IST |
Beberapa waktu yang lalu
seluruh umat kristen di seluruh dunia telah merayakan Natal dan Tahun Baru. Secara
umum, momen tersebut disambut dan dirayakan dengan sukacita yang sangat luar biasa.
Perayaan bersejarah itu diwarnai dengan beragam kegiatan mulai dari perlombaan,
pertandingan, pawai santa claus, KKR, dan lain sebagainya. Tetapi ada sebagian orang
atau umat nasrani lain tidak sempat memeriahkan dengan alasan atau pertimbangan
tertentu.
Nuansa natal dan
tahun baru di masing – masing kota di Indonesi berbeda. Banyak kota dimeriakan
dengan suasana yang aman, damai, tertib dan terkendali. Merayakan dengan
sukacita dengan kebebasan, yang artinya tidak terganggu dengan aktivitas dan
masalah – masalah lain yang sering mempengaruhi kehidupan orang. Kondisi ini
dapat didukung dengan adanya keharmonisan dan stabilisasi keadaan sosial,
budaya, dan suhu politik serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang cukup baik.
Disamping itu, dapat
didukung pula dengan keamanan dan ketertiban masyarakat umum yang dijamin dari
jajaran aparat keamanan dan militer. Situasi dan kondisi seperti mampu menjamin
masyarakat serta mampu mengantarkan kepada sukacita dan kemeriahan yang diharapkan
oleh semua pihak. Sehingga kemeriahan
dan sukacita makin dirasakan bsgi setiap anggota masyarakat juga sebagai umat
kristiani di setiap kabupaten/kota di
Indonesia bagian barat dan tengah.
Kenyamanan dan kedamaian
tersebut mengantarkan masyarakat (umat kristiani) di Indonesia kepada
penyertaan Allah melalui peringatan kelahiran Yesus Kristus menuju pembaharuan
dan penguatan iman kepercayaan, melahirkan semangat hidup baru terlebih
menyukuri atas karunia Allah sepanjang satu tahun. Bahkan berhasil menyatukan
dengan Allah dalam peristiwa penting tersebut dalam suasana yang aman dan
damai. Sukacita dan damai pun amat dihayati dan dirasakan dari setiap orang yang
menjadi basis penyelamatan sang Mesias itu sendiri.
Kondisi ini berbeda
dengan nasib masyarakat kulit hitam hitam keriting rambut yang katanya warga
negara Indonesia. Sebut saja mereka adalah orang Papua yang berada di wilayah
Indonesia paling timur, yang memiliki sumber daya alam berlimpah ruah tetapi
miskin dan menderita dari atas tanah leluhur didalam rumah yang bernama
Pancasila. Tahukah kamu bahwa hampir semua orang Papua merayakan natal dan
tahun baru dengan dukacita dalam penantian akan sukacita sejati?
Jangankan ingin merayakan
dengan sukacita dan kemeriahan kawan. Keamanan dan ketertiban masyarakat umum
yang bisa menciptakan Papua tanah damai serta merayakan natal dan tahun dalam
sukacita dan kemeriahan setengah mati. Papua ini sering dijuluki dan mengagung
– agungkan sebagai tanah yang diberkati
oleh Tuhan melalui berkat kehadiran para missionaris eropa pada 60 tahun lalu.
Tidak hanya itu, karena Papua berada di bingkai NKRI maka sering juga membangga
– banggakan UU, hukum, demokrasi dan pancasila yang mengatakan akan menjamin
kedamaian dan kesejahteraan hidup yang lebih luas.
Tidak salah kalau
orang atau kelompok tertentu sering mengkampanyekan Papua tanah damai bahkan
sampai sering mengeluarkan penyataan bahwa Papua tidak ada masalah. Pernyataan
ini sering diucapkan dimana – mana seperti di Sidang PBB, diplomasi politik
Indonesia di luar dan dalam negeri melalui berbagai cara dan strategi penuh tipu
daya. Kalau pun pernyataanya itu benar, kenapa tidak ada kedamaian, keamanan
dan ketertiban, kebebasan dan kesejahteraan umum.
Pernyataan diatas
tidak sekedar kampanye, tetapi lebih dari itu adalah menjual harga diri orang
Papua oleh negara Indonesia dan oknum atau kelompok tertentu yang gencar
mengkampanyekan Papua tanah damai atau dengan kata lain Papua tidak ada
masalah. Kenyataannya orang Papua yang tidak ada hubungan darah dengan
Indonesia termasuk 5 provinsi (Melindo) itu, mengalami penderitaan yang
berkepanjagan akibat segala bentuk penindasan, kejahatan dan kekerasan negara.
Kasus penculikan,
penembakan, pembunuhan terus menerus terjadi dimanan – mana, ruang kebebasan
berekpresi dibungkam, penangkapan dan penyiksaan pada aktivis semakin brutal,
wajah ketidakadilan makin nampak di muka umum, kesenjangan sosial semakin
melebar, dan diskriminasi senantiasa berlangsung di tanah air Papua. Semua itu
terjadi ditanah yang diberkati oleh Tuhan, tempat dimana UU, pancasila, hukum
dan demokrasi itu.
Tidak hanya itu kawan,
banyak janji – janji manis yang bertebaran di kota sampai di pedalaman Papua.
Janji terbaru adalah terkait penyelesaian kasus pelaggaran HAM Paniai berdarah,
membuka akses bagi jurnalis asing ke Papua, membangun pasar mama – mama asli
Papua dan kasus pelannggran HAM lainya. Penindasan dan janji itu bukan baru tetapi sudah lama, setiap presiden ganti
presiden sampai sekarang presiden Joko Widodo pun hanya memberikan harapan
semu, tak ada kata perubahan signifikan yang ditunjukkan dengan bukti komitmen
dan tindakan yang nyata.
Sangat ironis dan
memalukan sekali, menebarkan pernyataan kedamaian serta memberikan janji di
mata publik dengan seragam kebenaran Tuhan, UU, pancasila, hukum dan demokrasi.
Pokoknya tidak ada kata damai dan sejahtera di Papua. Walaupun itu ada, jelas
harus pertanyakan siapa, kenapa, dimana, darimana, kemana, bagaimana ia
sampaikan. Tapi lebih dari itu dan realitasnya Papua tidak damai bahkan
masyarakatnya sangat miskin di Indonesia.
Kawan kondisi diatas
sebuah realitas hidup, bukan mengkampanyekan penindasan, kejahatan dan
kekerasan, janji manis serta tipu daya yang dikampanyekan pihak lain. Situasi
diatas merupakan kenyataan hidup yang diperlakukan negara dan dialami oleh
orang pribumi Papua diatas emas dan minyak didalam rumahnya sendiri dibawah
atas bendera merah putih. Tidak ada yang
berubah, sejak orang Papua dianeksasikan ke pangkuan ibu pertiwi sampai masa UU
Otsus mau habis juga potret hidup orang Papua tetap sama.
Untuk membenarkan stegmen
itu, masing – masing anggota masyarakat yang lahir besar serta lama hidup di
Papua terutama bagi kaum masyarakat kecil kelas bisa merasakan dampak dari
nilai – nilai kehidupan diatas. Bahkan bisa dibuktikan dalam momen bersejarah
yang beru saja kita lalui, yaitu natal dan tahun. Ada sejumlah orang Papua tidak
merayakan dikarenakan oleh masalah – masalah yang dijelaskan panjang lebar
diatas.
Pada perayaan natal
dan tahun baru, oang Papua hanya berdoa dan mengucapk syukur dari rumah, rumah
sakit, penjarah, jalanan dan hutan belantara. Perayaan natal dan tahun baru
tidak dinikmati sepenuuhnya oleh orang Papua. Bukanya orang Papua sebagai
mayoritas orang kristen tidak bermaksud untuk menyelenggarakan hari besar
dengan suka cita, melainkan karena kondisi kehidupan yang penuh dengan
persoalan membuat sulit merasakan makna kelahiran Yesus dan tahun baru secara
utuh.
Bayangkan dalam dalam
suasana natal dan tahun baru saja banyak orang Papua yang mendapat perlakuan
buruk dari aparat kemanan dan militer di berbagai daerah di Papua. Pada 19
Desember dilaporkan ± 500-an orang Papua. Dari sekian jumlah yang ada, banyak
yang mengalami luka serius sampai sekarang tak kunjung sembuh. Selain itu,
sejumlah aktivis dan rakyat sipil lainnya juga dikabarkan masih ditahan dan dikenakan
pasal makar tanpa bukti yang jelas.
Keadaan di Papua saat
ini menjamur dengan kekerasan dan kejahatan, sedikit demi sedikit mengarah pada
penagkapan, penyiksaan, diskriminasi, pertumpahan darah dan korban nyawa
manusia. Tidak ada ruang gerak untuk menghirup udara segar hidup, yang ada
hanya polusi konflik buatan manusia dan bauh nyawa manusia yang membusuk di
segala tempat. Jangankan maun pergi menghirup udara di tempat yang sunyi kawan,
mau bergerak dengan jaminan Hak Asasi Manusia dengan titel sarjana teologi
dengan status pendeta atau pastor saja dimata – mata dan diancam nyawa.
Apalagi tokoh dan masyarakat
biasa, itu parah pemburuh darah semakin gila – gilaan. Nilai kemanusiaan benar
– benar di tanah Papua. Belum lagi dengan memorry
passionis masa lalu. Rasa trauma atas tindakan kebrutalan aparat
keamanan dan militer Indonesia terhadap kaum
pribumi Papua sejak infiltrasi menjelang PEPERA sampai sekarang masih
berlanjut. Persoalan lain seperti kesejahteraan ekonomi masyarakat yang makin
terpuruk, konflik kepentingan politik (pemilukada), isu SARA dan lainnya sulit
memastikan Papua itu DAMAI.
Kondisi diatas benar
– benar mengalihkan segala niat baik orang Papua untuk melakukan kegiatan atau perayaan
besar. Sementara itu, sebelum maupun sesudah perayaan natal dan tahun baru masih
saja terdengar terdengan kabar tentang penangkapan, penyiksaan, diskriminasi,
penembakan, pembunuhan dan lain sebagainnya. Bahkan sampai detik ini pun terus
berlanjut tanpa henti – hentinya. Sulit betul, untuk merasakan sukacita dan
damai natal dan tahun baru.
Oleh karenanya,
banyak orang yang hendak merayakan natal dan tahun baru dengan sukacita dan
damai berubah menjadi dukacita. Terkesan perayaan suci tersebut tidak berjalan
sesuai dengan harapan semua orang asli Papua. Kalau pun ada orang yang
berpendapat kami rayakan hari suci dengan bebas, berarti itu adalah kebebasan
semu. Kalau ada yang bilang kami merasakan sukacita dan damai natal dan tahun
baru berarti itu hanya sukacita dan damai yang semu.
Kendati Papua adalah
tanah yang diberkati Tuhan dan basisnya UU, pancasila, hukum dan demokrasi
tetapi sangat tidak menjamin masyarakat atau umat di Papua untuk menggelar
natal dan tahun baru secara aman, damai dan terkedali. Hanya kekerasan dan
kejahatan yang bisa mewarnai pada momen tersebut. Sehingga semua orang Papua tanpa
terkecuali merayakan natal dalam suasana dukacita yag mendalam.
Akhir kata, dalam
suasana dukacita yang mendalam, atas nama pribadi dan orang Papua sembari
menantikan sukacita sejati mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga
dengan masuknya tahun baru ini dapat memperbaharui iman, tindakan, cara dan
potret hidup kita masing – masing. Semoga damai, sukacita dan kebahagiaan
sejati yang kita harapkan dapat dirasakan dalam tahun yang baru ini. Damai
Sejahtera dari Allah Bapa melalui perantraan Yesus Kristus yang lahir di
kandang hina membimbing, menuntun dan memberkati kepada kita sekalian.
“Imanuel”
Penulis adalah anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.
0 Komentar