(Sebuah Kenangan)
Oleh; Ricky Waromi
Mahasiswa Jurusan Antropologi Uncen. Foto; Daniel Randongkir |
“Kenapa sampai Paitua Bandung satu ini dia nekat datang ke
Irian Jaya, padahal waktu itu situasinya
serba sulit dalam segala hal, baik itu dari aspek pembangunan, politik dan
ekonomi. Semuannya masih serba susah!”
Pertanyaan itu merupakan sebuah
pengantar untuk saya menelusuri dan membagi kisah perjalanan Barkis Suraatmadja,
seorang dosen idealis yang mengajar di Jurusan Antropologi Universitas
Cenderawasih.
Barkis menempuh perjalanan panjang
yang berliku menuju Irian Jaya di tahun 1978, tidak banyak yang tahu kisahnya.
Pada masa itu lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih baru berbenah dalam
meletakaan dasar dalam bidang pengajaran. Awalnya, lembaga Antropologi mengemban
tugas dibidang penelitian dan permuseuman, lalu dikembangkan lebih jauh kedalam
bidang pengajaran yang kemudian melahirkan jurusan Antropologi. Barkis salah
satu dosen yang membentuk dan membangun karakter mahasiswa dan mahasiswi di jurusan
Antropologi Universitas Cenderawasih.
Barkis hadir sebagai dosen yang
mengajar di Jurusan Antropologi saat situasi dan kondisinya masih “serba apa
adanya”. Dalam kondisi yang serba minim tersebut, beliau tetap memiliki
komitmen yang kuat untuk memajukan anak-anak didiknya untuk menjadi Sumber Daya
Manusia Irian Jaya yang memiliki integritas dan berkualitas.
Kuliah
Perdana
Saya masuk di Universitas
Cenderwasih Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik di Jurusan Antropologi tahun 2000. Bulan September tahun 2000
merupakan awal pertemuan saya dengan Pak
Barkis Suraatmadja. Saat itu, ia akan mengajar mata kuliah ORSOS (Organisasi
Sosial dan Kekerabatan). Mata kulian ini menjadi perhatian kami, karena kami
tidak pernah mendengar apalagi membaca tentang organisasi sosial dan
kekerabatan saat masih di bangku sekolah menengah atas (SMA).
Saya dan teman-teman bertanya-tanya
dalam penantian kami disamping ruang Jurusan Antropologi, dengan suasana hati
yang berdebar-debar dan berpikir seperti apakah mata kuliah ORSOS (Organisasi
Sosial dan Kekerabatan).
Saat kami duduk disamping ruang
Jurusan Antropologi, munculah beberapa orang senior kami yaitu Daniel Tesia dan
Markus Dwemanser. Mereka berdua datang menghampiri kami dan bertanya, “Apakah
hari ini Pak Barkis akan mengajar ORSOS?” Teman seangkatan pun merespon kedua
senior kami. Mereka mengatakan benar sebentar akan ada mata kuliah tersebut.
Kehadiran kedua senior ini membuat kami tanpa banyak basa-basi, langsung
menanyakan apa sebenarnya yang berhubungan dengan mata kuliah Organisasi
Kekerabatan. Mereka menjelaskan tetang mata kuliah ORSOS, tapi ada satu hal lagi
yang mereka sampaikan, Pak Barkis yang mengasuh mata kuliah ini merupakan
seorang dosen yang di takuti dan disegani oleh mahasiswa dan mahasiswi karena
kedisiplinannya.
Pak Barkis (tangah), berbaju putih dan memegang tongkat. Foto; doc. Øystein Lund Andersen |
Tidak berapa lama kami menunggu, Pak
Barkis Suraatmadja datang dengan mengenakan Batik Papua. Berwarna merah di
padukan dengan celana Sikabayan ala budaya Sunda dan membawa tongkat rotan. Saya
sebagai seorang yang memiliki jiwa humoris bersama seorang teman saya Mordekai
Isir tertawa kecil melihat penampilan beliau. Lalu Mordekai Isir bicara dengan logat
Sorong (Ayamaru) “Bahhhhh Pace ini Dia
punya model bagaimana niihhh”. Kami
pun masuk kedalam ruangan dan langsung memperkenalkan diri satu dengan yang
lainnya. Sebelum kuliah dimulai, beliau menaruh sebuah jam kecil diatas meja
dan beberapa buku yang masih baru bersama pena.
Dalam ingatan saya ketika mulai
kuliah, Pak Barkis memegang spidol dan menyuruh Nelson Gebze untuk menggambarkan
struktur kekerabatan keluarga Gebze. Nelson dengan wajah bingung disertai
dengan ketidaktahuannya, terpaksa harus maju dan menggambarkan bagan struktur
keluarga mereka. Walaupun banyak kesalahan yang dibuat, Pak Barkis membantunya
dan hal itu. Mata kulian ini menjadi pelajaran perdana yang menyenangkan bagi
kami semua, untuk kedepan kami dapat lebih memahami ORSOS yang dianggap menakutkan di Jurusan
Antropologi.
Dalam aktifitas belajar kami,
pelan-pelan kami mulai belajar banyak dari Pak Barkis terutama DISIPLIN. Hal
ini menjadi faktor pembeda antara Barkis dan semua Dosen di Jurusan
Antropologi.
Masih segar dalam ingatan saya, kami
sebagai mahasiswa tidak memegang kartu absensi. Pak Barkislah yang memegang
kartu kami, saat mengajar ia memanggil, lalu memberikan kartu kami. Setelah ditandatangani
kartu tersebut langsung dikembalikan padanya. Hal ini membuat tidak ada satupun
diantara kami yang mampu berbohong ketika tidak mengikuti perkuliahan.
Masuk ruangan kuliah dan pulang
kuliah disesuaikan dengan jam. Ketika beliau sudah ada didalam ruang, maka
ruangan dikunci. Anda tidak dipersilahkan masuk, walaupun hanya terlambat satu
menit. Ketika jam weker berbunyi itu tanda nya pulang, tidak ada waktu yang ditambah
atapun dikurangi.
Jika Pak Barkis berhalangan
mengajar, ia akan ke kampus dan menempelkan infromasi di papan pengumuman
jurusan antropologi, besok tidak ada kuliah ORSOS. Menurut Pak Barkis, hal itu
dilakukannya karena ia tidak mau mahasiswa ke kampus, dan menunggu seorang dosen
dengan ketidakpastian. Selain itu, mahasiswa juga membuang ongkos taxi atau ojek.
Tugas pertama kami yang baru
mengikuti mata kuliah ORSOS, mengerjakan tugas secara individu. Saya kaget dan
tak menyangka, akan di tolak Pak Barkis. Hari itu saya dengan percaya diri ke
kampus, lalu menuju ruang dosen. Jam menunjukkan pukul 11.00. Saya mengetok
pintu, lalu masuk menuju Pak Barkis, “Pak saya ingin mengumpulkan tugas.”
“Waromi, kamu kan tau bahwa tugas itu dikumpulkan jam
12.00, jadi sekarag kamu tunggu diluar sampai jam yang ditentukan baru kamu
bisa masuk mengumpulkan tugas kamu,” katanya
dengan santai.
Saya pun keluar dan menunggu hingga
pukul 12.00 tepat, bersama beberapa kami dipersilahkan masuk. Mereka yang
terlambat tidak dipersilahkan masuk dan tugas mereka di tolak. Kalau mau
dipikir, kebanyakan dosen biasanya lebih senang mahasiswa mengumpulkan tugas
lebih awal dari waktu yang ditentukan. Tapi itulah Pak Barkis!
Praktek Kerja Lapangan Melatih Kemampuan Analisa
Waktu terus merambat, tahun 2002
kami menempuh PKL (Praktek Kuliah Lapangan). Pak Barkis memimpin kami untuk
melakukan PKL. Ia memberi topik penelitian; PERMAINAN ANAK-ANAK. Topik ini akan
menjadi fokus aktivitas kami selama PKL.
Teman ompreng Mordekai Isir dan
saya, kami berdua berasal dari Sorong tersenyum. Topik permainan anak-anak
membuat kami bingung dan bertanya-tanya. Sambil berbisik saya mengatakan pada
Mordekai, “Paitua sudah tidak ada mata
kuliah lain lagi ka? Sampai Paitua Barkis bawa anak-anak kecil dong punya
permainan lagi kedalam perkuliahaan ini.“ Mordekai hanya tersenyum.
Dengan wajah tenang dan jiwa yang
sabar, kami semua tetap fokus untuk mengikuti arahan dari Pak Barkis. Berbagai
proses kami lalui, mulai dari pembagian tim hingga penentuan lokasi PKL. Lokasi
penelitian yang kami pilih adalah kampung Maribu yang berada di wilayah
administratif kabupaten Jayapura.
Saat kami turun ke kampung Maribu,
kami mulai dengan memperkenalkan diri pada aparat pemerintah kampung, Ondoafi
dan seluruh masyarakat kampung. Kemudian dilanjutkan dengan observasi kesetiap
sudut kampung. Dalam perjalanan mengelilingi kampung seekor ular melintas kami
semua panik, tetapi Mordekai dengan tenang mengakiri perjalanan hidup sang ular.
Ia lalu membawa ular tersebut untuk dimasak tanpa sepengetahuan Pak Barkis. Ketika
beliau tahu, dengan penuh emosional ia memanggil dan mengatakan “Isir hari ini juga kamu pergi menginap di rumah
warga, terpisah dari kami. Bawa semua perlengkapan masak yang ada di ditempat
ini, biar nanti besok kami akan ke pasar Sentani untuk membeli yang baru!” Saya
bersama Jimmy Gazpers hanya bisa memegang perut yang sebentar lagi akan meledak,
akibat tak kuasa menahan tawa melihat Mordekhai yang duduk bingung.
Keesokan harinya kami memulai
kegiatan melakukan pengamatan dan pengumpulan data, permainan anak-anak di
Kampung Maribu. Saya, Mordekhai Isir dan Jimmy Gasperz mendapat bagian untuk
mengambil data permainan anak-anak, pertama; melucur dengan mengunakan pelapah
pinang atau nibun dari lereng bukit yang tidak terlalu terjal. Permainan ini dilakukan
oleh dua sampai dengan tiga orang. Permainan kedua yang kami data adalah permainan
tali tengah/tali masuk. Setelah data di ambil kemudian di analisis, apa manfaat
yang terkandung di dalam permainan tersebut.
Hasil penelitian tersebut
memberikan gambaran bagi kami, permainan yang di lakukan anak-anak akan
membentuk budaya dalam diri anak untuk menjaga keseimbangan di dalam berinteraksi,
berkomunikasi dan membaur antara satu dengan yang lainnya. Di akhir dari
kegiatan PKL, saya masih ingat Pak Barkis mengatakan “Pada masa yang akan
datang, kalian akan melihat perubahan, dampak dan pengaruh permainan modern dalam
membentuk karakter anak-anak”.
Tahun
Ke Empat Yang Mengesankan
Memasuki tahun ke empat masa
perkuliahan di Jurusan Antropologi, saya memasuki fase menulis tugas akhir
(SKRIPSI). Dosen pembimbing saya adalah Bapak Barkis Suraatmadja, Ibu Marlina
Flassy dan Bapak Fredrick Sokoy.
Sore pukul 4.00, waktu yang di
berikan Pak Barkis untuk proses bimbingan. Saat saya pertama kali bertandang ke
rumah Pak Barkis, saya heran melihat pintu rumahnya dikunci dengan mengunakan
slot (gembok) bermerek Globe. Ukuran slot yang sangat besar membuat saya teringat
pda gudang-gudang container yang berada di pelabuhan. Ukurannya sama persis.
Dalam hati saya bertanya, ini rumah atau gudang.
Setelah saya mengetuk pintu pagar,
beberapa saat kemudian Pak Barkis keluar dan membuka slot yang berukuran besar
tersebut. Ia masuk dan saya mengikutinya, lalu pintu rumah di buka dan saya di
persilahkan masuk setelah saya duduk, Pak Barkis pun bertanya; “Waromi kamu tau kamu sekarang sedang apa?”
Dengan wajah bingung saya menjawab, “Pak saya sedang bertemu dengan Bapa
sebagai pembimbing saya.”
Beliau pun mengatakan "Itu benar,
tetapi saya sebagai dosen pembimbing tidak bisa menerima kamu saat ini karena
cara berpakaian kamu. Seharusnya ketika kamu akan menjadi seorang sarjana, kamu
sudah harus dewasa dalam berpikir. Mengubah karakter kamu yang sering
mengunakan celana dan sendal jepit ketika kamu kuliah. Karena ketika kamu
dihadapkan dalam dunia kerja, kamu akan berhadapan dengan budaya baru yang
mengharuskan kamu untuk disiplin. Salah satunya mengenai kerapihan." Setelah
memberikan nasehat kepada saya beliau menyuruh saya pulang untuk menggunakan
sepatu, kemeja dan kembali untuk melakukan pembimbingan. Disiplin menjadi ciri
khas Barkis selama proses bimbingan.
Seringnya saya datang untuk
mengikuti pembimbingan di rumah Pak Barkis, membuat saya akhirnya tahu salah
satu hal unik Pak Barkis. Baju batik Papua yang berwarna merah dan celana
panjang hitam, khas Si Kabayan dan mungkin merupakan budaya Sunda. Selama ini
persepsi yang terbangun dalam pemahaman kami para mahasiswa, beliau hanya
memiliki satu pakaian yang selalu di pakai ketika mengajar di kampus. Ternyata
presepsi itu salah besar. Suatu malam di akhir jam bimbingan skripsi, saya
diajak Pak Barkis untuk makan bersama. Menu makan saat itu, ketang rebus, sayur
boncis rebus dan telur rebus. Sambil duduk dimeja makan sayapun meperhatikan
kesekeliling ruangan. Terlihat sebuah gantungan pakaian, disana tersusun batik
Papua berwarna merah kurang lebih enam kemeja dan juga enam celana Si Kabayan
berwarna hitam.
Hari berganti seperti air yang
mengalir dengan deras, saya pun tiba di akhir masa bimbingan bersama Pak
Barkis. Saat terakhir saya ke rumah beliau, kita tidak banyak membahas mengenai
skripsi. Pak Barkis hanya mengatakan “Waromi
hari ini kita tidak berbicara tentang skripsi hari ini saya akan lebih banyak
memberikan nasehat kepada kamu.” Dari semua nasehat yang beliau sampaikan
hanya tiga hal yang saya ingat hingga saat ini. Pertama; harus tetap disiplin dalam
segala hal. Kedua; rajin belajar walaupun kamu sudah selesai dari bangku
perkuliahan dan yang terakhir harus menjadi orang yang rendah hati.
Di akhir perbincangan kami, beliau
mengatakan kesan beliau tentang Papua “Waromi,
kamu harus tau bahwa saya bertahan di Papua karena saya memang cinta terhadap
orang Papua, semenjak saya menginjakan kaki pertama kali di tempat ini. Sayang
sekali pada waktu saya datang ke Papua saya sudah berkeluarga. Kalau saya masih
masih bujang saya akan memilih untuk menikah dengan perempuan Papua.”
Satu minggu setelah pertemuan di
rumah Pak Barkis, saya mengikuti ujian skripsi. Kaka perempuan mengantar saya ke tempat ujian—saat
ini tempat ujian tersebut digunakan anak-anak antropologi sebagai tempat
berkumpul dan berdiskusi. Mami datang lebih dulu ke tempat ujian dan menunggu
dosen penguji, secara tidak sengaja kaka saya bertemu dengan Pak Barkis. Mereka
saling bersalaman, terheran-heran lalu saling menanyakan bagaimana keadaan masing-masing.
Pak Barkis bertanya kepada kaka saya, “Ani selama ini kamu dimana dan baru
muncul ditempat ini?”
“Saya di Jayapura, dan saya berada
ditempat ini karena mengantarkan adik saya yang akan mengikuti ujian,” kata
kaka sambil menunjuk ke arah saya.
Setelah selesai ujian saya pun
bergegas pulang ke rumah dengan perasaan senang bercampur aduk. Saya penasaran dan
ingin tahu, kenapa sampai kaka saya begitu akrab dengan Pak Barkis Suraatmadja.
Ketika sampai dirumah, saya menanyakan keakrabannya dengan Pak Barkis. “Pak Barkis saya kenal saat kami mewakili
Uncen ke Jakarta. Saat itu Pak Barkis sebagai Dosen teladan dan Saya sebagai
Mahasiswi teladan. Kami berdua meneriman penghargaan di Istana Negara
bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke-42.”
Dari cerita yang disampaikan oleh
kaka perempuan saya, ada sebuah gambaran yang jelas. Saya menyimpulkan bahwa
predikat sebagai dosen teladan itulah yang membuat Barkis Suraatmadja berbeda
dari dosen-dosen di jurusan Antropologi. Saya pun berpikir tanpa mengucilkan
dosen-dosen lainnya, coba kalau ada 5 sampai 10 orang seperti Barkis, saya
yakin dan percaya Antropologi Universitas Cenderawasih akan mencetak Antropolog
yang memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dia Yang Selalu Mengenal Kami
Setelah menyelesaikan studi
saya di Universitas Cenderawasih pada tahun 2005, saya mendapat kesempatan
untuk berkerja di lembaga swadaya masyarakat, juga di beberapa perusahan asing
yang berada di Papua. Disela-sela kesibukan saya, pada suatu waktu saya
berjalan di sore hari dengan tujuan ke arah toko SAGA Abepura. Setelah turun
dari taxi Waena-Abe saya berjalan dari Merpati melewati toko Citra. Pada saat
saya melayangkan pandangan jauh kedepan saya melihat Barkis sedang berjalan
berlawanan arah. Dia ke arah rumahnya—dekat lapangan Trikora. Saya berjalan ke arah
toko SAGA.
Sambil memperhatikan langkah
beliau, saya mengatur strategi. Apabila Pak Barkis lewat disebelah kiri maka
saya akan melewati sisi Pos yang sebelah kanan demikian sebaliknya, agar dapat
menghindarinya.
Saya berharap semuanya akan
berjalan sesuai dengan rencana dalam hati kecil saya. Setelah melihat
pergerakannya Pa Barkis yang memilih melwati sisi Pos yang sebelah kiri, maka
saya memilih melewati sisi sebelah kanan dengan harapan terhalang dari pos. Tetapi
yang terjadi ketika saya akan melewati Pos, Pak Barkis dengan suara dan dialek
Sundanya menyapa saya “Waromi bagaimana
kabar kamu, sekarang sudah sukses ya, makanya kamu sudah lupa dengan saya.”
Mendengar suaranya, saya
seperti kena strom. Lalu dengan perasaan malu saya menghampirinya. “Maaf Bapa,
saya tidak melihat Bapa,” kami pun berbincang ala kadarnya, ia bertanya tentang
pekerjaan saya, kami kemudian berpisah. Dalam perjalanan menuju SAGA saya
bergumam, “Setelah berpisah kurang lebih empat tahun, beliau yang usianya sudah
lanjut dan memiliki banyak mahasiswa yang di asuh dalam perkuliahan, menjadi
dosen pembimbing tugas akhir, tetap masih mengingat saya.”
Ricky Waromi (Komunitas Sanggar Gantrocen)
0 Komentar