Oleh; Eben Kirksey
Diterjemahkan oleh Veronika Kusumaryati.
Foto; Doc Eben |
Tanah
Papua (meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat) telah digambarkan sebagai
“sebuah surga di bumi bagi penelitian antropologi” di mana masyarakat pribumi “
tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan Barat" (de Bruijn, 1959).
Penjajahan telah sering dianggap sebagai kekuatan yang dapat merusak peradaban masyarakat-masyarakat
pribumi. Mungkin tidak mengagetkan kemudian bahwa para antropolog awal yang berpikir
bahwa mereka adalah orang-orang pertama yang menyentuh kebudayaan Papua yang “perawan”,
mengalami benturan tentang peran mereka sendiri dalam proyek-proyek penjajahan.
Para antropolog ini secara bersamaan membayangkan bahwa mereka memiliki baik kekuasaan
untuk menghancurkan kebudayaan-kebudayaan pribumi maupun kecakapan ilmiah untuk
melestarikan kebudayaan-kebudayaan itu selamanya.
Kebanyakan
antropolog abad 19 yang berpartisipasi dalam proyek-proyek kolonial yang penuh
kekerasan memperkuat prasangka-prasangka umum dengan menggambarkan orang Papua
sebagai bangsa yang secara mendasar biadab. Sementara antropologlain menulis
kritik dan bahkan mengadakan kampanye yang menggambarkan watak tak beradab dari
misi memperadabkan orang-orang Papua ini. Ketika Indonesia menduduki Papua pada
tahun 1962, Indonesia menggambarkan orang Belanda sebagai kaum penjajah yang
miskin yang belum mampu menundukkan kebiadaban orang Papua (Machlin, 2000
[1972]). Teori antropologi digunakan oleh kaum nasionalis Indonesia yang
menganggap bahwa orang Papua berada di tingkat terbawah dari tahap perkembangan
umat manusia. Seperti antropolog penjajah, misi dari kaum nasionalis Indonesia
di Papua adalah, dan hal ini masih berlaku sampai sekarang, berwajah Janus
(ganda): mereka melawan apa yang mereka gambarkan sebagai primitivisme Papua
namun di saat yang bersamaan, mereka berusaha untuk melestarikan identitas-identitas
suku regional di Papua.
Miklouho-Maclay, foto; wikipedia.com |
Pada
tahun 1874 penjelajah Rusia Miklouho-Maclay memilih pantai Kowiai sebagai tempat
penelitian antropologinya yang pertama
di Tanah Papua. Dia memilih tempat ini karena dia membayangkan bahwa orang Kowiai
adalah orang biadab murni. "Dikatakan bahwa orang-orang pribumi menyerang
siapa pun yang mendarat di pantai mereka secara biadab. Mereka menjarah,
membunuh dan menyiksanya. Semua cerita teror tentang kebiasaan biadab dan
kanibal orang-orang di pantai Koviai (Kowiai, Papua) yang dikisahkan oleh
orang-orang Melayu (Indonesia) membuat saya memilih tempat ini karena
sepertinya saya akan bisa bertemu dengan penduduk Papua murni yang telah lama
saya cari " (Maclay, dikutip dalam Greenop, 1944 [1874]). Orang Kowiai
ternyata bukan berdarah murni sehingga ia pun kecewa. Dia menemukan bahwa
beberapa orang Kowiai memiliki nenek moyang dari Pulau Seram dan pulau-pulau
lain di sebelah barat Papua (Maclay, 1982 [1874]). Dia juga tidak bisa
menemukan bukti yang meyakinkan yang dapat mendukung kecurigaannya bahwa orang
Papua adalah kanibal.
Reputasi
kekerasan yang dilakukan orang Kowiai, Maclay menjadi percaya, bukanlah karena
sifat inheren mereka yang biadab. Namun, watak ini datang dari sejarah panjang
kontak penjajahan. Pada tahun 1828, hampir 50 tahun sebelum Maclay memulai
penelitiannya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan benteng Fort du Bus di
pantai Kowiai sebagai pos terdepan pemerintahan kolonial mereka di Tanah Papua.
Meskipun begitu, secara tidak langsung Belanda menegaskan otoritas mereka atas
Papua sejak tahun 1660 melalui Sultan Tidore. Sultan kadang-kadang mengirim
armada hongi ke pantai-pantai di Tanah Papua, di mana mereka menggumpulkan
kulit kura-kura, burung cenderawasih, ketimun laut (teripang), beras dan
persembahan lain secara paksa (Huizinga, 1998). Setiap perahu sampan dalam
armada hongi ini didayung oleh lebih dari 30 prajurit pribumi. Ketika armada
hongi mendapatkan perlawanan dari orang-orang Papua, tindak kekerasan segera
dilakukan; orang-orang Papua yang tertangkap di dalam peperangan ini dibawa ke
Tidore sebagai budak (Huizinga, 1998). Kunjungan-kunjungan dari armada kapal
Eropa ke pantai Papua selama periode ini menghasilkan pertemuan yang bisa
digambarkan sebagai "konflik bersenjata setelah kontak awal yang relatif
renggang " (Knauft, 1990).
Miklouho-Maclay, foto; russiapedia.rt.com |
Sastra
Rusia merayakan Maclay sebagai seorang humanis dan seorang akademisi yang
bertindak “melalui kebaikan hati dan kebenaran, tidak melalui senjata dan
vodka” (Ogloblin, 1997). Persepsi tajamnya bahwa orang-orang Papua tidaklah
secara inheren memiliki watak kejam dan biadab membedakannya dengan teman-teman
seangkatannya. Namun begitu, peninggalan pemikirannya bukannya tidak rumit. Usaha
awal Maclay untuk melaksanakan penelitian di antara orang Kowiai diperantarai
oleh sekelompok tentara. Pada tanggal 1 Maret 1874, dia menulis: "Setelah
sarapan, dilengkapi dengan sebuah buku catatan, payung dan revolver, saya
berangkat dengan perahu lokal. Saya diantar oleh Sangil yang membawa sebuah
pedang pendek yang tua, dan David yang membawa senapan berburu dan sebuah tikar
karet India yang kecil” (Maclay, 1982 [1874]). Nara sumber Maclay sangat takut
kepadanya. Di kemudian hari di bulan yang sama, dia menulis:
"Meskipun
menerima pembagian tembakau dalam jumlah yang relatif banyak, mereka tidak
merasa aman berada di urumbai (kabin perahu), dan ketika saya sibuk menulis
kata-kata mereka, mendengarkan aksen mereka secara berhati-hati, semua orang
Papua, satu demi satu, pergi diam-diam dengan perahu. Seorang pribumi yang
mendiktekan kata-kata kepadaku tiba-tiba merasa sangat ketakutan ketika
ditinggalkan sendirian. Ia bahkan melupakan tembakau yang telah ia terima. Ia
melompat ke perahunya, dan segera mendayung perahunya cepat-cepat tanpa berkata
apa-apa."
Peta perjalanan Miklouho-Maclay, (http://beautifulrus.com) |
Maclay
meninggalkan pantai Kowiai kira-kira dua bulan kemudian setelah berbagai
insiden kekerasan mulai sering terjadi. Seratus orang Papua menyerang markas Maclay
ketika dia pergi melakukan ekspedisi. Orang-orang Maclay berkata pada Maclay
bahwa tubuh seorang gadis muda dipotong-potong di dalam markas itu. "Tubuh tanpa kepala dan lengan yang menjuntai ditusuk dengan tombak dan dibawa
dengan penuh kemenangan ke gunung-gunung" (Maclay 1982 [1874]). Tiga
minggu kemudian, pada tanggal 23 April, Maclay menulis bahwa dia telah
menangkap pemimpin Papua yang diduga menyerang markasnya dengan “menangkap
kapten dengan memegang leher dan membidikkan pistol ke arah mulutnya.” Maclay
pun segera bergegas pergi dari Papua.
Meski,
atau mungkin karena, tempat risetnya yang penuh kekerasan itu, Maclay melihat
peradaban [Barat] sebagai kekuatan yang merusak. Dia menggambarkan buruh-buruh
Papua yang baru kembali dari perkebunan-perkebunan Eropa sebagai agitator kejam
yang mengganggu kehidupan yang biasanya damai dan aman (Maclay, 1982 [1874]).
Maclay memiliki beberapa gagasan untuk menyelamatkan orang Papua dari apa yang
ia lihat sebagai dampak buruk penjajahan; orang harus mendirikan komunitas
utopia Papua di sebuah wilayah yang bebas dari kendali dan eksploitasi penjajah
(Ogloblin, 1997). Hal yang mendasari kepedulian liberal Maclay terhadap
orang-orang yang dipelajarinya itu adalah gagasan bahwa masyarakat-masyarakat
pribumi Papua yang sederhana akan dirusak dan dihancurkan oleh masyarakat Eropa
yang lebih maju atau oleh “pengaruh yang mencemari” dari peradaban Indonesia (Greenop,
1944).
Luigi Maria D'Albertis (https://commons.wikimedia.org) |
Tak lama
setelah Maclay menyelesaikan penelitiannya, Luigi Maria D'Albertis berlayar menaiki
Sungai Fly melalui tiga perjalanan pada tahun 1876 dan 1877. (Beberapa bagian
dari sungai Fly sekarang ini menjadi pembatas alam antara Provinsi Papua dan
negara Papua Nugini). Pada tahun 1876, D'Albertis menjadi orang Eropa pertama
yang menjelajah jauh ke wilayah yang belum terpetakan, melampaui
wilayah-wilayah pantai di Papua.
Tidak
seperti Maclay, D'Albertis memiliki kepercayaan kolot bahwa orang Papua pada
dasarnya adalah biadab. Di dalam ekspedisinya, D'Albertis membawa sebuah
senapan, empat buah revolver enam bilik, dinamit, 2000 peluru besar dan kecil,
roket dan kembang api, serta sembilan senapan angin (Souter, 1964)
Dalam perjalanan
pertamanya ke Fly pada tahun 1876, kebanyakan orang Papua yang tinggal di kampung-kampung
kecil di sepanjang sungai berlari ke hutan ketika melihat kapal uap 52 kaki
D'Albertis bernama Neva (D'Albertis, 1880b) D'Albertis memanfaatkan kesempatan
itu untuk mengambil makanan untuk krunya dari rumah-rumah yang “ditinggalkan”sekaligus
mengumpulkan artefak etnografik bagi museum-museum Eropa. Babi-babi, ubi manis, tepung sagu, panah,
kapak batu, tas-tas dari kulit kayu, tengkorak nenek moyang, dan bahkan mayat
diambilnya (D'Albertis, 1880b).
Tidak
mengagetkan, akhirnya orang Papua segera melakukan serangan terhadap Neva
ketika kapal itu melewati rumah-rumah mereka. Pada tanggal 1 Juni 1887, selama
perjalanan D'Albertis yang kedua, Neva disergap sesaat sebelum fajar ketika kru
masih tertidur. D'Albertis tidak dapat menghitung jumlah penyerang di dalam
gelap, tetapi dia menghitung ada 45 anak panah yang menempel di kapal Neva. Sebagai
balasan, dia menembakkan 120 tembakan dengan senjata laras ganda. Satu orang
kru D'Albertis berkebangsaan China terluka dan setidaknya satu orang Papua
terbunuh.
Pada
akhir tahun 1877, dalam perjalanan ketiganya, D'Albertis mampu mencapai jarak 580
mil ke arah atas sungai Fly (Souter, 1964). Saat itu, orang-orang Papua yang
tinggal di sepanjang sungai telah mengorganisasi dirinya guna melawan Neva. Di
satu titik, 400-500 orang muncul di bibir sungai dan ketika Neva memunculka
uapnya, beberapa lusin orang naik ke perahu-perahu dan mengejarnya. Hanya
ketika satu dari orang-orang itu tertembak di lengan, armada perahu itu
meninggalkan usahanya untuk mengejar mesin uap itu. Selama perjalanan pulang ke
pantai, armada perahu Papua menemuinya di tempat di mana Neva pernah diserang.
D'Albertis dan orang-orangnya semakin ketakutan terhadap orang Papua: dalam
beberapa kasus, mereka bahkan menembak perahu-perahu yang membawa orang Papua
yang tidak menampakkan gejala-gejala permusuhan sedikit pun (D'Albertis, 1880b).
Kepala orang Papua, doc; Eben |
Selama
perjalanan keduanya di sungai Fly, D'Albertis mengambil kepala seorang Papua
yang terbunuh oleh salah seorang krunya. Kepala dipisahkan dari tubuh dan
kemudian diawetkan dalam cairan alkohol. Cara-cara yang digunakan D'Albertis
untuk mengumpulkan dan mengawetkan kepala ini sungguh mirip dengan cara-cara
yang dia gunakan untuk mengumpulkan dan mengawetkan spesimen serangga dan
tanaman.
Dengan
standar sekarang, cara-cara D'Albertis ini akan dianggap sangat tidak etis,
bahkan melanggar hukum (illegal). Yang mengagetkan, volume pertama dari catatan
perjalanannya ditutup dengan sebuah permohonan yang terdengar liberal untuk
mendukung dan memandu orang-orang Papua: "Mereka harus kita berlakukan
sebagai teman, bukan sebagai budak; mereka harus kita hargai, bukan kita rusak”(D'Albertis,
1880a). Tidak seperti Maclayyang ingin melestarikan kebudayaan Papua dari
pengaruh merusak pasar tenaga kerja dan serangan-serangan Eropa lainnya, D'Albertis
melihat proyek penjajahan sebagai sebuah kesempatan untuk menggantikan
kebiadaban orang Papua dengan peradaban.
Selama
masa awal abad 20, penelitian antropologi di Papua sebagian besar dilaksanakan
sebagai bagian dari ekspedisi militer besar. Daftar kata Belanda-Mimika yang
disusun pada bulan Oktober 1904 dalam sebuah ekspedisi militer Belanda di dekat
tempat penelitian Maclay dengan jelas menggambarkan peran ganda antropolog
sebagai pelestari sekaligus perusak budaya. Beberapa kata dari daftar kata ini
antara lain: manusia baik (goed mensch), manusia jahat (slecht mensch), duda
(weduwnaar), janda (weduwe), menangis (roepen), mati (dood), hidup (levend),
sakit (ziek), luka (wond), hantu (geest), kuburan (graf), parang, budak
(slaaf), perang (oorlog), pembunuhan (vermoorden), menembak (schieten), mengayau
(koppensnellen), perdamaian (vrede), tajam (scherp) dan tumpul (bot) (Anonymous,
1904). Daftar ini menyoroti kekerasan yang menyertai penelitian antropologi di
dalam periode ini.
Petugas-petugas
awal penjajahan Belanda di Papua menganggap bahwa tugas membuat orang Papua
beradab adalah jauh lebih penting daripada tugas melestarikan
kebudayaan-kebudayaan mereka yang khas. Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
serangkaian eksplorasi militer dari tahun 1907 hingga 1915 untuk mendapatkan
pengetahuan tentang wilayah pedalaman sambil melakukan"sebuah pameran
kekuatan yang mencukupi untuk menghentikan segala bentuk pengayauan dan hal-hal
semacam itu" (Overweel, 1998). Tim ekspedisi terdiri dari dua petugas
militer, 80 tentara, satu petugas kesehatan, personil administratif dan RS, 80
tahanan dengan empat pengawas, seorang ahli geologi, dan dua pemandu pribumi (Ibid.)
Ekspedisi-ekspedisi swasta juga memiliki komposisi seperti ini. Sebagai contoh,
ekspedisi antropologi 1926 yang dipimpin Matthew Stirling untuk menemukan suku "pigmy"
di Papua yang terdiri lebih dari 400 orang, termasuk tahanan-tahanan Jawa,
pembawa barang dari Dayak, tentara dari Ambon, dan petugas-petugas Belanda.
Seperti kontak antropologi pada abad 19, ekspedisi-ekspedisi ini ditandai
dengan kekerasan. Lebih dari delapan orang Papua dibunuh oleh anggota ekspedisi
Stirling.
Setelah
proses pasifikasi (penundukan) orang-orang di pedalaman Papua dengan serangan
penghukuman, ilmuwan mulai merasa tidak membutuhkan lagi kawalan sejumlah kecil
pembawa barang dan tentara. Pada pertengahan abad 20, puncak dari kecenderungan
etnografi bernama “etnografi penyelamatan”, misi untuk melestarikan kebudayaan
Papua menjadi kewajiban administratif. Pada tahun 1951, Kantor Urusan Pribumi (the
Bureau for Native Affairs) didirikan di Hollandia (sekarang Jayapura), dan
selama dekade berikutnya, Kantor ini mengkoordinasi usaha-usaha penelitian
lebih dari selusin etnografer/antropolog yang bekerja di seluruh Papua(de
Bruijn, 1959). Antropolog Jan van Baal menjadi gubernur Papua pada tahun 1953 dan
memberikan dukungan institusional yang lebih besar lagi untuk para antropolog (Souter,
1964).
Ketika
Indonesia menduduki Papua pada tahun 1962, penelitian antropologi sama sekali
terhenti. Alih-alih, antropologi gaya lama dan museum etnografi dimobilisasi
untuk menjadikan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Di museum provinsi, sebagai contoh,
kebudayaan Papua digambarkan sebagai bagian dari kesatuan, namun secara
regional beragam dari kebudayaan Indonesia. Pesannya: "Kami khas sebagai
provinsi namun kami satu dengan seluruh Nusantara”(Taylor, 1995).
Ketika
identitas Papua dikonfigurasi ulang melalui proyek rekayasa budaya, antropologi
digunakan untuk melukiskan orang-orang Papua sebagai warga kelas dua. Menurut
buku teks SMP, banyak kebudayaan Indonesia masih hidup di alam masa prasejarah (Koentjaraningrat,
1954). Meski beberapa teks diterbitkan sebelum Papua menjadi bagian dari
Indonesia, kebanyakan orang Indonesia sekarang terus menganggap orang Papua
sebagai orang-orang biadab dari zaman batu.
Meski
pelestarian identitas budaya regional masih menjadi bagian penting dari
ideologi nasional Indonesia, misi memperadabkan orang Papua tetap menjadi
agenda yang kuat. Gerakan penentuan nasib sendiri yang menginginkan kemerdekaan
bangsa Papua dari Indonesia digambarkan di media massa sebagai sekelompok
teroris tak beradab (Kirksey & Roemajauw, 2002). Tentara Indonesia
membayangkan bahwa peran mereka dalam misi memperadabkan orang Papua ini adalah
dengan melawan orang-orang Papua “yang liar” secara langsung (Kirksey, 2002).
Tubuh Wellem Korwam yang dibawa kedarat, dok Eben |
Orang-orang
Papua, seperti juga antropolog-antropolog pasifis yang sudah disebutkan di atas,
juga memegang wacana kolot di atas, yakni menggambarkan negara Indonesia
sebagai biadab. Banyak taktik militer Indonesia di Papua memang bisa dilihat
sebagai biadab dalam kacamata dan standar Barat. Sebagai contoh, tentara
membunuh seorang laki-laki bernama Igiyouda di dekat Enarotali di Paniai
(Pegunungan Tengah) dengan cara yang luar biasa kejam. Menurut para saksi mata,
Igiyouda berteriak ketika hampir meninggal. "Saya disiksa,"dia
berteriak. "Mereka mengebiri saya." Tentara-tentara Indonesia
memanaskan sebatang besi panjang di atas api hingga besi itu panas dan merah.
Mereka kemudianmenusukIgiyouda dari anus hingga mulutnya. Dalam sebuah insiden
lain yang terjadi pada bulan September 2001, tubuh Wellem Korwam (berusia 32
tahun) ditemukan mengapung di laut di dekat kota Wasior di pantai Utara Papua.
Seperti orang Papua yang kepalanya diambil dan dikoleksi oleh asisten
D'Albertis, tubuh Korwam dimutilasi. Tubuhnya telah dipotong-potong menjadi
tujuh bagian.
Dalam
kata-kata Arjun Appadurai (1998), "kekerasan kolektif merupakan dampak
dari propaganda, rumor, prasangka dan ingatan –segala bentuk pengetahuan dan
biasanya ditambah dengan keyakinan yang berlebihan, sebuah keyakinan yang mampu
memproduksi tingkat kekerasan yang tidak manusiawi." Wacana tentang
orang-orang biadab –apakah itu diproyeksikan ke orang Papua atau Indonesia,
agen nasional maupun kolonial, pribumi atau antropolog – memiliki kapasitas
untuk menciptakan konflik baru. Dengan kata lain, “perang kata-kata” mampu
membuat orang berperang sungguhan. Secara historis, antropolog telah
memproduksi sebuah ideologi yang cukup rumit tentang kebiadaban pribumi dan
sesungguhnya telah melakukan kekerasan fisik di Papua. Kita harus memikirkan
secara sungguh-sungguh sebelum kita melemparkan batu ke rumah kaca kita.
Sejarah panjang kekerasan kolonial di Papua sangat relevan untuk memahami
kebudayaan Papua kontemporer, tetapi mengikuti kajian kolot tentang kebiadaban
Papua ke Indonesia, yang kemudian memproduksi kajian tandingan soal kekerasan
neo-kolonial biadab, hanya akan melanggengkan mitos pribumi yang biadab.
Penelitian lebih lanjut tentang Papua mestinya melihat bagaimana kekerasan
telah dipakai baik untuk kepentingan individu maupun lembaga, dan bagaimana
kekerasan menghasilkan hasrat untuk kesenangan pribadi dan kekuasaan.
Eben
Kirksey telah melakukan penelitian di Papua, Panama, Costa Rica, Belanda dan
Indonesia.
Daftar
Pustaka
Appadurai,
A. (1998). Dead Certainty: Ethnic Violence in the Era of Globalization. Public
Culture 10:2, pp 225-247.
Anonymous.
(1904). Woordenlyst. Algemeen Rijksarchief (ARA), General State Archives, the
Hague, the Netherlands. No. 2.10.52.01, pt. 70, mailrapport 1270.
de
Bruijn, J.V. (1959). Anthropological Research in Netherlands New Guinea Since
1950. Oceania 29, pp 123-163.
Clifford,
J. (2002). Personal communication to S. E. Kirksey. Santa Cruz, California.
D'Albertis,
L.M. (1880a). New Guinea: What I Did and What I Saw. Vol. I. London: S. Low
Marston Searle & Rivington.
D'Albertis,
L.M. (1880b). New Guinea: What I Did and What I Saw. Vol. II. London: S. Low
Marston Searle & Rivington.
Greenop,
F.S. (1944). Who Travels Alone. Sydney: K. G. Murray.
Huizinga,
F. (1998). Relations Between Tidore and the North Coast of New Guinea in the
Nineteenth Century. In Perspectives on the Bird's Head of Irian Jaya,
Indonesia. Miedema, J., Ode, C. & Dam, R.A.C., Eds. Amsterdam: Rodopi. Pp
385-419.
Kirksey,
S.E. (2002). Spirited Fight. The Guardian. Society Section, p 9.
Kirksey,
S.E. & Roemajauw, J.A.D. (2002). The Wild Terrorist Gang: The Semantics of
Violence and Self-Determination in West Papua. Oxford Development Studies 30:2,
pp 189-203.
Knauft,
B.M. (1990). Melanesian Warfare: A Theoretical History. Oceania 60, pp 250-311.
Koentjaraningrat
(1954). Sedjarah Kebudajaan Indonesia. Yogyakarta: Republic of Indonesia.
Machlin,
M. (2000). The Search for Michael Rockefeller. Pleasantville, NY: Akadine
Press.
Mikloucho-Maclay
(1975). New Guinea Diaries 1871-1883. Madang, Papua New Guinea: Kristen Pres.
Mikloucho-Maclay
(1982). Travels to New Guinea: Diaries, Letters, Documents. Moscow: Progress
Publishers.
Ogloblin,
A.K. (1997). Commemorating N.N. Miklukho-Maclay (recent Russian publications).
In Perspectives on the Bird's Head of Irian Jaya, Indonesia. Miedema, J., Ode,
C. & Dam, R.A.C., Eds. Amsterdam: Rodopi. Pp 487-502.
Overweel,
J. (1998). 'A Systematic Activity': Military Exploration in Western New Guinea,
1907-1915. In Perspectives on the Bird's Head of Irian Jaya, Indonesia.
Miedema, J., Ode, C. & Dam, R.A.C., Eds. Amsterdam: Rodopi. Pp 455-478.
Souter,
G. (1964). New Guinea: The Last Unknown. London: Angus and Robertson.
Taylor,
P.M. (1995). Collecting Icons of Power and Identity. Cultural Dynamics 7, pp
101-124.
Sumber: Cultural Survival Quarterly.
2002.Fall: 34-8.
Diterjemahkan seijin penulis.
0 Komentar