3. Nyawene: Papua Punya Metodologi Naratif
Metode Bercerita yang kami kembangkan dalam buku ini tidak hanya berakar pada metodologi penelitian naratif kritis, tetapi juga kami gali dari kebudayaan Papua sendiri. Masyarakat Papua di Lembah Baliem memiliki tradisi luhur yang disebut Nyawene.
Masyarakat, duduk dan berbicara bersama, menggali dan menghadapi masalah |
Nyawene ini dipraktekkan, misalnya, ketika menghadapi bencana kelaparan. Masyarakat clan atau suku akan duduk bersama dengan melibatkan semua anggota, dan dalam suasana kekeluargaan berbagi cerita tentang kondisi yang mereka masing-masing alami, berbagi keprihatinan dan kesulitan mereka. Dalam proses selanjutnya, mereka mencari akar dari masalah kelaparan itu dan merefleksikannya secara bersama-sama. Ditemukan misalnya ada persoalan adat yang belum diselesaikan, persoalan semangat kerja dari anggota klan atau masalah cuaca, atau ada kesalahan sosial yang dilakukan oleh suku. Lebih lanjut persoalan kelaparan ini menjadi persoalan bersama yang dicarikan solusinya. Dari situ muncul kesepakatan untuk bangkit dan bergerak bekerja bersama untuk kembali buka kebun besar, bekerja bersama-sama, mengadakan ritual-ritual adat, singkatnya gerakan untuk membangun kecukupan pangan dan kesejahteraan suku. Pergumulan terkait dengan kelaparan dan gerakan untuk bangkit dari kelaparan itulah Nyawene.
Dalam proses Nyawene itu, anggota suku/kampung merujuk pada nilai-nilai hidup baik yang mereka wariskan dari para leluhur, memeriksa diri dan hidup bersama mereka, serta membangun harapan atau cita-cita akan kehidupan yang lebih baik, serta membicarakan cara untuk mencapainya. Nyawene juga menjadi kesempatan untuk berbagi cerita antar generasi, moment pewarisan tradisi dan nilai, serta menyampaikan pesan-pesan bagi masa depan.
Singkatnya, proses Nyawene memiliki beberapa unsur penting:
- Duduk bersama dan saling berbicara, saling Bertukar Cerita
- Menggali, mengangkat, menyampaikan, mengungkap cerita
- Menggumuli cerita-cerita, menngali sejarah, menelusuri eksistensi bersama di masa silam.
- Refleksi tentang akar persoalan itu, menemukan inti persoalan
- Membangun solusi, mencari alternatif,
- Melakukan pemulihan (dengan sesama, dengan alam, dengan wujud tertinggi)
- Menyampaikan/mengabarkan Cerita (wene wolok), menyebarluaskan semangat pemulihan
- Membangun Kisah Bersama (dari ‘Sa pu Cerita’ menjadi ‘Kitorang Pu Cerita’ – Nit nyawene.
Pertama, cerita-cerita yang muncul adalah cerita pergumulan kehidupan, dan bukan topik-topik penelitian yang dirancang oleh peneliti sendiri. Hasilnya proses bercerita dalam berbagai pertemuan untuk buku ini bukan lagi dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan yang kami siapkan, tetapi oleh pokok-pokok masalah yang diangkat oleh perserta sendiri. Solusi-solusi yang mereka tawarkan pun berangkat dari pergumulan mereka sendiri.
Kedua, metode Nyawene yang berasal dari tradisi masyarakat sendiri ini memungkinkan sebuah proses yang sungguh-sungguh dinamik dan diskusi yang mendalam. Workshop dan sesi diskusi yang diadakan bukan lagi menjadi proses menjawab pertanyaan penelitian, tetapi proses adat. Dalam arti itu masyarakat menjadikan proses ini sebagai proses refleksi, proses penemuan masalah, proses perumuskan keprihatian bersama, dan proses pemulihan bagi kehidupan mereka sendiri.
Ketiga, cerita ini kemudian menjadi cerita kolektif, mengungkap pengalaman kolektif, pergumulan kolektif. Dalam kaitan dengan itu, kami sebagai peneliti berperan semata-mata sebagai fasilitator dan juru dokumentasi proses penelitian ini. Cerita-cerita buku ini adalah cerita kolektif, bukan kumpulan hasil wawancara individual yang dirangkai menjadi satu. Dalam proses nyawene, para peserta saling menanggapi, menambahkan, mengurangi, melengkapi. Satu cerita memicu cerita lainnya. Satu refleksi memicu refleksi lainnya. Dengan itu kami berharap bahwa cerita-cerita buku ini mendekati sebuah narasi kolektif yang terverifikasi oleh komunitas sendiri.
Keempat, peserta tidak hanya digerakkan oleh penalaran logis (logos), tetapi juga oleh perasaan-perasaan batihiah, prinsip-prinsip, nilai-nilai hidup, dan oleh kesadaran eksitensial mereka sebagai kelompok (etos), sebagai suku, sebagai komunitas, lengkap dengan sejarah masa lalu dan harapan masa depan. Di sini bercerita menyentuh.
Proses nyawene ini melibatkan tidak kurang dari masyarakat lima kampung adat, yaitu Hepuba dan Hesatum di Lembah Baliem-Kabupaten Jayawijaya, masyarakat Kurima, Huguma dan Samenage di Kabupaten Yahukimo. Dalam setiap kampung ada antara 3-4 pertemuan, baik pertemuan pleno yang melibatkan seluruh kampung, maupun pertemuan khusus untuk peserta perempuan. Setelah pertemuan tingkat kampung, kami menyelenggarakan pertemuan umum selama tiga hari, di mana 5 orang perwakilan dari setiap kampung dan tokoh-tokoh kunci di Wamena diundang untuk membahas dan memperdalam cerita-cerita dari tingkat kampung. Seluruh prosesnya difasilitasi oleh para fasilitator Papua Nyawene yang kami pilih dari komunitas dan mengikuti training awal sebagai fasilitator penelitian dengan metode bercerita. Para fasilitator ini pula lah yang membantu kami dalam proses transkrip dan proses penerjemahan dari cerita-cerita yang terkumpul.
Seluruh proses kami dokumentasikan dengan video. Karena itu selain transkrip, kami memiliki rekaman seluruh proses, yang menjadi bahan etnografi yang sangat berharga di masa depan. Tidak seluruh rekaman hasil kami tampilkan dalam buku ini. Kami hanya memilih sebagian fragmen cerita dengan topik yang paling relevan dengan tema pergumulan buku ini. Cerita-cerita itu dari komunitas dan pertemuan yang berbeda-beda kami kelompokkan sesuai dengan kedekatan dengan topik tertentu. Hasilnya, dalam buku ini kami menampilkan 7 kelompok atau topik cerita.
Untuk menjamin kualitas penerjemahan, kami melalakukan beberapa proses. Proses penerjemahan tahap pertama dilakukan oleh 6 orang yang bekerja berpasangan, yang terdiri dari seorang penerjemah muda dan seorang penerjemah tua (tokoh adat). Bersama-sama mereka mendengarkan dan menyaksikan rekaman video, dan mengetikkan hasil terjemahan mereka. Pada bagian-bagaian yang sulit, mereka berkonsultasi dengan tim. Selain itu, kami juga mengedit video sesuai cerita terpilih, dan meminta sejumlah orang menonton video dan memeriksa hasil terjemahan.
3. Papua Bercerita Sebagai Upaya/Proses Pemulihan, Pemberdayaan/Self-determinasi, dan Dialog
Apa yang dapat diungkap dengan bercerita? Apa yang terjadi dalam dan melalui proses bercerita? Apa yang dapat diungkap oleh sebuah cerita? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pergumulan metodologis yang penting dalam penelitian naratif; juga dalam pergumulan hidup konkret setiap masyarakat.
Gerakan Papua Bercerita—dan buku ini sebagai salah satu hasil materialnya— kami pakai sebagai upaya/proses/gerakan untuk pemulihan (trauma healing), pemberdayaan (penegasan diri atau self-determinasi) dan dialog. Cerita kehidupan hasil tuturan komunitas kami perlakukan sebagai sumber otentik untuk mengenal bukan saja pergumulan mereka masa kini, tetapi juga sejarah kehidupan mereka sendiri berdasarkan memori kolektif mereka, dan segenap usaha dan aspirasi mereka untuk menata masa depan mereka sendiri. Pada saat yang sama, bercerita, apalagi bercerita bersama-sama, juga merupakan proses pemulihan dan proses kebangkitan sekaligus. Dengan bercerita, orang menggali pengalaman kolektif di masa lalu, baik pengalaman-pengalaman traumatis (memoria passionis) maupun kenangan akan peristiwa-peristiwa penting dan nilai-nilai hidup baik warisan leluhur. Pada saat yang sama bercerita juga membangunkan harapan bahwa kendati pengaaman-pengalamanan pahit dan traumatis dan karena kenangan-kenangan baik akan nilai-nilai hidup baik, kita dapat mengahdapi kehidpuan masa kini, dan bangkit menata masa depan. Sekaligus cerita-cerita ini disampaikan kepada pihak lain, pembaca yang lebih luas, sebagai pesan-pesan, yang mudah-mudahan ditanggapi dengan empati dan solidaritas.
Singkatnya, baik proses Papua Bercerita – Papua Nyawene maupun buku ini sebagai salah satu produk dari proses itu adalah cara, sarana, metode, untuk pemulihan, pemberdayaan dan dialog.
3.1. Pemulihan (Trauma Healing)
Seringkali trauma healing dipandang sebagai proses penyembuhan trauma individual. Korban juga seringkali dibayangkan sebagai korban langsung saja. Dalam kerumitan multi-dimensi Papua, trauma healing memiliki dimensi social yang luas, dan penyembuhannya bukan semata-mata memori individual. Memoria Passionis itu bersifat kolektif, pengalaman bersama, membuat setiap orang menderita.
Proses bercerita memungkinkan pemulihan kenangan kolektif itu dengan berbagai mekanisme. Pertama, dengan bertukar cerita, masyarakat mengeluarkan pengalaman gelap mereka, membaginya dengan orang lain, dan bersama-sama merumuskannya sebagai persoalan. Ini semacam proses memuntahkan racum secara bersama-sama. Proses itu dimungkinkan karena ada pengalaman kolektif. Bercerita menjadi semacam ruang aman karena yang mendengar adalah sesama. Kedua, bercerita juga memungkinkan satu pembicaraan mengenai solusi, mengenai bagaimana berhadapan dengan persoalan yang berat (to cope with the dark experience). Berbagi cerita untuk bangkit menata hidup mereka sendiri. Bercerita dalam arti itu adalah sekaligus juga proses self-healing. Ketiga, dengan metode Papua bercerita ini juga korban ini merumuskan bagaimana harapan mereka yang mereka mau komunikasikan kepada pihak lain, entah itu pelaku, ataupun struktur social, politik, ekonomi, dan cultural yang ada.
Jadi, Papua Bercerita, apalagi dengan pendekatan adat Nyawene, merupakan proses trauma healing; dengan cara:
- Menggambarkan dengan cara sederhana hal-hal yang muncul/bergejolak dalam diri kita: Kemarahan, frustrasi, rasa bersalah, rasa sakit, terluka, kebencian, ketegangan
- Membuka hal-hal yang tersembunyi itu: Mengakui, Menerima, Menemukan Diri Secara Baru,
- Memuntahkan Racun dalam diri kita: kemarahan, kebingunan, frustrasi,
- Menghidupkan kembali nilai-nilai hidup baik, Harapan, kegembiraan, kebanggaan, semangat
- Membangun semangat, harapan, dan tekad baru, untuk menata hidup, Menentukan Langkah Ke Depan
Sebagai fasilitator, kami terkagum-kagum dengan proses dan isi Papua Nyawene ini. Masyarakat tidak serta-merta atau semata-amata mengeluh dan melontarkan kritikan terhadap pihak lain (pemerintah, negara, pendatang, gereja, pemimpin adat), tidak juga pertama-tama meminta sesuatu dari pemerintah dan gereja, atau menuntut mereka untuk menyelesaikan masalah. Sebagaimana dapat Anda temukan dalam Bagian Kedua buku ini, nada kekecewaan sesekali muncul di sanah sini. Namun, masyarakat penutur cerita tidak menempatkan diri mereka sebagai korban pasif dari proses-proses politik, ekonomi, dan kebudayaan yang menimpa mereka. Sebaliknya mereka melihat diri sebagai pelaku kehidupan itu sendiri, dan karena itu Nyawene pertama-tama adalah proses refleksi diri dan menumbuhkan kembali semangat untuk bangkit dan menata hidup. Kendati mengharapakan perubahan kebijakan negara dan pembaharuan oleh pemimpin adat dan gereja, serta menghendaki penghormatan oleh kelompok-kelompok lain, para penutur cerita dalam buku ini menempatkan diri mereka sendiri sebagai pelaku perubahan. Mereka menegaskan diri sekaligus menugaskan diri mereka sendiri untuk melakukan perbaikan segala aspek hidup mereka. Di sini kami melihat bahwa melalui proses Nyawene ini, masyarakat Papua menjadi masyarakat yang reflektif, dan sekaligus aktif melakukan perubahan.
Kenyataan ini dalam beberapa segi berbeda dengan gejala-gejala dan kebiasaan advokasi berbasis hak asasi manusia yang dikembangkan oleh aktor-aktor LSM dan lembaga-lembaga internasional yang marak di tanah Papua. Dalam pendekatan hak asasi manusia, masyarakat dilihat sebagai pemegang hak (right holders) sedangkan negara atau pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia itu (duty bearer). Dalam prakteknya masyarakat menuntut hak, sebuah kebiasaan yang seringkali berakibat pada mental ketergantungan yang sekaligus memberi kekuasaan kepada aktor luar (pemerintah, negara, LSM, lembaga bantuan) atau melegitimasi kekuasaan mereka. Pendekatan HAM ini tentu saja memiliki nilai positif, terutama untuk mendorong tanggung jawab pemerintah untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi warga negara. Yang menarik dari proses dan hasil Papua Bercerita, sebagaimana terunkap dalam berbagai cerita buku ini, adalah bahwa kendati berharap negara menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi mereka, masyarakat melihat diri mereka sendiri sebagai pihak yang pertama berkewajiban untuk memperbaiki dan menata kehidupan mereka sendiri. Dan itu dilakukan di segala bidang.
Dalam cerita-cerita seputar persoalan makan-minum misalnya (Bab 5), masyarakat tidak melihat krisis pangan atau kelaparan sebagai alasan untuk meminta peningkatan subsidi beras miskin (raskin) kepada pemerintah. Sebaliknya mereka merefleksikan bagaimana kebijakan raskin itu justru menjauhkan mereka dari semangat kerja keras, membuat mereka beralih makanan pokok warisan leluhur yaitu hipere. Bahkan refleksinya menukik dalam hingga mereka merefleksikan bagaimana selama dua puluh tahun terakhir banyak dari hipere asli Wamena sudah punah, dan bagaimana kepunahan benih lokal itu mempengaruhi atau berkaitan erat dengan keberadaan mereka sebagai manusia Wamena, manusia Papua. Solusi atas persoalan kelaparan pun mereka sepakati bukan dengan meminta bantuan (yang dapat saja mereka lakukan), tetapi justru mengingatkan diri mereka sendiri akan adat buka kebun, mental kerja keras dan kerja bersama, serta pentingnya membangun ketahanan pangan mereka sendiri.
Dalam contoh itu tampak jelas cara pandang/tekad/kekuatan masyarakat untuk melakukan perubahan. Mereka bukan hanya sasaran perubahan, penerima manfaat, melainkan penentu hidup dan penghidupan mereka sendiri. Dalam kekayaan dan kedalaman cerita-cerita ini kita dapat belajar tentang self-determinasi, penegasan diri sendiri, penentuan nasib sendiri dalam arti yang lebih kaya dan mendalam. Dia bukan hanya soal status politik merdeka atau dijajah sebagaimana ramai digonjang-ganjingkan dalam jagat politik Papua beberapa dekade terakhir. Di sini kita temukan self-determinasi dalam kaitan dengan penghidupan, dalam kaitan dengan ekonomi, budaya, dan politik itu sendiri.
Itu sebabnya kami menimbang bahwa penegasan posisi Subyek dan kehendak yang kuat untuk memberdayakan diri dan menentukan nasib dan masa depan sendiri (self-determinasi) yang muncul dalam cerita-cerita masyarakat layak mendapat perhatian serius dan disajikan dalam buku ini.
Tentu saja solusi-solusi internal, pemberdayaan diri, dan self-determinasi mandiri seperti itu berkait-erat dengan solusi-solusi ekternal. Karena itu, dalam cerita-cerita ini juga terungkap apa yang dikehendaki oleh masyarakat terkait dengan perubahan kebijakan dan pembaruan sistemik yang mereka kehendaki terjadi di Tanah Papua. Bagian itu dijelaskan dalam bagian berikut tentang dimensi Dialog dari Papua Bercerita.
3.3. Papua Bercerita dan Upaya Dialog
Dalam konteks Papua, dengan seluruh kerumitan social, politik, ekonomi, budayanya, baik dalam pergulatan lokal maupun nasional dan global, bercerita memiliki makna mendalam.
Sudah lama, masyarakat tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan diri, menyampaikan cerita versi mereka sendiri. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak yang ditindas di Papua, sebagaimana terungkap dalam laporan berbagai lembaga Hak Asasi Manusia. Masyarakat dikontrol ketat. Puluhan aktivis yang menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka mendekam di penjara. Aktivis-aktivis HAM dikontrol ketat. Jurnalis menjadi korban intimidasi dan kekerasan. Persoalan ini bahkan dibicarakan sampai tingkat PBB dan selalu menjadi sorotan gerakan Hak Asasi Manusia secara nasional dan internasional. Selain itu, permintaan dan desakan rakyat Papua, yang didorong oleh kekuatan masyarakat sipil nasional dan internasional, untuk Dialog Jakarta-Papua hingga saat ini tidak ditanggapi sepantasnya, dan tak kunjung dilaksanakan. Komunikasi konstruktif yang dicanangkan pemerintah Indonesia pun menjadi jargon kosong, karena tidak konkret menjangkau pergumulan persoalan, dan terhenti sebagai pembicaraan di antara elit tanpa menyertakan masyarakat dan pergulatan konkret mereka.
Papua Bercerita mendobrak kebuntuan itu, dan membuka ruang bagi masyarakat sendiri mengungkapkan diri, mengungkapkan pergumulan mereka, menggali pengalaman (pahit) masa lalu, termasuk pengalaman traumatis terkait dengan peristiwa-peristiwa politik, dan perkembangan ekonomi. Juga pergumulan mereka berkait dengan merangsek masuknya modernitas dan pembangunan. Papua Bercerita membuka ruang bagi masyarakat untuk membicarakan kekwatiran-kekwatiran, trauma-trauma, ketakutan-ketakutan mereka. Tetapi Papua Bercerita bukan hanya sebuah mekanisme identifikasi dan pemetaan masalah. Papua Bercerita adalah juga cara untuk menggali kenangan indah di masa lalu, kearifan-kearifan dan nilai-nilai hidup baik yang pernah digeluti. Dengan pengalaman pahit dan pengalaman manis itu, Papua bercerita juga memiliki dimensi masa kini dan masa depan, yaitu untuk menata hidup ke depan, di tengah kerumitan yang ada.
Dalam arti itu, Papua Bercerita adalah sebuah pergumulan untuk menata hidup, dengan mengelola pengalaman masa lalu dan masa kini. Cerita itu tidak menyangkut benar-salah, hitam-putih. Dia lebih bersifat pergumulan, pengalaman, perspektif, sudut pandang, yang ditegaskan sekaligus membuka diri pada dialog.
Sebagai bagian dari upaya dialog, cerita-cerita masyarakat disampaikan untuk dipahami, dimengerti, dan kemudian dijadikan bahan untuk melakukan perbaikan segala aspek kehidupan di Papua. Dengan memperhatikan pergumulan dan aspirasi masyarakat, Papua Tanah Damai dan Adil itu dapat menjadi usaha yang nyata dan bukan sekadar janji tanpa bukti.
Dalam kerangka dialog itu, kepada siapa cerita-cerita ini dialamatkan? Tampak dari cerita-cerita itu bahwa dialog itu pertama-tama perlu terjadi di kalangan masyarakat Papua sendiri, baik dalam suku, antar-suku, antar-kelompok, antar-generasi, singkatnya dialog horisontal di Papua sendiri. Cerita-cerita itu juga relevan untuk masyarakat ‘non-Papua’ di Papua.
Selain itu dialog itu juga perlu terjadi dengan pihak pemerintah dan aparat negara, baik pemerintah di Papua maupun pemerintahan lebih tinggi di pusat negara di Jakarta. Cerita-cerita ini mengandung makna yang mendalam, yang dengan menyelaminya dengan empati, kita dapat memahami perubahan kebijakan dan pembangunan seperti apa yang harus terjadi di Papua.
Banyak aspek dari cerita ini juga dialamatkan kepada lembaga-lembaga sosial, budaya, dan keagamaan. Gereja-gereja (tetapi juga agama-agama lain) disebut secara khusus dalam berbagai cerita buku ini, cerita-cerita yang menuntut atau membutuhkan respons dan dialog lebih lanjut.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa cerita kehidupan yang terungkap dalam buku ini adalah sekaligus ajakan masyarakat non-elit di Papua untuk dialog kehidupan yang otentik. Setiap pencerita sudah membuka dirinya untuk dialog. Dialog semacam ini dapat menjadi bentuk nyata pembaharuan di tanah Papua.
Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik” (2013).
Bersambung: Metodologi Penelitian Naratif Kritis (Di Papua) Bagian III
0 Komentar