Penulis
: JOHN N.R GOBAI
Ilustrasi |
Pengantar
Dengan
berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara
secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak
atas wilayah adat dan SDA. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan
mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan
kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
(1)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat,
dan pemerintah (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Pelanggaran
terhadap hak adat merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sikap
ini juga yang dinyatakan juga oleh masyarakat adat papua dalam Manifesto
hak-hak dasar masyarakat adat papua dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat
Papua 2000, hal itu dimandatkan kepada Dewan Adat Papua untuk menjalankannya
namun dalam pelaksanaannya pandangan yang negative selalu diamanatkan kepada
Dewan Adat Papua serta pergerakannya, sehingga dalam pembelaan hak-hak
masyarakat stigma separatis selalu dilabelkan kepada DAP.
Dampak pada Masyarakat Adat
Banyak
konflik Tanah dan SDA di Papua yang belum rampung sampai hari ini, pengambilan
tanah milik masyarakat adat dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Cara yang
kadang digunakan adalah;
1)
Pihak investor adalah tampil seperti; interklas dan memberi bantuan dan juga
memberikan harapan kepada masyarakat adat yang berlebihan, otomatis masyarakat
awam percaya dengan kata-kata mereka padahal hanya bujuk rayu saja, karena itu
biasa melahirkan PRO KONTRA dalam masyarakat.
Pro
karena hanya melihat dari aspek ekonomi, seperti; lapangan kerja, bisnis,dll;
Kontra karena melihat dari aspek dampak negative yang terjadi karena kehadiran
investor seperti kekerasan, lingkungan hidup dan munculnya penyakit social.
2)
Setelah perusahaan ini mengantongi ijin maka wilayah kerja akan dijaga oleh
aparat keamanan sehingga masyarakat hanya sebagai penonton bahkan mereka
mengalami kekerasan ,mereka tuntut hak mereka malah dituduh separatis malah
terakhir mau dicap teroris.
3)
Metode Pengelolaan SDA yang lain di Papua, juga di ikuti pendekatan keamanan
dengan jasa pengamanan serta ada juga preman kampung dengan “jatah preman”
menjadi jalan bagi perusahaan untuk menutup akses masyarakat adat ke perusahaan
ini adalah akar konfilk tanah dan SDA di Papua.
4)
Adanya konspirasi dalam hal pemberian ijin kadang terjadi, ketika ada pilkada
disebuah daerah yang mempunyai potensi SDA, perkebunan, pengusaha akan berupaya
menempatkan orang yang dapat mempelajari peta kekuatan para kandidat, jika
sudah jelas, pengusaha akan mengarahkan bantuan kepada kandidat yang akan
menang, dengan harapan dapat memperoleh Ijin Usaha sesuai dengan potensi daerah agar mereka
dapat melakukan investasi,sedangkan masyarakat adat tidak dapat apa-apa, ini
yang saya sebut PENGUSAHA YANG MENGATUR PENGUASA.
5)
Investor juga kadang meminta penguasa untuk membuat regulasi yang dapat
memuluskan jalan masuk kerajaan bisnisnya, karena itu dokumen AMDAL bisa keluar
setelah hutan hancur.
6)
Investasi juga melahirkan penyakit social yang dibawah oleh orang lain yang
datang untuk mencari kerja di perusahaan.
Pandangan saya
Hal
yang saya kemukakan diatas adalah adanya konflik tanah dan SDA MILIK MASYARAKAT
ADAT DENGAN NEGARA DAN INVESTOR yang disebabkan oleh adanya konspirasi antara
pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat adat pemilik tanah karena
mereka belum secara maksimal membicarakan kompensasi antara masyarakat dan
perusahaan.
Banyak
hal kadang kala terjadi konflik tanah dan sumberdaya alam antara masyarakat
adat dengan pihak luar, hal ini tidak
selamanya karena kesalahan masyarakat tetapi juga disebabkan oleh pemerintah,
oknum aparat keamanan dan pengusaha yang tidak sabar terlalu tergesa-gesa
menyelesaikan masalah hak masyarakat
adat atas tanah dan SDA, tanpa mempunyai sebuah desain yang jelas, (SIAPA YANG
PUNYA TANAH).
Menurut
saya ada tiga kelompok yang berhak bicara dan mendapat kompensasi; Siapa
Pertama Datang (Pemilik hak), Siapa Yang Datang Kemudian (Hak Pakai atau
pemilik) Dan Siapa tinggal tetapi Yang Pergi dengan alasan tertentu. Sehingga
menjadi patokan ala papua dengan memperhatikan system kepemilikan tanah di
Papua, sehingga selalu saja ada pemalangan, hal ini terjadi karena secara
nasional disebabkan pelemahan posisi masyarakat adat.
Pada
hal masyarakat punya kekuatan yaitu, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, Pasal 135 Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi
hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang
hak atas tanah. Pasal 138 Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan
pemilikan hak atas tanah.
Berbagai
undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau
diubah, antara lain; UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, harus ditinjau ulang berdasarkan
pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat.
Pengakuan
sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin
dan dilindungi dalam undang-undang yang baru. Agar Masyarakat adat tidak
dirugikan.
Jika
dirugikan maka ada dasar kami menuntut yaitu UU No 4 Tahun 2009 Pasal 145
Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
pertambangan berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam
pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undsngan. b. mengajukan gugatan kepada pengadjlan terhadap kerugian
akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Solusi
Langkah-langkah
dapat dilakukan oleh pemerintah di Papua
adalah;
1)
serius mengerjakan pemetaan tanah adat melalui musyawarah adat agar jelas
kepemilikan agar tidak selalu masalah tanah menjadi penghambat, tetapi hal itu
dapat dikerjakan Dinas yang jelas baik di Provinsi maupun Kabupaten/kota di
Papua, dengan sumber dana yang jelas.
2)
Beberapa pasal dalam UU No 4 Tahun 2009 menjadi dasar untuk Perundingan ulang
atas penggunaan tanah dan kekayaan alam yang berdasarkan hak asal-usul/hak
tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya merupakan “kepunyaan”
masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat
adat sebagai hak asal usul/hak tradisional) yang selama ini “dipakai” untuk
berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyek
pertambangan.
Berbagai
rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam
masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang
menguasainya dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
3)
Pola yang mestinya digagas adalah Masyarakat Adat juga sebagai pemilik
perusahaan/badan usaha dengan prosentase saham, karena dengan adanya
kontrak yang saling menguntungkan,
pengamanan oleh masyarakat,dll.
Perlu
diketahui pemberian IUP/KK bukan berarti hak atas tanah hilang, tanah tetap
milik masyarakat adat, ini sesuai dengan UU 4 Tahun 2009. semua itu diatur dalam sebuah DOKUMEN
KESEPAKATAN yang legal, sehingga investor datang sebagai SOBAT bukan RAJA.
Penulis adalah
Sekretaris II Dewan Adat Papua/Ketua Dewan Adat Paniyai
Ko'Sapa@2016
0 Komentar