Perempuan Itu

Oleh: Aprila Wayar*

Hari hampir senja tetapi aku masih harus menyelesaikan beberapa agenda kerja untuk keperluan kantor besok. Sebenarnya aku sudah tidak sanggup karena wajah kedua anakku terus membayangi. Uh, ingin rasanya terbang ke rumah dan memeluk kedua kesayangan itu.

Saat yang dinantikan tiba, bos telah memperbolehkannya pulang. Ah, menjadi staf sebuah bank memang impian banyak perempuan muda tetapi pada kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak tantangan yang harus dihadapi, terlebih dari sesama rekan kerja ataupun atasan. Belum lagi masalah pribadi yang juga seolah tak berujung. Ah, seandainya saja, runtukku dalam hati.

Akhirnya ada kesempatan juga mengaktifkan telepon genggam. Baru beberapa detik aktif, pesan masuk dan notifikasi beberapa media sosial bergantian masuk. Mataku hanya memperhatikan pesan masuk, jantung terasa berdebar lebih kencang. Nomor itu lagi, terus saja mengganggu. Ah, aku tak ingin membaca pesan ini sekarang, nanti di rumah saja, kataku dalam hati.

Di halaman parkir, ternyata aku tak sanggup menahan rasa penasaran. Tangan masuk ke saku, meronggoh telepon genggam. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, kuputuskan membaca pesan-pesan dari perempuan itu

"Eh, kamu itu pengganggu hubungan orang. Bukan karena Doddy menikahi kamu, dia adalah milikmu. Dia itu milikku sebelum kamu hadir dalam hidupnya. Dia akan tetap menjadi milikku selamanya."

Mendidih rasanya darah di dalam tubuhku. Perempuan ini tetap saja mengganggu hubunganku dengan Doddy. Uh, bukan hanya satu pesan, ada tiga. Aku merasa harus menghela nafas sebelum membaca pesan kedua. Mengingat namanya saja rasa mual tiba-tiba muncul.

"Kamu boleh saja menikah dengan Doddy tapi setiap malam, Doddy ada di dalam pelukanku. Kamu mau aku kirimi foto kami?"

Semakin kurang ajar perempuan satu ini. Didiamkan malah semakin menjadi-jadi. Andai saja kesabaran bisa dibeli, aku akan membeli sebanyak mungkin. Wajah suamiku muncul bergantian dengan wajah Etha, ya Etha, perempuan tidak tahu malu yang belakangan hadir diantara kami. Aku hanya melihat wajahnya melalui di media sosial. Wajahnya seperti kebanyakan perempuan Papua, hanya saja make up tebalnya menunjukkan kebiasaannya keluar masuk salon, tidak ada yang terlalu menarik dari wajahnya. Cara berpakaiannya modis, ala kota besar Indonesia.

"Kalaupun Doddy tidak mengakui keberadaanku padamu, itu hanya untuk menjaga perasaanmu saja. Dia sama sekali tidak mencintaimu, apa yang terjadi diantara kalian hanyalah 'kecelakaan' yang tidak harus berujung pada pernikahan."

Kutenangkan diriku beberapa saat sebelum mengendarai motor pulang ke rumah. Ah, di rumah tentu ada anak-anak yang selalu membuatku merasa berharga. Melewati jalan-jalan yang sama di ujung senja. Entahlah, senja tak lagi sama atau aku yang tidak lagi menyukai senja karena senja selalu mengingatkanku pada Doddy dan kemesraan kami. Aku tak marah pada senja, hanya saja senja telah berubah.

"Ra, yang aku tahu, Etha itu tinggal di Jakarta. Pacarannya sama bos-bos dari Papua," suara Wati di ujung telepon.

"Oh yah? Kamu tahu dari siapa?" tanyaku penasaran

"Kamu seperti tidak tahu anak-anak Papua di Jakarta. Informasi cepat tersebar, apalagi yang seperti itu," ujar Wati lagi.

"Ada yang bilang, sekarang dia sering pulang pergi Jakarta - Sulawesi. Jangan sampai dia ikut suamimu di sana," lanjut Wati lagi.

Wati adalah sahabat baikku 16 tahun terakhir dimana persahabatan kami dimulai saat aku menginjak bangku kuliah. Dia juga tempat mencurahkan segala permasalahan dan perasaan. Aku tidak ragu sedikitpun pada ucapannya karena ini bukanlah pertama kalinya aku mendengar kabar seperti ini tentang Etha. Pembicaraan kami semalam meninggalkan kekhawatiran lain yang tak mampu kuceritakan, bahkan pada Wati sekalipun.

Hubunganku dengan Doddy tidak lagi sama, sejak tiga bulan kehadiran Lee, putri kami di dalam kandungan, aku tak lagi merasakan hangat peluknya hingga saat ini. Berbagai perasaan muncul dan ini membuatku semakin galau dalam menjalani hari-hari yang terasa semakin berat. Ingin rasanya kuludahi wajah perempuan tidak tahu malu ini. Apapun yang terjadi, aku berjanji, tidak akan menyerah pada keadaan. Mempertahankan Doddy adalah hak penuhku sebagai istri tetapi bagaimana mungkin kulakukan bila Doddy sendiri tidak pernah mengakui hubungannya dengan Etha. Aku hanya perlu alasan yang tepat untuk menjalani hari seberat apapun.

Kekhawatiranku tidaklah berlebihan. Sebuah boarding pass Sulawesi - Jakarta kutemukan di dalam tas milik Doddy saat kedatangannya pada saat Lee lahir. Saat kutanyakan, ia mengelak. Katanya itu saat tugas dari kantor, tapi kok aku tidak tahu atau sengaja tidak diberi tahu, tanyaku. Ia mengalihkan pembicaraan dengan kasar dan  sengaja mempertanyakan hal yang menyakitiku.

Sejak itu, aku tahu kalau ada yang sedang ditutupi. Awalnya aku cemburu dan meminta penjelasannya tetapi melihat caranya menjawab, entah mengapa, hatiku menjadi tawar. Entah pada siapa aku dapat bercerita. Ada saatnya, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia lalu meneteskan air mata, kata-kata Bung Karno ini pas dengan suasana hatiku.

"Kalau kamu takut sama HIV, kamu harus VCT dulu supaya ada alasan meminta suamimu juga VCT. Apapun hasilnya," kata Amel, kakak sepupu yang sebenarnya lebih jadi teman curhat.

Kekhawatiranku adalah terkena HIV/AIDS karena dari cerita yang kuterima, ia terkenal sering gonta-ganti pasangan apalagi dengan lelaki berkantong tebal. Apalagi tingkat kematian generasi muda Papua akibat penyakit ini cukup tinggi enam tahun terakhir. Terang saja ini membuatku galau dan resah.

Tentu saran Amel tidaklah mudah kulakukan karena Wamena bukan kota besar. Hampir semua penghuni kota ini kenal satu sama lainnya. Akan muncul banyak pertanyaan, mengapa aku melakukan VCT. Mereka juga tahu, Doddy bekerja di Sulawesi. Ah, andai Amel ada di sini, biarlah dia menemaniku melakukan VCT. Tiba-tiba aku jadi rindu padanya.

Waktu terus merangkak, perasaanku mulai membatu seiring tidak adanya kabar dari Doddy. Mungkin ia lelah. Bahkan pada saat hari bahagiaku, ia menelepon menggunakan telepon kantor untuk mengucapkan selamat ulang tahun karena tidak ada pulsa. Hm, aku tidak lagi berharap banyak pada hubungan ini. Aku hanya ingin kejujuran.

Kedua anakku adalah kebahagiaan terbesarku. Fokus pada pekerjaan dan anak-anak adalah prioritas. Aku tetap berusaha semampunya menjadi istri yang baik. Aku meminta Tuhan mengajarkanku untuk lebih bersabar. Seperti kata Kahlil Gibran, sastrawan dunia, orang yang berjiwa besar memiliki dua hati; satu untuk menangis dan satu lagi untuk bersabar. Semoga aku bisa menjadi orang yang berjiwa besar. (*)


*Aprila Wayar; Jurnalis dan penulis novel

Posting Komentar

0 Komentar