Metodologi Penelitian Naratif Kritis (Di Papua) Bagian III

Oleh; Cypri JP Dale

 4. Skema Buku
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian utama. BAGIAN PERTAMA, dengan tujuan untuk mengantar pembaca memahami keseluruhan buku, berusaha mempertanggungjawabkan metodologi yang kami pakai serta proses lahirnya buku ini (Bab 1) dan memetakan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya Papua pada umumnya dan wilayah lembah Baliem Wamena pada khususnya (Bab 2).
BAGIAN KEDUA, yang merupakan bagian inti, berisi rangkaian cerita yang kami tata dalam delapan bab dengab topik berbeda. Cerita-cerita ini mencakup tema-tema tentang Nilai-Nilai Hidup Baik (Bab 3), tentang Perjumpaan dengan Modernitas, terutama negara/pemerintah dan agama-agama (Bab 4), tentang persoalan Penghidupan dan Makan Minum (bab 5), tentang Pergumulan dan Kekuatan Perempuan (Bab 6), tentang Masalah-masalah Pembangunan dan Pelayanan Publik (Bab 7), serta masalah Politik dan Kepemimpinan (Bab 8). Selain itu kami merangkum berbagai cerita dengan berbagai topik itu semua untuk Wilayah Samenage di Yahokimo (Bab 9). Perlu dikatakan bahwa kendati dipilah-pilah dalam bab terpisah, cerita-cerita ini lahir dari proses yang sama dan terkait satu sama lain membentuk satu kesatuan Papua Nyawene.

BAGIAN KETIGA, yang lebih merupakan pendalaman lebih lanjut atas cerita-cerita pada Bagian Kedua, berisi refleksi atas cerita Papua ini, demi membantu pembaca untuk turut menggumuli makna dan pesan buku ini. Bab 10 ditulis oleh Bapak Nico Richard Lokobal, seorang tokoh adat, intelektual, dan tokoh agama di Lembah Baliem, yang setelah terlibat dalam proses Papua Nyawene buku ini merenungkan ‘Waduh, Pagar Hidup sudah Mulai Rusak Ini!”. Bab 11, ditulis oleh Bapa Yulianus Hisage, tokoh Adat yang sekaligus Ketua Dewan Adat Papua di Wamena. Bapa Yulianus merefleksikan bagaimana pergumulan masyarakat dalam buku ini merupakan usaha untuk “Mencari dan Menemukan Jejak Firdaus Baliem Papua yang Hilang”. Dengan refleksi yang searah, Pater Frans Lieshout dalam Bab 11 menulis tentang “Membangun Pagar Kehidupan Baru”. Pater Lieshout hidup di Lembah Baliem sejak 1964, mendalami dan memahami kebudayaan dan religiositas Papua dari dalam, serta menjadi ahli adat-budaya Lembah Baliem terkemuka. Tulisan dan kesaksian Pater Lieshout menambah bobot buku ini.

Dua Bab selanjutnya, yang ditulis oleh direktur dan staf Yayasan Teratai Hati Papua yang memfasilitasi proses Papua Bercerita ini secara khusus merefleksikan proses dan metode Papua Nyawene. Pater John Djonga—Pendiri Yayasan Teratai Hati Papua dan Pastor Paroki di Hepuba-Jayawijaya yang wilayah pelayanannya mencakup daerah Hepuba di Kabupaten Jayawijaya dan seluruh Kabupaten Yahokimo— merefleksikan pendekatan Nyawene sebagai “model pastoral yang pendidikan yang memerdekakan bagi kaum tertindas”. Sementara itu, Asrida Elisabeth, penanggungjawab program Papua Bercerita dari YTHP, yang juga editor buku ini merekfleksikan proses Papua Nyawene secara keseluruhan.

Buku ini ditutup dengan Epilog yang berusaha merumuskan relevansi dari gerakan Papua Nyawene dan juga relevansi buku ini, sambil menegaskan bahwa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, buku ini barulah sebuah langkah sangat awal dari usaha memahami Papua Bercerita yang perlu terus dilanjutkan.

5. Kontribusi Khas Buku ini dan Catatan tentang Keterbatasannya
Sudah ada banyak buku yang berusaha mendokumentasikan persoalan Papua. Sebagian penulis bukan orang Papua, yang memiliki keterkaitan tertentu dengan persoalan Papua, mulai dari pekerjaan hingga komitmen sosial kemanusiaan. Dan akhir-akhir ini, sungguh menggembirakan, makin banyak orang Papua sendiri yang melakukan penelitian dan menulis tentang Papua. Semua para penulis itu berusaha dengan kadar kedalaman masing-masing mendokumentasikan persoalan menurut sudut pandang dan tujuan mereka sendiri dan menampilkan analisis mereka tentang Papua.

Umumnya buku tentang persoalan Papua dilakukan oleh lembaga atau individu yang hingga batas tertentu memiliki status sebagai ahli. Kadar partisipasi masyarakat bervariasi, mulai dari masyarakat sebagai sumber informasi, sampai kepada workshop dan musyawarah. Ada juga model pengamat, di mana penulis merumuskan berdasarkan observasinya sendiri, tanpa suatu konsultasi yang serius dengan masyarakat Papua sendiri. Umumnya rumusan-rumusan persoalan mereka adalah rumusan para ahli. Suara masyarakat sudah diframe oleh para ahli, dalam rumusan mereka, entah dalam frame hak asasi manusia, rumusan resolusi konflik dan dialog, maupun social politik hokum kenegaraan.
Buku Papua Bercerita ini berbeda dalam beberapa segi. Pertama, Papua Bercerita memberi ruang yang memadai bagi masyarakat di level komunitas untuk menggali dan mengungkapkan cerita mereka sendiri, menyampaikan pergumulan mereka dalam bahasa mereka sendiri. Kedua, dalam kaitan dengan poin pertama, Papua Bercerita mengungkap secara relatif otentik pergumulan masyarakat atas persoalan Papua dan solusi yang mereka geluti atas persoalan-persoalan itu. Ketiga, Papua Bercerita adalah bentuk komunikasi dari masyarakat akar rumput, baik di antara mereka sendiri (saling bertukar cerita), maupun menyampaikan cerita kepada pihak lain, seperti Lembaga Negara/Pemerintah, Lembaga Gereja/Hirarki, dan Lembaga Adat/para tetua. Dalam arti itu, Papua Bercerita adalah sebuah ajakan untuk pergumulan bersama, menggali persoalan, membicarakannya, merumuskan, mencari jalan keluar.

Keunikan lain buku ini adalah bahwa cerita yang diungkapkan begitu kaya, sehingga mencakup persoalan-persoalan yang luas dan beragam, serta terkait satu sama lain. Banyak buku lain yang membawa frame yang sudah jadi dan cenderung untuk tidak menampung keragaman dan kedalaman ini.

Selain isinya, buku ini juga mengedepankan metodologi penelitian naratif kritis yang sekaligus juga dikembangkan dengan tradisi Nyawene dalam masyarakat Wamena dan sekitarnya. Sebagaiama dijelaskan sebelumnya, metode ini memiliki potensi luar biasa, bukan saja untuk mengungkap pengalaman dan pergumulan masyarakat penutur cerita sebagai ‘sumber dari refleksi kritis tentang kebenaran’ tetapi juga mengungkap pengetahuan kontra-hegemonik di mana masyarakat menjadi pelaku yang berdaya dalam melakukan perubahan. Pendekatan ini juga mengantar kita kepada dialog dengan aktor-aktor dominan, terutama para pemimpin sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, tentang perubahan-perubahan kebijakan dan institusional yang mendesak untuk mewujudkan Papua Tanah Damai dan Adil.

Selain keunggulannya, buku ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Di antaranya narasi yang dihimpun hanya terbatas di wilayah Pegunungan Tengah Papua, terutama masyarakat di daerah Hepuba dan Hesatum di Lembah Baliem-Kabupaten Jayawijaya, masyarakat Kurima, Huguma dan Samenage di Kabupaten Yahukimo. Karena itu kami tidak melakukan generalisasi dan tidak mengatakan bahwa buku ini mewakili seluruh pergumulan masyarakat Papua. Buku ini hanyalah satu upaya kecil di tengah seluruh pergumulan masyarakat Papua di berbagai tempat dan dalam berbagai bentuk untuk menata masa depan sendiri.

Kedua, buku ini tidak secara khusus dan mendalam memberi perhatian kepada dimensi-dimensi politik dari pergumulan Papua; padahal dimensi politik itu menjadi salah satu persoalan penting sekarang ini. Juga buku ini tidak mengungkap secara detail peristiwa-peristiwa kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah dan terus berlangsung, juga di daerah Pegunungan Tengah. Pendekatan naratif yang kami pakai tidak membantu untuk masuk lebih dalam dan detail pada realitas dalam dimensi politik, hukum, dan hak asasi manusia itu. Hal-hal itu jelas membutuhkan satu penelitian lain yang lebih spesifik.

Ketiga, buku ini, karena mengangkat kesaksian-kesaksian otentik dari masyarakat penutur cerita, cukup rentan untuk disalahtafsirkan dan kemudian dipakai untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan lain. Untuk mengantisipasi hal itulah, setelah mengungkap narasi masyarakat pada Bagian Kedua buku ini, pada Bagian Ketiga kami meminta sejumlah tokoh untuk memberikan refleksi mereka, untuk membantu sebuah proses diskusi dan pemahaman yang lebih konstruktif atas materi buku ini.

Dalam segala keunggulan-keunggulan dan keterbatasan-keterbatasannya, kami berharap bahwa buku ini dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi usaha membangun Papua menjadi Tanah Adil dan Damai.

Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik” (2013).

Posting Komentar

0 Komentar