Perbedaan Pandangan Vs Dogiyai Dou Ena


Oleh ; Ernest Pugiye



Sejak Kabupaten Dogiyai dimekarkan pada 4 Januari 2008, rakyat Dogiyai masih belum pernah merasakan isi motto Dogiyai Dou Ena (Dogiyai layak dipandang indah dalam berbagai aspek kehidupan). Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan para pimpinan Gereja di Tanah Papua. Dalam akal dan hati kedua pihak itu sudah mendapat perbedaan yang paling teramat gelap, egoisme dan mengadung realitas kematian terhadap makna Dogiyai Dou Ena untuk rakyat yang tidak bersalah. 

Menurut pandangan kedua pihak, Kabupaten Dogiyai dengan motto Dogiyai Dou Ena adala tempat untuk mencari uang, jabatan dan mencari hidup bagi kedua pihak ini. Sementara kematian, tangisan dan penindasannya hanya unutuk rakyat dan alam Dogiyai. Rakyat Dogiyai yang hanya berjumlah sedikit dan lemah itu berdomisili sepuluh (10) distrik, dan 79 kampung tapi masih mendapat pelayanan pemerintah teramat minimalis. 

Mereka kaya dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, tetapi kesemua itu tetap saja dibuat tertidur dan mati dalam adanya berbagai proses kebijakan pembungan daerah yang terus berlanjut tanpa keberpihakan, proteksi dan tanpa keterlibatan rakyat Dogiyai. Tidak ada tujuan akhir yang harus perlu dicapai oleh pemerintah dan pimpinan Gereja, kecuali egoisme, materialisme dan hendonisme dari kedua pihak demi kepentingan diri mereka sendiri. Jadi pemerintah dan pimpinan Gereja ini adalah pihak utama yang paling tidak benar dan melawan Dogiyai dou ena.
 
Tempat Merebut Kekuasaan

Bagi pemerintah dan pimpinan Gereja, Dogiyai Dou Ena hanya dipandang sebagai tempat untuk merebut kekuasaan dan mewartakan dirinya sendiri. Kekuasaan yang dimaksud, menurut pemahaman mereka dalam sejarahnya, adalah kekuasaan berpolitik uang, penyalahgunaan kepentingan jabatan dan kekuasaan persaingan/ ambisi, tanpa komitmen dan orientasi bersama rakyat ke arah cita-cita bersama/ universal. 

Kedua pihak itu masih belum pernah didorong, dijiwai dan diarahkan oleh motto Dogiyai Dou Ena yang memperlihatkan keutamaan HIDUP bagi rakyat Dogiyai demi kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. 

Salah satu pandangan esensial yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kedua pihak ini telah mendapat idealisme hidup yang menempatkan realitas alam, potensi budaya dan rakyat asli Papua di Dogiyai pada posisi ralitas kematian dan kegelapan. Yang diadakan hanyalah neraka bagi keberadaan Dogiyai. Di mana rakyat diberadakan dalam alam dan budaya hidup yang penuh dengan air mata darah, ketidakadailan dan ketidakbenaran serta dibangun dalam suasana hidup tanpa nilai kemanusiaan, etika dan moralitas. 

Berdasarkan sejarah di Papua, rakyat hanya dilibatkan dalam pembangunan daerah ketika lahir persoalan diantara kalangan pemerintah dan pemerintah dan Gereja dengan Gereja. Jadi keterlibatan rakyat selama ini hanya biasa dibuat secara sengaja menjadi tempat untuk mematikan dirinya sendiri pada satu sisi dan pada sisi lain, pemerintah dan Gereja masih menjadi jalan untuk mewartakan kematiarn bagi rakyat dan kehidupannya bagi pemerintah dan pemimpin Gereja sendiri. 

Kondisi rakyat demikian itu diperparah lagi dengan tidak adanya persatuan dan persaudaraan, mendekatnya masa depan bangsa yang tidak rasa kemanusiaan, terdegradasinya nilai kebaikan (pohon kebenaran) dan tidak akan adanya realitas kedamaian baik secara vertical maunpun secara horizontal di antara pemerintah dan rakyat di daerah. 

Kenyataan hari ini, yang biasa berjatuhan korban banyak adalah hanya rakyat yang tidak bersalah, karena hidup mereka hanya biasa ditentukan oleh pemeritah dan pemimpin Gereja. Pemerintah sejauh ini tidak pernah mengkonstruksi proses pembangunan sebagai tempat untuk menentukan yang terbaik bagi rakyat di daerah. 

Rakyat hanya diperlakukan sebagai objek pembangunan secara tidak manusiawi. Mereka ini tidak dibutuhkan, dihargai dan diakui sebagai manusia adanya, bukan dipandang karena dia manusia, tetapi karena rakyat sudah diadakan sebagai manusia budak dan tertindas di Dogiyai. 

Tidak hanya itu, pandangan seperti itu lahir juga karena didorong oleh paham sekularisme, hedonisme dan materialisme sebagaimana yang dialami rakyat Papua dalam sejarah yang paling panjang.

Sejarah mengajarkan bahwa setiap dan semua rakyat  di tanah Papua ini sudah dikategorikan sebagai musuh Negara. Pemerintah tidak suka mas-mas Papua di Dogiyai yang notabenanya adalah pemilik tanah Leluhur. Tetapi pemerintah dan pemimpin Gereja hanya suka dan senang terhadap realitas alam dan kekayaan Papua di Dogiyai seperti emas, kayu dan batu Papua saja. Maka rakyat telah layak dimusnahkan kapan dan di mana saja oleh pemerintah dan para pimpinan Gereja di Papua. 

Dan karena itu, kita tidak heran hanya jika pemerintah sudah sedang mengambil-ambil kayu, emas dan batu yang berada di Pronggo, Dawi, Bidau dan sekitartarnya dalam wilayah Distrik Sukikai Selatan Dataran Dogiyai melalui perusahan illegal dari Negara Korea Selatan. Ini membuat rakyat dalam Dogiyai Dou Ena menjadi tambah sakit parah. Mereka dan generasi depannya sudah mati total di tangan kekuasaan pemerintah dan pemimpin Gereja ke Uskupan Timika di Papua. 

Sementara pemerintah dan para pemimpin Gereja hanya berlagak, berjaya, bergembira riah dan mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari realitas pengorbananan rakyat Papua di daerah dan alamnya sendiri. Kedua pihak yang berkuasa dari semua aspek ini hanya mendapat perdamaian dan kebenaran politik dan ekonomi duniawi dengan memelihara dan mengelola konflik Papua secara sistematis, komprehensif dan terstruktural. 

Karena pengorbanan rakyat telah menjadi investasi (modal) demokrasi, pembangunan Papua dan pemekaran HIDUP damai bagi kedua pihak yang kuat dan banyak yakni pemerintah dan para pimpinan Gereja di Tanah Papua. 

Di sinilah, esensi demokrasi pembangunan, politisi dan pembangunan ekonomi Papua sebenarnya telah tercabut dari akarnya. Yang ada hanya demokrasi pembangunan dan ekonomi kekuasaan pemerintah menuju kegembiraan bagi pemerintah dan kematiaannya bagi rakyat di tanah Kesulungannya sendiri. Inilah dosa struktural pemerintah dan Gereja di tanah Papua.

Butuh Pembebas Sejati

Untuk menebus struktur dosa ini, saya berpendapat, rakyat Papua di Dogiyai sedang membutuhkan seorang pembebas sejati. Yang dimaksud dengan sosok pemimpin pembebas sejati adalah orang yang mengorbangkan diri, hidup dan nyawanya untuk keselamatan rakyat dari berbagai sistem masalah dan konflik Papua di Dogiyai yang semakin parah itu.

 Sesuai dengan pergumulan rakyat dan alam Papua di Dogiyai selama ini, kehadiran Bupati Jack Yakobus Dumupa dan Oskar Makai selama lima tahun ke depan tentunya akan menjadi jawaban atas rakyat dan alam Dogiyai. Pergumulan ini telah dinyatakan dengan membuat suara terbanyak 46.034 kepada pasangan Dumupa-Makai secara baik, damai dan adil karena telah diyakni, dicintai dan diharapkan serta dibutuhkan sebagai Sang Pembebas sejati bagi Dogiyai.

 Ini panggilan Luhur dari Tuhan. Meskipun Pasangan calon Bupati Markus-Angkian dan pasangan Bupati Jack-Oskar sedang berada dalam proses pemastian masalah keputusan hukum di MK Jakarta, menurut rakyat, kedua pemimpin dan kawan-kawan pencalonan lainya ini, tanpa melihat siapa menang atau kalah, tentunya akan dipanggil Tuhan untuk menempatkan diri sebagai sang pembebas sejati bagi Dogiyai demi Dogiyai bahagia dan Dou Ena.
 
Melalui kehadiran pemerintahan baru nanti, Dogiyai Dou Ena harus perlu diselamatan dan dibebaskan terlebuh dahulu dari perbedaan pandangan tersebut. Sejatinya, Dogiyai Dou Ena  adalah semacam simpul kebahagian yang menarik pemerintah dan Gereja untuk selalu hendak berpihak pada rakyat Dogiyai melalui penerapan pembangunan yang memihak, memasyarakat dan berbudaya Papua. 

Agenda inilah yang dilaksanakan secara istimewa kepada rakyat dan daerah yang telah dilupakan selama ini. Sebagai sosok pembebas sejati, kamu bisa akan mempersatukan mereka yang lemah dan minoritas dalam kesatuan semangat motto Dogiyai Dou Ena. Maka dari itu, rakyat dan alam yang terlupakan yakni Sukikai Selatan, Piyaiye dan seluruh wilayah Dataran Selatan Dogiyai sudah tentunya akan ditetapkan sebagai agenda prioritas keberpihakan dan pemebebasan pembangunan oleh pemerintah dari realitas ingatan lupa. Kita tunggu

Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura

Posting Komentar

0 Komentar