Forum Kerja Ekumenis Gereja-Gereja Papua Bicara tentang Masa Depan Papua

Redaksi Sastra Papua membagi surat gembala dari Forum Kerja Ekumenis Gereja-Gereja Papua dengan pertimbangan bahwa isu-isu yang tertulis dalam pernyataan ini akan sangat berguna bagi pemahaman pembaca atas isu-isu yang berkembang di Papua. Pernyataan ini juga merupakan sebuah bentuk dokumentasi sejarah atas apa yang sedang dirasakan oleh para pemimpin gereja di Tanah Papua.

Surat Gembala: Mari Minum Dari Sumur Sendiri

Pdt. Socratez Sofyan Yoman, Pdt. Dorman Wandikbo, dan Pdt. Benny Giay. Photo credit: Arjun P/Tabloid Jubi


Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak sorai, orang-orang yang  berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan bersorak sorai sambil membawa berkasnya (Mazmur 126:5-6)

1. Latar belakang
Papua terus ada dan kami sebagai Gereja ada di sana. Selama sebulan terakhir kami mengalami sejumlah kejadian berikut dan Surat Gembala ini kami keluarkan dalam suasana berhadapan dengan perkembangan tersebut.
1. Internasionalisasi masalah Papua lewat peran tujuh negara Pasifik yang bersuara di Sidang Majelis Umum PBB di New York, September 2016 dan dalam sidang Dewan HAM PBB di Genewa, Swiss serta catatan kritis negara-negara itu terhadap evaluasi UPR Indonesia, 3 Mei 2017 Dewan HAM PBB di Genewa.
2. Pasca-gencarnya internasionalisasi masalah Papua, Jakarta tidak tinggal diam. Jakarta mengambil sejumlah  langkah berikut: (1) para Gubernur diwajibkan mengikuti latihan militer di Natuna; (2) Kunjungan Presiden Jokowi yang kami duga untuk kepentingan pertahanan, dengan kunjungan ke Perbatasan di PNG dan ke Habema, Wamena untuk membangun basis militer di sana; (3) gencarnya usaha mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat Papua untuk menyerahkan diri; (4) upaya Departemen Luar Negeri mengumpulkan dan memakai mahasiswa Papua untuk menciptakan image positif tentang Indonesia di luar negeri;
3. Negara mendesain kekerasan secara khusus di Papua: (1) PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja Papua) mengambil inisiatif untuk menyelamatkan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika serta lewat pernyataan sikapnya melegitimasi upaya negara mengkriminalisasi organisasi masyarakat sipil Papua; (2) Pada tanggal 15 Mei 2017, setelah dilantik sebagai Kapolda Papua yang baru, Kapolda menetapkan 12 program prioritas, salah satu diantaranya adalah membasmi organ-organ radikal di Tanah Papua dengan menyebut secara khusus nama KNPB; (3). Kapolda Papua mengumumkan pada 19 Mei 2017 hendak membentuk tim khusus  untuk menangani kasus kriminalitas;  (4) Polisi melakukan pemukulan terhadap jurnalis asli Papua, Yance Wenda pada 1 Mei 2017 ketika meliput acara mimbar rakyat oleh KNPB di Sentani dan (5); sekaligus membongkar mimbar yang telah dibuat oleh KNPB untuk mengadakan mimbar bebas;
4. Negara secara sistematis mengkriminalisasi KNPB sebagai organisasi gerakan masyarakat sipil Papua yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian tanpa kekerasan, sebagai pelaku pembunuhan dan kekerasan yang marak terjadi di Jayapura dan Sentani dalam sebulan terakhir;
5. Negara mempertontonkan wajah rasisme terhadap orang asli Papua, secara khusus warga Papua asal Pegunungan Tengah yang dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan dan kriminalitas.
2. Memoria Pasionis, Realita Penderitaan Papua
Dengan keadaan demikian, pada hari ini, Senin, 29 Mei 2017, kami sebagai pimpinan Gereja di Tanah Papua berdiri di hadapan Tuhan dan para pihak yang kami sebutkan di atas  dan jemaat-Nya di Tanah ini  dan menyatakan dengan seterang-terangnya bahwa dalam minggu-minggu terakhir ini, jemaat-jemaat kami sedang melewati hari-harinya dalam suasana duka, kesakitan, kemarahan, dan kehilangan yang mendalam berkaitan dengan insiden berikut:

Kamis, 11 Mei, 2017
Dr. Suwandi, seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih dihadang dua orang tak dikenal saat hendak pulang ke rumahnya di Jl Buper Waena. Korban diserang dengan parang hingga tewas. Polisi menuduh masyarakat gunung sebagai pelakunya, tetapi para saksi menunjuk seorang etnis Sentani dan Ambon sebagai pelaku pembunuhan Bapak Guru itu.

Jumat, 19 Mei, 2017
Sekitar jam 5 pagi ditemukan mayat seorang perempuan (Teresia Lampyompar, 42 tahun penjual tahu di depan RSDH). Mayatnya ditemukan di dalam parit di depan PLTD. Korban merupakan warga Perumnas 2, Waena, Jayapura.
Sore masyarakat di sekitar saw mill (tempat pemotongan kayu) dikagetkan oleh 20 anggota Polres Kota [Jayapura] dibantu anggota TNI, dengan berpakaian seragam dan preman yang mengadakan  operasi penyisiran. Belakangan ketahuan bahwa operasi ini dipimpin langsung Kapolresta. Dalam penyisiran ini Polresta menangkap  delapan orang di depan saw mill tadi dan menembak 2 orang warga.
Malamnya dua orang warga dari Sinak (Kabupaten Puncak) : Pius Kulua dan Yoenius Kulua yang baru pulang dari Waena/Mega, langsung ditahan. Knalpot motor yang mereka bawa rusak itu ikut mengundang perhatian. Awalnya mereka ditahan oleh Polisi tetapi lewat saja tetapi kemudian mereka masuk ke dalam ratusan pemuda Maluku yang dalam keadaan emosi “ Wee Wamena mana kamu punya kekuatan” dll. Pius langsung mati ditempat kena tikaman dan bacokan. Yowenius kena potong di kedua belah tangan, dan dapat bela[h] di kepala sebelah kiri tetapi selamat.
Sebenarnya semua ini tidak perlu terjadi. Istri dari almarhum Pius Kulua atau ke dua anaknya yang kecil tidak harus menjadi korban. Tetapi apa boleh buat. Kami bangsa Papua ada di sini. Dan ini bukan baru kami jalani. Tidak ada yang baru di bawah kolong langit ini. Tanah ini sudah identik dengan ratapan, kematian dan kemarahan baik pribadi maupun kolektif. Akibatnya kami sering kehilangan harapan, arah dan perspektif.  Pikiran kami mengalami kedangkalan dan kebuntuan. Bahasa kami di gereja dan masyarakat meluap-luap, tidak punya kerangka;   hanya itu-itu saja. Tidak ada yang baru. Ini yang sering kami sebut “memoria passionis”.

3. Pengalaman Warga dan Pimpinan Gereja kami Masa Lalu: Hidup tidak hanya kejar “harta dan tahkta”
Sehingga kami masih di sini. Ketegaran warga jemaat kamilah yang membuat kami pimpinan Gereja bisa berkumpul di sini hari ini. Warga jemaat kami dibunuh, distigma. KNPB yang dihina/ distigma kapan saja bisa dihilangkan oleh perintah seorang komandan Brimob, Polisi, Kodim, dll. Tetapi kenyataan ini juga yang membuat kami bertanya: apa arti tugas Gereja dalam dunia seperti ini? Apa yang sedang kami hadapi? Pengalaman mengikuti operasi keamanan minggu ini di Tanah ini menolong kami mengerti bahwa kami sedang berhadapan dengan suatu sistem [yang] didikte oleh rasisme Farhat Abbas. Lembaga keamanan [negara ini] sudah tidak berdiri di atas semua golongan. Pertanyaannya bagi kami Gereja ialah: Bagaimana kami, Gereja  bisa berdiri dan angkat muka dan keluar masuk dalam lingkungan sosial dan pemikiran sosial dan politik yang sudah bercampur baur dengan rasisme, seperti terlihat dalam kinerja Kapolresta dan Polda yang tidak mengejar pelaku pembunuhan di Waena tetapi langsung vonis “orang Wamena”, orang Gunung, dll (tanggal 19 Mei 2017) sebagai pelaku dan membiarkan kelompok etnis tertentu membunuh dan membacok Pius Kulua (yang tewas seketika) dan Yowenus  sehingga dilarikan ke rumah sakit.
Perkembangan ini membuka mata kami pimpinan Gereja  sehingga melihat perjuangan warga jemaat selama ini  sebagai perlawanan terhadap  apa yang Daniel Dakhidae  m sebagai “disguised slavery” (perbudakan  terselubung).  Dalam keadaan ini:

(a) Kami mengingat masyarakat Biak Numfor yang pada tanggal 21 Desember 2001 lalu turun ke jalan mengadakan aksi damai di depan kantor DPRD Kabupaten Biak Numfor sambil membawa empat buah spanduk ukuran besar bertuliskan:
Rakyat Papua mengutuk praktek Terorisme di Indonesia, pembantaian pembakaran Gereja di Indonesia
Penculikan dan pembunuhan Theys Hiyo Eluay adalah wujud dari terroisme di Papua sehingga penanganannya [harus] diserahkan kepada masyarakat internasional
Kami rakyat Papua Barat menyatakan agar Indonesia tidak dijadikan sebagai Negara Agama, karena itu rakyat Papua mendukung Amerika Serikat dan sekutunya membasmi terorisme di dunia.

(b) Kami juga membaca aktivisme Prisila Jakadewa dan lima orang perempuan lainnya dari Tanah Merah, Jayapura [yang pada tanggal] 4 Agustus 1980 pergi menyatakan tekad penolakannya terhadap sistem tadi dengan mengibarkan BK (Bintang Kejora) di halaman Kantor Gubernur Dok II Jayapura; lalu mendapat vonis dan menjalani penderitaan dengan  menjalani hukuman penjara beberapa tahun masing-masing di LP Abepura; tidak hitung hukuman kurungan setahun lebih di Rumah Tahanan militer.

(c) Atau Yosepha Alomang dan semangat perlawanannya yang tak mengenal lelah di Timika melawan ABRI dan Freeport, dll, dll.
Hari ini, di tempat ini, kami katakan “Kamulah yang membuat kami kuat sehingga kami bisa berdiri di sini. Pada hari ini juga kami mengenang para pemimpin Gereja Papua yang sudah mendahului kami yang telah berdiri bersama jemaat pada masa lalu dalam sejarahnya yang berdarah-darah.” Kami mengenang:
Uskup Jayapura Uskup Staverman yang berjuang membela hak hidup kami sebagai manusia citra Allah walaupun dia sendiri nyaris dikritik sebagai “Belanda penjajah”;
Kami mengenang Lematin Baminggen, hamba Tuhan dari GIDI yang dipaksa oleh keadaan tahun 1977 untuk membawa sebagian jemaatnya mengungsi ke PNG dari Bokondini. Sebagian mati di jalan dalam perjalanan pengungsian yang memakan waktu 2 bulan berjalan kaki;
Kami sudah disemangati oleh pergumulan iman dan harapan dan perjuangan/ pengorbann para tokoh Alkitab (Ibrani 11) yang membuat kami yang berdiri di sini “punya harga diri”.
Dari ketegaran Bapak Uskup Staverman, Lematin  dan para tokoh iman dalam Alkitab ini, kami belajar bahwa hidup punya makna, hidup ini untuk saling menyapa dan saling menjaga. Kita mesti saling menjaga ,“tidak hanya mengejar harta dan tahkta”.

***
“….Perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua terkesan rasis. Ras Melayu yang menjadi kelompok mayoritas di Indonesia masih sulit menerima ras Melanesia yang menjadi penghuni asli pulau Papua. Bangsa Indonesia itu kan bangsa yang rasis. Ada dua jenis rasisme di Indonesia, rasisme ekonomi terhadap orang-orang Tionghoa dan rasisme biologis terhadap orang yang berkulit  lebih gelap dan lebih keriting.”
***

4. Apakah yang kita sedang hadapi?
Tetapi, sekali lagi apakah yang sedang kita hadapi dan lawan dalam perjuangan itu? Siapakah yang sedang kami dan aktivis Papua sedang hadapi? Rasisme yang terlembaga dalam lembaga pemerintah! Ini kami lihat kemarin dalam penanganan kasus perempuan Tanimbar (Teresia Lampyompar) yang dibunuh lalu dibuang di Waena, tanggal 19 Mei 2017 lalu. Polisi tidak mencari pelaku. Ada dua pelaku kejahatan yang disembunyikan penguasa keamanan:
(a) suami dari korban perempuan itu dan
(b) warga dari keluarga yang sedang berduka (tanggal 19 Mei) yang menahan dua orang Sinak (kabupaten Puncak) tanggal 19 Mei,  sekitar jam 12.00 malam itu;  yang teriak-teriak ” Mana orang Wamena punya jago?”.
Polisi NKRI membiarkan warga jemaat kami, yang juga warga negara RI itu dibunuh di mata para anggota Polisi itu. Orang Maluku yang sedang berjaga/berduka tadi membunuh orang gunung yang tidak berdosa itu. Pelakunya tidak mereka (polisi dan keluarga duka) identifikasi. Hari ini, kami  berdiri di sini berhadapan tembok rasisme yang sudah terlembagakan seperti itu. Rasisme gaya itu juga tersirat dalam laporan dari Petinggi Kemenhukam yang menuduh KNPB dan seorang warga Tionghoa sebagai “pemicu demo pembakaran Alkitab di Abepura pada tanggal 25 Mei 2017” sementara petinggi “negara itu” berdiam diri terhadap lembaga/Korem atau anggota TNI yang membakar Alkitab itu.

5. Suara korban yang ikut diberangus dan KNPB
Berhadapan dengan realita demikian, kami sebagai pimpinan Gereja amat prihatin bahwa media ikut dibungkam rezim yang diwakili para pihak yang sudah kami sebutkan di atas dalam bagian pertama, yang mengakibatkan suara dari korban kekerasan dan pihak-pihak seperti KNPB dan pihak Pius dan Yovenius tidak  berimbang. (a)  Ini kami lihat dari insiden  dimana wartawan Yance Wendandipukul oleh anggota Polresta di Pos 7, Sentani saat meliput kegiatan KNPB; demikian juga pada tanggal 1 Mei  (b) Polisi juga membongkar panggung yang akan dipakai oleh KNPB pada tanggal 1 Mei.
Tentang KNPB dan ULMWP yang dicap sebagai kelompok yang berseberangan, kami sebagai pimpinan Gereja melalui surat gembala ini mengulangi kembali pernyataan kami di depan Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Pandangan kami sebagai Gereja terkait kedua lembaga ini belum berubah sampai hari ini (termasuk OPM dll). Kami usul agar KNPB  diterima dan diberi ruang karena aspirasi Papua merdeka yang mereka bawa dan perjuangkan tidak lahir begitu saja. Mereka tidak tiba-tiba bermimpi dan langsung perjuangkan aspirasi ini. Aspirasi mereka lahir dalam sejarah Indonesia dan suasana interaksi dengan aparat Indonesia yang membawa kebijakan-kebijakan yang melumpuhkan Papua. Dalam bahasa Papua, “Aspirasi Papua merdeka (Nasionalisme Papua) yang diusung KNPB dan ULMWP ini adalah bayi yang lahir sebagai “buah” dari interaksi/ perkawinan paksa Papua dengan Indonesia; seperti  nasionalisme Indonesia yang lahir sebagai reaksi terhadap kebijakan pejajahan Belanda. Karena itu, sekali lagi, melalui surat Gembala ini, kami meminta para pihak yang kami sebutkan dalam butir 1 untuk membuktikan kepada seluruh rakyat Papua dan kita semua bahwa: Indonesia ini negara demokratis: dengan menghentikan semua stigma dan upaya kriminalisasi terhadap ULMWP dan KNPB.

Selain pertimbangan tadi, ada juga pertimbangan berikut.
(a) KNPB dan ULMWP sudah hadir di tengah kita. Mereka adalah bagian dari sejarah Indonesia. Indonesia punya andil dalam menghadirkan KNPB dan ULMWP dan lembaga lainnya. Penyelesaiannya tidak boleh sepihak dengan politik stigma, tetapi  dialog seperti yang dilakukan Pemerintah RI dan GAM.
(b) Papua bukan lagi terisolir dari dunia internasional;  dengan media sosial Papua dan Indonesia sudah menjadi bagian dari dunia yang tengah mengglobal.
(c) Kami mendengar dalam UPR kemarin ada juga suara dari masyarakat internasional kepada Pemerintah NKRI yang mempersoalkan posisi Indonesia dalam hubungan dengan ULMWP dan KNPB.
6. Dari sini ke mana? Bagaimana Minum dari Sumur Sendiri: Belajar dari Persipura Jayapura melawan Rasisme dan Menggapai impian

Rasisme ala Farhat Abbas ada di depan mata. Kami deklarasikan hari ini sebagai hari melawan rasisme terselubung maupun kelihatan. Masa depan Papua tidak ada masa dalam depan sistem ini. Menghadapi Firaun rasisme di tanah Papua ini, kami mengajak jemaat berbenah diri, “Minum dari sumur sendiri,”ungkapan dari teolog Peru Gustavo Gutierez. Belajar dari sejarah dan pengalaman sendiri; berdiri teguh; yang Bapak [Socratez Sofyan] Yoman gunakan sebagai judul bukunya. Bagaimana kita minum dari sumur sendiri menghadapi rasisme terselubung dan terlembagakan ini?
(a) Kita bisa belajar dari Persipura. Mari kita menyelami perjalanan dan kemenangan Persipura melawan tembok rasisme Indonesia. Persipura mulai di Kota Baru (sebelum diganti menjadi Sukarnopura dan belakangan Jayapura) pada tahun 1964 dengan terpilihnya Dominggus Waweyai untuk bermain di Persija Jakarta; yang dalam tahun 1965 bermain di Timnas Indonesia kemudian bermain di Belanda. Kita berguru kepada Pdt. Mesak Koibur, Ketua Persipura yang pertama bersama Bas Jouwe yang meletakkan ikon Papua modern dewasa ini. Sejak bulan Mei 1965 semua klub di Kota Baru waktu itu mendeklarasikan Persipura, dengan pemain embrionya dari STM Kotabaru; yang setahun kemudian bermain di PORWIL Iramasuka (Irian Maluku Sulawesi dan Kalimantan).
Dari tahun ke tahun Persipura terus menanjak naik. Tahun 1968 Persipura ikut PSSI di Surabaya. Tahun berikutnya Timo Kapisa keluar sebagai Pemain Bintang Indonesia. Kisah sukses ini kami sedang angkat dalam semangat melawan rasisme yang bersembunyi di balik stigma “Papua pemabuk, primitif, separatis, Wamena koteka, dll”. Tahun 1973, [Persipura sudah] bermain di delapan besar di Makasar; kemudian main di Vietnam Selatan.  Jemaat sudah hafal kisah selanjutnya dari Persipura, sehingga kami tidak perlu perpanjang sejarah gemilang Persipura di sini.
(b) Tetapi apa yang kita bisa belajar? Nama besar seperti Persipura tidak datang sendiri begitu saja. KKR [Kebaktian Kebangkitan Rohani] sehari yang digagas Pemimpin Gereja saat itu dan habiskan 30 lebih milyar rupiah juga tidak bisa beli kemajuan seperti itu. Tidak. Mari kita bertanya ke Bapak Boaz Salosa dkk. Memang mereka berhasil bawa harga diri dan bendera bangsa Papua ke Asia dan Pasifik, dll?  Bagaimana? Displin, kerja keras dan latihan! Ingat waktu, disiplin; latihan tepat waktu sesuai jadwal, terus menerus, semangat yang menyala-nyala untuk menang. Semua ini mahal. Hal-hal ini yang bikin [mereka menang].

Menghadapi sistem Indonesia seperti itu yang terlihat dalam kinerja polisi dan tentara selama ini, warga jemaat dan para pendeta dan pekerja Gereja kami ajak untuk bercermin diri, [untuk] belajar dari Persipura. Barangkali konkritnya melalui suara Gembala ini, pada hari ini, kami ajak masing-masing diri untuk “mari mempertanggung-jawbkan imannya” dengan keluarga. Para pendeta membuat komitmen bersama untuk “menyiapkan generasi masa depan Papua “yang bisa menjadi Surat Kristus” pada masa depan.

Dengan bercermin kepada apa yang sedang kita jalani ini, kami pemimpin Gereja melalui surat Gembala ini mengajak seluruh warga Gereja untuk memberi prioritas terhadap pendidikan, kemajuan, dan masa depan anak-anak Papua.  Kekerasan yang berwajah rasis ini kita lihat sebagai cambuk dan lonceng dari Tuhan untuk kita menata diri, menentukan prioritas dan arah baru. Bagaimana anak-anak kita, banga Papua (dari gunung dan pantai, tanah besar dan pulau) kita giring, bentuk dan bina untuk nanti bisa tampil “gemilang” dalam bidang pendidikan, hukum, teologi, kimia, biologi, dll.

Konkritnya kami mengajak warga Gereja untuk:
(a) bekerja keras, membangun ekonomi keluarga, bangun budaya kerja,
(b) sisikan uang untuk memperhatikan gizi anak-anak dan uang dan kebutuhan anak-anak Papua dan dorong pendidikan anak-anak dari SD sampai ke Perguruan Tinggi,
(c) bangun budaya membaca dan diskusi sejak dini;
(d) ajar mereka mencintai bahasa dan budaya dan sejarah Papua sejak dini;
(e)Para pejabat kami himbau agar menangkap semangat ini. Kita bisa jaga tanah dan budaya kita hanya dengan membiayai pendidikan bagi generasi muda dan generasi anak Papua ke depan.

***
Kami meminta maaf, bangsa lain tidak akan datang membangun kita.

***

Terkait dengan pendidikan ini kami mohon maaf bahwa generasi kami barangkali sudah menyebar racun sana sini dengan memelihara budaya beli-beli gelar, beli ijazah: STh, Msi, SSos, MDiv, MBA, PhD Dr dll dari banyak Perguruan Tinggi di Jawa atau luar Papua. Ada juga perguruan tinggi yang buka cabang dengan pendidikan murah; satu dua orang menjadi agennya di Papua yang memungkinkan orang Papua bisa membeli/mengeluarkan ijazah negara tetapi tanpa kualitas, tanpa diilengkapi fasilitas perpustakaan dan dosen yang memadai sesuai bidangnya, dll. Kami mengajak jemaat-jemaat, “Mari kita kubur budaya yang merusak ini”. Kepada warga yang sedang menghadapi tembok budaya dan ideologis dan rasisme kami ucapkan selamat berjuang. Selamat berjuang menghadirkan teolog-teolog dan ahli hukum, sekolah Papua masa depan “dengan mata tertuju kepada Kristus” (Iberani 12:7). Selamat berjuang.


Jayapura 29 Mei 2017
Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja Papua

Pdt. Dorman Wandikmbo
Pdt. Socrates Yoman
Pdt. Benny Giay

Posting Komentar

0 Komentar