Dialog Mencapai Papua Tanah Damai

Judul             : Dialog Jakarta-Papua Sebuah Perspektif Papua
Penulis          : Neles Tabay
Penerbit        : SKP Jayapura
Tebal             : ix + 52 halaman
Tahun Terbit : 2011

Ketika komitmen damai sebatas ucapan, dialog damai tak akan berjalan.

Beranjak pada masa lalu ketika gerakan separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masih ada, kerap terjadi konflik antara militer dengan pengikut GAM. Kesenjangan sosial antara pusat dan daerah diindikasikan sebagai sebab munculnya gerakan separatisme itu. Akhirnya melalui dialog panjang antara pihak pemerintah dan GAM, disepakati perjanjian damai di Helsinski, Finlandia.

Sama halnya dengan Aceh saat masih berkonflik, saat ini Papua juga sedang mengalami masa-masa konflik seperti itu. Gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) menjadi motor pergerakan rakyat Papua secara keseluruhan untuk melakukan gerakan-gerakan pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia. Gerakan ini muncul sebagai akibat dari adanya kesenjangan sosial yang terjadi antara Jakarta dan Papua yang semakin lebar. Banyaknya permasalahan seperti pelanggaran HAM yang terjadi akibat konflik berkepanjangan, serta adanya tindakan yang represif dari militer menyebabkan keadaan di Papua tak kunjung membaik.

Keadaan yang demikian menyebabkan Neles Tebay menulis buku dengan judul “Dialog Jakarta-Papua” ini. Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan dari Neles Tebay tentang keadaan yang terjadi di Papua saat ini. Melalui buku ini, Neles menceritakan tentang pentingnya dialog bagi Jakarta-Papua, hal apa yang perlu dipersiapkan guna melakukan dialog, dan apa yang harus dilakukan setelah proses dialog itu berlangsung.

Pentingnya penyelesaian konflik antara Jakarta dan Papua menjadi awalan dalam buku ini. Ada tiga hal yang perlu diketahui mengapa dialog Jakarta dan Papua penting untuk dilakukan. Pertama, permasalahan penggunaan kekerasaan yang saat ini masih diterapkan oleh pemerintah bukan merupakan hal yang tepat untuk dijalankan. Buktinya, ketika pemerintah melakukan operasi militer besar-besaran di Papua seperti Operasi Sadar, dan Operasi Barathayudha. Kedua, pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang belum mampu membendung niat rakyat Papua untuk lepas dari Republik Indonesia. Ketiga, adanya inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan Otonomi Khusus di Papua. Hal itu terjadi akibat dari  pergantian pemerintahan yang terjadi. Pergantian presiden selama dua periode telah mengubah atau menambahkan  Undang-Undang No. 21 Tahun 2001.

Setelah disampaikan pentingnya dialog antara Jakarta-Papua, selanjutnya Neles mengajak pembaca untuk memahami komitmen kedua belah pihak dalam melakukan dialog. Komitmen pihak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono ditegaskan  bahwa untuk menyelesaikan konflik Papua secara demokratis dan damai seperti penyelesaian masalahan di Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan, komitmen rakyat Papua yaitu solusi damai akan ditemukan melalui dialog.
Setelah komitmen kedua belah pihak ditentukan, selanjutnya perlu dibuat kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud adalah kedua pihak tidak akan membahas tentang kemerdekaan Papua. Kesepakatan tersebut menjadi sangat krusial untuk menahan pemerintah agar mau melanjutkan dialog dalam menyelesaikan konflik. Sementara itu, pihak pemerintah juga harus menghilangakan kecurigaannya bahwa dalam dialog rakyat Papua tidak akan membahas tentang masalah kemerdekaan.

Selain menghilangkan kecurigaan, pemerintah harus menyakinkan rakyat Papua bahwa mereka mempunyai komitmen untuk menyelesaikan konflik melalui dialog damai. Selama rakyat Papua belum yakin akan komitmen pemerintah, nampaknya dialog damai masih sulit untuk dilakukan. Selain komitmen yang teguh dari pihak pemerintah maupun rakyat, faktor saling percaya juga sangat berpengaruh dalam proses dialog nanti. Rakyat Papua yang terlanjur tidak percaya kepada pemerintah akan sangat sulit untuk mempercayai komitmen dari pemeritah dalam melakukan dialog.

Setelah adanya komitmen dan kepercayaan dari kedua pihak, diperlukan pembuatan kerangka acuan dan prinsip-prisip dasar dialog. Kerangka dan prinsip tersebut harus disepakati oleh kedua pihak. Dengan demikian, dialog tersebut akan memberikan ketenteraman dan keadilan bagi keduanya, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Selain itu, adanya kerangka acuan juga sebagai penunjuk arah dalam dialog yang akan dilaksanankan. Jika komitmen sudah ditentukan dan kepercayaan telah didapatkan, dialog damai kedua belah pihak dapat di laksanakan.

Saat dialog berlangsung, diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat Papua untuk melakukan dialog. Partisipasi perlu dilakukan untuk menghasilkan solusi yang lebih baik bagi semua orang yang hidup di Papua. Semua anggota masyarakat Papua seharusnya merasa terlibat dalam keseluruhan proses dialog menuju ‘Papua Tanah Damai’.  Jika sudah dipastikan bahwa masyarakat Papua ikut berpartisipasi, maka pembuatan tahapan-tahapan dalam dialog sudah dapat dilakukan.

Tahapan dalam dialog diawali dengan dialog internal orang Papua sendiri. Setelah tahapan tersebut dilaksanakan, proses selanjutnya adalah dialog antar warga Papua. Warga Papua yang dimaksudkan adalah setiap orang yang tinggal di Papua, baik dari warga asli maupun non-Papua. Tahapan ketiga adalah dialog warga Papua yang hidup di luar negeri. Keterlibatan mereka tidak boleh diabaikan dalam mencari penyelesaian konflik Papua secara damai dan demokratis. Terakhir, adalah dialog warga Papua dengan Pemerintah Indonesia. Pada tahap ini, pemerintah dan rakyat Papua melibatkan diri dalam dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang disetujui oleh keduanya. Pihak yang memfasilitasi jalannya dialog damai adalah lembaga-lemabaga yang berbeda-beda pada tahap yang berbeda-beda pula. Lembaga-lembaga tersebut yaitu MRP (Majelis Rakyat Papua), DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), DPRD Provinsi Papua Barat, WPNCL (West Papua National Coalition for Liberation), pihak netral, dan independen yang mewakili Pemerintah Indonesia. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut sangat diharapkan untuk memperlancar proses dialog menuju Papua Tanah Damai.

Setelah seluruh proses dialog sudah terlaksana, hal terakhir yang harus dilakukan adalah pengawasan. Komitmen kedua pihak untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai masih harus diuji setelah tercapai kesepakatan dalam dialog terakhir. Jika komitmen yang sudah disepakati dalam dialog damai tersebut masih tidak ditindaklanjuti, maka usaha yang ditempuh sebelumnya menjadi sia-sia. Hal itu mengakibatkan kredibilitas kedua belah pihak jatuh.

Semua yang telah ditulis oleh Neles terlihat sangat sederhana. Terbukti dari minimnya jumlah kata dalam setiap bab yang ada di dalam buku. Meskipun penyampaian pemikirannya untuk menciptakan Papua yang damai terlihat  ringan, namun isinya tidak sesederhana apa yang ditulis. Seakan-akan buku ini berisi semua keinginan rakyat Papua untuk mewujudkan mimpi ‘Papua Tanah Damai’.

Dalam buku ini, Neles mencoba untuk merekomendasikan dialog damai sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua. Buku ini melihat permasalahan yang terjadi dari sudut pandang orang Papua. Cara penyelesaian konflik yang tidak berorintasi pada satu kepentingan saja menjadi nilai tambah dalam buku ini. Secara keseluruhan, buku ini layak untuk dibaca masyarakat Indonesia, terutama pemerintah dan rakyat Papua demi terciptanya dialog damai Jakarta-Papua. [Dias Prasongko]  

Sumber; www.balairungpress.com

Posting Komentar

0 Komentar