitar 20-40%.
Migarasi penduduk yang tidak terkendali di Papua |
Infiltrasi penduduk ini membentuk apa yang disebut settler colonialism, yaitu penguasaan atas satu wilayah dengan membentuk koloni-koloni dan menguasai jumlah penduduk dan wilayah.
Akibat lanjut dari settler colonialism ini adalah
penguasaan posisi dan ruang strategis oleh pendatang, dan pencaplokan
proses dan manfaat pembangunan. Gejala itulah yang disebut “migrant captured development” (Giay 2005, Dale 2011).
Infrastruktur dasar, fasilitas publik, sekolah-sekolah,
dan sarana kesehatan yang dibangun dengan mengatasnamakan kesejahteraan
orang Papua, justru dinikmati oleh pendatang yang jumlahnya lebih besar,
selain oleh segelintir elite Papua di pemerintahan dan korporasi.
Apalagi di masa otonomi khusus (Otsus), pembangunan lebih terpusat di
kawasan kota yang lebih banyak pendatangnya.
Kontrol
Rentetan keterjajahan itu diperparah dengan kontrol
militeristik atas pri-kehidupan publik di Papua. Seluruh protes orang
Papua terhadap kejahatan pembangunan, manipulasi sejarah, dan dominasi
demografis, ditanggapi otoritas Indonesia tidak sebagai aspirasi untuk
mencari solusi, tetapi dihadapi dengan operasi kekerasan.
Penelitian Budi Hernawan (2013), dengan basis analisis
Foucauldian, menunjukkan bagaimana penyiksaan yang masif dan sistematis
di Papua sebenarnya merupakan sebuah praktek kontrol atas kehendak orang
Papua untuk menerima kepengaturan (governmentality) yang dibawah oleh otoritas pembangunan Indonesia.
Bersamaan dengan praktek-praktek penyiksaan itu, kesadaran
orang Papua juga diatur dengan berbagai cara untuk percaya bahwa yang
mereka perlukan adalah pembangunan, dan bahwa pembangunan itu adalah
solusi atas semua persoalan mereka. Seluruh kehendak yang lain di luar
pembangunan itu, termasuk imaginasi akan Papua yang sejahtera lestari
tanpa sawit, transmigrasi, dan tambang, dan militer dianggap sebagai
separatisme.
Emansipasi Papua
Singkatnya, cara pembangunan dijalankan di Papua lebih
merupakan bagian dari kontrol dan penguasaan atas manusia Papua dan
segenap kekayaan alam dan budaya mereka. Aspirasi mereka akan hidup yang
layak dalam alam dan budaya mereka yang lestari ditanggapi bukan dengan
merubah cara pembangunan dijalankan, tetapi dengan kontrol, represi,
dan dominasi militeristik.
Pembangunan seperti itu tidak sepenuhnya membawa
kontribusi positif seperti yang digembar-gemborkan, tetapi membawa serta
ancaman dan bencana bagi penghidupan orang Papua, alam, dan budaya
mereka.
Jika pemerintah Indonesia benar-benar mengerti pendekatan
sosial antropologi dalam pembangunan, pastilah tahu bahwa
pembangunanisme seperti itu bukanlah solusi, melainkan akan memperparah
persoalan di Papua. Mereka juga semestinya tahu bahwa pembangunan
seperti itu akan dengan sendirinya mengobarkan perjuangan rakyat Papua
untuk melawan dan memerdekakan diri.
Karena seperti orang Indonesia, orang Papua juga percaya
bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan prikeadilan dan pri-kemanusiaan”.
Sumber; Rappler.com
Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada
Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan
penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan
Pemiskinan Sistemik” (2013).
0 Komentar