Oleh: Delis M. Tumu
kabupaten Puncak |
Secara administrasi kabupaten
Puncak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Ibu Kotanya adala
ilaga, Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008, bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten
lainnya di Papua.
Luas kabupaten Puncak
mencapai 3.110 mi², Provinsi: Papua, Jumlah penduduk kabupaten : 114.702
(2014). Kabupaten puncak didiami oleh suku Dani dan Damal. Masing-masing suku
memunyai tradisi sendiri-sendiri dalam segala aspek kehidupaan.
Menurut UU RI Nomor 7 Tahun 2008, Kabupaten Puncak
beribu kota di Ilaga terbagi dalam 80 Desa dan terdiri dari 8 distrik, yaitu: Agadugume,
Gome, Ilaga, Sinak, Pogoma,Wangbe, Beoga, Doufo.
Mengenal Puncak Melalui Budaya
Mengenali
puncak melalui budaya itu sangat wajar, karena puncak memiliki beragam suku dan budaya yang terdiri dari beberapa suku
asli puncak, serta disana pula ada
juga non asli puncak dan ada suku terbesar di antaranya yaitu Dany dan
Damal adapun beberapa suku kecil di
antaranya Duga,Wano,Lem dan Turu ada juga
beberapa suku non puncakyang cukup lama menetap di sana kerena tugas dan
pelayanan sepertinya suku Mee,Jawa, dan Toraja.
Puncak adalah daerah yang sangat terkenal dengan
tradisi budaya yang sangat kental di Papua,dan di pusat Negara sekali suku
bahasa yang tentunya berbeda namun budaya turun-temurun mereka tidak jau berbeda.
Penulis akan menjelaskan dari
beberapa contoh budaya contoh budaya misalnya:pesta bakar batu, membuat kebun
bersama, saling mengasihi, kesatuan dan persatuan, nilai kekeluargaan yang
terlihat masih kental.
Pesta Bakar
Batu
Masyarakat puncak sedang barapen. Ist |
Pesta bakarta batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan
khas. dan merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai
bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu
agung, dan juga sebagai upacara kematian.
Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai
bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku. Sesuai dengan namanya,
dalam memasak dan mengolah makanan untuk
pesta tersebut, suku-suku di Papua lebih
hususnya suku dani ( puncak) menggunakan metode bakar batu.
Tiap daera dan suku di Papua memiliki istilah
sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat puncak menyebutnya “yugum banogo lariak” Paniai menyebutnya dengan “gapii” atau “mogo
gapii,” masyarakat Wamena menyebutnya “kit oba isago”,
sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan “barapen”. Sebutan barapen menjadi
istilah yang paling umum digunakan.
Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk
berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya
solidaritas dan kebersamaan masyarakat
puncak. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling
memaafkan antar-warga.
Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari
tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap
persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan
untuk memasak.
Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan
sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di
atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya
lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu.Kemudian
tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi
panas.Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.
Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan
babi.Lalu secara bergiliran kepala suku memanah babi. Bila dalam sekali panah
babi langsung mati, itu merupakan pertanda bahwa acara akan sukses.
Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini
ada yang tidak beres dengan acara tersebut.Apabila itu adalah upacara kematian,
biasanya beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang
belasungkawa.
Jika tidak mereka akan membawa bungkusan berisi
tembakau, rokok kretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak
lupa, ketika mengucapkan belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan
berciuman pipi.
Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan
makanan yang akan dimasak. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher
hingga selangkang kaki belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak
dikonsumsi akan dikeluarkan, sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan.
Demikian pula dengan sayur mayur dan ubi -ubian
. Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan
pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian
dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang.
Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang
disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan, setelah itu dilapisi lagi dengan alang-alang, di atas alang-alang kemudian dimasukan daging
babi.Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan.di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi
dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal, setelah itu,ubi jalar disusun di atasnya.
Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun
lagi dengan batu membara, kemudian sayuran berupa
bingga atau daun ubi, tirubug
(daun singkong), kopae (daun pepaya),
nagambulu (labu parang), dan
toabung (jagung) diletakkan di
atasnya tidak cukup hanya ubi -ubi, kadang masakan itu akan ditambah
dengan potongan barugum (buah).
Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan
rumput dan batu membara.Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah
sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.Sekitar 60 hingga 90 menit
masakan itu sudah matang.
Setelah matang, rumput akan dibuka dan makanan yang
ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian dihamparkan di atas
rerumputan. Sesudah makanan terhampar di atas, ada orang yang akan mengambil
buah merah matang. Buah itu diremas-remas hingga keluar pasta atau cairannya.
Cairan dari buah merah dituangkan di atas
daging babi dan sayuran.Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan di atas
hidangan.Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah
matang dan dibumbui.
Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi
makanan tersebut. Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah
berupa ubi dan sebongkah daging babi.
Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang
sama, baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu,
penduduk pun mulai menyantap makanan tersebut.Pesta Bakar Batu merupakan acara
yang paling dinantikan oleh warga suku-suku pedalaman Papua.
Puncak demi mengikuti pesta ini mereka rela
menelantarkan ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu,
mereka juga bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai
pesta ini.
Membuat Kebun Bersama
Masyarakat Puncak Sedang Berkebun |
Budaya membuat kebun bersama
adalah solusi bagi ibu” janda dan
masyarakat setempat untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan karena budaya membuat kebun bersama ini sangat memberikan
kecukupan bagi masyarakat setempat utuk mengambil hasil tanaman mereka.
Misalnya sepertimenanam sayur-sayuran,petatas,
dan bua-buahan bahkan lebih uniknya
adalah hasil panennan pertama itu selalu mereka mempersebahkan kepada Tuhan, lalu hasil panen yang lainnyamereka melakukan pesta
bakar batu secara besar-besaran lalu memberi makan kepada
kampung-kampung tetangga atau di
sekitarnya dan mereka juga tak membri hasil bakar batu (barapen) namun mereka
juga membrikan kepada orang banyak masak maupun mentah.
Di lain sisi masyarakat selalu mendengar
pemimpin mereka yaitu kepala suku,atau seseorang yang
memiliki jiwa socialnya tinggi, nah kedua oknum ini yang selalu menjadi penyelamat bagi masyarakat
setempat walau mereka sering di perhadapkan dengan yang namanya kelaparan,
dan kemiskinan, sebab mereka lah yang selalu berperang penting di lingkungan social.
Contohnya mereka lah yang biasa
membuat pagar besar-besaran lalu membuat kebun dan menyuru ibu” janda, miskin,dan masyarakat setempat
untuk menanam dan menghasilkan hasil
tanaman mereka lalu menikmatinya dan budaya berkebun bersama ini adalah budaya
yang ada sejak di mana nene-tete moyang kami masuk di tanah puncak, dari situlah tercipta
kebersamaan tersebut dan kebersamaan atau budaya ini tak lagi punya dengan
seiring waktu ini berjalan.
Dengan begitu besar gejolak akan
perkembangan moderen ini membuat sampai generasi muda papua seakan melupakan budaya atau tradisi yang di tinggalkan oleh
sang moyang kami, namun puncak adalah daerah
yang sangat kental dengan kebiasaan atau budaya setempat maka peninggalan
moyang tersebut terus ada dan akan terus
ada sebab itu indentitas masyarakat setempat.
Saling Mengasihi
Orang Lany dan Musik Tradisionalnya |
Hal
mengasihi adalah suatu budaya yang sangat melekat pada moyang kami di mana saat mereka di hadir kan oleh sang
pencipta di tana puncak, hal mengasihi sudah
ada pada mereka maka kehidupan moyang
kami pada saat itu sangat kuat dengan
saling mengasi tanpa memandang siapa dia dan dari mana asal usulnya walaupun puncak termasuk kabupaten/daerah yang sangat beragam bahasa,suku,dan
budaya di sana terdiri dari 6 (enam) suku bahasa.
Hal
mengasihi itu ada bukan hanya karena adanya para pahlawan kami yaitu misonaris
namun saudara harus ketahui bahwa hal
mengasihi itu ada sejak moyang kami di
tana puncak.
Ada
satu contoh unik lagi yang perna saya dengar dari halmahrum tete salakya dan
halmahruma nene saya” Pinaganuk Tumu dan Wamgir Wanimbo mereka berdua pernah
menceritakan pengalaman mereka saat masa-masa muda mereka katanya mereka tidak
menetap di satu tempat atau satu daerah
mala mereka jalan kemana saja yang mereka pikirkan dan setela mereka pergi ke
satu daera dan daera yang lain mereka selalu di terima dengan begitu rama dan
penuh kasi saying dari warga setempat dan mereka pun tinggal di daera tersebut
dan membuka lokasi-lokasi baru dan mereka menanam sayur-sayuran dan mereka pun
menjadi warna di tempat tersebut Kuyawagi.
Setelah mereka pergi lagi ke satu
tempat yang cukup jau dari situ lalu
sama hal dengan di atas ini bahwa mereka membuka pula lokasi-lokasi baru dan
melakukan banyak aktifitas di sana sepertinya menanam pohon bua mereh, menanam
pohon kasoari,dan membuka lokasi kerja baru di tempat distrik sinak kampung Aumu.
Mereka berdua terus perpinda tempat
mereka tidak hanya tinggal didaerah tersebut namun mereka berpinda
ke keluarganya si halmaruma,
mereka menetab di sana cukup lama dan mereka pun melakukan banyak hal di sana.Mereka membuka daerah yang duluhnya sangat lembab
dan susah untuk manusia masuk di sana
sebab tuan tanah dan alamdi sana sangat kuat
dan tidak semua orang yang berani masuk di daerah tersebut, namun saat itu tete dan nene tersebut sangat berani menetap
di
daerah tersebut akirnya daerah itu banyak orang yang selalu
berkebun dan berburu disana di kampung Kelemanikime.
Setelah bertempat disana mereka
ke satu daerah lagi yang di mana daerah tersebut tidak ada keluarga
atau kerabat mereka namun mereka sangat percaya diri dan mengandalkan saling
mengasihi itu maka, mereka berangakat ke
daerah itu dengan tidak ragu dan
memikirkan konsekuensinya sehingga mereka
tiba lagi di daerah tersebut dan kemudian warga di
daerah tersebut menerima mereka
dengan begitu kasihsayang yang besar dan menerima
mereka dengan sebaik-baiknya akirnya tete
dan nene tersebut menetap di daerah yang bernama Paluga.
Disan kedua tete dan nene tersebut mentap cukup
lama dan kemudian sampai masa tua merekalalu
mereka pun di panggil oleh Tuhan. Semua
harta dan ladan mereka di tinggalkan begitu saja untuk warga setempat menikmati.
Cerita
di atas ini sangat membuktikan bahwa puncak adalah sala satu daerah yang sangat memiliki nilai
saling mengasihi bukan karena adanya firman Tuhan namun,hal ini ada sejak dahulu kala sebelum sang misonaris
itu masuk ke daerah puncak untuk membawa firman
Tuhan.
Akhirnya sampai saat ini pun sangat
kental dengan budaya saling mengasihi, apalagi sekarang kami semakin
di kuat kan dengan firman dan kami sendiri pun mengetaui tentang apa itu kasi maka kami akan mengembangkan
kasi tersebut dengan buadaya yang berada di wilayah Puncak.
Delis Murib, Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta.
0 Komentar