Polemik PT. Freeport Siapa Untung, Siapa Buntung? (Bag. 1)

Oleh : Chrido is Mee Chridoisme
 
Foto : IST

Memasuki tahun baru ini, 2017, publik mengikuti carut-marutnya – kurang lebih di media massa - penyelesaian masalah Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia (selanjutnya PTFI), yang menurut Undang-Undang Minerba seharusnya berakhir pada tahun 2021. Namun pemerintah Indonesia (selanjutnya PI) bersikukuh untuk mengkaji ulang Kontrak Karya tersebut.

Tentu bagi yang mengikutinya secara seksama memahami asumsi dasarnya, mengapa PI berusaha untuk mengkaji ulang Kontrak Karya tersebut?. Pertanyaan inilah yang akan kami ulas dengan menitikberatkan pada sanggahan, Siapa Untung, Siapa Buntung?

Pertama, PI mengkaji ulang UU Minerba lantaran PTFI belum atau tidak membangun smelter (pabrik pengolahan, sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut.

Kedua, Jika UU tersebut terus dipertahankan maka PI akan mengalami kerugian, karena; (1) Saham PI di PTFI hanya sebesar 9.36%, swasta 9.36% (PT. Indo Copper Investama), sedangkan saham PTFI sebesar 81,28%. Bagi PI ini merupakan iklim investasi asing yang tidak sehat, karena sangat merugikan.

Dengan melihat iklim investasi yang tidak sehat tersebut, maka PI mengambil kebijakan untuk mengkaji ulang Kontrak Karya PTFI. Beberapa langkah telah ditempu, misalnya pada tahun 2012, PI membahas tentang enam isu strategis renegosiasi amandemen kontrak karya: luas wilayah, kelanjutan operasi pemurnian, penggunaan barang, jasa dan tenaga kerja dalam negeri. Pada tahun, 2015, PI menandatangani MOU ke II dengan tambahan kontribusi PTFI terhadap rakyat Papua, peningkatan aspek keselamatan, pemanfaatan kandungan lokal dalam operasi PTFI.

PI juga berkomitmen untuk menjamin perpanjangan operasi PTFI dengan merevisi PP soal perpanjangan kontrak. Komitmen menjamin perpanjangn operasi PTFI dengan merevisi PP, menjadi polemik, antara PI dan PTFI sendiri.

Hingga tahun ini, 2017, langkah-langkah PI semakin nyata dan tegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, sebagai perubahan atas PP No.33/2010, tentang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan merevisi PP tersebut, selain menjamin investasi asing, PI juga akan mengalami keuntunga, karena sahan PI akan naik secara bertahap menjadi 51%.

Namun, PP tersebut ditentang oleh pihak PTFI. PTFI tetap bersikukuh untuk mempertahankan kontraknya berdasarkan UU Minerba. Sebagai ancaman kepada pihak PI, PTFI akan mengajukan Arbitrase Internasional di Mahkamah Arbitrase Internasional. Di tingkat Nasional, PTFI juga berencana mem-PHK-kan sejumalah karyawannya. Ini tentu merupakan tantangan yang berat bagi PI, karena apabila 2 (dua) hal tersebut dilakukan oleh PTFI, maka PI akan sangat rugi (97-98% karywanan Indonesia).

Terlepas dari polemik ini, pertanyaan yang tersisa adalah “SIAPA YANG UNTUNG dan SIAPA YANG BUNTUNG”???



Bersambung……

Posting Komentar

0 Komentar