OLEH:
BENYAMIN LAGOWAN*)
Benyamin Lagowan |
Majelis Rakyat Papua merupakan
lembaga representasi kultural yang lahir di Papua dengan tujuan melindungi dan
memproteksi hak-hak hidup Dasar (The rights of basic life)
Orang Asli Papua dalam berbagai sektor kehidupannya di atas tanahnya,Papua.
Kehadiran lembaga ini merupakan manifestasi amanat Undang-Undang No.21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang tertuang pada bab V
pasal 5,ayat 2 yang menyatakan bahwa, ”Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi
Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama”.
Pasal inilah yang menjadi cikal-bakal dibentuknya
lembaga Majelis Rakyat Papua yang kini disingkat dengan MRP. Lebih
spesifik mengenai Tupoksi mungkin telah diatur dalam perdasi/perdasus bahkan
peraturan-peraturan internal yang mengaturnya.
Dengan hadirnya lembaga ini, maka rakyat Papua diberikan ruang lagi karena
lembaga ini akan menjaring, menampung, meneruskan/menyuarakan aspirasi hak-hak
dasar masyarakat Asli yang tergabung dalam 7 wilayah adat di Papua yakni mulai
dari bagian selatan Ha Anim, Mamta/Tabi, Lapago, Meepago, Saireri, Domberay dan
Bomberay (sekarang hanya 5 wilayah Adat) kepada Pemerintah Provinsi Papua
maupun pemerintah pusat.
Itulah tujuan pokok yang diharapkan untuk dipahami dan
dilaksanakan oleh orang Asli Papua yang kelak menjadi pengendali lembaga kultur
tersebut. Sejak berdirinya di tahun 2004 sampai dengan tahun 2015 ini,MRP telah
mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 2 kali,yang mana pada tahun
2004-2011 dipimpin oleh Alm.Agus A.Alua kemudian pada tahun 2011-2015 ini
dipimpin oleh Timotius Murib.
Ditengah–tengah sepeninggalan ketua
MRP yang pertama dengan segala konsekuensi-konsekuensi dan perjuangannya,sepak
terjang MRP hari ini menjadi sorotan semua pihak dan terus menerus mendapatkan
berbagai kritikan agar lembaga ini dibubarkan saja.
Pandangan-pandangan
tersebut tentunya dengan berbagai alasan penting dan mendasar untuk
diperhatikan dengan serius dan kepala dingin. Menanggapi sorotan pembubaran MRP
tersebut dapat saya simpulkan alasan-alasannya secara garis besar sebagai
berikut:
1. Majelis Rakyat Papua Belum Mampu
Menunjukan Taringnya Sebagai Lembaga Protektor Orang Asli Papua (Baik Sebagai
Anak Adat, Budaya dan Gereja /Tuhan)
Pernyataan ini dapat dimaklumi, sebab kinerja dan
posisi MRP dalam membela hak-hak masyarakat Asli Papua di atas
tanahnya ini, dinilai masih sangat kurang bahkan hampir tidak nampak.
Sebagai contoh,dalam berbagai kasus kekerasan terhadap Ibu Rumah Tangga,
penguasaan Tanah /perampasan tanah adat/hak ulayat,pembunuhan dan Pelanggaran
HAM terhadap Orang Asli Papua baik secara langsung dan tidak langsung
terkesan tidak begitu diperhatikan dan disuarakan oleh MRP selama ini.
Misalnya
secara konkret dalam kasus penembakan 5 siswa di Paniai, penembakan beberapa
aktivitis di Yahukimo, dan pembakaran Mushola di Tolikara yang mana urgensinya
sebenarnya ada pada manusia yang ditembak bukan mushola yang heboh di
seantero Indonesia. Ketika peristiwa itu terjadi seakan-akan MRP hanya berdiam
diri tanpa berbuat sesuatu yang tegas dan berarti.
2. Majelis Rakyat Papua Hanya Untuk
Kepentingan Elit Politik (Politik Praktis)
Dalam hal ini nampak jelas ketika segala macam
keputusan dan kebijakan yang akan dilahirkan MRP lebih cenderung terfokus
(didominasi) kebijakan yang semat-mata berhubungan dengan jabatan
di pemerintahan dan politik.
Sebagai contoh, keputusan dan rekomendasi MRP tentang
kepada Daerah di seluruh Kabupaten/Kota yang harus Orang Asli Papua yang
sempat menjadi isu hangat dibeberapa bulan lalu, aktifnya ketua MRP yang selalu
mendampingi Gubernur dan Ketua DPRP dimana-mana, dengan mengabaikan dan
menelantarkan masyarakat adat yang selama ini lebih membutuhkan perhatian dan
proteksi absolute.
Selain itu,dapat juga diingat pada tahun 2013 lalu,ketika
beberapa aktivis mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jayapura melakukan
demonstrasi menolak Draft Otonomi Khusus Plus di kantor MRP Kotaraja,namun
terjadi pembubaran paksa oleh aparat gabungan (TNI/POLRI/BIN) yang berujung
pada penganiayaan,penangkapan dan pemenjarahan terhadap dua mahasiswa
UNCEN, yakni Yali Wenda dan Alfares Kapissa 2 tahun silam.
3. Otonomi Khusus 2001 Telah
Gagal Sama Dengan MRP Juga Gagal
Pernyataan ini sangat jelas karena dasar lahirnya MRP
adalah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 yang telah dianggap gagal
oleh sebagian masyarakat Papua. Dan telah dilakukan evaluasi dan dikembalikan
kepada Pemerintah Pusat melalui DPRP pada tanggal 18-19 Juni 2010 oleh Ketua
MRP yang pertama bersama rakyat Papua ke kantor DPR Papua.
Hasil pengesahan
kegagalan Otonomi Khusus Papua oleh MRP pertama belum ditindaklanjuti oleh MRP
saat ini. Hal ini tentu meninggalkan pertanyaan,tentang mengapa demikian?
Bukankah jika MRP disaat itu telah mengesahkan bahwa otonomi khusus telah gagal
dan telah disahkan dengan keputusan resmi, mengapa lembaga MRP sampai saat ini
masih belum ditutup/dibubarkan ?
4. Tugas dan Fungsi MRP Berbenturan
Dengan Fungsi Dewan Adat Papua (DAP) serta Lembaga Masyarakat Adat lainnya (LMA
dll)
Kehadiran lembaga MRP tentu menjadi
suatu pertanyaan bagi orang asli Papua kala itu. Mengapa? Karena kehadiran
lembaga ini seakan-akan menjadi lembaga tandingan Dewan Adat Papua (DAP) yang
mana lebih diakui masyarakat asli Papua dan merupakan lembaga adat
dan pemerintahan non formal yang terstruktur dan telah lama dihargai dan
dihormati oleh segenap lapisan masyarakat Asli Papua.
Legalitas dan legitimasi
para pemimpin di setiap wilayahnya sangat di junjung tinggi oleh
masyarakat adat Papua. Dewan Adat Papua pun tentu sudah bertahun-tahun
eksis dan menjadi sebuah wadah pemersatu bagi semangat hidup orang asli Papua
juga telah diterima dan lebih Papuanis dibandingkan MRP yang merupakan hasil
transformasi Otonomi Khusus Papua.
Kita tentu sudah memahami bahwa mungkin
salah satu alasan tidak adanya pengakuan Pemerintah terhadap Dewan Adat Papua
adalah intrik politik ideologi dan power yang besar untuk menggerakan
seluruh rakyat Papua sehingga dikhawatirkan akan berbahaya bagi keutuhan
NKRI dari pergerakan masa untuk menuntut kemerdekaan. Barangkali inilah
alasan fundamentalnya dibanding alasan yang lainnya.
Jika Kita amati ke lembaga kultur
serupa,terdapat juga Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Sejauh ini peran lembaga
yang satu ini seperti apa,masih tumpang-tindih. Sebab walaupun telah ada
beberapa lembaga masyarakat adat, tatanan adat dan budaya orang Asli Papua kian
hari semakin terpuruk menuju kepunahan.
Tidak ada kegiatan ataupun proses
pembudayaan dan pelestarian adat signifikan yang dilakukan untuk masyarakat
adat dan budaya di Papua.Adapula lembaga-lembaga lainya seperti, Dewan Kesenian
Papua (DKP) dan barangkali juga Barisan Merah Putih (BMP).
Lembaga- lembaga ini
sering identik dengan adat, budaya dan seni namun,perannya masih kurang
optimal juga. Bahkan cenderung menjadi pijakan untuk berkecimpung dalam dunia
perpolitikan dan menjadi basis-basis tujuan memelihara Kepentingan
Negara,keutuhan NKRI (LMA, BMP, LMRI), mencari makan dan minum juga menjadi
lembaga yang memboroskan anggaran dan tenaga/sumber daya orang Asli
Papua.
5. MRP Terkesan Memboroskan Anggaran
Biaya Otonomi Khusus
Alasan lain yang saat ini mengemuka adalah keberadaan
MRP hanya menghabiskan anggaran dana Otonomi Khusus Papua. Hal ini pernah
disuarakan oleh beberapa orang diantaranya oleh salah satu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Papua,Yan Permenas Mandenas pada berita online Tabloid Jubi,
17 September 2015.
Dalam pernyataannya, sang Legislator Partai Hanura ini
menyatakan bahwa peran MRP tidak jelas, karena terlalu banyak
bermain di politik sehingga lebih baik dibubarkan saja, sebab hanya
menghabiskan anggaran Otonomi khusus.
Pernyataan ini seirama dengan realitas
selama ini, sebab seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peran
MRP terlalu dominan politis, sehingga masyarakat adat di Papua terkesan
terlantar karena terjadinya kesejangan sebagai dampak banyaknya lembaga adat
yang legal dan tak legal,namun tak berfungsi maksimal.
1. Melakukan evaluasi internal dan memulai peran sebagai
protektor Orang Asli Papua
2. Mendengar dan menjaring berbagai aspirasi baik dari
dalam dan luar Papua tentang bagaimana peran yang semestinya dilakukan ke depan
entah dalam kerangka NKRI dan Papua Merdeka terutama mendukung dialog antara
Jakarta-Papua dalam menyelesaikan semua akar persoalan masyarakat Adat yang
religius di tanah Papua.
3. Mengurangi perhatian dalam urusan politik dan
memfokuskan perhatian kepada permasalahan setiap manusia Asli Papua (Orang Asli
Papua) di Tanah Papua.
4. Melakukan sensus Penduduk Orang Asli Papua dengan
bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua untuk memetakan jumlah Orang Asli
Papua dan berbagai sukunya yang ada.
5. Mendukung dan mengeluarkan serta melakukan berbagai
macam kegiatan dan kebijakan yang bersifat memproteksi orang Asli Papua tanpa
memikirkan kepentingan pribadi,Suku dan agama tertentu sebelum terlambat.
Jika beberapa poin di atas ini tidak mampu diupayakan
untuk diwujudnyatakan, maka sebaiknya lembaga ini dibubarkan saja atau
membubarkan diri secara profesional karena gagal memproteksi masyarakat Asli
Papua yang adalah pemilik negeri emas ini.
Kemudian menyerahkan urusan adat
dll,kepada lembaga-lembaga yang benar-benar diterima oleh Masyarakat Asli
Papua.Dengan demikian keberadaan lembaga-lembaga seperti MRP ini tidak dianggap
hanya menjadi parasit (benalu) dan pembunuh berdarah dingin di atas penderitaan
dan situasi marjinalisasi serta “Slow Motion Genoside” Orang Asli Papua
dalam segala aspek kehidupannya.
Semoga!
PENULIS ADALAH KETUA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA-PAPUA
0 Komentar