Mohammad Sobary
SEJARAH
kita, ilmu pengetahuan yang semestinya dibangun di atas himpunan data ilmiah
yang diverifikasi, disaring, ditampi dan dipilah hingga yang tampil cuma
tinggal onggokan obyektivitas, premis-premis dan teori-teori yang siap diuji
ulang, dan dipertanyakan keabsahannya oleh pihak mana pun, ternyata masih sarat
dengan nilai-nilai, dan penuh dengan dunia makna, dan karena itu dengan
sendirinya bertentangan dengan tuntutan obyektivitas keilmuan. Penilaian
politik, yang tak selalu bebas dari pemihakan dan penolakan atas seseorang,
atas suatu peristiwa atau suatu benda bersejarah, masih selalu hadir, apa lagi
bila para penguasa yang suka, atau tak suka, diuntungkan, atau dirugikan oleh
kehadirannya, ikut pula memberikan penilaian menurut kepentingan politiknya,
dan sejarawan yang menggelora jiwanya merasa mendapat tempat dan kesempatan
emas bergandeng tangan dengan sang penguasa seperti layaknya mentalitas para
sejarawan kraton.
Meskipun kraton-kraton tak lagi
relevan secara politik, para sejarawan kraton, pujangga-pujangga kraton, para
empu kraton, dan juga para ulamanya-pendeknya semua tukang stempel dan pemberi
legitimasi politik, moral dan agama, pada hakikatnya masih jaya, dan
rumah-rumah mereka bukan lagi di padepokan, atau pesantren di desa, melainkan di
gedung-gedung mewah di kota, dengan mobil super mewah, dan segenap gemerlapan
dunia lainnya yang bisa saja datangnya sangat mendadak.
Di masyarakat kita para
sejarawan, dan empu sejarah, tampaknya juga sama dengan orang lain: mereka
memerlukan pahlawan, atau benda mungkin benda pusaka-dan bahkan juga kuburan,
untuk dikagumi karomahnya, dan tuah-tuah serta daya magisnya.
Ringkasnya, dalam sejarah,
politik, dan agama, kita memerlukan "patung" pujaan.
"Patung" itu kita elus-elus, kita "pundi-pundi", dengan mantra
dan kemenyan, agar kesakralan makin jelas, sehingga makin jelas pula bahwa
"religio magisme" yang semestinya cuma menghuni wilayah kesadaran
spirituil, ternyata mewarnai pula kehidupan ilmiah, dan politik kita.
Ini barangkali akibatnya bila
sebuah bangsa merdeka secara politis, tapi belum bebas, belum otonom secara
kebudayaan, dan mengembangkan pemikiran kritis ilmiah dengan sendirinya belum
mentradisi secara mapan. Kita kurang terdidik.
Ibu Kartini yang sangat
terpelajar cukup kita peringati dengan lomba memasak dan pasang sanggul. Bung
Karno, aktivis sejati, seniman beken dan budayawan unggul yang cerdas dan
populis, dan kharismatis, cukup dipuja di kuburnya, dan di partai cuma bisa
melahirkan kakaguman dan fanatisme. Di NU Mbah Abdul Qodir Jaelani
rahimahullah, intelektual agung, cuma diperingati lewat manakib sebagai ritus
tahunan untuk mengharap karomahnya. Dan ini pun simbol sebuah pemujaan yang
melembaga.
Al Quran yang penuh hikmah, penuh
ilmu pengetahuan, lebih kita baca untuk orang mati, sebagai ritus penghormatan,
dan bukan untuk mengubah dunia menjadi lebih adil, tenteram dan manusiawi.
Cahaya Al Quran dan ilmu hikmah di dalamnya-ilmunya para nabi, dan orang-orang
muhlish-tak tergapai oleh kita.
Juga tidak oleh para politisi,
yang profesor sekalipun, karena di sana yang mereka unggulkan bukan kerendahan
hati dan keikhlasan berburu kebenaran, dan menadah ridlo
Tuhan, melainkan memuja dan menista, mengkultuskan dan mencaci tokoh lain,
sehingga sejarah politik kita cuma berisi perputaran rutin, dan memuakkan
antara memuja, dan menista, dan memuja lagi, kemudian menista lagi, dan lagi,
dan lagi. Sebuah bangsa yang sudah hampir enam puluh tahun usianya, lalu pantas
saja bila masih puber sikap politiknya. Saya kira, Indonesia ini kasta paria terbesar
dunia.
***
MEMUJA dan menista cuma
menciptakan tragedi demi tragedi dalam sejarah. Ini menyangkut nasib manusia,
dan biasanya ia pemimpin bangsanya. Dan efeknya buruk sekali bagi kehidupan,
dan cara-cara kita membentuk peradaban. Kita tahu itu. Tapi mengapa bangsa kita
seolah tak pernah belajar dari sejarah, dan tidak memetik kearifan didalamnya.
Bung Karno pernah kita
panggul-panggul, dan kita kultuskan sebagai presiden seumur hidup, sang
pembebas, proklamator, pemimpin besar revolusi, dengan menggebu-gebu, seolah
hidup bakal abadi. Setelah politik berubah, pemimpin berganti, dan haluan pun
berbelok arah, Bung Karno dianggap ancaman berbahaya. Kita, ibaratnya, lalu
mengubur beliau hidup-hidup, karena kita takut. Setelah wafat pun jasadnya
masih dianggap menggetarkan, dan membikin kerdil para pemimpin yang
menggantikannya. Roh belia pun perlu juga dikubur demi stabilitas. Tapi
bukankah itu berarti kita mengubur nasib bangsa, dan sejarah kita sendiri?
Apa gerangan yang membuat kita
menjadi begitu kejam, atau naif, dan tidak sehat memandang sejarah, dan peran
manusia di dalamnya, dan menyepelekan kematian dan pertumpahan darah di dalam
tragedi-tragedinya? Saya kira, jawabnya, karena kita punya kebutuhan saling
bertolak belakang di saat yang sama. Kita, seperti disebut di atas, butuh
pemujaan buat menghidupi dimensi malaikat dalam jiwa kita, tapi kita juga butuh
sesuatu buat dihancurkan, dan dinista serendah-rendahnya agar nafsu setan, yang
menempel lekat dalam jiwa kita pun terpenuhi.
Perkembangan dialektis antara
malaikat dan setan di dalam jiwa kita, dan kesadaran dalam perjuangan merebut
panggung sejarah dalam peradaban kita, membentuk watak, kecenderungan, cara
pandang, sikap dan tingkah laku kita di dalam politik. Dan sampai detik
ini-mungkin sebagian karena kegagalan sistem pendidikan nasional kita- hanya
yang serba buruk, nista, dan memalukan belaka yang dapat dipetik dan
diteladani, bahkan dibanggakan, oleh para politisi kita.
Gus Dur, sebagai intelektual,
budayawan, aktivis, humanis, dan tokoh pluralis, dan guru bangsa, juga memiliki
jiwa sang pembebas seperti Bung Karno. Dan seperti Bung Karno, Gus Dur pun
dipanggul-panggul, di Senayan, dan dijadikan presiden. Ia bukan yang terbaik,
melainkan yang paling sedikit keburukannya, dan juga dianggap sebagai unsur
penyelamat keadaan. Kalau ia tak dijadikan presiden, kata mereka bangsa akan
remuk.
Betulkah sepeduli itu mereka saat
itu? Cuma Tuhan yang tahu. Tapi orang-orang yang sama, dengan mencari barisan
lebih banyak, sekarang mau menjagal Gus Dur untuk dinistakan. Kita sudah
menguburnya sekarang, dengan segenap kebencian yang patut dipertanyakan
keadilannya. Kita sekarang sedang mencoret-coret sejarah kita sendiri, dan
coretan itu, sekali lagi, penuh nafsu. Ada nafsu memuja, mengkultuskan, ada
nafsu menghina, meremehkan dan menistakan sesama.
Kompas 10 Juni 2001
0 Komentar